Home / Pendekar / Ksatria Prabangkara / Bab 6. Peperangan di Gerbang Selatan

Share

Bab 6. Peperangan di Gerbang Selatan

Author: Jin Hanson
last update Last Updated: 2022-04-11 11:23:39

Di Kedhaton Madyantara, Adipati Argarota telah mengenakan pakaian perang lengkap dengan keris yang tersemat di pinggangnya. Kemudian dengan langkah tegap ia berjalan menuju Kaputren Rajani berniat untuk menjumpai istrinya. Namun Dewi Widia Ayu, istri dari Adipati Argarota sedang bermain kecapi di Bale Bengong yang berada di taman kaputren.

Mengetahui istri tercintanya sedang hanyut dalam permainan kecapi, Adipati Argarota melarang para dayang mengumumkan kedatangan dirinya dan memutuskan untuk sejenak menikmati alunan irama kecapi yang dimainkan oleh Dewi Widia Ayu.

Beberapa saat kemudian Dewi Widia Ayu telah menyelesaikan permainan kecapinya. Akan tetapi begitu membuka matanya yang sedari tadi terpejam, Sang Ratu merasa heran karena melihat para dayang sedang berdiri mematung sambil menundukkan kepalanya.

“Sungguh indah sekali permainan kecapimu Dinda,” puji Adipati Argarota sambil bertepuk tangan dan berjalan perlahan ke arah Dewi Widia Ayu.

Mengetahui Adipati Argarota datang mengunjungi Taman Kaputren Rajani, Dewi Widia Ayu bergegas berdiri dengan dibantu oleh salah satu dayang, kemudian berjalan mendekati Adipati Argarota bermaksud untuk menyambutnya.

“Maafkan atas kelancangan Dinda karena tidak menyambut Kanda dengan layak,” tutur Dewi Widia Ayu sambil memberi hormat kepada Adipati Argarota.

“Tak perlu meminta maaf Dinda, justru aku yang seharusnya meminta maaf karena telah mengganggu dirimu,” balas Adipati Argarota sambil dengan lembut memegang tangan Dewi Widia Ayu.

Dewi Widia Ayu tersenyum tersipu begitu Adipati Argarota memegang tangannya, tetapi begitu ia menyadari bahwa saat ini suami tercintanya itu telah mengenakan pakaian perang lengkap dengan keris yang tersemat di pinggangnya. Perasaan cemas langsung menusuk jantung Dewi Widia Ayu.

“Maafkan kelancangan Dinda. Tapi mengapa Kanda mengenakan pakaian perang saat berkunjung ke Kaputren Rajani?” Dewi Widia Ayu memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan yang sedari tadi mengganggu pikirannya.

Argarota mengangguk perlahan lalu berkata. “Ada yang ingin aku bicarakan kepadamu Dinda.”

“Kalian bisa tinggalkan kami.” Dewi Widia Ayu dengan suara lembutnya meminta para dayang untuk meninggalkan ia dan Adipati Argarota.

“Daulat Gusti,” jawab para dayang secara serempak sambil memberikan hormat untuk kemudian berjalan menjauhi Dewi Widia Ayu dan Adipati Argarota.

Dewi Widia Ayu menatap wajah Adipati Argarota yang terlihat penuh kecemasan.

“Dinda, keadaan darurat telah terjadi di Kota Kithara.” Adipati Argarota menatap wajah Dewi Widia Ayu sebelum melanjutkan perkataannya. “Pasukan Kerajaan Ambarata menyerang dari arah selatan kota dan sampai saat ini aku tidak mengetahui bagaimana keadaan ibu kota.”

Dewi Widia Ayu mendengarkan perkataan Adipati Argarota dengan raut wajah penuh kekhawatiran.

Merasakan kecemasan yang tersirat dari Dewi Widia Ayu, Adipati Argarota mencoba menenangkan istrinya. “Tidak perlu khawatir Dinda, aku akan berjuang untuk melindungi dirimu dan Kota Kithara dengan seluruh kekuatanku,” tutur Adipati Argarota sambil menggenggam kedua tangan Dewi Widia Ayu.

“Aku juga akan perintahkah untuk memperketat pertahanan di Kedhaton Madyantara, aku harap itu dapat menghilangkan kecemasan di hatimu,” ucap Adipati Argarota berusaha menenangkan Dewi Widia Ayu seraya membelai rambut istrinya itu.

