Sesampainya di Kedhaton Madyantara, Dutasena segera menuju Pendopo Kertaraja yang berlokasi di tengah-tengah kompleks Kedhaton.
“Mohon Ampun Gusti Adipati, hamba Dutasena dari Pasukan Satyawira mohon ijin untuk menghadap.” Dutasena berjongkok menunduk tepat di depan pintu masuk pendopo kertaraja.
“Bangun dan kemarilah Dutasena, mengapa engkau yang menghadap, dimana Jatiraga?” tanya seseorang yang duduk di kursi berukir burung rajawali yang berlapiskan emas.
Suara yang penuh akan wibawa tersebut kini memandang Dutasena dengan penuh tanya. Ia adalah Argarota. Adipati yang diberikan mandat oleh Maha Patih Dalengga untuk memimpin Kithara.
Mematuhi perintah Argarota, Dutasena segera bangkit berdiri selanjutnya berjalan perlahan memasuki Pendopo Kertaraja sambil menundukkan kepalanya. Begitu sampai ditengah-tengah pendopo, ia kembali mengambil posisi berjongkok menunduk, “Mohon ampun Gusti Adipati. Senopati Jatiraga memerintahkan hamba untuk menyampaikan pesan kepada Gusti Adipati bahwa pasukan Kerajaan Ambarata mulai bergerak menuju kota dari arah selatan,” ucap Dutasena dengan penuh nada penghormatan.
Argarota sangat terkejut mendengar kabar dari Dutasena. Namun dengan cepat ia dapat menguasai dirinya dan mulai berpikir sejenak.
Tidak mengherankan jika Argarota begitu terkejut. Karena seperti yang telah diketahui, Kithara merupakan tapal batas Kerajaan Prabangkara. Sedangkan Anbawa yang merupakan ibu kota Kerajaan Prabangkara berada disebelah selatan.
Disamping itu, Kerajaan Prabangkara telah lama membangun tembok pertahanan yang kokoh dan membentang dari ujung pantai timur sampai ujung pantai barat dengan Kithara sebagai titik tengahnya. Tembok pertahanan tersebut juga selalu dijaga oleh pasukan yang selalu siaga setiap harinya, sehingga hampir mustahil untuk tertembus pasukan manapun.
Sehingga kabar serangan Ambarata dari arah selatan kota, apa lagi kabar tersebut berasal dari Pasukan Satyawira yang merupakan pasukan elit di Kerajaan Prabangkara, merupakan pukulan telak bagi Argarota. Karena ia merasa gagal menunaikan tugas yang telah diberikan Mahapatih Dalengga kepadanya.
“Lalu bagaimana dengan Shawna, Galungga, Dridasa dan Kartara yang berada di sebelah selatan?” Argarota bertanya dengan penuh kekhawatiran.
“Mohon ampun Adipati, hingga saat ini kami tidak mengetahui bagaimana nasib kota-kota tersebut,” jawab Dutasena masih tidak beranjak dari posisinya.
Sejenak Argarota memejamkan matanya, dengan sedikitnya informasi yang ia ketahui tentang serangan ini, serta bagaimana situasi ibu kota, jelas sangat menyulitkan bagi dirinya untuk mengambil keputusan. Sehingga dia harus sangat berhati-hati dalam mengambil langkah selanjutnya.
"Baiklah, kerahkan seluruh pasukan untuk 'menyambut' pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan. Namun perintahkan sebagian pasukan untuk menjaga gerbang utara, kita akan berperang untuk mempertahankan kota sampai titik darah penghabisan." Suara Argarota meninggi membuat Dutasena sedikit terkejut.
"Mohon ampun Gusti, hamba diperintahkan oleh Senopati Jatiraga untuk meminta Gusti Adipati tetap berada di Kedhaton Madyantara selama serangan berlangsung. Semua demi keselamatan Gusti Adipati." Dutasena memberanikan diri memotong perkataan Argarota.
