“Jurus Tapak Nirdaya diciptakan oleh Ki Jagat Sukma, pemimpin Perguruan Ekor Naga Emas puluhan tahun yang lalu. Saat itu, Perguruan Ekor Naga Emas merupakan salah satu perguruan silat yang paling disegani di daratan utama. Karena disamping menghasilkan para pendekar-pendekar hebat, perguruan tersebut juga mendapatkan dukungan penuh dari Kerajaan Arnata…” Belum sempat Empu Among Jiwa melanjutkan kata-katanya, Galisaka dengan tergesa memotong penjelasan Empu Among Jiwa.
“Kerajaan Arnata..., bukankah kerajaan tersebut telah hancur puluhan tahun yang lalu Empu,” sahut Galisaka dengan raut wajah penuh keterkejutan.
Melihat ekspresi terkejut dan penasaran yang ditunjukkan oleh Galisaka, Empu Among Jiwa hanya dapat tersenyum lebar,
“Hahaha… kau mengingatkan pada masa mudaku Galisaka, penuh dengan semangat yang menggebu-gebu,” ucap Empu Among Jiwa sambil tertawa terbahak-bahak.
“Mohon maaf Empu, mohon maaf atas ketidaksopanan saya, jika berkenan mohon Empu dapat melanjutkan penjelasannya.” Galisaka menyadari kesalahannya sehingga menunduk penuh dengan penghormatan.
“Baiklah, memang benar Perguruan Ekor Naga Emas adalah pendukung setia dari Kerajaan Arnata. Bahkan dalam peperangan besar antara tiga kerajaan, Jurus Tapak Nirdaya adalah momok yang sangat menakutkan bagi seluruh pasukan Ambarata dan Prabangkara,” lanjut Empu Among Jiwa.
“Namun Empu apabila yang anda katakan benar, maka seharusnya jurus tersebut sudah lama punah dari dunia persilatan. Lalu mengapa Degasoka yang merupakan Senopati Kerajaan Ambarata bisa menguasai jurus tersebut?” tanya Galisaka sambil mengernyitkan dahinya, mengisyaratkan kebingungan.
“Hal itulah yang membuatku cemas, karena seingatku Perguruan Ekor Naga Emas telah hancur beberapa tahun sebelum runtuhnya Kerajaan Arnata. Sehingga amat tidak mungkin seorang Senopati Kerajaan Ambarata bisa mempelajari salah satu jurus pamungkas dari perguruan itu, kecuali…” Perkataan Empu Among Jiwa tiba-tiba terhenti.
“Ada apa Empu?” tanya Galisaka dengan wajah keherananan.
Tetapi seakan tidak menghiraukan pertanyaan dari Galisaka, Empu Among Jiwa tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya, sejurus kemudian melemparkan pisau kecil dari tangannya ke arah luar.
“Siapa disana, tunjukkan dirimu." Empu Among Jiwa menatap tajam ke arah pintu luar.
Galisaka yang baru menyadari perubahan sikap Empu Among Jiwa, seketika itu juga bangkit dari tempat duduknya dan berdiri tepat di depan Empu Among Jiwa bermaksud untuk melindunginya.
"Ada apa Empu?." Bisik Galisaka kepada Empu Among Jiwa.
"Bersiaplah Galisaka, kelihatannya kita kedatangan tamu yang tidak memiliki maksud baik," jelas Empu Among Jiwa, sambil tetap memfokuskan perhatiannya di setiap sudut ruangan.
“Baik Empu,” Galisaka memasang kuda-kuda siap menyerang, begitu mendengar perkataan Empu Among Jiwa.
Empu Among Jiwa dengan penuh fokus memperhatikan setiap sudut ruangan, lalu pandangannya pun terhenti pada Aditara yang sedang berbaring di tempat tidur.
“Begitu rupanya,” ucap Empu Among Jiwa sambil menatap Aditara.
“Galisaka, segera lindungi Aditara. Apapun yang terjadi jangan pernah beranjak dari sana,” perintah Empu Among Jiwa kepada Galisaka sambil berbisik.
“Baik Empu,” Jawab Galisaka, “Lalu bagaimana dengan empu?” Galisaka lanjut bertanya.
“Lakukan saja perintahku Galisaka.” Empu Among Jiwa berbisik sambil melakukan isyarat tangan kepada Galisaka untuk melindungi Aditara yang sedang terbaring di tempat tidur.
