Setelah selesai membantu Ummi dan Aisyah yang berkemas, karena sebentar lagi mau pulang ke pesantren, aku pun bergegas menemui Namira, karena penasaran ingin tahu apa yang mau dia bicarakan. "Adek mau ngomong apa?" Tanyaku pada Namira, yang duduk di kursi. Membuat gadis itu menoleh ke arahku sebentar, kemudian menundukkan wajahnya kembali."Hmmm ... Itu bang, Mira mau nanya? Tapi Abang jangan marah ya?" Ucap Namira malu-malu. Bahkan dirinya menggoyangkan bahunya, membuat keningku berkerut heran. Tetapi enggan bertanya."Tanya saja?!" Sahutku cepat-cepat ingin menghentikan diskusi ini."Hmmm ... Mira ingin tahu, temen Abang yang di bawa itu siapa?" Tanyanya, sedikit menatapku kemudian menundukkan wajahnya kembali."Ya, temanku. Kenapa?" Tanyaku bingung, tidak mengerti arah pembicaraan."Iya ... Aku tau! Maksudnya itu, temen dalam arti apa bang? Orang spesial kah dia? Gitu???" Sahutnya dengan bibir mengerucut. Namun tidak terlihat dari balik niqab yang gadis itu kenakan. Merasa sedikit k
Bandar Udara Narita, pukul 08.00 waktu setempat.Dengan langkah gontai, Nami berjalan dari arah gerbang arrived, menuju ke lobi, dimana terlihat sang sahabat bersama putranya Danryuu, datang menjemput.Setelah sebelumnya, Nami menghubungi Devina, guna menjemputnya. nampak pula di belakangnya, Reiko serta Wisnu beserta putra mereka, Inoue yang kini berusia 5 tahun."Vina-chan!" sapa Nami dengan gurat sendu. yang di balas Devina dengan merentangkan tangannya. Nami pun bergegas masuk kedalam pelukan sang sahabat, yang kini menangis tersedu-sedu."Sudah! Tidak apa-apa. Kamu kuat!" ucap Devina, menenangkan."Nami-chan kenapa menangis?" celetuk Danryuu, menarik ujung jaket yang Nami kenakan.Sontak Nami dan Devina saling melepaskan pelukan mereka. sembari mengusap air mata, Nami sedikit membungkukkan badannya, menatap kearah Danryuu, yang mengulurkan tangannya, meminta di genggam.Nami menurut, menggenggam tangan Danryuu, sembari mengulas senyum tipis."Jangan nangis, Nami-chan! jika kamu be
"Pagi, dokter Okahara!" Sapa suster Mitsui, adik dari dokter Reiko, dengan ceria. Saat dirinya berpapasan dengan Nami di parkiran rumah sakit.Nami yang baru keluar dari dalam mobilnya, sontak menoleh kebelakang, "Pagi, Mitsui-chan!" Balas Nami, tak lupa tersenyum manis pula padanya."Dokter hari ini tugas pagi?" Tanya Mitsui kembali, matanya berbinar-binar, seraya mendekap buku jurnal keperawatan di dada, sementara tas ransel berwarna hitam, tercangklong di punggungnya."Huum! Iya!" Jawab Nami lugas, berpaling sebentar, menutup pintu mobil, tak lupa menguncinya. Setelahnya memasukkan kunci ke dalam tas tangannya. "Apa yang sedang kamu cari?" Tanya Nami, bingung, saat melihat Mitsui nampak celingak-celinguk, seolah mencari keberadaan seseorang atau sesuatu."Dimana, Kakak?" Tanya Mitsui, heran."Siapa? Ryu?" Tanya Nami balik, bingung akan pertanyaan yang di berikan oleh Mitsui."Bukan ... Juun-kun! Dimana dia? Bukankah, kalian selalu berdua?" Tanya Mitsui dengan mata berbinar.Nami pun
