Hari-hari Nami lalui kini dengan penuh semangat. Berusaha menguatkan dirinya sendiri, jika nanti pada saatnya dirinya akan bersama-sama kembali dengan orang yang dia cintai.Rutinitasnya sebagai seorang dokter residen, kini semakin penuh dengan kesibukan. Apalagi jika dokter senior, seperti dokter Reiko meminta bantuan para dokter residen yang bertugas dalam hal menangani pasien gawat darurat. Seperti halnya hari ini, dimana seorang pasien terkena luka tembak yang berasal dari peluru nyasar di dadanya, harus mereka tangani secepat mungkin. Dimana Nami juga harus ikut terlibat didalamnya, hanya karena sang pasien menarik jas dokter yang dirinya kenakan. Terpaksa Nami ikut membantu menanganinya."Aku tidak mau orang lain yang menangani ku! aku mau istriku yang melakukannya?!" teriak sang pasien dengan wajah pucat, kekurangan darah, memaksa Nami memeriksanya. Membuat Reiko jengah. Karena pekerjaannya terpaksa tertunda oleh rengekan si pasien yang diperkirakan berusia 30 tahun. "Kenapa kam
"Wah ... siapa ini?" tegur seseorang, menghentikan langkah kaki ketiganya. Merekapun lantas menoleh ke belakang. Nampak lah sepasang suami istri di sana."Hai, brother!" tegur Juun pada sosok yang menegurnya —Ryu—. Dirinya berjalan mendekati lelaki itu yang nampak merangkul pinggang sang istri, dengan erat, takut kabur.Ryu gegas melepaskan rangkulannya, kemudian memeluk Juun dengan erat. "Apa kabar?" tanyanya, setelah pelukan mereka terlepas."Baik. Kalian?" Juun balas bertanya, seraya sedikit tersenyum sopan pada Devina, yang balas tersenyum tipis."Sangat baik. Apalagi, tidak lama lagi, anak kedua kami akan lahir. Kamu sendiri, kapan menyusul dengan Nami-chan?" celetuk Ryu, sedikit mengejek sang sahabat.Juun dan Nami, sontak merona. Keduanya nampak salah tingkah. "Doakan saja kami segera menyusul, karena setiap makhluk akan mendapatkan jodohnya di waktu yang tepat," pungkas Juun dengan tenang."Hmmm ... aku mengerti. Baiklah, kami pergi dulu, ya! Karena jadwal konsultasi Vina hari
Tangan Nami terlihat bergetar saat dirinya hendak menerima panggilan telepon tersebut. Wanita itu nampak kesulitan menelan ludah hingga membuat Aisyah menatapnya heran. "Kenapa, Kak? Ada yang tidak beres?"Nami berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya agar paru-parunya yang tiba-tiba terasa menyempit, bisa terasa lega."Kakak!" tegur Aisyah kembali. Tangan kanannya memegang lengan baju Nami.Nami menggeleng cepat seraya berusaha mengulas senyum tipis. "Tidak! Bukan apa-apa!" ungkapnya cepat. Nami lantas terkekeh yang terdengar terpaksa.Aisyah menyadari jika Nami berbohong. Namun dirinya tidak mempunyai kuasa untuk memaksa wanita itu, meskipun mereka sudah mulai dekat. "Baiklah. Jika ada apa-apa, Kakak bisa mengutarakannya padaku. Bukankah Kakak adalah calon Kakak Ipar ku?" hibur nya, ikut mengulas senyum manis.Nami terlihat terharu. Matanya bahkan berkaca-kaca. "Aisha!" serunya seraya menarik Aisyah masuk ke dalam pelukannya. Aisyah yang semula terperanjat, lantas balas memeluk Na
"Brengsek!" maki Nami semakin kesal. "apa kamu pikir, aku bersedia kembali menjadi mainan mu seperti dulu lagi?! Ingat ya, Akira. Aku, Okahara Nami tidak akan pernah kembali padamu untuk selamanya!" pekiknya keras.Akira terkekeh geli mendengarnya. Namun tak lama berselang kekehannya menghilang, digantikan dengan raut wajah mengeras. "Baiklah, kalau begitu ... sebagai peringatan pertama —," Akira menoleh pada salah seorang anak buahnya yang berdiri di belakang Toshio. Gegas lelaki itu memegangi kuat kedua bahu Toshio, mendorong tubuh lelaki itu hingga membungkuk di atas meja, menindihnya agar tidak bisa bergerak. Sementara temannya yang lain segera menarik tangan kirinya hingga telentang di atas meja."Tidak! Tuan, saya mohon. Jangan potong tangan saya!" pekik Toshio ketakutan saat dirinya melihat salah seorang anak buah Akira menarik katana dari dalam sarungnya. "TUAN!"Akira tersenyum sinis. Dirinya lantas kembali fokus pada ponsel di telinganya saat mendengar suara kesiap yang kelua