Galisaka yang melihat isyarat tangan dari Empu Among Jiwa segera mendekati Aditara untuk melindunginya. Walaupun didalam pikirannya masih berselimut dengan kebingungan, mengapa Empu Among Jiwa meminta dirinya untuk melindungi Aditara.
Tiba-tiba dari arah pintu depan kediaman Empu Among Jiwa, terdengar suara seorang wanita diikuti dengan langkah kakinya yang mulai mendekati posisi mereka saat ini.
“Hahaha… suatu kehormatan bagiku dapat melihat Jurus Pisau Ular Emas yang sangat terkenal di dunia persilatan,” ucap wanita itu sambil tertawa dan berjalan perlahan menuju tempat mereka saat ini.
“Terima kasih atas pujian anda, saya amat tersanjung. Tetapi siapakah anda dan mengapa harus menyembunyikan hawa keberadaan?” tanya Empu Among Jiwa tanpa sedikit pun mengendurkan kewaspadaannya.
“Maaf atas ketidaksopanan ini Empu, nama saya Sima. Saya datang kemari hanya untuk menjalankan tugas, jadi mohon bantuan Empu untuk dapat mempermudahnya,” ucap wanita itu dengan ringan sambil tetap melangkah perlahan.
Tak lama, sesosok wanita muda tepat berdiri dihadapan Empu Among Jiwa dan Galisaka. Tampak sekilas wanita itu memiliki sorot mata sedingin es serta mengenakan pakaian sutra berwarna hijau daun dengan rambut hitam terurai, terlihat sebuah pedang melekat dipinggangnya yang langsing. Seakan mempertegas bahwa ia merupakan seorang pendekar pedang.
“Hahaha, sungguh suatu keberuntungan bagi orang tua ini kedatangan Nona Sima yang sangat cantik jelita,” puji Empu Among Jiwa sambil tertawa bahagia. Walaupun begitu, tak sedikit pun ia menurunkan tingkat kewaspadaannya terhadap wanita itu.
Mendengar pujian dari Empu Among Jiwa, pendekar wanita itu hanya tersenyum dingin, “Saya tak mengira, Empu Among Jiwa adalah seorang pria yang pandai bertutur kata, sungguh sangat mengesankan.”
“Hahaha… mendapat pujian dari seorang wanita cantik sungguh sangat beruntung. Tetapi sama halnya dengan Nona Sima, saya pun memiliki tugas yang harus diemban, tentu Nona Sima sangat mengerti hal itu,” urai Empu Among Jiwa sambil tersenyum tipis.
Walaupun Galisaka tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi. Namun sepintas, ia melihat isyarat dari gerakan mata Empu Among Jiwa saat selesai menyelesaikan perkataannya, paham akan isyarat yang diberikan oleh Empu Among Jiwa, Galisaka segera memasang kuda-kuda menyerang.
Pendekar wanita itu mengerutkan kening begitu mendengar ucapan Empu Among Jiwa. Segera aura membunuh terpancar di sorot matanya ketika berkata, “Jika memang seperti itu, amatlah disayangkan.”
Begitu menyelesaikan perkataannya, secepat kilat Sima menarik pedang yang melekat dipinggangnya dan langsung menyerang. Empu Among Jiwa yang memang telah bersiap dengan mudah menghindari serangan tersebut, bahkan dapat melancarkan sebuah serangan balasan dengan melemparkan dua buah pisau dari balik jubahnya tepat mengarah kepada pendekar wanita itu.
Mendapati serangan balasan dari Empu Among Jiwa, Sima langsung menghindarinya dengan bergerak mundur beberapa langkah ke kanan, lantas ia pun segera balas menyerang dengan teknik tebasan pedang mendatar. Walaupun begitu, dengan tenaga dalamnya Sang Empu dapat menepis serangan tersebut.
Empu Among Jiwa secara mendadak menyerang dengan Jurus Pisau Ular Emas, Sima yang tidak siap dengan serangan tersebut, hanya dapat menahan dengan pedangnya. Namun kuatnya tenaga dalam dari jurus tersebut, menyebabkan pendekar wanita itu terpelanting jauh hingga ke luar rumah setelah sebelumnya menabrak dinding kayu dan membuat lubang yang cukup besar.
