Pasukan Satyawira akhirnya tiba di Kithara melalui gerbang utara. Kithara merupakan kota penting bagi Kerajaan Prabangkara, karena menjadi garis depan pertahanan kerajaan. Oleh karena itu, Maha Patih Dalengga sengaja menempatkan Pasukan Satyawira di kota tersebut guna menghalau serangan dari Kerajaan Ambarata serta menjaga keamanan Kithara.
Kembali ke Pasukan Satyawira yang baru saja memasuki Kithara. Tanpa mengulur waktu, Jatiraga langsung memerintahkan membawa Degasoka ke Garhupiksa yang merupakan tempat interogasi dan pemeriksaan tahanan.
"Galisaka segera temui Empu Among Jiwa untuk memeriksa keadaan Aditara," perintah Jatiraga kepada Galisaka.
"Daulat Senopati." Galisaka langsung menuju tempat Empu Among Jiwa yang berada di sebelah barat kota.
Sedangkan Jatiraga tetap berkuda menuju Garhupiksa.
"Ekawira, bawa Degasoka ke dalam ruang pemeriksaan, akan aku buat ia menyesal telah berani menyusup ke kota ini," ucap Jatiraga dengan penuh kekesalan begitu tiba di Garhupiksa, setelah sebelumnya turun dari kudanya.
"Baik Senopati," jawab Ekawira sebelum memerintahkan beberapa prajurit yang ada di Garhupiksa untuk membawa Degasoka menuju ruang pemeriksaan.
"Dutasena pimpin sebagian anggota Pasukan Satyawira untuk melakukan pengawasan di luar tembok kota dan perintahkan pasukan penjaga gerbang untuk memperketat pengamanan pada setiap gerbang masuk kota," perintah Jatiraga kepada Dutasena.
"Daulat Senopati," jawab Dutasena dengan penuh penghormatan, setelah itu memimpin sejumlah pasukan satyawira melakukan pengawasan diluar tembok kota.
Usai memberikan perintah, Jatiraga segera menuju ruang pemeriksaan, tak lama setelah Dutasena pergi meninggalkan Garhupiksa.
Ruang pemeriksaan berada dua tingkat di bawah tanah. Hal tersebut dimaksudkan, agar teriakan kesakitan dari para tahanan yang sedang diinterogasi tidak terdengar sampai keluar Garhupiksa.
Begitu masuk ke dalam ruang pemeriksaan, hawa lembab amat terasa, bercak-bercak darah terpampang nyata ditembok.
"krekk." Pintu terbuka perlahan, tak lama pria gagah dengan badan tegap memasuki ruangan itu. Pria itu tak lain adalah Jatiraga.
"Aku harap kau menikmati istirahatmu Degasoka," ucap Jatiraga sambil berjalan perlahan mendekati Degasoka.
"Ya, sungguh menyenangkan. Tetapi amat disayangkan dayangmu ini tidak terlalu baik melayaniku." Degasoka tersenyum sinis sambil menatap Ekawira.
"Bajingan kau Degasoka." Ekawira yang merasa tersinggung dengan perkataan Degasoka langsung mendaratkan tinjunya kepada Degasoka.
Tak anyal Degasoka langsung terjatuh ke tanah begitu menerima tinju keras dari Ekawira, darah segar keluar dari mulutnya. Meskipun begitu, tubuh Degasoka yang telah terlatih, masih mampu menahan pukulan Ekawira sehingga tidak sampai terluka parah.
“Hahaha… kau sebut itu tadi pukulan, itu tak lebih seperti tepukan lembut bagiku.” Degasoka tertawa sambil berusaha bangun.
“Akan aku tutup mulut besarmu sekarang juga!” gertak Ekawira dengan penuh kekesalan sembari mengepalkan tangannya.
"Cukup, kendalikan dirimu Ekawira!" ucap Jatiraga dengan tegas.
“Maafkan hamba, Senopati.” Ekawira menundukkan kepalanya begitu mendengar perkataan dari Jatiraga.
“Kau lihat itu Degasoka, kelihatannya anak buahku sangat membenci dirimu. Apa aku biarkan saja ia menghajarmu sampai mati disini?” Jatiraga berkata sambil mendekat wajahnya ke arah Degasoka.