"Aku tahu Jatiraga mengkhawatirkan keselamatanku. Tetapi pantang bagiku, Argarota, Pemimpin Kota Kithara untuk berdiam diri. Sedangkan para prajurit terbaikku bertarung mempertaruhkan nyawanya di medan perang demi melindungi Kithara. Jadi aku akan turut serta dalam peperangan ini, tidak akan kubiarkan kota ini jatuh ke tangan mereka." Argarota memandang Dutasena yang kini mematung.
“Daulat Gusti Adipati,” jawab Dutasena sambil tetap tak beranjak dari posisinya.
“Kau tunggu di luar Kedhaton Madyantara, aku akan mempersiapkan diri untuk menghadapi pertempuran ini,” perintah Argarota, sebelum pergi meninggalkan Pendopo Kertaraja.
“Daulat Gusti Adipati,” jawab Dutasena, tak lama kemudian meninggalkan Pendopo Kertaraja sesaat setelah Argarota pergi.
Sementara itu, di kediaman Empu Among Jiwa yang terletak sebelah barat dari Kedhaton Madyantara, Aditara tengah mendapat perawatan dari Empu Among Jiwa.
“Bagaimana Empu, apakah kondisi Aditara baik-baik saja?” Galisaka bertanya dengan nada cemas.
“Kondisi tubuhnya sudah stabil, aliran tenaga dalamnya pun sudah kembali normal. Menurut perhitunganku ia akan pulih dalam beberapa hari,” jawab Empu Among Jiwa sambil tersenyum.
“Syukurlah, terima kasih banyak Empu,” ucap Galisaka dengan nada berterima kasih.
“Tak perlu sungkan seperti itu, lagipula sudah menjadi tugasku untuk mengobati orang sakit,” kata Empu Among Jiwa sambil tersenyum menatap Galisaka.
“Anda terlalu merendah Empu. Tetapi ada sesuatu yang ingin saya tanyakan kepada Empu. Aditara hanya menerima satu pukulan dari Degasoka, bagaimana bisa itu mengacaukan seluruh aliran tenaga dalamnya. Sedangkan organ vitalnya tidak berpengaruh sama sekali?” tanya Galisaka penasaran.
“Hmm... dilihat dari kondisi tubuhnya dan berdasarkan ceritamu tadi, bisa dipastikan Aditara terkena Jurus Tapak Nirdaya,” jawab Empu Among Jiwa dengan menunjukkan ekspresi ketakutan diwajahnya.
“Jurus Tapak Nirdaya, saya tidak pernah mendengar jurus itu Empu, bisakah Empu memberikan penjelasan?” Galisaka meminta dengan sopan kepada Empu Among Jiwa.
Galisaka menyadari perubahan raut wajah Empu Among Jiwa dan itu mengisyaratkan bahwa Jurus Tapak Nirdaya bukanlah jurus sembarangan, ia berpikir akan lebih menguntungkan bagi dirinya untuk mengetahui perihal jurus tersebut.
“Jurus Tapak Nirdaya adalah salah satu jurus mematikan dalam dunia persilatan, dampak yang disebabkan dari jurus itu amatlah menakutkan. Karena begitu seseorang terkena jurus itu, seluruh aliran tenaga dalamnya akan kacau, sehingga akan menimbulkan kerusakan yang parah pada energi kehidupannya. Namun jurus ini tidak akan berdampak pada organ vital korbannya, sehingga akan menyulitkan bagi tabib biasa untuk menyembuhkannya,” jelas Empu Among Jiwa.
“Dalam kasus Aditara, keputusanmu untuk menutup sementara aliran tenaga dalamnya sudah sangat tepat, karena mengurangi kerusakan yang lebih parah pada energi kehidupannya,” lanjut Empu Among Jiwa sambil menatap Aditara.
