Share

Ksatria Prabangkara
Ksatria Prabangkara
Penulis: Jin Hanson

Bab 1. Prolog

Penulis: Jin Hanson
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-11 00:35:33

Konon, dahulu di daratan utama berdiri sebuah kerajaan besar bernama Satwika. Namun perebutan takhta serta konflik di dalam keluarga kerajaan,  menyebabkan terjadi perang saudara yang tak berkesudahan, sehingga membuat rakyat sangat menderita.

Membuat Kerajaan Satwika yang perkasa akhirnya runtuh dan terbagi menjadi sembilan kerajaan baru, yaitu Baruna, Wananta, Srawana, Kanaka, Akasa, Arnawa, Ambarata, Arnata dan Prabangkara.

Namun, alih-alih perdamaian yang tercipta, justru kemunculan sembilan kerajaan itu membawa malapetaka di daratan utama. Perang dengan skala yang lebih besar terjadi antara sembilan kerajaan tersebut, membawa kekacauan di daratan utama.

Menyadari dampak dari perang yang sangat mengerikan serta membawa kesengsaraan bagi rakyat. Ketiga kerajaan yaitu Ambarata, Arnata dan Prabangkara membuat sebuah persekutuan. Mereka sepakat untuk menjalin kerjasama serta menyatukan kekuatan militernya untuk melenyapkan keenam kerajaan yang lain.

Kerjasama tersebut menjadikan ketiga kerajaan itu memiliki kekuatan yang tak tertandingi. Sehingga dalam waktu singkat, berhasil melenyapkan keenam kerajaan lainnya dan membawa kedamaian di daratan utama.

Tetapi seperti kata pepatah, Seluruh Kerajaan Bersatu untuk Bercerai dan Bercerai untuk Bersatu, Demikian pula yang terjadi pada ketiga kerajaan itu. Adalah Maharaja Dhidaka penguasa Kerajaan Arnata, memiliki ambisi untuk menguasai seluruh daratan utama. Terobsesi memenuhi ambisinya, Maharaja Dhidaka menyatakan perang dengan Kerajaan Ambarata dan Kerajaan Prabangkara.

Perang yang maha dahsyat pun berkecamuk antara tiga kerajaan. Para pendekar dengan berbagai kesaktian dari masing-masing kerajaan turut serta dalam perang yang mengerikan tersebut.

Setelah peperangan yang sengit dan memakan banyak korban jiwa, akhirnya Kerajaan Ambarata dan Kerajaan Prabangkara berhasil mengalahkan Kerajaan Artana.

Maharaja Dhidaka bersama para pengikutnya yang kian terdesak, memilih untuk mengakhiri nyawanya daripada harus menyerah kepada Kerajaan Ambarata dan Kerajaan Prabangkara. Sejak saat itu, Kerajaan Arnata dengan segala kejayaan serta kemegahannya terhapus dari sejarah umat manusia.

Meskipun Kerajaan Arnata berhasil dilenyapkan. Namun perdamaian masih sangat jauh dari daratan utama, kedua kerajaan saling memperebutkan wilayah bekas kekuasaan Arnata, sehingga perang antara Kerajaan Ambarata dan Kerajaan Prabangkara tak terelakkan. Perang yang terus terjadi hingga saat ini.

****

Beberapa tahun berselang, di dalam Hutan Wahita yang berada beberapa kilometer di luar tembok Kerajaan Prabangkara. Pasukan Satyawira yang merupakan pasukan khusus Kerajaan Prabangkara, terlihat sedang menunggang kuda dengan sangat cepat.

“Semuanya bersiap. Tugas kita hanya satu, tangkap para tilik sandi itu hidup atau mati,” seru Senopati Pasukan Satyawira sambil terus memacu kuda tunggangannya.

“Target terlihat Senopati,” ucap salah satu pasukan.

“Berpencar menjadi tiga regu. Aditara, Galisaka kalian berdua ikut aku, kita akan menyerang mereka secara langsung. Ekawira, Dutasena kalian pimpin pasukan untuk membentuk barikade, agar dapat membatasi pergerakan mereka,” perintah Sang Senopati Pasukan Satyawira dengan lugas.