Hari-hari Nami lalui kini dengan penuh semangat. Berusaha menguatkan dirinya sendiri, jika nanti pada saatnya dirinya akan bersama-sama kembali dengan orang yang dia cintai.Rutinitasnya sebagai seorang dokter residen, kini semakin penuh dengan kesibukan. Apalagi jika dokter senior, seperti dokter Reiko meminta bantuan para dokter residen yang bertugas dalam hal menangani pasien gawat darurat. Seperti halnya hari ini, dimana seorang pasien terkena luka tembak yang berasal dari peluru nyasar di dadanya, harus mereka tangani secepat mungkin. Dimana Nami juga harus ikut terlibat didalamnya, hanya karena sang pasien menarik jas dokter yang dirinya kenakan. Terpaksa Nami ikut membantu menanganinya."Aku tidak mau orang lain yang menangani ku! aku mau istriku yang melakukannya?!" teriak sang pasien dengan wajah pucat, kekurangan darah, memaksa Nami memeriksanya. Membuat Reiko jengah. Karena pekerjaannya terpaksa tertunda oleh rengekan si pasien yang diperkirakan berusia 30 tahun. "Kenapa kam
"Wah ... siapa ini?" tegur seseorang, menghentikan langkah kaki ketiganya. Merekapun lantas menoleh ke belakang. Nampak lah sepasang suami istri di sana."Hai, brother!" tegur Juun pada sosok yang menegurnya —Ryu—. Dirinya berjalan mendekati lelaki itu yang nampak merangkul pinggang sang istri, dengan erat, takut kabur.Ryu gegas melepaskan rangkulannya, kemudian memeluk Juun dengan erat. "Apa kabar?" tanyanya, setelah pelukan mereka terlepas."Baik. Kalian?" Juun balas bertanya, seraya sedikit tersenyum sopan pada Devina, yang balas tersenyum tipis."Sangat baik. Apalagi, tidak lama lagi, anak kedua kami akan lahir. Kamu sendiri, kapan menyusul dengan Nami-chan?" celetuk Ryu, sedikit mengejek sang sahabat.Juun dan Nami, sontak merona. Keduanya nampak salah tingkah. "Doakan saja kami segera menyusul, karena setiap makhluk akan mendapatkan jodohnya di waktu yang tepat," pungkas Juun dengan tenang."Hmmm ... aku mengerti. Baiklah, kami pergi dulu, ya! Karena jadwal konsultasi Vina hari
Tangan Nami terlihat bergetar saat dirinya hendak menerima panggilan telepon tersebut. Wanita itu nampak kesulitan menelan ludah hingga membuat Aisyah menatapnya heran. "Kenapa, Kak? Ada yang tidak beres?"Nami berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya agar paru-parunya yang tiba-tiba terasa menyempit, bisa terasa lega."Kakak!" tegur Aisyah kembali. Tangan kanannya memegang lengan baju Nami.Nami menggeleng cepat seraya berusaha mengulas senyum tipis. "Tidak! Bukan apa-apa!" ungkapnya cepat. Nami lantas terkekeh yang terdengar terpaksa.Aisyah menyadari jika Nami berbohong. Namun dirinya tidak mempunyai kuasa untuk memaksa wanita itu, meskipun mereka sudah mulai dekat. "Baiklah. Jika ada apa-apa, Kakak bisa mengutarakannya padaku. Bukankah Kakak adalah calon Kakak Ipar ku?" hibur nya, ikut mengulas senyum manis.Nami terlihat terharu. Matanya bahkan berkaca-kaca. "Aisha!" serunya seraya menarik Aisyah masuk ke dalam pelukannya. Aisyah yang semula terperanjat, lantas balas memeluk Na
"Brengsek!" maki Nami semakin kesal. "apa kamu pikir, aku bersedia kembali menjadi mainan mu seperti dulu lagi?! Ingat ya, Akira. Aku, Okahara Nami tidak akan pernah kembali padamu untuk selamanya!" pekiknya keras.Akira terkekeh geli mendengarnya. Namun tak lama berselang kekehannya menghilang, digantikan dengan raut wajah mengeras. "Baiklah, kalau begitu ... sebagai peringatan pertama —," Akira menoleh pada salah seorang anak buahnya yang berdiri di belakang Toshio. Gegas lelaki itu memegangi kuat kedua bahu Toshio, mendorong tubuh lelaki itu hingga membungkuk di atas meja, menindihnya agar tidak bisa bergerak. Sementara temannya yang lain segera menarik tangan kirinya hingga telentang di atas meja."Tidak! Tuan, saya mohon. Jangan potong tangan saya!" pekik Toshio ketakutan saat dirinya melihat salah seorang anak buah Akira menarik katana dari dalam sarungnya. "TUAN!"Akira tersenyum sinis. Dirinya lantas kembali fokus pada ponsel di telinganya saat mendengar suara kesiap yang kelua