Empu Among Jiwa menatap ke arah Galisaka, seakan memberikan perintah untuk menangkap wanita itu. Menangkap isyarat yang diberikan oleh Sang Empu, dengan sigap Galisaka langsung pergi ke luar rumah.
Akan tetapi betapa terkejutnya Galisaka, menyadari wanita itu sudah tidak berada di sekitar halaman rumah, padahal menurutnya dengan serangan Empu Among Jiwa tadi, pasti pendekar wanita yang bernama Sima itu akan mengalami luka-luka serius. Sehingga amatlah sulit baginya untuk dapat melarikan diri.
Tanpa menunda waktu, Galisaka segera kembali ke rumah untuk melaporkan kepada Empu Among Jiwa.
Begitu mendapat laporan dari Galisaka, Empu Among Jiwa kemudian kembali duduk di dipan. Selanjutnya menuangkan teh ke cangkir tanah liat sambil berkata, “Tabahkan dirimu Galisaka, hal yang terburuk akan datang tak lama lagi.” Empu Among Jiwa meminum tehnya, setelah itu menghela nafas panjang.
Galisaka yang mendengar hal itu, hanya dapat berdiri terpaku, tanpa dapat berkata sepatah kata pun. Sementara Empu Among Jiwa mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu diatasnya kemudian menggulungnya hingga menjadi gulungan kecil lalu memasukkan ke tabung bambu kecil.
“Pergilah ke gerbang selatan, serahkan ini kepada Jatiraga. Namun apabila kau melihat kumpulan rajawali putih bergerak ke utara, tunda perintahku dan segera bergabung dengan mereka,” kata Empu Among Jiwa Sambil menyerahkan tabung bambu kecil tadi kepada Galisaka.
Begitu mendapatkan perintah dari Empu Among Jiwa, Galisaka sangat bingung. Karena ia mengetahui saat ini Senopati Jatiraga sedang berada di Garhupiksa dan bukan di gerbang selatan.
“Mohon maaf Empu. Akan tetapi sepengetahuan saya, saat ini Senopati sedang berada di Garhupiksa, bukankah lebih baik bila saya pergi kesana?” tanya Galisaka dengan penuh kesopanan.
“Lakukan saja perintah ku Galisaka,” ucap Empu Among Jiwa dengan nada yang penuh dengan keseriusan.
Galisaka yang tidak berani membantah perintah Empu Among Jiwa hanya dapat menurutinya, “Baiklah Empu, akan saya laksanakan sesuai dengan arahan Empu,” ujar Galisaka sambil menerima tabung bambu kecil tadi.
“Lalu Bagaimana bila pendekar wanita itu kembali lagi Empu, apakah perlu saya perintahkan beberapa prajurit untuk berjaga di sekitar sini?” tanya Galisaka dengan raut wajah penuh dengan kekhawatiran.
“Hahaha... tidak perlu Galisaka, percayalah biarpun sudah tua. Tapi aku masih cukup kuat untuk bertarung melawannya,” jawab Empu Among Jiwa sambil tertawa kecil.
“Baiklah jika begitu, saya izin pamit Empu.” Galisaka meminta ijin untuk meninggalkan kediaman Empu Among Jiwa.
Empu Among Jiwa hanya menganggukkan kepalanya saja, setelah itu Galisaka segera berkuda menuju gerbang selatan.
Sesaat setelah Galisaka pergi, Empu Among Jiwa berjalan mendekati Aditara, kemudian ia berdiri tepat di samping, sambil menatap dalam Aditara yang tengah tertidur, “Perjalananmu baru saja dimulai anakku,” ucap Empu Among Jiwa.