“Daulat Senopati,” jawab para anggota Pasukan Satyawira dengan serempak.

Nama Senopati itu adalah Jatiraga. Seorang Senopati yang disegani di seluruh Kerajaan Prabangkara serta merupakan pendekar dengan ilmu silat serta ilmu kanuragan sangat tinggi. Konon kemampuannya setara dengan seluruh Pasukan Satyawira.

Tak lama seluruh anggota Pasukan Satyawira telah berada di posisinya masing-masing sesuai dengan arahan Jatiraga.

“Kakang, mengapa untuk menangkap beberapa tilik sandi harus mengerahkan Pasukan Satyawira, bukankah terlalu berlebihan?” tanya Aditara yang merupakan anggota termuda dari Pasukan Satyawira serta adik seperguruan dari Jatiraga.

“Mereka bukanlah tilik sandi biasa Aditara. Sewaktu melarikan diri, mereka telah membunuh komandan Pasukan Bindiwala dan beberapa anggotanya,” urai Jatiraga sambil terus memacu kuda tunggangannya.

“Begitu rupanya, membunuh komandan Pasukan Bindiwala yang memiliki ilmu silat tinggi. Tak diragukan lagi mereka sangat sesuai untuk mencoba jurus tombak langitku,” ucap Aditara bersemangat sambil tersenyum.

“Jangan gegabah Aditara, kita tidak mengetahui seberapa besar kekuatan para tilik sandi itu, jadi tetap fokus pada tujuan kita,” tegur Jatiraga sambil tetap memacu kuda tunggangannya.

“Apa yang dikatakan Senopati betul Aditara, lagipula bila sesuatu terjadi padamu pasti kakakmu, Adipati Argarota akan memberikan hukuman yang berat pada Senopati Jatiraga,” tambah Galisaka dengan nada menyindir.

Mendengar ucapan Jatiraga dan Galisaka, Aditara terdiam sejenak. “Baiklah… baiklah… aku mengerti,” ucap Aditara patuh.

Beberapa saat kemudian mereka berhasil memangkas jarak dengan para tilik sandi yang melarikan diri.

“Itu mereka Kakang,” ucap Aditara

“Baiklah, Galisaka gunakan panah seribu bintang sekarang,” perintah Jatiraga sambil mempercepat laju kuda tunggangannya.

“Daulat Senopati,” jawab Galisaka sebelum mengarahkan busurnya keatas kemudian menarik anak panahnya.

“Panah Seribu Bintang,” Galisaka melepaskan anak panahnya ke angkasa.

Tak beberapa lama ribuan anak panah turun dari langit layaknya hujan, anak panah tersebut tepat mengarah kepada ketiga tilik sandi yang tengah memacu kuda tunggangannya.

“Aditara giliranmu,” seru Jatiraga

Aditara mengangguk tanda mengerti, lalu ia ambil tombaknya dan melemparkan kearah para tilik sandi tersebut.

“Tombak Aji Bumi,” ucap Aditara dengan lantang

Tombak yang dilemparkan melesat cepat kearah para tilik sandi dan mendarat tepat di depan mereka, kemudian menimbulkan getaran yang sangat hebat hingga membuat tanah terbelah.

Hal itu mengejutkan kuda tunggangan para tilik sandi, sehingga langsung menghentikan lajunya. Tak lama berselang, jurus panah seribu bintang milik Galisaka langsung menghujam deras dari langit, menyebabkan dua tilik sandi terluka parah dan tewas ditempat. Namun entah bagaimana caranya, salah satu tilik sandi berhasil selamat dari serangan tersebut.

Jatiraga yang mengetahui siapa tilik sandi itu, langsung melompat dari kuda tunggangannya menggunakan ilmu meringankan tubuh, secepat kilat ia langsung melesat kearah tilik sandi itu.

Dalam sekejab mata, Sang Senopati sudah berhadapan langsung dengan tilik sandi itu, diikuti dengan Galisaka dan Aditara yang datang beberapa saat kemudian dengan kuda tunggangan mereka.