Degasoka hanya tersenyum terkekeh, sambil membersihkan sisa darah yang berada di sudut mulutnya.
“Lakukan apa yang kau inginkan Jatiraga. Tapi perlu kau tahu, aku akan membunuhmu dengan tanganku.” Degasoka menatap Jatiraga sambil terseyum lebar, menampakkan giginya yang berselimut dengan darah.
“Hahahaha… membunuhku, kau katakan kau akan membunuhku, kau memang sangat lucu Degasoka.” Jatiraga tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan dari Degasoka.
Setelah berhenti tertawa, Jatiraga langsung menendang tubuh Degasoka dengan sekuat tenaga hingga membuatnya terpental sampai membentur dinding. Seakan belum cukup, Jatiraga terus melayangkan pukulan ke wajah dan perut Degasoka hingga membuatnya babak belur.
Ekawira yang menyaksikan hal tersebut, tidak berani menghalangi, ia hanya diam sambil menyaksikan Degasoka yang terus menerima pukulan dari Jatiraga.
“Bukankah kau tadi sesumbar ingin membunuhku Degasoka. Tapi lihat dirimu sekarang, sangat menyedihkan,” sindir Jatiraga sambil membersihkan noda darah dari tangannya dengan sehelai kain putih.
“Aku pikir pukulanmu jauh lebih baik dari pada dayangmu tadi. Ternyata kalian sama buruknya, pergi kalian ke neraka, para pecundang Prabangkara.” Degasoka berteriak sambil menatap sinis Jatiraga.
Jatiraga naik pitam mendengar perkataan tersebut, dijambaknya rambut Degasoka, kemudian ia hempaskan sekuat tenaga hingga membuat tubuh Degasoka terpelanting dan menabrak tembok untuk kedua kalinya. Dengan penuh amarah, Jatiraga mengangkat tubuh Degasoka dengan cara mencekik lehernya.
“Dengar kau bajingan, aku tidak memiliki waktu untuk bermain-main denganmu. Katakan, mengapa kau ada di Kithara bersama dua anggotamu?” Jatiraga mengajukan pertanyaan sambil tetap mencengkram leher Degasoka.
“Hehehe… kami hanya melihat-lihat keindahan Kota Kithara yang amat termasyur, apakah itu sebuah kejahatan?” Degasoka menjawab sambil tertawa terkekeh.
“Omong kosong! baiklah jika kau tetap bersikeras, akan kuantar kau menuju kematian.” Jatiraga langsung mendaratkan pukulan keras di dada Degasoka.
Degasoka kembali tersungkur ke tanah serta memuntahkan darah setelah menerima pukulan keras Jatiraga. Kemudian bersamaan dengan tersungkurnya Degasoka, pintu ruang pemeriksaan dibuka dengan keras.
"Maafkan hamba mengganggu Senopati, ada kabar yang harus segera hamba sampaikan," ucap seorang prajurit dari bibir pintu, prajurit tersebut tak lain adalah Dutasena yang saat ini sedang dalam posisi menundukkan kepalanya.
"Ada apa Dutasena, bukankah kuperintahkan kau untuk melakukan pengawasan di luar tembok kota?” Jatiraga bertanya keheranan melihat Dutasena.
“Mohon ampun Senopati, ada keadaan mendesak yang memaksa hamba menghentikan pengawasan di luar tembok kota.” Dutasena masih belum beranjak dari posisinya.
“Keadaan mendesak apa yang kau maksud Dutasena?” tanya Jatiraga sambil berjalan mendekati Dutasena
“Mohon ampun Senopati, saat hamba sedang melakukan pengawasan di sekitar tembok luar kota, hamba menerima laporan dari pasukan penjaga gerbang selatan. Mereka mengatakan melihat iring-iringan pasukan dengan membawa panji Kerajaan Ambarata sedang menuju kota,” ucap Dutasena yang masih belum beranjak dari posisinya.
“Sebelah selatan, bukankah itu arah ibu kota, apakah kau yakin dengan yang kau katakan Dutasena?” Setiap kata Jatiraga menyiratkan kebingungan luar biasa.