“Jadi seperti itu, mohon ampun Empu, bila dilihat dari dampak yang ditimbulkan oleh jurus itu, bukankah jauh lebih mematikan formasi Kunjara Api dan Pusaka Besta Panca Jiwa. Namun mengapa ekspresi Empu sangatlah berbeda?” Galisaka memberanikan diri untuk menanyakan hal itu kepada Empu Among Jiwa.
Mendengar pertanyaan dari Galisaka, Empu Among Jiwa hanya tersenyum kecil, “Kau sungguh pandai Galisaka, tak mengherankan Jatiraga mengangkatmu sebagai salah satu wakil senopati di Pasukan Satyawira,” jawab Empu Among Jiwa sambil tersenyum tipis seraya menatap Galisaka.
“Saya sangat menyesal Empu, mohon maaf jika perkataan saya tadi telah menyinggung Empu,” ucap Galisaka dengan penuh penyesalan sambil perlahan mulai membungkuk.
Namun, sebelum Galisaka benar-benar membungkuk, ia dihentikan oleh Empu Among Jiwa.
“Tak perlu meminta maaf Galisaka, lagipula apa yang kau katakan memang benar. Tetapi yang menjadi ketakutanku bukanlah akibat dari jurus itu, melainkan asal jurus itu,” jawab Empu Among Jiwa.
Jawaban dari Empu Among Jiwa jelas membuat rasa keingintahuan Galisaka akan Jurus Tapak Nirdaya semakin meningkat, karena sebagai anggota Pasukan Satyawira, sudahlah sangat lazim bagi dirinya untuk mengetahui berbagai jurus didunia persilatan. Namun baru kali ini ia mendengar jurus itu.
“Dapatkah Empu menjelaskan kepada saya, tentang asal muasal Jurus Tapak Nirdaya ini,” pinta Galisaka dengan nada yang penuh penghormatan.
“Baiklah akan aku jelaskan, mungkin ini akan berguna untukmu kelak,” jawab Empu Among Jiwa sambil mempersilahkan Galisaka untuk duduk di dipan yang berada di sudut ruangan.
“Jurus Tapak Nirdaya diciptakan oleh Ki Jagat Sukma, pemimpin Perguruan Ekor Naga Emas puluhan tahun yang lalu. Saat itu, Perguruan Ekor Naga Emas merupakan salah satu perguruan silat yang paling disegani di daratan utama. Karena disamping menghasilkan para pendekar-pendekar hebat, perguruan tersebut juga mendapatkan dukungan penuh dari Kerajaan Arnata…” Belum sempat Empu Among Jiwa melanjutkan kata-katanya, Galisaka dengan tergesa memotong penjelasan Empu Among Jiwa. “Kerajaan Arnata..., bukankah kerajaan tersebut telah hancur puluhan tahun yang lalu Empu,” sahut Galisaka dengan raut wajah penuh keterkejutan. Melihat ekspresi terkejut dan penasaran yang ditunjukkan oleh Galisaka, Empu Among Jiwa hanya dapat tersenyum lebar, “Hahaha… kau mengingatkan pada masa mudaku Galisaka, penuh dengan semangat yang menggebu-gebu,” ucap Empu Among Jiwa sambil tertawa terbahak-bahak. “Mohon maaf Empu, moho
Di Kedhaton Madyantara, Adipati Argarota telah mengenakan pakaian perang lengkap dengan keris yang tersemat di pinggangnya. Kemudian dengan langkah tegap ia berjalan menuju Kaputren Rajani berniat untuk menjumpai istrinya. Namun Dewi Widia Ayu, istri dari Adipati Argarota sedang bermain kecapi di Bale Bengong yang berada di taman kaputren. Mengetahui istri tercintanya sedang hanyut dalam permainan kecapi, Adipati Argarota melarang para dayang mengumumkan kedatangan dirinya dan memutuskan untuk sejenak menikmati alunan irama kecapi yang dimainkan oleh Dewi Widia Ayu. Beberapa saat kemudian Dewi Widia Ayu telah menyelesaikan permainan kecapinya. Akan tetapi begitu membuka matanya yang sedari tadi terpejam, Sang Ratu merasa heran karena melihat para dayang sedang berdiri mematung sambil menundu
Meskipun serangan pasukan pemanah telah menghabisi banyak Pasukan Kerajaan Ambarata. Tetapi hal itu tidaklah menghentikan mereka untuk terus mendekati gerbang selatan kota. “Persiapkan Pasukan Pedang,” perintah Adipati Argarota. Dutasena kembali memberikan isyarat untuk menyiapkan Pasukan Pedang, mendapati isyarat dari Dutasena, Pasukan Pedang segera bersiap mengatur formasinya. Pasukan Pedang merupakan satuan pasukan dari Kerajaan Prabangkara yang dibentuk khusus oleh Adipati Argarota. Walaupun secara kekuatan pasukan tersebut masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Pasukan Bindiwala ataupun Pasukan Satyawira. Namun Pasukan Pedang memiliki kelebihan bila menghadapi pertarungan jarak dekat, karena mereka memiliki senjata andalan yaitu Pedang Sarala.
Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Galisaka yang diminta oleh Empu Among Jiwa menyampaikan pesan kepada Senopati Jatiraga di gerbang selatan memacu kuda tunggangannya dengan kencang. Namun perjalanan Galisaka harus terhalang oleh iring-iringan Pasukan Bindiwala yang menuju gerbang utara.“Minggir...! Minggir...! Beri jalan...!” teriak beberapa prajurit berkuda. Bersamaan dengan melintasnya Pasukan Bindiwala membawa perisai dan senjata tombak andalan mereka.“Ada apa ini, mengapa Pasukan Bindiwala bergerak menuju gerbang utara?” gumam Galisaka dengan raut kegelisahan terukir diwajahnya.Kegelisahan yang dirasakan oleh Galisaka sangatlah wajar melihat
Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Di sebuah gubuk tua, di sebelah timur dari alun-alun Kithara, seorang lelaki tua mengenakan jubah hitam panjang dan longgar dengan seluruh rambut dan kumisnya yang telah memutih sedang sibuk meramu obat dari berbagai macam herbal.Setelah menuangkan ramuan obat yang telah masak ke dalam mangkuk kecil, sambil membawa ramuan obat, lelaki tua itu berjalan perlahan mendekati seorang gadis muda yang sedang terbaring di dipan. “Ramuan obat ini akan mengembalikan tenaga dalammu dengan cepat, minumlah,” ucap lelaki tua itu sambil menyerahkan mangkuk yang berisi ramuan obat kepada gadis muda itu.“Baik guru,” jawab gadis muda patuh seraya menga
Berkat serangan membabi buta Kebo Sita di Garhupiksa membuat Sima dengan mudah menyusup ke dalam penjara bawah tanah tempat Degasoka ditahan.“Siapa disana?” tanya prajurit yang menjaga salah satu ruang penjara begitu melihat Sima mendekatinya.Tidak menggubris pertanyaan prajurit tersebut, Sima langsung menyerang beberapa prajurit yang berjaga di depan ruangan itu, secepat kilat ia meraih leher salah seorang prajurit, lalu dengan sedikit gerakan pendekar wanita itu mematahkan leher prajurit malang itu hingga akhirnya tewas.Hampir dengan cara yang sama, Sima mengulangi serangannya tadi kepada para prajurit yang lain, hingga seluruh prajurit penjaga tewas mengenaskan di tangannya.Kemudian ia mengambil kunci dari salah satu mayat prajurit yang tergeletak dan segera membuka ruang tahanan tempat Degasoka ditahan.“Kupikir ada keributan apa di luar sana, ternyata itu semua ulahmu adik seperguruanku,” ucap Degasoka begitu Sima membuka pintu ruang tahanan.“Melihat keadaanmu sekarang tidak
Bersamaan dengan penyerangan Garhupiksa oleh Kebo Sita dan Sima. Di kediaman Empu Among Jiwa yang terletak sebelah utara dari Garhupiksa, sang empu terus berjaga guna mengantisipasi jika terdapat serangan dari tamu yang tidak diinginkan. “Krek…!” Tiba-tiba terdengar suara ranting patah seperti terinjak. Empu Among Jiwa dengan cepat membawa Aditara yang sedang tak sadarkan diri untuk keluar dari kediamannya. Apa yang dilakukan oleh Empu Among Jiwa sungguh sangat tepat, selang beberapa detik setelah ia meninggalkan kediamannya, tiba-tiba saja gumpalan bola api meluncur begitu cepat. Bola api itu langsung menghantam kediaman dari Empu Among Jiwa, lalu terdengar suara hantaman yang begitu keras disusul api yang langsung berkobar membakar habis kediaman dari Empu Among. Empu Among Jiwa berdiri dengan tegak dengan sorot mata yang tajam ke arah kediamannya yang tengah terlalap api sembari memperhatikan keadaan sekitar. Setelah memastikan bahwa keadaan aman sang empu merebahkan tubuh Adita