“Aku tak mengira Kerajaan Ambarata begitu rendah hingga mengirimkan salah satu Senopati terbaiknya hanya untuk memata-matai kami,” ujar Jatiraga dengan satir kepada tilik didepannya.

“Hahaha… kau sungguh lucu Jatiraga, bukankah itu berlaku sebaliknya dengan Kerajaan Prabangkara yang mengirimkan Pasukan Satyawira yang terkenal sangat kuat hanya untuk mengejar kami yang kau bilang rendah,” jawab tilik santi itu sambil tertawa sinis.

“Aku sangat tersanjung atas pujianmu Degasoka, karena itu akan kubiarkan kau hidup jika kau menyerahkan diri. Namun jika melawan, akan kucabut nyawamu saat ini juga,” kata Jatiraga dengan lugas sambil mencabut pedang dari sarungnya.

“Membunuhku, kau memang sangat lucu Jatiraga. Aku tak menyangka pemimpin Pasukan Satyawira seorang yang memiliki selera humor yang tinggi,” ucap Degasoka sambil tersenyum.

"Jaga mulutmu Degasoka, untuk membunuhmu tak perlu Kakang Jatiraga turun tangan. Cukup aku Aditara yang akan mengantarkan kematian padamu." Tiba-tiba Aditara melompat dari kudanya sambil mengeluarkan jurusnya. Membuat tombak yang sebelumnya tertancap segera kembali ke genggamannya.

"Baiklah bocah, aku akan sedikit ‘bermain-main’ denganmu." Degasoka tersenyum mencibir,  kemudian ia memasang kuda-kuda bersiap menerima serangan Aditara.

"Kurang ajar, akan aku tutup mulut besarmu itu." Termakan provokasi, Aditara langsung menyerang dengan sekuat tenaga.

Aditara menghunuskan tombaknya ke arah Degasoka, sambil mengeluarkan aura membunuh.

"Jurus tombak langit." Aditara menerjang cepat ke arah Degasoka.

Degasoka tampak tenang menghadapi serangan mematikan Aditara. Dia mencabut pedangnya, lalu dengan mudah menangkis jurus tombak Aditara.

Sedikit menggerakkan tubuhnya, Degasoka membalas dengan pukulan telak di dada Aditara. Membuat tubuh prajurit muda itu terhempas cukup jauh kemudian tersungkur di tanah.

"Pedang Pencabut Sukma." Degasoka melesat cepat sambil mengayunkan pedang ke arah Aditara yang tak berdaya.

Tetapi jurus pedang dari Degasoka dengan cepat ditangkis oleh Jatiraga sebelum sempat mengenai Aditara. Merasakan Aura Membunuh yang dikeluarkan oleh Jatiraga, Degasoka memilih untuk menjauh beberapa hasta.

"Bukankah kau tadi hanya mau ‘bermain-main’ dengannya Degasoka. Lagipula tak elok menyerang orang yang sedang terluka," ujar Jatiraga sambil menyarungkan pedangnya.

"Senopati," ucap Galisaka sembari menghampiri Jatiraga.

"Galisaka segera periksa keadaan Aditara," perintah Jatiraga sambil menoleh ke arah Galisaka.

"Baik Senopati," jawab Galisaka sebelum ia menuju ke tempat Aditara yang sedang tak sadarkan diri.

Sementara itu Degasoka yang sempat dikejutkan dengan dengan serangan cepat Jatiraga, kembali mengangkat pedangnya.

"Hahaha, kau sungguh munafik Jatiraga, bukankah lebih tak pantas bagi seorang pendekar ikut campur dalam pertarungan pendekar lain," ucap Degasoka sambil tersenyum sinis.

"Maafkan kelancanganku Degasoka. Tetapi aku tak menyangka serangan kecilku tadi dapat membuatmu ketakutan," cibir Jatiraga bermaksud mengalihkan perhatian Degasoka.

"Ketakutan katamu akan kutunjukkan apa itu ketakutan." Degasoka Kembali mengayunkan pedangnya, kali ini aura yang mengerikan terpancar dari tubuhnya.