Nami terlihat gelisah selama bekerja. Wanita itu bahkan beberapa kali terlihat tidak fokus. Sebentar-sebentar Nami menatap jam tangannya. Dirinya benar-benar bingung harus berbuat apa."Dokter Okahara!" tegur salah seorang rekannya bekerja, sesama dokter residen. Wanita itu bahkan menepuk pundak kiri Nami hingga membuat Nami terlonjak kaget."Ya Tuhan, kamu mengagetkanku Dokter Rin!" balas Nami menegur. Tangan kanannya mengusap dada agar debaran jantungnya berhenti berdebar kencang. "ada apa?" tanyanya sembari berbalik, menghadap pada Rin.Rin tidak menjawab, melainkan menyodorkan sebuah buket bunga berisi mawar merah pada Nami yang seketika mengerutkan keningnya."Apa ini?" tanya Nami kembali, heran namun juga mulai mencurigai sesuatu."Ada kurir yang datang. Dia berkata ini titipan seseorang untuk Dokter Okahara Nami yang sedang magang di rumah sakit ini. Di sini yang bernama Okahara Nami hanya kamu seorang." Rin kembali menyodorkan bunga tersebut ke hadapan Nami hingga Nami pun terp
Juun akhirnya menjelaskan semuanya tanpa satupun yang tertinggal. Sementara Abi Rahmat, hanya bungkam seribu bahasa, enggan menginterupsi sedikitpun. Hanya hela napas berat bersama gumam istighfar yang senantiasa lolos dari bibirnya sebagai respon atas semua berita buruk ini. Juun akhirnya ikut terdiam setelah sekian lama berucap. Ia ikut menghela napas pendek, pasrah akan keputusan sang ayah. Abi Rahmat berjalan perlahan ke arah tembok kawat yang ada di rooftop hingga angin senja meniup rambut pendeknya yang sudah dipenuhi uban. Matanya menatap lurus ke arah matahari tenggelam di antara gedung-gedung yang berseberangan dengan rumah sakit. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Ian?" tanya Abi Rahmat tanpa menoleh pada sang putra yang kini ikut berdiri di samping kirinya, Juun ikut mengarahkan pandangan kemana ayahnya memandang. "Aku mencintainya, Abi. Tapi, jika Abi tidak berkenan? Aku —""Apa kamu akan berhenti berjuang?!" tegur Abi
Ummi Fatimah pun terpaksa menceritakan semua yang terjadi pada suaminya, di ma a lelaki itu hanya bisa bungkam seribu bahasa. Sesekali terdengar ucapan istighfar lolos dari celah bibirnya yang kini mulai tertutupi dengan kumis. "Bagaimana menurut, Akang?" tanya Ummi Fatimah cemas. "Panggil Ian kemari. Tapi, sebelum itu..., Akang mau melihat keadaan Nami. Neng mau ikut?" ajak Abi Rahmat seraya mengulurkan tangan kanannya disertai tatapan lurus menghujam mata. "Iya, Kang. Neng ikut!" tukas Ummi Fatimah bersemangat sambil menerima uluran tangan. Keduanya lantas berjalan bersisian ke arah luar guna mencari ruangan Nami dirawat. "Oh ya, Akang mengerti, ya, isi pembicaraan orang-orang?" tanya Ummi Fatimah setelah suaminya bertanya pada salah seorang petugas keamanan mengenai ruang rawat Nami yang baru. "Sedikit-sedikit, Sayang. Akang diam-diam setiap malam belajar Bahasa Jepang, biar gak bingung saat diajak berinteraksi dengan calon besan