Di Kedhaton Madyantara, Adipati Argarota telah mengenakan pakaian perang lengkap dengan keris yang tersemat di pinggangnya. Kemudian dengan langkah tegap ia berjalan menuju Kaputren Rajani berniat untuk menjumpai istrinya. Namun Dewi Widia Ayu, istri dari Adipati Argarota sedang bermain kecapi di Bale Bengong yang berada di taman kaputren. Mengetahui istri tercintanya sedang hanyut dalam permainan kecapi, Adipati Argarota melarang para dayang mengumumkan kedatangan dirinya dan memutuskan untuk sejenak menikmati alunan irama kecapi yang dimainkan oleh Dewi Widia Ayu. Beberapa saat kemudian Dewi Widia Ayu telah menyelesaikan permainan kecapinya. Akan tetapi begitu membuka matanya yang sedari tadi terpejam, Sang Ratu merasa heran karena melihat para dayang sedang berdiri mematung sambil menundu
Meskipun serangan pasukan pemanah telah menghabisi banyak Pasukan Kerajaan Ambarata. Tetapi hal itu tidaklah menghentikan mereka untuk terus mendekati gerbang selatan kota. “Persiapkan Pasukan Pedang,” perintah Adipati Argarota. Dutasena kembali memberikan isyarat untuk menyiapkan Pasukan Pedang, mendapati isyarat dari Dutasena, Pasukan Pedang segera bersiap mengatur formasinya. Pasukan Pedang merupakan satuan pasukan dari Kerajaan Prabangkara yang dibentuk khusus oleh Adipati Argarota. Walaupun secara kekuatan pasukan tersebut masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Pasukan Bindiwala ataupun Pasukan Satyawira. Namun Pasukan Pedang memiliki kelebihan bila menghadapi pertarungan jarak dekat, karena mereka memiliki senjata andalan yaitu Pedang Sarala.
Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Galisaka yang diminta oleh Empu Among Jiwa menyampaikan pesan kepada Senopati Jatiraga di gerbang selatan memacu kuda tunggangannya dengan kencang. Namun perjalanan Galisaka harus terhalang oleh iring-iringan Pasukan Bindiwala yang menuju gerbang utara.“Minggir...! Minggir...! Beri jalan...!” teriak beberapa prajurit berkuda. Bersamaan dengan melintasnya Pasukan Bindiwala membawa perisai dan senjata tombak andalan mereka.“Ada apa ini, mengapa Pasukan Bindiwala bergerak menuju gerbang utara?” gumam Galisaka dengan raut kegelisahan terukir diwajahnya.Kegelisahan yang dirasakan oleh Galisaka sangatlah wajar melihat
Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Di sebuah gubuk tua, di sebelah timur dari alun-alun Kithara, seorang lelaki tua mengenakan jubah hitam panjang dan longgar dengan seluruh rambut dan kumisnya yang telah memutih sedang sibuk meramu obat dari berbagai macam herbal.Setelah menuangkan ramuan obat yang telah masak ke dalam mangkuk kecil, sambil membawa ramuan obat, lelaki tua itu berjalan perlahan mendekati seorang gadis muda yang sedang terbaring di dipan. “Ramuan obat ini akan mengembalikan tenaga dalammu dengan cepat, minumlah,” ucap lelaki tua itu sambil menyerahkan mangkuk yang berisi ramuan obat kepada gadis muda itu.“Baik guru,” jawab gadis muda patuh seraya menga
Berkat serangan membabi buta Kebo Sita di Garhupiksa membuat Sima dengan mudah menyusup ke dalam penjara bawah tanah tempat Degasoka ditahan.“Siapa disana?” tanya prajurit yang menjaga salah satu ruang penjara begitu melihat Sima mendekatinya.Tidak menggubris pertanyaan prajurit tersebut, Sima langsung menyerang beberapa prajurit yang berjaga di depan ruangan itu, secepat kilat ia meraih leher salah seorang prajurit, lalu dengan sedikit gerakan pendekar wanita itu mematahkan leher prajurit malang itu hingga akhirnya tewas.Hampir dengan cara yang sama, Sima mengulangi serangannya tadi kepada para prajurit yang lain, hingga seluruh prajurit penjaga tewas mengenaskan di tangannya.Kemudian ia mengambil kunci dari salah satu mayat prajurit yang tergeletak dan segera membuka ruang tahanan tempat Degasoka ditahan.“Kupikir ada keributan apa di luar sana, ternyata itu semua ulahmu adik seperguruanku,” ucap Degasoka begitu Sima membuka pintu ruang tahanan.“Melihat keadaanmu sekarang tidak