Melihat hal tersebut, raut serius mulai tersirat di wajah Jatiraga, “Bagaimana keadaan Aditara?” Menatap Galisaka.

“Sangat buruk Senopati, beruntung serangan tadi tidak melukai organ vitalnya. Saya akan mencoba mengalirkan tenaga dalam untuk mengembalikan kesadarannya,” jelas Galisaka.

“Lakukan yang terbaik Galisaka, aku akan mengatasi Degasoka.” Jatiraga memasang kuda-kuda sesaat setelah selesai berkata kepada Galisaka.

“Galisaka saat aku berikan isyarat segera perintahkan regu pendukung untuk membuat formasi Kunjara Api,” jelas Jatiraga sebelum mengeluarkan aura membunuh yang sangat mengerikan dari tubuhnya.

“Ba… baik Senopati,” jawab Galisaka terbata, hal tersebut sangatlah wajar karena aura membunuh yang keluar dari tubuh Jatiraga dapat membuat siapa pun didekatnya ketakutan.

Galisaka tak menyangka Jatiraga akan seserius itu menghadapi Degasoka.

Bab terkait

  • Ksatria Prabangkara   Bab 2. Kunjara Api

    "Hahaha… Akhirnya kau menunjukkan kekuatan aslimu Jatiraga," ucap Degasoka sambil memasang kuda-kuda menyerang, "Itu akan membuat membunuhmu jadi sangat menyenangkan," lanjutnya. "Tidak jika aku yang membunuhmu lebih dulu," sahut Jatiraga sambil mengangkat pedangnya. "Dalam mimpimu Jatiraga." Degasoka sambil melesat sangat cepat ke tempat Jatiraga berdiri. "Jurus Kilat Maut." Degasoka tiba-tiba menghilang dari pandangan Jatiraga. "Ilmu yang mengesankan Degasoka. Tetapi itu hanya mainan untuk ‘anak-anak’," Gumam Jatiraga sambil tetap memperhatikan sekelilingnya "Jurus Tebasan Langit." Tanpa berpikir panjang, Jatiraga mengayunkan pedangnya ke arah atas. "DUUAAAARRR." Kedua pedang para Senopati terbaik itu pun kini beradu, menimbulkan gelombang suara yang dahsyat. Kini Jatiraga mendapat kesempatan menyerang Degasoka, tanp

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-11
  • Ksatria Prabangkara   Bab 3. Garhupiksa

    Pasukan Satyawira akhirnya tiba di Kithara melalui gerbang utara. Kithara merupakan kota penting bagi Kerajaan Prabangkara, karena menjadi garis depan pertahanan kerajaan. Oleh karena itu, Maha Patih Dalengga sengaja menempatkan Pasukan Satyawira di kota tersebut guna menghalau serangan dari Kerajaan Ambarata serta menjaga keamanan Kithara. Kembali ke Pasukan Satyawira yang baru saja memasuki Kithara. Tanpa mengulur waktu, Jatiraga langsung memerintahkan membawa Degasoka ke Garhupiksa yang merupakan tempat interogasi dan pemeriksaan tahanan. "Galisaka segera temui Empu Among Jiwa untuk memeriksa keadaan Aditara," perintah Jatiraga kepada Galisaka. "Daulat Senopati." Galisaka langsung menuju tempat Empu Among Jiwa yang berada di sebelah barat kota. Sedangkan Jatiraga tetap berkuda menuju Garhupiksa. "Ekawira, bawa Degasoka ke dalam ruang pemeriksaan, akan aku buat ia men

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-11
  • Ksatria Prabangkara   Bab 4. Kedhaton Madyantara