“Mohon ampun Senopati, hamba sangat yakin. Hamba telah memerintahkan Pasukan Satyawira untuk memeriksa hal tersebut dan ternyata memang benar Senopati.” Dutasena menjawab sambil tetap menundukkan kepalanya. Namun tak ada satupun nada keraguan dari setiap kata-katanya.
Mendengar hal tersebut, raut gelisah terlihat jelas di wajah Jatiraga, kemudian ia berjalan menuju Degasoka yang sedang tersungkur dan kembali menjambak rambut Degasoka.
“Apa yang kau rencanakan bajingan, mengapa pasukan Kerajaan Ambarata bisa datang dari arah selatan?” Jatiraga menjambak dengan kuat rambut Degasoka.
“Hehehe… kau seharusnya memperhatikan kemana kau arahkan pedangmu Jatiraga.” Degasoka berkata sambil terkekeh.
Tidak senang dengan jawaban dari Degasoka, Jatiraga membenturkan kepala Degasoka ke lantai, hingga membuat darah segar mengalir dari kepala Degasoka. Walaupun begitu, hal tersebut tidak membuatnya puas.
Dalam benaknya, tentu Jatiraga sangat ingin mengorek informasi dari Degasoka. Namun dalam keadaan genting seperti ini, jelas melakukan hal tersebut bukanlah pilihan yang bijak.
“Perintahkan penjaga untuk memperketat penjagaan disini, jangan biarkan seorang pun masuk tanpa seizinku. Ekawira, Dutasena segera siapkan seluruh Pasukan Satyawira, kita akan lindungi kota ini apapun taruhannya,” perintah Jatiraga sebelum bergegas meninggalkan ruang pemeriksaan dan bergegas menuju aula utama Garhupiksa.
“Daulat Senopati.” Ekawira dan Dutasena segera melaksanakan perintah Jatiraga.
“Siapkan kudaku,” perintah Jatiraga kepada salah satu pasukan begitu ia memasuki Aula Garhupiksa
Tak menunggu waktu lama, seluruh Pasukan Satyawira telah berkumpul di depan Garhupiksa dengan persenjataan lengkap.
“Ekawira kau pimpin Pasukan Bindiwala di gerbang utara, perketat penjagaan disana,” perintah Jatiraga.
“Daulat Senopati.” Ekawira menjawab dengan mantap sebelum berangkat menuju gerbang utara bersama dengan Pasukan Bindiwala.
Pasukan Bindiwala adalah pasukan yang memiliki kemampuan satu tingkat dibawah Pasukan Satyawira. Walaupun begitu, kemampuan mereka tidak dapat dianggap remeh, dengan tombak sebagai senjata utamanya. Pasukan Bindiwala merupakan momok yang menakutkan bagi seluruh musuh Kerajaan Prabangkara, tidak terkecuali Ambarata.
“Dutasena segera pergi ke Kedhaton Madyantara. Sampaikan kepada Adipati Argarota bahwa kota telah diserang oleh pasukan Kerajaan Ambarata dari arah selatan. Selain itu, kau harus meminta Adipati Argarota untuk tetap berada di Kedhaton Madyantara.” Setelah memberikan perintah, Jatiraga memimpin seluruh Pasukan Satyawira menuju gerbang selatan.
“Daulat Senopati.” Dutasena menjawab dengan tegas, setelah itu ia segera pergi menuju Kedhaton Madyantara.