Bersamaan dengan penyerangan Garhupiksa oleh Kebo Sita dan Sima. Di kediaman Empu Among Jiwa yang terletak sebelah utara dari Garhupiksa, sang empu terus berjaga guna mengantisipasi jika terdapat serangan dari tamu yang tidak diinginkan. “Krek…!” Tiba-tiba terdengar suara ranting patah seperti terinjak. Empu Among Jiwa dengan cepat membawa Aditara yang sedang tak sadarkan diri untuk keluar dari kediamannya. Apa yang dilakukan oleh Empu Among Jiwa sungguh sangat tepat, selang beberapa detik setelah ia meninggalkan kediamannya, tiba-tiba saja gumpalan bola api meluncur begitu cepat. Bola api itu langsung menghantam kediaman dari Empu Among Jiwa, lalu terdengar suara hantaman yang begitu keras disusul api yang langsung berkobar membakar habis kediaman dari Empu Among. Empu Among Jiwa berdiri dengan tegak dengan sorot mata yang tajam ke arah kediamannya yang tengah terlalap api sembari memperhatikan keadaan sekitar. Setelah memastikan bahwa keadaan aman sang empu merebahkan tubuh Adita
Setelah berhasil membunuh Degasoka, Sima segera memberikan tanda kepada Ki Mahesa dengan menyalakan kembang api berwarna hitam ke angkasa.Selepas itu, ia pergi menemui Kebo Sita yang sedang menghadapi pasukan penjaga di halaman tengah. Namun ketika ia tiba disana, sebuah kengerian terpampang nyata dihadapannya. Mayat para prajurit penjaga bertebaran dimana-mana, darah merah segar membanjiri tanah. Sementara di sudut lain terlihat Kebo Sita sedang memukuli seorang penjaga yang sudah tak bernyawa.“Cukup Kebo Sita, ia sudah tidak bernyawa,” bentak Sima kepada Kebo Sita.Mendengar teriakan Sima yang menggelegar, sontak Kebo Sita berhenti memukuli mayat penjaga malang itu, kemudian melempar tubuh penjaga itu ke arah lain. “oh rupanya kau telah berhasil melaksanakan misimu,” jawab Kebo Sita dengan santai.“Bukankah yang kau lakukan ini sangat berlebihan Kebo Sita?” tanya Sima dengan geram. Meskipun Sima diasuh dan dilatih oleh Ki Mahesa sebagai seorang pembunuh keji. Namun tetap saja ia
Dewi Widia Ayu sedang duduk termenung di Taman Agung Kedhaton ketika seorang perempuan muda yang merupakan salah satu dayang kedhaton berlari menghampirinya.“Mohon ampun Gusti Ayu, maafkan hamba telah mengganggu waktu anda. Tetapi ada hal penting yang harus hamba sampaikan kepada Gusti Ayu segera,” tutur dayang tersebut dengan nafas terengah-engah.Seketika Dewi Widia Ayu tersadar dari lamunannya, kemudian berjalan ke arah dayang tadi. “Mengapa kau nampak gusar sekali, memang ada kejadian apa?” Dewi Widia Ayu bertanya dengan nada lembut.“Mohon izin Gusti Ayu, baru saja hamba mendapatkan informasi dari pasukan penjaga kedhaton, bahwa ada seorang pendekar sakti yang sedang mengamuk di alun-alun kota. Dari kabar yang hamba dengar, pendekar sakti tersebut telah mengalahkan seluruh pasukan penjaga kota yang bertugas di alun-alun,” tutur dayang tersebut sambil menundukkan kepalanya.“Apa katamu? lalu bagaimana dengan penduduk kota?” tanya Dewi Widia Ayu dengan ekspresi kegelisahan terluki