Nami enggan menjawab, ia justru segera berjalan cepat ke arah jendela hingga membuat Ummi Fatimah semakin terkejut saat melihat Nami membuka kaca, lalu melompat ke bawah. "NAMI!" Ummi Fatimah berteriak kencang d bersama degup jantung berdetak kencang seraya berlari ke arah jendela. Wanita itu segera melongok ke bawah bersama seluruh perasaan takut mendera. Namun, akhirnya ia bisa bernapas lega saat melihat di bawah sana sang putra tengah memeluk Nami yang lemas dalam dekapan. Ummi Fatimah bahkan tanpa sadar mengucap syukur karena Nami selamat. Sementara itu, Juun segera menggendong Nami ala bridal, lalu meletakkannya di atas brankar yang segera didorong oleh para perawat menuju ruang perawatan. Salah seorang dokter, rekan sejawatnya bahkan segera menepuk pundak Juun seraya berujar dengan nada menguatkan, "Kamu harus kuat, Dokter Juun. Hanya kamu yang bisa menguatkan Dokter Nami saat ini. Lagipula kami semua men
Nami bungkam seribu bahasa. Kepalanya bahkan tertunduk dalam, tidak berani mengatakan isi hatinya yang kini tidak berbentuk lagi akibat peristiwa buruk yang telah terjadi padanya. Ummi Fatimah pun berusaha mengerti. Ia ikut bungkam, membiarkan Nami berkutat dalam lamunan. Hanya jemarinya yang menggenggam sebagai bentuk jika dirinya perduli pada sang calon menantu. Nami perlahan mengangkat kepala, menatap wajah teduh Ummi Fatimah yang kini melepaskan niqab miliknya. Sementara Juun dan Abi Rahmat pergi keluar guna bicara empat mata. "Ummi, apakah saya boleh mengatakan sesuatu?" ujarnya meminta dengan sopan, meskipun suaranya terdengar serak."Katakan saja, Nak! Apa yang ingin kamu bicarakan?" ujar Ummi Fatimah, mengijinkan. Nami terdiam, kesedihannya terasa mencekam. Ummi Fatimah mengangguk sambil tersenyum hangat. "Katakanlah, Nak."
Juun terdiam. Matanya menatap tajam pada Nami yang balas menatapnya datar. "Omong kosong apa yang baru saja kamu ucapkan, Nami Chan?" tanyanya geram.Nami tersenyum sinis. Ia membalas tatapan itu tidak kalah dingin. "Ba yi sia lan itu, Juun. Apa dia sudah ma ti?"Juun menggebrak tepi brankar hingga membuat Nami terkejut setengah mati. Jantungnya terdengar berdetak kencang, namun gadis itu berusaha untuk tidak menjerit. Ia bahkan semakin menatap dingin pada sang kekasih."Aku rasa otakmu perlu dicuci hingga bersih agar berhenti mengatakan sebuah omong kosong." Suara Juun terdengar berdesis kuat. Ia tidak mampu lagi menahan emosinya hingga tanpa sadar mengatakan sesuatu yang buruk."Ya, tentu saja." Nami menyahut dengan santai, terlihat tidak merasa bersalah sedikitpun."Agar otakku tidak mengingat kembali jika ja nin sia lan itu masih bersarang di rahimku." Nami melanjutkan ucapannya.Juun menggeram. Ia bahkan melepaskan pegangan tangannya dengan sedikit kasar hingga Nami pun semakin te
Baju Juun penuh dengan da rah yang tentu saja berasal dari Nami. Sementara gadis itu kini telah berada di dalam ruang operasi tempat mereka bekerja guna menyelamatkan nyawanya.Dirinya tidak diijinkan ikut serta karena semua teman-temannya khawatir lelaki itu tidak bisa bertindak profesional. Apalagi saat melihat wajah panik juga lolongan histeris yang ia berikan beberapa saat yang lalu.Juun duduk di atas kursi tunggu sembari mengacak-acak rambutnya hingga berantakan dengan kepala tertunduk dalam. Sementara Aisyah ikut duduk di samping kanannya, mengusap punggung sang kakak guna memberikan dukungan."Abang," panggil Aisyah lirih sembari membersit hidungnya yang mampet dari balik niqab yang ia kenakan."Hmmm," sahut Juun menggumam, enggan mengangkat kepala. "Abang yang tenang, ya," pinta Aisyah, kembali sesenggukan.Juun tersentak. Ia lantas dengan cepat menoleh pada sang adik dengan tatapan menuntut jawaban.Aisyah lan