Sesampainya di Kedhaton Madyantara, Dutasena segera menuju Pendopo Kertaraja yang berlokasi di tengah-tengah kompleks Kedhaton. “Mohon Ampun Gusti Adipati, hamba Dutasena dari Pasukan Satyawira mohon ijin untuk menghadap.” Dutasena berjongkok menunduk tepat di depan pintu masuk pendopo kertaraja. “Bangun dan kemarilah Dutasena, mengapa engkau yang menghadap, dimana Jatiraga?” tanya seseorang yang duduk di kursi berukir burung rajawali yang berlapiskan emas. Suara yang penuh akan wibawa tersebut kini memandang Dutasena dengan penuh tanya. Ia adalah Argarota. Adipati yang diberikan mandat oleh Maha Patih Dalengga untuk memimpin Kithara. Mematuhi perintah Argarota, Dutasena segera bangkit berdiri selanjutnya berjalan perlahan memasuki Pendopo Kertaraja sambil menundukkan kepalanya. Begitu sampai ditengah-tengah pendopo, ia kembali mengambil posisi berjongkok menunduk, “Mohon ampun Gusti Ad
“Jurus Tapak Nirdaya diciptakan oleh Ki Jagat Sukma, pemimpin Perguruan Ekor Naga Emas puluhan tahun yang lalu. Saat itu, Perguruan Ekor Naga Emas merupakan salah satu perguruan silat yang paling disegani di daratan utama. Karena disamping menghasilkan para pendekar-pendekar hebat, perguruan tersebut juga mendapatkan dukungan penuh dari Kerajaan Arnata…” Belum sempat Empu Among Jiwa melanjutkan kata-katanya, Galisaka dengan tergesa memotong penjelasan Empu Among Jiwa. “Kerajaan Arnata..., bukankah kerajaan tersebut telah hancur puluhan tahun yang lalu Empu,” sahut Galisaka dengan raut wajah penuh keterkejutan. Melihat ekspresi terkejut dan penasaran yang ditunjukkan oleh Galisaka, Empu Among Jiwa hanya dapat tersenyum lebar, “Hahaha… kau mengingatkan pada masa mudaku Galisaka, penuh dengan semangat yang menggebu-gebu,” ucap Empu Among Jiwa sambil tertawa terbahak-bahak. “Mohon maaf Empu, moho
Di Kedhaton Madyantara, Adipati Argarota telah mengenakan pakaian perang lengkap dengan keris yang tersemat di pinggangnya. Kemudian dengan langkah tegap ia berjalan menuju Kaputren Rajani berniat untuk menjumpai istrinya. Namun Dewi Widia Ayu, istri dari Adipati Argarota sedang bermain kecapi di Bale Bengong yang berada di taman kaputren. Mengetahui istri tercintanya sedang hanyut dalam permainan kecapi, Adipati Argarota melarang para dayang mengumumkan kedatangan dirinya dan memutuskan untuk sejenak menikmati alunan irama kecapi yang dimainkan oleh Dewi Widia Ayu. Beberapa saat kemudian Dewi Widia Ayu telah menyelesaikan permainan kecapinya. Akan tetapi begitu membuka matanya yang sedari tadi terpejam, Sang Ratu merasa heran karena melihat para dayang sedang berdiri mematung sambil menundu
Meskipun serangan pasukan pemanah telah menghabisi banyak Pasukan Kerajaan Ambarata. Tetapi hal itu tidaklah menghentikan mereka untuk terus mendekati gerbang selatan kota. “Persiapkan Pasukan Pedang,” perintah Adipati Argarota. Dutasena kembali memberikan isyarat untuk menyiapkan Pasukan Pedang, mendapati isyarat dari Dutasena, Pasukan Pedang segera bersiap mengatur formasinya. Pasukan Pedang merupakan satuan pasukan dari Kerajaan Prabangkara yang dibentuk khusus oleh Adipati Argarota. Walaupun secara kekuatan pasukan tersebut masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Pasukan Bindiwala ataupun Pasukan Satyawira. Namun Pasukan Pedang memiliki kelebihan bila menghadapi pertarungan jarak dekat, karena mereka memiliki senjata andalan yaitu Pedang Sarala.
Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Galisaka yang diminta oleh Empu Among Jiwa menyampaikan pesan kepada Senopati Jatiraga di gerbang selatan memacu kuda tunggangannya dengan kencang. Namun perjalanan Galisaka harus terhalang oleh iring-iringan Pasukan Bindiwala yang menuju gerbang utara.“Minggir...! Minggir...! Beri jalan...!” teriak beberapa prajurit berkuda. Bersamaan dengan melintasnya Pasukan Bindiwala membawa perisai dan senjata tombak andalan mereka.“Ada apa ini, mengapa Pasukan Bindiwala bergerak menuju gerbang utara?” gumam Galisaka dengan raut kegelisahan terukir diwajahnya.Kegelisahan yang dirasakan oleh Galisaka sangatlah wajar melihat
Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Di sebuah gubuk tua, di sebelah timur dari alun-alun Kithara, seorang lelaki tua mengenakan jubah hitam panjang dan longgar dengan seluruh rambut dan kumisnya yang telah memutih sedang sibuk meramu obat dari berbagai macam herbal.Setelah menuangkan ramuan obat yang telah masak ke dalam mangkuk kecil, sambil membawa ramuan obat, lelaki tua itu berjalan perlahan mendekati seorang gadis muda yang sedang terbaring di dipan. “Ramuan obat ini akan mengembalikan tenaga dalammu dengan cepat, minumlah,” ucap lelaki tua itu sambil menyerahkan mangkuk yang berisi ramuan obat kepada gadis muda itu.“Baik guru,” jawab gadis muda patuh seraya menga
Berkat serangan membabi buta Kebo Sita di Garhupiksa membuat Sima dengan mudah menyusup ke dalam penjara bawah tanah tempat Degasoka ditahan.“Siapa disana?” tanya prajurit yang menjaga salah satu ruang penjara begitu melihat Sima mendekatinya.Tidak menggubris pertanyaan prajurit tersebut, Sima langsung menyerang beberapa prajurit yang berjaga di depan ruangan itu, secepat kilat ia meraih leher salah seorang prajurit, lalu dengan sedikit gerakan pendekar wanita itu mematahkan leher prajurit malang itu hingga akhirnya tewas.Hampir dengan cara yang sama, Sima mengulangi serangannya tadi kepada para prajurit yang lain, hingga seluruh prajurit penjaga tewas mengenaskan di tangannya.Kemudian ia mengambil kunci dari salah satu mayat prajurit yang tergeletak dan segera membuka ruang tahanan tempat Degasoka ditahan.“Kupikir ada keributan apa di luar sana, ternyata itu semua ulahmu adik seperguruanku,” ucap Degasoka begitu Sima membuka pintu ruang tahanan.“Melihat keadaanmu sekarang tidak
Bersamaan dengan penyerangan Garhupiksa oleh Kebo Sita dan Sima. Di kediaman Empu Among Jiwa yang terletak sebelah utara dari Garhupiksa, sang empu terus berjaga guna mengantisipasi jika terdapat serangan dari tamu yang tidak diinginkan. “Krek…!” Tiba-tiba terdengar suara ranting patah seperti terinjak. Empu Among Jiwa dengan cepat membawa Aditara yang sedang tak sadarkan diri untuk keluar dari kediamannya. Apa yang dilakukan oleh Empu Among Jiwa sungguh sangat tepat, selang beberapa detik setelah ia meninggalkan kediamannya, tiba-tiba saja gumpalan bola api meluncur begitu cepat. Bola api itu langsung menghantam kediaman dari Empu Among Jiwa, lalu terdengar suara hantaman yang begitu keras disusul api yang langsung berkobar membakar habis kediaman dari Empu Among. Empu Among Jiwa berdiri dengan tegak dengan sorot mata yang tajam ke arah kediamannya yang tengah terlalap api sembari memperhatikan keadaan sekitar. Setelah memastikan bahwa keadaan aman sang empu merebahkan tubuh Adita