    Sesampainya di Kedhaton Madyantara, Dutasena segera menuju Pendopo Kertaraja yang berlokasi di tengah-tengah kompleks Kedhaton. “Mohon Ampun Gusti Adipati, hamba Dutasena dari Pasukan Satyawira mohon ijin untuk menghadap.” Dutasena berjongkok menunduk tepat di depan pintu masuk pendopo kertaraja. “Bangun dan kemarilah Dutasena, mengapa engkau yang menghadap, dimana Jatiraga?” tanya seseorang yang duduk di kursi berukir burung rajawali yang berlapiskan emas. Suara yang penuh akan wibawa tersebut kini memandang Dutasena dengan penuh tanya. Ia adalah Argarota. Adipati yang diberikan mandat oleh Maha Patih Dalengga untuk memimpin Kithara. Mematuhi perintah Argarota, Dutasena segera bangkit berdiri selanjutnya berjalan perlahan memasuki Pendopo Kertaraja sambil menundukkan kepalanya. Begitu sampai ditengah-tengah pendopo, ia kembali mengambil posisi berjongkok menunduk, “Mohon ampun Gusti Ad

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-11
  • Ksatria Prabangkara   Bab 5. Serangan Tamu Misterius

    “Jurus Tapak Nirdaya diciptakan oleh Ki Jagat Sukma, pemimpin Perguruan Ekor Naga Emas puluhan tahun yang lalu. Saat itu, Perguruan Ekor Naga Emas merupakan salah satu perguruan silat yang paling disegani di daratan utama. Karena disamping menghasilkan para pendekar-pendekar hebat, perguruan tersebut juga mendapatkan dukungan penuh dari Kerajaan Arnata…” Belum sempat Empu Among Jiwa melanjutkan kata-katanya, Galisaka dengan tergesa memotong penjelasan Empu Among Jiwa. “Kerajaan Arnata..., bukankah kerajaan tersebut telah hancur puluhan tahun yang lalu Empu,” sahut Galisaka dengan raut wajah penuh keterkejutan. Melihat ekspresi terkejut dan penasaran yang ditunjukkan oleh Galisaka, Empu Among Jiwa hanya dapat tersenyum lebar, “Hahaha… kau mengingatkan pada masa mudaku Galisaka, penuh dengan semangat yang menggebu-gebu,” ucap Empu Among Jiwa sambil tertawa terbahak-bahak. “Mohon maaf Empu, moho

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-11
  • Ksatria Prabangkara   Bab 6. Peperangan di Gerbang Selatan

    Di Kedhaton Madyantara, Adipati Argarota telah mengenakan pakaian perang lengkap dengan keris yang tersemat di pinggangnya. Kemudian dengan langkah tegap ia berjalan menuju Kaputren Rajani berniat untuk menjumpai istrinya. Namun Dewi Widia Ayu, istri dari Adipati Argarota sedang bermain kecapi di Bale Bengong yang berada di taman kaputren. Mengetahui istri tercintanya sedang hanyut dalam permainan kecapi, Adipati Argarota melarang para dayang mengumumkan kedatangan dirinya dan memutuskan untuk sejenak menikmati alunan irama kecapi yang dimainkan oleh Dewi Widia Ayu. Beberapa saat kemudian Dewi Widia Ayu telah menyelesaikan permainan kecapinya. Akan tetapi begitu membuka matanya yang sedari tadi terpejam, Sang Ratu merasa heran karena melihat para dayang sedang berdiri mematung sambil menundu

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-11
  • Ksatria Prabangkara   Bab 7. Kemenangan yang Aneh

    Meskipun serangan pasukan pemanah telah menghabisi banyak Pasukan Kerajaan Ambarata. Tetapi hal itu tidaklah menghentikan mereka untuk terus mendekati gerbang selatan kota. “Persiapkan Pasukan Pedang,” perintah Adipati Argarota. Dutasena kembali memberikan isyarat untuk menyiapkan Pasukan Pedang, mendapati isyarat dari Dutasena, Pasukan Pedang segera bersiap mengatur formasinya. Pasukan Pedang merupakan satuan pasukan dari Kerajaan Prabangkara yang dibentuk khusus oleh Adipati Argarota. Walaupun secara kekuatan pasukan tersebut masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Pasukan Bindiwala ataupun Pasukan Satyawira. Namun Pasukan Pedang memiliki kelebihan bila menghadapi pertarungan jarak dekat, karena mereka memiliki senjata andalan yaitu Pedang Sarala.