Nami terlihat gelisah selama bekerja. Wanita itu bahkan beberapa kali terlihat tidak fokus. Sebentar-sebentar Nami menatap jam tangannya. Dirinya benar-benar bingung harus berbuat apa."Dokter Okahara!" tegur salah seorang rekannya bekerja, sesama dokter residen. Wanita itu bahkan menepuk pundak kiri Nami hingga membuat Nami terlonjak kaget."Ya Tuhan, kamu mengagetkanku Dokter Rin!" balas Nami menegur. Tangan kanannya mengusap dada agar debaran jantungnya berhenti berdebar kencang. "ada apa?" tanyanya sembari berbalik, menghadap pada Rin.Rin tidak menjawab, melainkan menyodorkan sebuah buket bunga berisi mawar merah pada Nami yang seketika mengerutkan keningnya."Apa ini?" tanya Nami kembali, heran namun juga mulai mencurigai sesuatu."Ada kurir yang datang. Dia berkata ini titipan seseorang untuk Dokter Okahara Nami yang sedang magang di rumah sakit ini. Di sini yang bernama Okahara Nami hanya kamu seorang." Rin kembali menyodorkan bunga tersebut ke hadapan Nami hingga Nami pun terp
"A-aku —," Nami berusaha menelan ludah sekaligus menghela napas yang terasa begitu berat."Apa, Sayang?" tanya Akira tidak sabar."Aku sibuk magang, Akira Kun. Jadi aku mohon, tolong mengertilah!" pinta Nami mengalah.Terdengar helaan napas panjang dari seberang. "Baiklah, aku mengerti. Nah, sekarang sebaiknya kamu bersiap-siap. Aku menunggumu di sini! Oh ya, hadiah kecil dari ku, sudah kamu terima dengan baik, bukan?" tanya Akira. Punggungnya bersandar dengan kepala mendongak ke atas."Su-dah," cicit Nami lirih. Namun masih terdengar di telinga Akira. Senyumnya tersungging tipis."Syukurlah! Oh ya, Yamamura sebentar lagi akan tiba di sana. Kamu tunggu, ya!" pinta Akira kembali."Hah! Apa maksudnya? Kenapa sopir pribadimu kesini? Kamu tidak mungkin berni—," Nami tercekat, matanya terbelalak saat sebuah pemikiran masuk ke dalam otaknya.Akira terkekeh kecil. "Kamu tahu dengan baik, bagaimana aku, Sayang! Karena itu, jadilah kekasih yang penurut. Aku tidak suka mengulang perintah hingga
"Ha-hai!" balas Nami menyapa gugup.Ia berusaha menggeser ke kiri, berniat menjauh sejauh mungkin. Namun Akira justru ikut menggeser kan tubuhnya mengikuti Nami."A-aku mo-mohon, menjauh lah!" pinta Nami dengan suara memekik keras, mendorong dada Akira hingga sedikit menjauh. Kepalanya menunduk penuh harap, menyita atensi semua teman-temannya. Musik bahkan dihentikan.Ruka yang asyik bernyanyi mendekati Nami, berdiri di depannya dengan meja menghalangi. "Ada apa, Nami Chan?""I—,""Tidak terjadi apa-apa, Ruka Chan," potong Akira, kembali duduk bersender. Tangannya terentang di atas sandaran sofa. Akira kembali menoleh pada Nami, raut wajahnya sedikit mengancam gadis itu agar bungkam. "benar, bukan, Nami Chan?!" tekannya. Akira bahkan mendekatkan wajahnya pada telinga Nami. "ikuti saja apa mau ku."Ruka menyadari ada yang tidak beres. Ia menatap Nami tajam. "Benar itu, Nami Chan?" desak Ruka, berharap temannya itu berkata jujur.Nami yang ditanya, justru terlihat kikuk. Kepalanya menund
"Iya. Kamu tidak percaya?" tanya Akira lagi, mendongak sedikit ke atas, tatapannya lurus pada mata Nami."A-aku rasa itu sangatlah tidak mungkin.""Kenapa?" tanya Akira, menarik ujung rambut Nami yang berhasil ia gulung hingga wajah mereka teramat dekat.Mata Nami membeliak lebar. "A-akira San," tegurnya lirih, teramat sangat gugup."Hmm," sahur Akira santai. "aku menyukaimu, Nami Chan," ungkapnya. Tangan kirinya membingkai pipi Nami."Ma-mana mungkin bi—," Mata Nami membola saat Akira menarik turun kepalanya hingga bi b1r mereka bersentuhan."Manis," puji Akira, mengusap bagian bawah dengan lembut.Akira lantas beringsut duduk. Bersandar kembali pada sandaran kursi. Tangan kirinya kembali merangkul pundak Nami, menariknya kuat hingga bahu mereka menempel."Mau jadi kekasihku?" ajak Akira santai sembari menoleh pada Nami yang hanya bisa menunduk dengan kedua tangan saling bertaut di atas paha."Aku tidak —,""Harus mau!" ucap Akira tegas, memotong ucapan Nami. Matanya menatap tajam pad