“Hyaatt…!”Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya yang tersisa, Dirandra melancarkan serangan. Sementara itu, Arya Mandala tidak tampak gentar menghadapi komandan pasukan penjaga kedhaton itu.Serangan demi serangan maut mengalir deras dari kedua pesilat tangguh itu, layaknya gelombang ombak di lautan ganas, menjadikan pertarungan semakin mematikanSetelah melewati beberapa jurus mematikan, Arya Mandala melihat sebuah peluang emas. Tanpa pikir panjang, sebuah pukulan telah langsung disarangkan ke tubuh Dirandra.“Hugh…!”Tubuh Dirandra terpental beberapa hasta setelah sebelumnya memuntahkan darah segar, pukulan Arya Mandala sangatlah mematikan hingga membuat pakaian pelindung yang dikenakan oleh komandan pasukan kedhaton itu hancur seperti terbakar.“Tamat riwayatmu,...!”Tanpa memberi kesempatan kepada lawannya untuk bangkit, Arya Mandala segera melancarkan serangan pamungkasnya untuk menghabisi nyawa Dirandra. Dirandra hanya dapat berdiri terpaku di depan Arya Mandala, siap menyam
Dewi Widia Ayu sedang duduk termenung di Taman Agung Kedhaton ketika seorang perempuan muda yang merupakan salah satu dayang kedhaton berlari menghampirinya.“Mohon ampun Gusti Ayu, maafkan hamba telah mengganggu waktu anda. Tetapi ada hal penting yang harus hamba sampaikan kepada Gusti Ayu segera,” tutur dayang tersebut dengan nafas terengah-engah.Seketika Dewi Widia Ayu tersadar dari lamunannya, kemudian berjalan ke arah dayang tadi. “Mengapa kau nampak gusar sekali, memang ada kejadian apa?” Dewi Widia Ayu bertanya dengan nada lembut.“Mohon izin Gusti Ayu, baru saja hamba mendapatkan informasi dari pasukan penjaga kedhaton, bahwa ada seorang pendekar sakti yang sedang mengamuk di alun-alun kota. Dari kabar yang hamba dengar, pendekar sakti tersebut telah mengalahkan seluruh pasukan penjaga kota yang bertugas di alun-alun,” tutur dayang tersebut sambil menundukkan kepalanya.“Apa katamu? lalu bagaimana dengan penduduk kota?” tanya Dewi Widia Ayu dengan ekspresi kegelisahan terluki
Setelah berhasil membunuh Degasoka, Sima segera memberikan tanda kepada Ki Mahesa dengan menyalakan kembang api berwarna hitam ke angkasa.Selepas itu, ia pergi menemui Kebo Sita yang sedang menghadapi pasukan penjaga di halaman tengah. Namun ketika ia tiba disana, sebuah kengerian terpampang nyata dihadapannya. Mayat para prajurit penjaga bertebaran dimana-mana, darah merah segar membanjiri tanah. Sementara di sudut lain terlihat Kebo Sita sedang memukuli seorang penjaga yang sudah tak bernyawa.“Cukup Kebo Sita, ia sudah tidak bernyawa,” bentak Sima kepada Kebo Sita.Mendengar teriakan Sima yang menggelegar, sontak Kebo Sita berhenti memukuli mayat penjaga malang itu, kemudian melempar tubuh penjaga itu ke arah lain. “oh rupanya kau telah berhasil melaksanakan misimu,” jawab Kebo Sita dengan santai.“Bukankah yang kau lakukan ini sangat berlebihan Kebo Sita?” tanya Sima dengan geram. Meskipun Sima diasuh dan dilatih oleh Ki Mahesa sebagai seorang pembunuh keji. Namun tetap saja ia
Bersamaan dengan penyerangan Garhupiksa oleh Kebo Sita dan Sima. Di kediaman Empu Among Jiwa yang terletak sebelah utara dari Garhupiksa, sang empu terus berjaga guna mengantisipasi jika terdapat serangan dari tamu yang tidak diinginkan. “Krek…!” Tiba-tiba terdengar suara ranting patah seperti terinjak. Empu Among Jiwa dengan cepat membawa Aditara yang sedang tak sadarkan diri untuk keluar dari kediamannya. Apa yang dilakukan oleh Empu Among Jiwa sungguh sangat tepat, selang beberapa detik setelah ia meninggalkan kediamannya, tiba-tiba saja gumpalan bola api meluncur begitu cepat. Bola api itu langsung menghantam kediaman dari Empu Among Jiwa, lalu terdengar suara hantaman yang begitu keras disusul api yang langsung berkobar membakar habis kediaman dari Empu Among. Empu Among Jiwa berdiri dengan tegak dengan sorot mata yang tajam ke arah kediamannya yang tengah terlalap api sembari memperhatikan keadaan sekitar. Setelah memastikan bahwa keadaan aman sang empu merebahkan tubuh Adita