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-11
  • Ksatria Prabangkara   Bab 8. Pesan Empu Among Jiwa

    Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Galisaka yang diminta oleh Empu Among Jiwa menyampaikan pesan kepada Senopati Jatiraga di gerbang selatan memacu kuda tunggangannya dengan kencang. Namun perjalanan Galisaka harus terhalang oleh iring-iringan Pasukan Bindiwala yang menuju gerbang utara.“Minggir...! Minggir...! Beri jalan...!” teriak beberapa prajurit berkuda. Bersamaan dengan melintasnya Pasukan Bindiwala membawa perisai dan senjata tombak andalan mereka.“Ada apa ini, mengapa Pasukan Bindiwala bergerak menuju gerbang utara?” gumam Galisaka dengan raut kegelisahan terukir diwajahnya.Kegelisahan yang dirasakan oleh Galisaka sangatlah wajar melihat

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-11
  • Ksatria Prabangkara   Bab 9. Serangan di Garhupiksa

    Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Di sebuah gubuk tua, di sebelah timur dari alun-alun Kithara, seorang lelaki tua mengenakan jubah hitam panjang dan longgar dengan seluruh rambut dan kumisnya yang telah memutih sedang sibuk meramu obat dari berbagai macam herbal.Setelah menuangkan ramuan obat yang telah masak ke dalam mangkuk kecil, sambil membawa ramuan obat, lelaki tua itu berjalan perlahan mendekati seorang gadis muda yang sedang terbaring di dipan. “Ramuan obat ini akan mengembalikan tenaga dalammu dengan cepat, minumlah,” ucap lelaki tua itu sambil menyerahkan mangkuk yang berisi ramuan obat kepada gadis muda itu.“Baik guru,” jawab gadis muda patuh seraya menga

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-11

Bab terbaru

  • Ksatria Prabangkara   Bab 14. Pembunuh di Kedhaton Madyantara bagian 2

    “Hyaatt…!”Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya yang tersisa, Dirandra melancarkan serangan. Sementara itu, Arya Mandala tidak tampak gentar menghadapi komandan pasukan penjaga kedhaton itu.Serangan demi serangan maut mengalir deras dari kedua pesilat tangguh itu, layaknya gelombang ombak di lautan ganas, menjadikan pertarungan semakin mematikanSetelah melewati beberapa jurus mematikan, Arya Mandala melihat sebuah peluang emas. Tanpa pikir panjang, sebuah pukulan telah langsung disarangkan ke tubuh Dirandra.“Hugh…!”Tubuh Dirandra terpental beberapa hasta setelah sebelumnya memuntahkan darah segar, pukulan Arya Mandala sangatlah mematikan hingga membuat pakaian pelindung yang dikenakan oleh komandan pasukan kedhaton itu hancur seperti terbakar.“Tamat riwayatmu,...!”Tanpa memberi kesempatan kepada lawannya untuk bangkit, Arya Mandala segera melancarkan serangan pamungkasnya untuk menghabisi nyawa Dirandra. Dirandra hanya dapat berdiri terpaku di depan Arya Mandala, siap menyam

  • Ksatria Prabangkara   Bab 13. Pembunuh di Kedhaton Madyantara Bagian 1

    Dewi Widia Ayu sedang duduk termenung di Taman Agung Kedhaton ketika seorang perempuan muda yang merupakan salah satu dayang kedhaton berlari menghampirinya.“Mohon ampun Gusti Ayu, maafkan hamba telah mengganggu waktu anda. Tetapi ada hal penting yang harus hamba sampaikan kepada Gusti Ayu segera,” tutur dayang tersebut dengan nafas terengah-engah.Seketika Dewi Widia Ayu tersadar dari lamunannya, kemudian berjalan ke arah dayang tadi. “Mengapa kau nampak gusar sekali, memang ada kejadian apa?” Dewi Widia Ayu bertanya dengan nada lembut.“Mohon izin Gusti Ayu, baru saja hamba mendapatkan informasi dari pasukan penjaga kedhaton, bahwa ada seorang pendekar sakti yang sedang mengamuk di alun-alun kota. Dari kabar yang hamba dengar, pendekar sakti tersebut telah mengalahkan seluruh pasukan penjaga kota yang bertugas di alun-alun,” tutur dayang tersebut sambil menundukkan kepalanya.“Apa katamu? lalu bagaimana dengan penduduk kota?” tanya Dewi Widia Ayu dengan ekspresi kegelisahan terluki