Setelah menyampaikan perihal tersebut kepada Dewi Widia Ayu, Adipati melangkah pergi meninggalkan Taman Kaputren Rajani.

Dewi Widia Ayu terus menatap Adipati Argarota yang terus melangkah pergi, dalam hati kecilnya ingin rasanya menahan Sang Adipati untuk tetap berada disisinya. Tetapi ia menyadari bahwa itu bukanlah tindakan yang bijaksana.

***

“Gusti Adipati,” ucap Dutasena begitu melihat Adipati Argarota telah tiba dihadapannya.

“Perintahkan Pasukan Penjaga untuk memperketat penjagaan di Kedhaton Madyantara.” Perintah Adipati Argarota sambil menatap Dutasena. “Persiapkan seluruh pasukan pemanah dan pasukan berkuda untuk berperang di gerbang selatan, lalu perintahkan pasukan penjaga kota untuk memperkuat pertahanan di gerbang utara,” lanjut Adipati Argarota sebelum menunggangi kudanya.

“Daulat Gusti,” jawab Dutasena.

Adipati Argarota memimpin pasukan untuk bergerak menuju gerbang selatan, sedangkan Dutasena berkuda disisi Sang Adipati guna melindungi dari kemungkinan ancaman yang mengintai.

Sesampainya di gerbang selatan, Adipati Argarota langsung menghampiri Senopati Jatiraga. “Bagaimana keadaannya Senopati?” tanya Adipati Argarota kepada Jatiraga.

Sempat terkejut atas kedatangan Adipati Argarota. Namun Senopati Jatiraga dapat menjaga ketenangannya dan menjawab pertanyaan Sang Adipati. “Pasukan Kerajaan Ambarata berjumlah seratus ribu orang Gusti. Namun sejauh ini mereka belum melakukan penyerangan.” Senopati Jatiraga menatap tajam kepada Dutasena.

Dutasena hanya dapat menunduk, begitu tatapan tajam Sang Senopati tertuju kepadanya. Dirinya menyadari telah membuat Senopati Jatiraga kesal.

Menyadari keberadaannya di gerbang selatan telah membuat Senopati Jatiraga kesal, Adipati Argarota mencoba mengalihkan perhatian Sang Senopati.

“Ini bukan kesalahannya. Kehadiran diriku disini adalah keputusanku sendiri, apa kau merasa keberatan Senopati?” tanya Adipati Argarota sambil menoleh ke Senopati Jatiraga.

“Ampuni hamba. Tetapi apa yang Gusti Adipati lakukan ini dapat membahayakan keselamatan Anda sendiri,” jelas Senopati Jatiraga sambil menundukkan kepalanya.

“Aku mengerti adikku. Tapi pantang bagiku berdiam diri sementara prajurit terbaikku berkorban nyawa untuk melindungi kota ini,” seru Adipati Argarota sambil mengepalkan tangannya.

“Tetapi Gusti Adipati, hal ini sangat berbahaya bagi keselamatan Anda. Mohon Gusti Adipati dapat mempertimbangkan kembali,” tutur Senopati Jatiraga sambil tetap menundukkan kepalanya.

“Cukup Senopati...! ini adalah keinginanku dan ini telah menjadi perintahku kepadamu, apa kau kini berniat membantah perintahku Senopati Jatiraga!” bentak Adipati Argarota kepada Senopati Jatiraga.

“Hamba tidak berani Gusti.” Senopati Jatiraga menggelengkan kepalanya perlahan. “Jika ini menjadi perintah Gusti Adipati, akan hamba jalankan dengan sepenuh hati,” lanjut Senopati Jatiraga.

Begitu mendengar jawaban dari Senopati Jatiraga, Adipati Argarota tersenyum kecil. Walaupun sebenarnya ada rasa bersalah di dalam diri Sang Adipati karena telah kasar kepada adik seperguruannya.

Tiba-tiba Pasukan Kerajaan Ambarata memulai penyerangan, mereka mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menyerang langsung ke arah gerbang selatan Kota Kithara. 

“Pasukan Ambarata mulai bergerak Gusti Adipati,” ucap salah satu pasukan penjaga.