Berkat serangan membabi buta Kebo Sita di Garhupiksa membuat Sima dengan mudah menyusup ke dalam penjara bawah tanah tempat Degasoka ditahan.“Siapa disana?” tanya prajurit yang menjaga salah satu ruang penjara begitu melihat Sima mendekatinya.Tidak menggubris pertanyaan prajurit tersebut, Sima langsung menyerang beberapa prajurit yang berjaga di depan ruangan itu, secepat kilat ia meraih leher salah seorang prajurit, lalu dengan sedikit gerakan pendekar wanita itu mematahkan leher prajurit malang itu hingga akhirnya tewas.Hampir dengan cara yang sama, Sima mengulangi serangannya tadi kepada para prajurit yang lain, hingga seluruh prajurit penjaga tewas mengenaskan di tangannya.Kemudian ia mengambil kunci dari salah satu mayat prajurit yang tergeletak dan segera membuka ruang tahanan tempat Degasoka ditahan.“Kupikir ada keributan apa di luar sana, ternyata itu semua ulahmu adik seperguruanku,” ucap Degasoka begitu Sima membuka pintu ruang tahanan.“Melihat keadaanmu sekarang tidak
Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Di sebuah gubuk tua, di sebelah timur dari alun-alun Kithara, seorang lelaki tua mengenakan jubah hitam panjang dan longgar dengan seluruh rambut dan kumisnya yang telah memutih sedang sibuk meramu obat dari berbagai macam herbal.Setelah menuangkan ramuan obat yang telah masak ke dalam mangkuk kecil, sambil membawa ramuan obat, lelaki tua itu berjalan perlahan mendekati seorang gadis muda yang sedang terbaring di dipan. “Ramuan obat ini akan mengembalikan tenaga dalammu dengan cepat, minumlah,” ucap lelaki tua itu sambil menyerahkan mangkuk yang berisi ramuan obat kepada gadis muda itu.“Baik guru,” jawab gadis muda patuh seraya menga
Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Galisaka yang diminta oleh Empu Among Jiwa menyampaikan pesan kepada Senopati Jatiraga di gerbang selatan memacu kuda tunggangannya dengan kencang. Namun perjalanan Galisaka harus terhalang oleh iring-iringan Pasukan Bindiwala yang menuju gerbang utara.“Minggir...! Minggir...! Beri jalan...!” teriak beberapa prajurit berkuda. Bersamaan dengan melintasnya Pasukan Bindiwala membawa perisai dan senjata tombak andalan mereka.“Ada apa ini, mengapa Pasukan Bindiwala bergerak menuju gerbang utara?” gumam Galisaka dengan raut kegelisahan terukir diwajahnya.Kegelisahan yang dirasakan oleh Galisaka sangatlah wajar melihat
Meskipun serangan pasukan pemanah telah menghabisi banyak Pasukan Kerajaan Ambarata. Tetapi hal itu tidaklah menghentikan mereka untuk terus mendekati gerbang selatan kota. “Persiapkan Pasukan Pedang,” perintah Adipati Argarota. Dutasena kembali memberikan isyarat untuk menyiapkan Pasukan Pedang, mendapati isyarat dari Dutasena, Pasukan Pedang segera bersiap mengatur formasinya. Pasukan Pedang merupakan satuan pasukan dari Kerajaan Prabangkara yang dibentuk khusus oleh Adipati Argarota. Walaupun secara kekuatan pasukan tersebut masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Pasukan Bindiwala ataupun Pasukan Satyawira. Namun Pasukan Pedang memiliki kelebihan bila menghadapi pertarungan jarak dekat, karena mereka memiliki senjata andalan yaitu Pedang Sarala.
Di Kedhaton Madyantara, Adipati Argarota telah mengenakan pakaian perang lengkap dengan keris yang tersemat di pinggangnya. Kemudian dengan langkah tegap ia berjalan menuju Kaputren Rajani berniat untuk menjumpai istrinya. Namun Dewi Widia Ayu, istri dari Adipati Argarota sedang bermain kecapi di Bale Bengong yang berada di taman kaputren. Mengetahui istri tercintanya sedang hanyut dalam permainan kecapi, Adipati Argarota melarang para dayang mengumumkan kedatangan dirinya dan memutuskan untuk sejenak menikmati alunan irama kecapi yang dimainkan oleh Dewi Widia Ayu. Beberapa saat kemudian Dewi Widia Ayu telah menyelesaikan permainan kecapinya. Akan tetapi begitu membuka matanya yang sedari tadi terpejam, Sang Ratu merasa heran karena melihat para dayang sedang berdiri mematung sambil menundu