“Hyaatt…!”Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya yang tersisa, Dirandra melancarkan serangan. Sementara itu, Arya Mandala tidak tampak gentar menghadapi komandan pasukan penjaga kedhaton itu.Serangan demi serangan maut mengalir deras dari kedua pesilat tangguh itu, layaknya gelombang ombak di lautan ganas, menjadikan pertarungan semakin mematikanSetelah melewati beberapa jurus mematikan, Arya Mandala melihat sebuah peluang emas. Tanpa pikir panjang, sebuah pukulan telah langsung disarangkan ke tubuh Dirandra.“Hugh…!”Tubuh Dirandra terpental beberapa hasta setelah sebelumnya memuntahkan darah segar, pukulan Arya Mandala sangatlah mematikan hingga membuat pakaian pelindung yang dikenakan oleh komandan pasukan kedhaton itu hancur seperti terbakar.“Tamat riwayatmu,...!”Tanpa memberi kesempatan kepada lawannya untuk bangkit, Arya Mandala segera melancarkan serangan pamungkasnya untuk menghabisi nyawa Dirandra. Dirandra hanya dapat berdiri terpaku di depan Arya Mandala, siap menyam
Dewi Widia Ayu sedang duduk termenung di Taman Agung Kedhaton ketika seorang perempuan muda yang merupakan salah satu dayang kedhaton berlari menghampirinya.“Mohon ampun Gusti Ayu, maafkan hamba telah mengganggu waktu anda. Tetapi ada hal penting yang harus hamba sampaikan kepada Gusti Ayu segera,” tutur dayang tersebut dengan nafas terengah-engah.Seketika Dewi Widia Ayu tersadar dari lamunannya, kemudian berjalan ke arah dayang tadi. “Mengapa kau nampak gusar sekali, memang ada kejadian apa?” Dewi Widia Ayu bertanya dengan nada lembut.“Mohon izin Gusti Ayu, baru saja hamba mendapatkan informasi dari pasukan penjaga kedhaton, bahwa ada seorang pendekar sakti yang sedang mengamuk di alun-alun kota. Dari kabar yang hamba dengar, pendekar sakti tersebut telah mengalahkan seluruh pasukan penjaga kota yang bertugas di alun-alun,” tutur dayang tersebut sambil menundukkan kepalanya.“Apa katamu? lalu bagaimana dengan penduduk kota?” tanya Dewi Widia Ayu dengan ekspresi kegelisahan terluki
Setelah berhasil membunuh Degasoka, Sima segera memberikan tanda kepada Ki Mahesa dengan menyalakan kembang api berwarna hitam ke angkasa.Selepas itu, ia pergi menemui Kebo Sita yang sedang menghadapi pasukan penjaga di halaman tengah. Namun ketika ia tiba disana, sebuah kengerian terpampang nyata dihadapannya. Mayat para prajurit penjaga bertebaran dimana-mana, darah merah segar membanjiri tanah. Sementara di sudut lain terlihat Kebo Sita sedang memukuli seorang penjaga yang sudah tak bernyawa.“Cukup Kebo Sita, ia sudah tidak bernyawa,” bentak Sima kepada Kebo Sita.Mendengar teriakan Sima yang menggelegar, sontak Kebo Sita berhenti memukuli mayat penjaga malang itu, kemudian melempar tubuh penjaga itu ke arah lain. “oh rupanya kau telah berhasil melaksanakan misimu,” jawab Kebo Sita dengan santai.“Bukankah yang kau lakukan ini sangat berlebihan Kebo Sita?” tanya Sima dengan geram. Meskipun Sima diasuh dan dilatih oleh Ki Mahesa sebagai seorang pembunuh keji. Namun tetap saja ia
Bersamaan dengan penyerangan Garhupiksa oleh Kebo Sita dan Sima. Di kediaman Empu Among Jiwa yang terletak sebelah utara dari Garhupiksa, sang empu terus berjaga guna mengantisipasi jika terdapat serangan dari tamu yang tidak diinginkan. “Krek…!” Tiba-tiba terdengar suara ranting patah seperti terinjak. Empu Among Jiwa dengan cepat membawa Aditara yang sedang tak sadarkan diri untuk keluar dari kediamannya. Apa yang dilakukan oleh Empu Among Jiwa sungguh sangat tepat, selang beberapa detik setelah ia meninggalkan kediamannya, tiba-tiba saja gumpalan bola api meluncur begitu cepat. Bola api itu langsung menghantam kediaman dari Empu Among Jiwa, lalu terdengar suara hantaman yang begitu keras disusul api yang langsung berkobar membakar habis kediaman dari Empu Among. Empu Among Jiwa berdiri dengan tegak dengan sorot mata yang tajam ke arah kediamannya yang tengah terlalap api sembari memperhatikan keadaan sekitar. Setelah memastikan bahwa keadaan aman sang empu merebahkan tubuh Adita