“Pasukan pemanah bersiap,” perintah Adipati Argarota.

“Daulat Gusti,” jawab Dutasena sambil memberikan isyarat kepada pasukan pemanah untuk bersiap menyerang.

Begitu melihat isyarat yang diberikan oleh Dutasena, seluruh pasukan pemanah telah bersiap dengan anak panah yang terpasang di busur mereka.

Adipati Argarota menunggu saat yang tepat hingga Pasukan Kerajaan Ambarata memasuki jangkauan serang pasukan pemanahnya.

Setelah menunggu beberapa saat, Pasukan Kerajaan Ambarata sudah memasuki jangkauan serang pasukan pemanah.

“Serang!” seru Adipati Argarota.

Dutasena langsung memberikan isyarat kepada seluruh pasukan pemanah untuk menyerang begitu mendapatkan perintah dari Adipati Argarota.

Begitu mendapatkan isyarat menyerang, seluruh pasukan pemanah melepaskan anak panah mereka. Seketika seluruh langit dipenuhi oleh puluhan ribu anak panah yang mengarah langsung ke arah Pasukan Kerajaan Ambarata.

Jerit teriak para prajurit yang terkena serangan anak panah mengisi ruang udara. Bersamaan dengan itu, gencatan senjata antara kedua kerajaan besar di daratan utama ini telah berakhir dan menandakan dimulainya babak baru di daratan utama.

Related chapters

  • Ksatria Prabangkara   Bab 7. Kemenangan yang Aneh

    Meskipun serangan pasukan pemanah telah menghabisi banyak Pasukan Kerajaan Ambarata. Tetapi hal itu tidaklah menghentikan mereka untuk terus mendekati gerbang selatan kota. “Persiapkan Pasukan Pedang,” perintah Adipati Argarota. Dutasena kembali memberikan isyarat untuk menyiapkan Pasukan Pedang, mendapati isyarat dari Dutasena, Pasukan Pedang segera bersiap mengatur formasinya. Pasukan Pedang merupakan satuan pasukan dari Kerajaan Prabangkara yang dibentuk khusus oleh Adipati Argarota. Walaupun secara kekuatan pasukan tersebut masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Pasukan Bindiwala ataupun Pasukan Satyawira. Namun Pasukan Pedang memiliki kelebihan bila menghadapi pertarungan jarak dekat, karena mereka memiliki senjata andalan yaitu Pedang Sarala.

    Last Updated : 2022-04-11
  • Ksatria Prabangkara   Bab 8. Pesan Empu Among Jiwa

    Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Galisaka yang diminta oleh Empu Among Jiwa menyampaikan pesan kepada Senopati Jatiraga di gerbang selatan memacu kuda tunggangannya dengan kencang. Namun perjalanan Galisaka harus terhalang oleh iring-iringan Pasukan Bindiwala yang menuju gerbang utara.“Minggir...! Minggir...! Beri jalan...!” teriak beberapa prajurit berkuda. Bersamaan dengan melintasnya Pasukan Bindiwala membawa perisai dan senjata tombak andalan mereka.“Ada apa ini, mengapa Pasukan Bindiwala bergerak menuju gerbang utara?” gumam Galisaka dengan raut kegelisahan terukir diwajahnya.Kegelisahan yang dirasakan oleh Galisaka sangatlah wajar melihat

    Last Updated : 2022-04-11
  • Ksatria Prabangkara   Bab 9. Serangan di Garhupiksa

    Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Di sebuah gubuk tua, di sebelah timur dari alun-alun Kithara, seorang lelaki tua mengenakan jubah hitam panjang dan longgar dengan seluruh rambut dan kumisnya yang telah memutih sedang sibuk meramu obat dari berbagai macam herbal.Setelah menuangkan ramuan obat yang telah masak ke dalam mangkuk kecil, sambil membawa ramuan obat, lelaki tua itu berjalan perlahan mendekati seorang gadis muda yang sedang terbaring di dipan. “Ramuan obat ini akan mengembalikan tenaga dalammu dengan cepat, minumlah,” ucap lelaki tua itu sambil menyerahkan mangkuk yang berisi ramuan obat kepada gadis muda itu.“Baik guru,” jawab gadis muda patuh seraya menga