Setelah berhasil membunuh Degasoka, Sima segera memberikan tanda kepada Ki Mahesa dengan menyalakan kembang api berwarna hitam ke angkasa.Selepas itu, ia pergi menemui Kebo Sita yang sedang menghadapi pasukan penjaga di halaman tengah. Namun ketika ia tiba disana, sebuah kengerian terpampang nyata dihadapannya. Mayat para prajurit penjaga bertebaran dimana-mana, darah merah segar membanjiri tanah. Sementara di sudut lain terlihat Kebo Sita sedang memukuli seorang penjaga yang sudah tak bernyawa.“Cukup Kebo Sita, ia sudah tidak bernyawa,” bentak Sima kepada Kebo Sita.Mendengar teriakan Sima yang menggelegar, sontak Kebo Sita berhenti memukuli mayat penjaga malang itu, kemudian melempar tubuh penjaga itu ke arah lain. “oh rupanya kau telah berhasil melaksanakan misimu,” jawab Kebo Sita dengan santai.“Bukankah yang kau lakukan ini sangat berlebihan Kebo Sita?” tanya Sima dengan geram. Meskipun Sima diasuh dan dilatih oleh Ki Mahesa sebagai seorang pembunuh keji. Namun tetap saja ia
“Hyaatt…!”Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya yang tersisa, Dirandra melancarkan serangan. Sementara itu, Arya Mandala tidak tampak gentar menghadapi komandan pasukan penjaga kedhaton itu.Serangan demi serangan maut mengalir deras dari kedua pesilat tangguh itu, layaknya gelombang ombak di lautan ganas, menjadikan pertarungan semakin mematikanSetelah melewati beberapa jurus mematikan, Arya Mandala melihat sebuah peluang emas. Tanpa pikir panjang, sebuah pukulan telah langsung disarangkan ke tubuh Dirandra.“Hugh…!”Tubuh Dirandra terpental beberapa hasta setelah sebelumnya memuntahkan darah segar, pukulan Arya Mandala sangatlah mematikan hingga membuat pakaian pelindung yang dikenakan oleh komandan pasukan kedhaton itu hancur seperti terbakar.“Tamat riwayatmu,...!”Tanpa memberi kesempatan kepada lawannya untuk bangkit, Arya Mandala segera melancarkan serangan pamungkasnya untuk menghabisi nyawa Dirandra. Dirandra hanya dapat berdiri terpaku di depan Arya Mandala, siap menyam
Dewi Widia Ayu sedang duduk termenung di Taman Agung Kedhaton ketika seorang perempuan muda yang merupakan salah satu dayang kedhaton berlari menghampirinya.“Mohon ampun Gusti Ayu, maafkan hamba telah mengganggu waktu anda. Tetapi ada hal penting yang harus hamba sampaikan kepada Gusti Ayu segera,” tutur dayang tersebut dengan nafas terengah-engah.Seketika Dewi Widia Ayu tersadar dari lamunannya, kemudian berjalan ke arah dayang tadi. “Mengapa kau nampak gusar sekali, memang ada kejadian apa?” Dewi Widia Ayu bertanya dengan nada lembut.“Mohon izin Gusti Ayu, baru saja hamba mendapatkan informasi dari pasukan penjaga kedhaton, bahwa ada seorang pendekar sakti yang sedang mengamuk di alun-alun kota. Dari kabar yang hamba dengar, pendekar sakti tersebut telah mengalahkan seluruh pasukan penjaga kota yang bertugas di alun-alun,” tutur dayang tersebut sambil menundukkan kepalanya.“Apa katamu? lalu bagaimana dengan penduduk kota?” tanya Dewi Widia Ayu dengan ekspresi kegelisahan terluki