  • Ksatria Prabangkara   Bab 12. Kekacauan di Kithara

    Setelah berhasil membunuh Degasoka, Sima segera memberikan tanda kepada Ki Mahesa dengan menyalakan kembang api berwarna hitam ke angkasa.Selepas itu, ia pergi menemui Kebo Sita yang sedang menghadapi pasukan penjaga di halaman tengah. Namun ketika ia tiba disana, sebuah kengerian terpampang nyata dihadapannya. Mayat para prajurit penjaga bertebaran dimana-mana, darah merah segar membanjiri tanah. Sementara di sudut lain terlihat Kebo Sita sedang memukuli seorang penjaga yang sudah tak bernyawa.“Cukup Kebo Sita, ia sudah tidak bernyawa,” bentak Sima kepada Kebo Sita.Mendengar teriakan Sima yang menggelegar, sontak Kebo Sita berhenti memukuli mayat penjaga malang itu, kemudian melempar tubuh penjaga itu ke arah lain. “oh rupanya kau telah berhasil melaksanakan misimu,” jawab Kebo Sita dengan santai.“Bukankah yang kau lakukan ini sangat berlebihan Kebo Sita?” tanya Sima dengan geram. Meskipun Sima diasuh dan dilatih oleh Ki Mahesa sebagai seorang pembunuh keji. Namun tetap saja ia

  • Ksatria Prabangkara   Bab 11. Hilangnya Aditara

    Bersamaan dengan penyerangan Garhupiksa oleh Kebo Sita dan Sima. Di kediaman Empu Among Jiwa yang terletak sebelah utara dari Garhupiksa, sang empu terus berjaga guna mengantisipasi jika terdapat serangan dari tamu yang tidak diinginkan. “Krek…!” Tiba-tiba terdengar suara ranting patah seperti terinjak. Empu Among Jiwa dengan cepat membawa Aditara yang sedang tak sadarkan diri untuk keluar dari kediamannya. Apa yang dilakukan oleh Empu Among Jiwa sungguh sangat tepat, selang beberapa detik setelah ia meninggalkan kediamannya, tiba-tiba saja gumpalan bola api meluncur begitu cepat. Bola api itu langsung menghantam kediaman dari Empu Among Jiwa, lalu terdengar suara hantaman yang begitu keras disusul api yang langsung berkobar membakar habis kediaman dari Empu Among. Empu Among Jiwa berdiri dengan tegak dengan sorot mata yang tajam ke arah kediamannya yang tengah terlalap api sembari memperhatikan keadaan sekitar. Setelah memastikan bahwa keadaan aman sang empu merebahkan tubuh Adita

  • Ksatria Prabangkara   Bab 10. Terbunuhnya Degasoka

    Berkat serangan membabi buta Kebo Sita di Garhupiksa membuat Sima dengan mudah menyusup ke dalam penjara bawah tanah tempat Degasoka ditahan.“Siapa disana?” tanya prajurit yang menjaga salah satu ruang penjara begitu melihat Sima mendekatinya.Tidak menggubris pertanyaan prajurit tersebut, Sima langsung menyerang beberapa prajurit yang berjaga di depan ruangan itu, secepat kilat ia meraih leher salah seorang prajurit, lalu dengan sedikit gerakan pendekar wanita itu mematahkan leher prajurit malang itu hingga akhirnya tewas.Hampir dengan cara yang sama, Sima mengulangi serangannya tadi kepada para prajurit yang lain, hingga seluruh prajurit penjaga tewas mengenaskan di tangannya.Kemudian ia mengambil kunci dari salah satu mayat prajurit yang tergeletak dan segera membuka ruang tahanan tempat Degasoka ditahan.“Kupikir ada keributan apa di luar sana, ternyata itu semua ulahmu adik seperguruanku,” ucap Degasoka begitu Sima membuka pintu ruang tahanan.“Melihat keadaanmu sekarang tidak