    Last Updated : 2022-04-11
  • Ksatria Prabangkara   Bab 10. Terbunuhnya Degasoka

    Berkat serangan membabi buta Kebo Sita di Garhupiksa membuat Sima dengan mudah menyusup ke dalam penjara bawah tanah tempat Degasoka ditahan.“Siapa disana?” tanya prajurit yang menjaga salah satu ruang penjara begitu melihat Sima mendekatinya.Tidak menggubris pertanyaan prajurit tersebut, Sima langsung menyerang beberapa prajurit yang berjaga di depan ruangan itu, secepat kilat ia meraih leher salah seorang prajurit, lalu dengan sedikit gerakan pendekar wanita itu mematahkan leher prajurit malang itu hingga akhirnya tewas.Hampir dengan cara yang sama, Sima mengulangi serangannya tadi kepada para prajurit yang lain, hingga seluruh prajurit penjaga tewas mengenaskan di tangannya.Kemudian ia mengambil kunci dari salah satu mayat prajurit yang tergeletak dan segera membuka ruang tahanan tempat Degasoka ditahan.“Kupikir ada keributan apa di luar sana, ternyata itu semua ulahmu adik seperguruanku,” ucap Degasoka begitu Sima membuka pintu ruang tahanan.“Melihat keadaanmu sekarang tidak

    Last Updated : 2022-06-01
  • Ksatria Prabangkara   Bab 11. Hilangnya Aditara

    Bersamaan dengan penyerangan Garhupiksa oleh Kebo Sita dan Sima. Di kediaman Empu Among Jiwa yang terletak sebelah utara dari Garhupiksa, sang empu terus berjaga guna mengantisipasi jika terdapat serangan dari tamu yang tidak diinginkan. “Krek…!” Tiba-tiba terdengar suara ranting patah seperti terinjak. Empu Among Jiwa dengan cepat membawa Aditara yang sedang tak sadarkan diri untuk keluar dari kediamannya. Apa yang dilakukan oleh Empu Among Jiwa sungguh sangat tepat, selang beberapa detik setelah ia meninggalkan kediamannya, tiba-tiba saja gumpalan bola api meluncur begitu cepat. Bola api itu langsung menghantam kediaman dari Empu Among Jiwa, lalu terdengar suara hantaman yang begitu keras disusul api yang langsung berkobar membakar habis kediaman dari Empu Among. Empu Among Jiwa berdiri dengan tegak dengan sorot mata yang tajam ke arah kediamannya yang tengah terlalap api sembari memperhatikan keadaan sekitar. Setelah memastikan bahwa keadaan aman sang empu merebahkan tubuh Adita

    Last Updated : 2022-06-01
  • Ksatria Prabangkara   Bab 12. Kekacauan di Kithara

    Setelah berhasil membunuh Degasoka, Sima segera memberikan tanda kepada Ki Mahesa dengan menyalakan kembang api berwarna hitam ke angkasa.Selepas itu, ia pergi menemui Kebo Sita yang sedang menghadapi pasukan penjaga di halaman tengah. Namun ketika ia tiba disana, sebuah kengerian terpampang nyata dihadapannya. Mayat para prajurit penjaga bertebaran dimana-mana, darah merah segar membanjiri tanah. Sementara di sudut lain terlihat Kebo Sita sedang memukuli seorang penjaga yang sudah tak bernyawa.“Cukup Kebo Sita, ia sudah tidak bernyawa,” bentak Sima kepada Kebo Sita.Mendengar teriakan Sima yang menggelegar, sontak Kebo Sita berhenti memukuli mayat penjaga malang itu, kemudian melempar tubuh penjaga itu ke arah lain. “oh rupanya kau telah berhasil melaksanakan misimu,” jawab Kebo Sita dengan santai.“Bukankah yang kau lakukan ini sangat berlebihan Kebo Sita?” tanya Sima dengan geram. Meskipun Sima diasuh dan dilatih oleh Ki Mahesa sebagai seorang pembunuh keji. Namun tetap saja ia

    Last Updated : 2022-06-01
  • Ksatria Prabangkara   Bab 13. Pembunuh di Kedhaton Madyantara Bagian 1