Nami tercekat. Air matanya tanpa sadar menetes saat melihat hasil test pack miliknya. Kedua tangannya bahkan bergetar hebat hingga benda tersebut jatuh ke atas lantai, tepat di samping kanan kakinya, seiring isakannya yang terdengar menyayat hati."Kenapa? Ini tidak mungkin ...," Kepalanya menggeleng kuat-kuat, masih berharap jika ini semua mimpi buruk belaka.Namun harapannya harus sirna saat ia memberanikan diri kembali menatap pada benda tersebut, hasilnya tetap menunjukkan garis dua, pertanda jika dirinya benar-benar hamil.Tangisnya pun kembali pecah. Ia lantas menggigit punggung tangannya saat mendengar pintu diketuk seseorang dari luar disusul suara yang ia kenal dengan baik. "Afwan, Oni Chan. Apa Oni Chan baik-baik saja?" tanya Aisyah khawatir.Aisyah bahkan belum menanggalkan mukena karena baru selesai salat isya. Keningnya berkerut saat tidak mendengar sahutan dari dalam. "Oni Chan!" panggilnya kencang sembari menggedor pintu. Perasaan takut tiba-tiba hadir."Oni Chan!" pangg
Nami kembali memulai harinya seperti biasa, seolah-olah peristiwa buruk yang terjadi 2 bulan yang lalu hanya sebuah mimpi buruk semata. Gadis itu bahkan terlihat begitu ceria karena hubungannya dengan Juun menunjukkan kemajuan berarti.Mereka bahkan tidak segan saling menunjukkan perasaan masing-masing di tempat kerja."Bagaimana rasanya?" tanya Nami sambil menatap penuh harap Juun. Keduanya tengah duduk di bangku taman rumah sakit yang biasanya digunakan para pekerja magang untuk menyantap bekal makan siang."Enak." Juun menyahut cepat setelah berhasil menelan makanan yang ada di dalam mulut. Lelaki itu lantas tersenyum manis sambil merapikan poni Nami yang tertiup angin sehingga menutupi mata kirinya.Nami tersipu, ia tidak menyangka jika akan mendapatkan pujian dari mulut kekasihnya."Apapun yang kamu buat, rasanya sungguh enak di lidahku." Juun melanjutkan pujiannya hingga membuat wajah Nami semakin bersemu merah."Kamu malu?
Akira terkejut mendengarnya. Ia bahkan tanpa sadar mengumpat di dalam hati. 'Sial ... sial! Bagaimana bisa Ketua Klan Shinryuu mengetahui hal ini, dan bagaimana bisa lelaki mengerikan itu mengenal Nami? Jangan-jangan dia ...!' Matanya terbelalak sambil menoleh cepat pada Nami yang kini berusaha mundur setelah jambakannya terlepas. Nami bahkan tidak perduli penampilannya berantakan dengan rambut kusut masai juga pipi basah bekas air mata. Sementara itu di seberang sana, Ryu yang tidak sabaran segera memberikan sebuah peringatan. "Aku akan menghitung dari 1 sampai 3. Jika kamu tidak melepaskan Okahara Nami. Maka malam ini adalah malam terakhir Klan Tiger bisa bernapas di muka bumi." Akira pun memucat, ia bahkan mulai kesulitan menelan ludahnya yang tiba-tiba berubah menjadi sebongkah batu. Dengan wajah kikuk bercampur takut, juga senyum dipaksakan, lelaki itupun menjawab. "Oh ... ba-baik, Ketua. Mohon tunggu sebentar!" Akira lantas mematikan sambungan telepon setelah mendengar sahuta