Berkat serangan membabi buta Kebo Sita di Garhupiksa membuat Sima dengan mudah menyusup ke dalam penjara bawah tanah tempat Degasoka ditahan.“Siapa disana?” tanya prajurit yang menjaga salah satu ruang penjara begitu melihat Sima mendekatinya.Tidak menggubris pertanyaan prajurit tersebut, Sima langsung menyerang beberapa prajurit yang berjaga di depan ruangan itu, secepat kilat ia meraih leher salah seorang prajurit, lalu dengan sedikit gerakan pendekar wanita itu mematahkan leher prajurit malang itu hingga akhirnya tewas.Hampir dengan cara yang sama, Sima mengulangi serangannya tadi kepada para prajurit yang lain, hingga seluruh prajurit penjaga tewas mengenaskan di tangannya.Kemudian ia mengambil kunci dari salah satu mayat prajurit yang tergeletak dan segera membuka ruang tahanan tempat Degasoka ditahan.“Kupikir ada keributan apa di luar sana, ternyata itu semua ulahmu adik seperguruanku,” ucap Degasoka begitu Sima membuka pintu ruang tahanan.“Melihat keadaanmu sekarang tidak
Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Di sebuah gubuk tua, di sebelah timur dari alun-alun Kithara, seorang lelaki tua mengenakan jubah hitam panjang dan longgar dengan seluruh rambut dan kumisnya yang telah memutih sedang sibuk meramu obat dari berbagai macam herbal.Setelah menuangkan ramuan obat yang telah masak ke dalam mangkuk kecil, sambil membawa ramuan obat, lelaki tua itu berjalan perlahan mendekati seorang gadis muda yang sedang terbaring di dipan. “Ramuan obat ini akan mengembalikan tenaga dalammu dengan cepat, minumlah,” ucap lelaki tua itu sambil menyerahkan mangkuk yang berisi ramuan obat kepada gadis muda itu.“Baik guru,” jawab gadis muda patuh seraya menga
Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Galisaka yang diminta oleh Empu Among Jiwa menyampaikan pesan kepada Senopati Jatiraga di gerbang selatan memacu kuda tunggangannya dengan kencang. Namun perjalanan Galisaka harus terhalang oleh iring-iringan Pasukan Bindiwala yang menuju gerbang utara.“Minggir...! Minggir...! Beri jalan...!” teriak beberapa prajurit berkuda. Bersamaan dengan melintasnya Pasukan Bindiwala membawa perisai dan senjata tombak andalan mereka.“Ada apa ini, mengapa Pasukan Bindiwala bergerak menuju gerbang utara?” gumam Galisaka dengan raut kegelisahan terukir diwajahnya.Kegelisahan yang dirasakan oleh Galisaka sangatlah wajar melihat
Meskipun serangan pasukan pemanah telah menghabisi banyak Pasukan Kerajaan Ambarata. Tetapi hal itu tidaklah menghentikan mereka untuk terus mendekati gerbang selatan kota. “Persiapkan Pasukan Pedang,” perintah Adipati Argarota. Dutasena kembali memberikan isyarat untuk menyiapkan Pasukan Pedang, mendapati isyarat dari Dutasena, Pasukan Pedang segera bersiap mengatur formasinya. Pasukan Pedang merupakan satuan pasukan dari Kerajaan Prabangkara yang dibentuk khusus oleh Adipati Argarota. Walaupun secara kekuatan pasukan tersebut masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Pasukan Bindiwala ataupun Pasukan Satyawira. Namun Pasukan Pedang memiliki kelebihan bila menghadapi pertarungan jarak dekat, karena mereka memiliki senjata andalan yaitu Pedang Sarala.
Di Kedhaton Madyantara, Adipati Argarota telah mengenakan pakaian perang lengkap dengan keris yang tersemat di pinggangnya. Kemudian dengan langkah tegap ia berjalan menuju Kaputren Rajani berniat untuk menjumpai istrinya. Namun Dewi Widia Ayu, istri dari Adipati Argarota sedang bermain kecapi di Bale Bengong yang berada di taman kaputren. Mengetahui istri tercintanya sedang hanyut dalam permainan kecapi, Adipati Argarota melarang para dayang mengumumkan kedatangan dirinya dan memutuskan untuk sejenak menikmati alunan irama kecapi yang dimainkan oleh Dewi Widia Ayu. Beberapa saat kemudian Dewi Widia Ayu telah menyelesaikan permainan kecapinya. Akan tetapi begitu membuka matanya yang sedari tadi terpejam, Sang Ratu merasa heran karena melihat para dayang sedang berdiri mematung sambil menundu