    Dewi Widia Ayu sedang duduk termenung di Taman Agung Kedhaton ketika seorang perempuan muda yang merupakan salah satu dayang kedhaton berlari menghampirinya.“Mohon ampun Gusti Ayu, maafkan hamba telah mengganggu waktu anda. Tetapi ada hal penting yang harus hamba sampaikan kepada Gusti Ayu segera,” tutur dayang tersebut dengan nafas terengah-engah.Seketika Dewi Widia Ayu tersadar dari lamunannya, kemudian berjalan ke arah dayang tadi. “Mengapa kau nampak gusar sekali, memang ada kejadian apa?” Dewi Widia Ayu bertanya dengan nada lembut.“Mohon izin Gusti Ayu, baru saja hamba mendapatkan informasi dari pasukan penjaga kedhaton, bahwa ada seorang pendekar sakti yang sedang mengamuk di alun-alun kota. Dari kabar yang hamba dengar, pendekar sakti tersebut telah mengalahkan seluruh pasukan penjaga kota yang bertugas di alun-alun,” tutur dayang tersebut sambil menundukkan kepalanya.“Apa katamu? lalu bagaimana dengan penduduk kota?” tanya Dewi Widia Ayu dengan ekspresi kegelisahan terluki

    Last Updated : 2022-06-01
  • Ksatria Prabangkara   Bab 14. Pembunuh di Kedhaton Madyantara bagian 2

    “Hyaatt…!”Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya yang tersisa, Dirandra melancarkan serangan. Sementara itu, Arya Mandala tidak tampak gentar menghadapi komandan pasukan penjaga kedhaton itu.Serangan demi serangan maut mengalir deras dari kedua pesilat tangguh itu, layaknya gelombang ombak di lautan ganas, menjadikan pertarungan semakin mematikanSetelah melewati beberapa jurus mematikan, Arya Mandala melihat sebuah peluang emas. Tanpa pikir panjang, sebuah pukulan telah langsung disarangkan ke tubuh Dirandra.“Hugh…!”Tubuh Dirandra terpental beberapa hasta setelah sebelumnya memuntahkan darah segar, pukulan Arya Mandala sangatlah mematikan hingga membuat pakaian pelindung yang dikenakan oleh komandan pasukan kedhaton itu hancur seperti terbakar.“Tamat riwayatmu,...!”Tanpa memberi kesempatan kepada lawannya untuk bangkit, Arya Mandala segera melancarkan serangan pamungkasnya untuk menghabisi nyawa Dirandra. Dirandra hanya dapat berdiri terpaku di depan Arya Mandala, siap menyam

    Last Updated : 2023-07-25

Latest chapter

  • Ksatria Prabangkara   Bab 14. Pembunuh di Kedhaton Madyantara bagian 2

    “Hyaatt…!”Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya yang tersisa, Dirandra melancarkan serangan. Sementara itu, Arya Mandala tidak tampak gentar menghadapi komandan pasukan penjaga kedhaton itu.Serangan demi serangan maut mengalir deras dari kedua pesilat tangguh itu, layaknya gelombang ombak di lautan ganas, menjadikan pertarungan semakin mematikanSetelah melewati beberapa jurus mematikan, Arya Mandala melihat sebuah peluang emas. Tanpa pikir panjang, sebuah pukulan telah langsung disarangkan ke tubuh Dirandra.“Hugh…!”Tubuh Dirandra terpental beberapa hasta setelah sebelumnya memuntahkan darah segar, pukulan Arya Mandala sangatlah mematikan hingga membuat pakaian pelindung yang dikenakan oleh komandan pasukan kedhaton itu hancur seperti terbakar.“Tamat riwayatmu,...!”Tanpa memberi kesempatan kepada lawannya untuk bangkit, Arya Mandala segera melancarkan serangan pamungkasnya untuk menghabisi nyawa Dirandra. Dirandra hanya dapat berdiri terpaku di depan Arya Mandala, siap menyam