Setelah berhasil membunuh Degasoka, Sima segera memberikan tanda kepada Ki Mahesa dengan menyalakan kembang api berwarna hitam ke angkasa.Selepas itu, ia pergi menemui Kebo Sita yang sedang menghadapi pasukan penjaga di halaman tengah. Namun ketika ia tiba disana, sebuah kengerian terpampang nyata dihadapannya. Mayat para prajurit penjaga bertebaran dimana-mana, darah merah segar membanjiri tanah. Sementara di sudut lain terlihat Kebo Sita sedang memukuli seorang penjaga yang sudah tak bernyawa.“Cukup Kebo Sita, ia sudah tidak bernyawa,” bentak Sima kepada Kebo Sita.Mendengar teriakan Sima yang menggelegar, sontak Kebo Sita berhenti memukuli mayat penjaga malang itu, kemudian melempar tubuh penjaga itu ke arah lain. “oh rupanya kau telah berhasil melaksanakan misimu,” jawab Kebo Sita dengan santai.“Bukankah yang kau lakukan ini sangat berlebihan Kebo Sita?” tanya Sima dengan geram. Meskipun Sima diasuh dan dilatih oleh Ki Mahesa sebagai seorang pembunuh keji. Namun tetap saja ia
Bersamaan dengan penyerangan Garhupiksa oleh Kebo Sita dan Sima. Di kediaman Empu Among Jiwa yang terletak sebelah utara dari Garhupiksa, sang empu terus berjaga guna mengantisipasi jika terdapat serangan dari tamu yang tidak diinginkan. “Krek…!” Tiba-tiba terdengar suara ranting patah seperti terinjak. Empu Among Jiwa dengan cepat membawa Aditara yang sedang tak sadarkan diri untuk keluar dari kediamannya. Apa yang dilakukan oleh Empu Among Jiwa sungguh sangat tepat, selang beberapa detik setelah ia meninggalkan kediamannya, tiba-tiba saja gumpalan bola api meluncur begitu cepat. Bola api itu langsung menghantam kediaman dari Empu Among Jiwa, lalu terdengar suara hantaman yang begitu keras disusul api yang langsung berkobar membakar habis kediaman dari Empu Among. Empu Among Jiwa berdiri dengan tegak dengan sorot mata yang tajam ke arah kediamannya yang tengah terlalap api sembari memperhatikan keadaan sekitar. Setelah memastikan bahwa keadaan aman sang empu merebahkan tubuh Adita
Berkat serangan membabi buta Kebo Sita di Garhupiksa membuat Sima dengan mudah menyusup ke dalam penjara bawah tanah tempat Degasoka ditahan.“Siapa disana?” tanya prajurit yang menjaga salah satu ruang penjara begitu melihat Sima mendekatinya.Tidak menggubris pertanyaan prajurit tersebut, Sima langsung menyerang beberapa prajurit yang berjaga di depan ruangan itu, secepat kilat ia meraih leher salah seorang prajurit, lalu dengan sedikit gerakan pendekar wanita itu mematahkan leher prajurit malang itu hingga akhirnya tewas.Hampir dengan cara yang sama, Sima mengulangi serangannya tadi kepada para prajurit yang lain, hingga seluruh prajurit penjaga tewas mengenaskan di tangannya.Kemudian ia mengambil kunci dari salah satu mayat prajurit yang tergeletak dan segera membuka ruang tahanan tempat Degasoka ditahan.“Kupikir ada keributan apa di luar sana, ternyata itu semua ulahmu adik seperguruanku,” ucap Degasoka begitu Sima membuka pintu ruang tahanan.“Melihat keadaanmu sekarang tidak
Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Di sebuah gubuk tua, di sebelah timur dari alun-alun Kithara, seorang lelaki tua mengenakan jubah hitam panjang dan longgar dengan seluruh rambut dan kumisnya yang telah memutih sedang sibuk meramu obat dari berbagai macam herbal.Setelah menuangkan ramuan obat yang telah masak ke dalam mangkuk kecil, sambil membawa ramuan obat, lelaki tua itu berjalan perlahan mendekati seorang gadis muda yang sedang terbaring di dipan. “Ramuan obat ini akan mengembalikan tenaga dalammu dengan cepat, minumlah,” ucap lelaki tua itu sambil menyerahkan mangkuk yang berisi ramuan obat kepada gadis muda itu.“Baik guru,” jawab gadis muda patuh seraya menga
Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Galisaka yang diminta oleh Empu Among Jiwa menyampaikan pesan kepada Senopati Jatiraga di gerbang selatan memacu kuda tunggangannya dengan kencang. Namun perjalanan Galisaka harus terhalang oleh iring-iringan Pasukan Bindiwala yang menuju gerbang utara.“Minggir...! Minggir...! Beri jalan...!” teriak beberapa prajurit berkuda. Bersamaan dengan melintasnya Pasukan Bindiwala membawa perisai dan senjata tombak andalan mereka.“Ada apa ini, mengapa Pasukan Bindiwala bergerak menuju gerbang utara?” gumam Galisaka dengan raut kegelisahan terukir diwajahnya.Kegelisahan yang dirasakan oleh Galisaka sangatlah wajar melihat
Meskipun serangan pasukan pemanah telah menghabisi banyak Pasukan Kerajaan Ambarata. Tetapi hal itu tidaklah menghentikan mereka untuk terus mendekati gerbang selatan kota. “Persiapkan Pasukan Pedang,” perintah Adipati Argarota. Dutasena kembali memberikan isyarat untuk menyiapkan Pasukan Pedang, mendapati isyarat dari Dutasena, Pasukan Pedang segera bersiap mengatur formasinya. Pasukan Pedang merupakan satuan pasukan dari Kerajaan Prabangkara yang dibentuk khusus oleh Adipati Argarota. Walaupun secara kekuatan pasukan tersebut masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Pasukan Bindiwala ataupun Pasukan Satyawira. Namun Pasukan Pedang memiliki kelebihan bila menghadapi pertarungan jarak dekat, karena mereka memiliki senjata andalan yaitu Pedang Sarala.
Di Kedhaton Madyantara, Adipati Argarota telah mengenakan pakaian perang lengkap dengan keris yang tersemat di pinggangnya. Kemudian dengan langkah tegap ia berjalan menuju Kaputren Rajani berniat untuk menjumpai istrinya. Namun Dewi Widia Ayu, istri dari Adipati Argarota sedang bermain kecapi di Bale Bengong yang berada di taman kaputren. Mengetahui istri tercintanya sedang hanyut dalam permainan kecapi, Adipati Argarota melarang para dayang mengumumkan kedatangan dirinya dan memutuskan untuk sejenak menikmati alunan irama kecapi yang dimainkan oleh Dewi Widia Ayu. Beberapa saat kemudian Dewi Widia Ayu telah menyelesaikan permainan kecapinya. Akan tetapi begitu membuka matanya yang sedari tadi terpejam, Sang Ratu merasa heran karena melihat para dayang sedang berdiri mematung sambil menundu