  • Ksatria Prabangkara   Bab 9. Serangan di Garhupiksa

    Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Di sebuah gubuk tua, di sebelah timur dari alun-alun Kithara, seorang lelaki tua mengenakan jubah hitam panjang dan longgar dengan seluruh rambut dan kumisnya yang telah memutih sedang sibuk meramu obat dari berbagai macam herbal.Setelah menuangkan ramuan obat yang telah masak ke dalam mangkuk kecil, sambil membawa ramuan obat, lelaki tua itu berjalan perlahan mendekati seorang gadis muda yang sedang terbaring di dipan. “Ramuan obat ini akan mengembalikan tenaga dalammu dengan cepat, minumlah,” ucap lelaki tua itu sambil menyerahkan mangkuk yang berisi ramuan obat kepada gadis muda itu.“Baik guru,” jawab gadis muda patuh seraya menga

  • Ksatria Prabangkara   Bab 8. Pesan Empu Among Jiwa

    Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Galisaka yang diminta oleh Empu Among Jiwa menyampaikan pesan kepada Senopati Jatiraga di gerbang selatan memacu kuda tunggangannya dengan kencang. Namun perjalanan Galisaka harus terhalang oleh iring-iringan Pasukan Bindiwala yang menuju gerbang utara.“Minggir...! Minggir...! Beri jalan...!” teriak beberapa prajurit berkuda. Bersamaan dengan melintasnya Pasukan Bindiwala membawa perisai dan senjata tombak andalan mereka.“Ada apa ini, mengapa Pasukan Bindiwala bergerak menuju gerbang utara?” gumam Galisaka dengan raut kegelisahan terukir diwajahnya.Kegelisahan yang dirasakan oleh Galisaka sangatlah wajar melihat

  • Ksatria Prabangkara   Bab 7. Kemenangan yang Aneh

    Meskipun serangan pasukan pemanah telah menghabisi banyak Pasukan Kerajaan Ambarata. Tetapi hal itu tidaklah menghentikan mereka untuk terus mendekati gerbang selatan kota. “Persiapkan Pasukan Pedang,” perintah Adipati Argarota. Dutasena kembali memberikan isyarat untuk menyiapkan Pasukan Pedang, mendapati isyarat dari Dutasena, Pasukan Pedang segera bersiap mengatur formasinya. Pasukan Pedang merupakan satuan pasukan dari Kerajaan Prabangkara yang dibentuk khusus oleh Adipati Argarota. Walaupun secara kekuatan pasukan tersebut masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Pasukan Bindiwala ataupun Pasukan Satyawira. Namun Pasukan Pedang memiliki kelebihan bila menghadapi pertarungan jarak dekat, karena mereka memiliki senjata andalan yaitu Pedang Sarala.

  • Ksatria Prabangkara   Bab 6. Peperangan di Gerbang Selatan

    Di Kedhaton Madyantara, Adipati Argarota telah mengenakan pakaian perang lengkap dengan keris yang tersemat di pinggangnya. Kemudian dengan langkah tegap ia berjalan menuju Kaputren Rajani berniat untuk menjumpai istrinya. Namun Dewi Widia Ayu, istri dari Adipati Argarota sedang bermain kecapi di Bale Bengong yang berada di taman kaputren. Mengetahui istri tercintanya sedang hanyut dalam permainan kecapi, Adipati Argarota melarang para dayang mengumumkan kedatangan dirinya dan memutuskan untuk sejenak menikmati alunan irama kecapi yang dimainkan oleh Dewi Widia Ayu. Beberapa saat kemudian Dewi Widia Ayu telah menyelesaikan permainan kecapinya. Akan tetapi begitu membuka matanya yang sedari tadi terpejam, Sang Ratu merasa heran karena melihat para dayang sedang berdiri mematung sambil menundu

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status