  • Ksatria Prabangkara   Bab 13. Pembunuh di Kedhaton Madyantara Bagian 1

    Dewi Widia Ayu sedang duduk termenung di Taman Agung Kedhaton ketika seorang perempuan muda yang merupakan salah satu dayang kedhaton berlari menghampirinya.“Mohon ampun Gusti Ayu, maafkan hamba telah mengganggu waktu anda. Tetapi ada hal penting yang harus hamba sampaikan kepada Gusti Ayu segera,” tutur dayang tersebut dengan nafas terengah-engah.Seketika Dewi Widia Ayu tersadar dari lamunannya, kemudian berjalan ke arah dayang tadi. “Mengapa kau nampak gusar sekali, memang ada kejadian apa?” Dewi Widia Ayu bertanya dengan nada lembut.“Mohon izin Gusti Ayu, baru saja hamba mendapatkan informasi dari pasukan penjaga kedhaton, bahwa ada seorang pendekar sakti yang sedang mengamuk di alun-alun kota. Dari kabar yang hamba dengar, pendekar sakti tersebut telah mengalahkan seluruh pasukan penjaga kota yang bertugas di alun-alun,” tutur dayang tersebut sambil menundukkan kepalanya.“Apa katamu? lalu bagaimana dengan penduduk kota?” tanya Dewi Widia Ayu dengan ekspresi kegelisahan terluki

  • Ksatria Prabangkara   Bab 12. Kekacauan di Kithara

    Setelah berhasil membunuh Degasoka, Sima segera memberikan tanda kepada Ki Mahesa dengan menyalakan kembang api berwarna hitam ke angkasa.Selepas itu, ia pergi menemui Kebo Sita yang sedang menghadapi pasukan penjaga di halaman tengah. Namun ketika ia tiba disana, sebuah kengerian terpampang nyata dihadapannya. Mayat para prajurit penjaga bertebaran dimana-mana, darah merah segar membanjiri tanah. Sementara di sudut lain terlihat Kebo Sita sedang memukuli seorang penjaga yang sudah tak bernyawa.“Cukup Kebo Sita, ia sudah tidak bernyawa,” bentak Sima kepada Kebo Sita.Mendengar teriakan Sima yang menggelegar, sontak Kebo Sita berhenti memukuli mayat penjaga malang itu, kemudian melempar tubuh penjaga itu ke arah lain. “oh rupanya kau telah berhasil melaksanakan misimu,” jawab Kebo Sita dengan santai.“Bukankah yang kau lakukan ini sangat berlebihan Kebo Sita?” tanya Sima dengan geram. Meskipun Sima diasuh dan dilatih oleh Ki Mahesa sebagai seorang pembunuh keji. Namun tetap saja ia

  • Ksatria Prabangkara   Bab 11. Hilangnya Aditara

    Bersamaan dengan penyerangan Garhupiksa oleh Kebo Sita dan Sima. Di kediaman Empu Among Jiwa yang terletak sebelah utara dari Garhupiksa, sang empu terus berjaga guna mengantisipasi jika terdapat serangan dari tamu yang tidak diinginkan. “Krek…!” Tiba-tiba terdengar suara ranting patah seperti terinjak. Empu Among Jiwa dengan cepat membawa Aditara yang sedang tak sadarkan diri untuk keluar dari kediamannya. Apa yang dilakukan oleh Empu Among Jiwa sungguh sangat tepat, selang beberapa detik setelah ia meninggalkan kediamannya, tiba-tiba saja gumpalan bola api meluncur begitu cepat. Bola api itu langsung menghantam kediaman dari Empu Among Jiwa, lalu terdengar suara hantaman yang begitu keras disusul api yang langsung berkobar membakar habis kediaman dari Empu Among. Empu Among Jiwa berdiri dengan tegak dengan sorot mata yang tajam ke arah kediamannya yang tengah terlalap api sembari memperhatikan keadaan sekitar. Setelah memastikan bahwa keadaan aman sang empu merebahkan tubuh Adita

  • Ksatria Prabangkara   Bab 10. Terbunuhnya Degasoka

    Berkat serangan membabi buta Kebo Sita di Garhupiksa membuat Sima dengan mudah menyusup ke dalam penjara bawah tanah tempat Degasoka ditahan.“Siapa disana?” tanya prajurit yang menjaga salah satu ruang penjara begitu melihat Sima mendekatinya.Tidak menggubris pertanyaan prajurit tersebut, Sima langsung menyerang beberapa prajurit yang berjaga di depan ruangan itu, secepat kilat ia meraih leher salah seorang prajurit, lalu dengan sedikit gerakan pendekar wanita itu mematahkan leher prajurit malang itu hingga akhirnya tewas.Hampir dengan cara yang sama, Sima mengulangi serangannya tadi kepada para prajurit yang lain, hingga seluruh prajurit penjaga tewas mengenaskan di tangannya.Kemudian ia mengambil kunci dari salah satu mayat prajurit yang tergeletak dan segera membuka ruang tahanan tempat Degasoka ditahan.“Kupikir ada keributan apa di luar sana, ternyata itu semua ulahmu adik seperguruanku,” ucap Degasoka begitu Sima membuka pintu ruang tahanan.“Melihat keadaanmu sekarang tidak

  • Ksatria Prabangkara   Bab 9. Serangan di Garhupiksa

    Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Di sebuah gubuk tua, di sebelah timur dari alun-alun Kithara, seorang lelaki tua mengenakan jubah hitam panjang dan longgar dengan seluruh rambut dan kumisnya yang telah memutih sedang sibuk meramu obat dari berbagai macam herbal.Setelah menuangkan ramuan obat yang telah masak ke dalam mangkuk kecil, sambil membawa ramuan obat, lelaki tua itu berjalan perlahan mendekati seorang gadis muda yang sedang terbaring di dipan. “Ramuan obat ini akan mengembalikan tenaga dalammu dengan cepat, minumlah,” ucap lelaki tua itu sambil menyerahkan mangkuk yang berisi ramuan obat kepada gadis muda itu.“Baik guru,” jawab gadis muda patuh seraya menga

  • Ksatria Prabangkara   Bab 8. Pesan Empu Among Jiwa

    Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Galisaka yang diminta oleh Empu Among Jiwa menyampaikan pesan kepada Senopati Jatiraga di gerbang selatan memacu kuda tunggangannya dengan kencang. Namun perjalanan Galisaka harus terhalang oleh iring-iringan Pasukan Bindiwala yang menuju gerbang utara.“Minggir...! Minggir...! Beri jalan...!” teriak beberapa prajurit berkuda. Bersamaan dengan melintasnya Pasukan Bindiwala membawa perisai dan senjata tombak andalan mereka.“Ada apa ini, mengapa Pasukan Bindiwala bergerak menuju gerbang utara?” gumam Galisaka dengan raut kegelisahan terukir diwajahnya.Kegelisahan yang dirasakan oleh Galisaka sangatlah wajar melihat

  • Ksatria Prabangkara   Bab 7. Kemenangan yang Aneh

    Meskipun serangan pasukan pemanah telah menghabisi banyak Pasukan Kerajaan Ambarata. Tetapi hal itu tidaklah menghentikan mereka untuk terus mendekati gerbang selatan kota. “Persiapkan Pasukan Pedang,” perintah Adipati Argarota. Dutasena kembali memberikan isyarat untuk menyiapkan Pasukan Pedang, mendapati isyarat dari Dutasena, Pasukan Pedang segera bersiap mengatur formasinya. Pasukan Pedang merupakan satuan pasukan dari Kerajaan Prabangkara yang dibentuk khusus oleh Adipati Argarota. Walaupun secara kekuatan pasukan tersebut masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Pasukan Bindiwala ataupun Pasukan Satyawira. Namun Pasukan Pedang memiliki kelebihan bila menghadapi pertarungan jarak dekat, karena mereka memiliki senjata andalan yaitu Pedang Sarala.

  • Ksatria Prabangkara   Bab 6. Peperangan di Gerbang Selatan

    Di Kedhaton Madyantara, Adipati Argarota telah mengenakan pakaian perang lengkap dengan keris yang tersemat di pinggangnya. Kemudian dengan langkah tegap ia berjalan menuju Kaputren Rajani berniat untuk menjumpai istrinya. Namun Dewi Widia Ayu, istri dari Adipati Argarota sedang bermain kecapi di Bale Bengong yang berada di taman kaputren. Mengetahui istri tercintanya sedang hanyut dalam permainan kecapi, Adipati Argarota melarang para dayang mengumumkan kedatangan dirinya dan memutuskan untuk sejenak menikmati alunan irama kecapi yang dimainkan oleh Dewi Widia Ayu. Beberapa saat kemudian Dewi Widia Ayu telah menyelesaikan permainan kecapinya. Akan tetapi begitu membuka matanya yang sedari tadi terpejam, Sang Ratu merasa heran karena melihat para dayang sedang berdiri mematung sambil menundu

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status