"Hahaha… Akhirnya kau menunjukkan kekuatan aslimu Jatiraga," ucap Degasoka sambil memasang kuda-kuda menyerang, "Itu akan membuat membunuhmu jadi sangat menyenangkan," lanjutnya.
"Tidak jika aku yang membunuhmu lebih dulu," sahut Jatiraga sambil mengangkat pedangnya.
"Dalam mimpimu Jatiraga." Degasoka sambil melesat sangat cepat ke tempat Jatiraga berdiri.
"Jurus Kilat Maut." Degasoka tiba-tiba menghilang dari pandangan Jatiraga.
"Ilmu yang mengesankan Degasoka. Tetapi itu hanya mainan untuk ‘anak-anak’," Gumam Jatiraga sambil tetap memperhatikan sekelilingnya
"Jurus Tebasan Langit." Tanpa berpikir panjang, Jatiraga mengayunkan pedangnya ke arah atas.
"DUUAAAARRR." Kedua pedang para Senopati terbaik itu pun kini beradu, menimbulkan gelombang suara yang dahsyat.
Kini Jatiraga mendapat kesempatan menyerang Degasoka, tanpa kenal ampun Senopati terkuat di Kerajaan Prabangkara itu pun melancarkan serangan dengan cepat, tanpa memberikan kesempatan Degasoka untuk melawan balik.
Dalam beberapa menit, baik Jatiraga maupun Degasoka telah mengeluarkan puluhan jurus mematikan. Benar-benar sebuah petarungan mengerikan dari para pendekar terbaik.
"Ternyata kehebatanmu bukanlah isapan jempol belaka," ucap Degasoka sambil tersenyum kecil sebelum kembali melancarkan serangan kepada Jatiraga.
Tetapi serangan yang baru dilancarkan oleh Degasoka dapat dipatahkan oleh Jatiraga. Sedangkan serangan balik Jatiraga terus-menerus bersarang di tubuhnya, hingga membuat Degasoka terluka cukup parah, mengakibatkan gerakannya terus melambat.
Mengetahui Degasoka kian tersudut, Jatiraga melancarkan serangan dengan mengayunkan pedangnya yang tepat bersarang di dada Degasoka.
Darah segar seketika keluar dari Dada Degasoka setelah tertebas pedang Jatiraga, membuatnya makin terpojok.
"Sekarang Galisaka," teriak Jatiraga.
Setelah mendengar perintah Jatiraga, Galisaka melepaskan panah api ke udara.
"Formasi Kunjara Api." Pasukan Satyawira yang sudah bersiaga sedari tadi dengan serempak melemparkan tombak kearah Degasoka.
Seketika puluhan tombak setinggi hampir 10 hasta menancap mengelilingi Degasoka. Jarak antar tombak sangatlah rapat, sehingga sangat sulit bagi siapapun untuk keluar.
Seolah itu belum cukup, panah api yang dilepaskan Galisaka tepat menancap disalah satu tombak dan dalam sekejap membakar seluruh tombak yang mengelilingi Degasoka, membentuk sebuah lingkaran api raksasa.
Degasoka yang terkejut akan serangan itu, menyadari bahwa satu-satunya jalan keluar adalah dengan melompat ke atas. Seketika dengan sisa kekuatannya ia menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk melompati kobaran api disekelilingnya.
Namun baru hendak melompat, sebuah energi yang amat besar menekannya dari atas, membuat Degasoka terperangkap dalam lingkaran api.
"Inikah jurus andalan Pasukan Satyawira yang sangat mematikan itu," gumam Degasoka sambil menatap sekelilingnya.
"Kau sungguh bodoh Jatiraga, pikirmu sekumpulan tombak yang terbakar ini dapat menghalangiku," teriak Degasoka,
"Begitu keluar dari trik bodoh ini, akan kuhabisi seluruh Pasukan Satyawira hingga tak tersisa," umpat Degasoka penuh kekesalan.
Degasoka tahu tombak-tombak yang mengurungnya lama-kelamaan akan habis terbakar oleh api, jadi ia hanya harus menunggu sampai itu terjadi.
"Aku tak bisa menampik jurus Kunjara Api memang sangat luar biasa. Namun sungguh jurus yang sangat bodoh, sekarang aku hanya harus menunggu sambil memulihkan tenaga dalamku." Degasoka kembali menggumam seraya mencoba mengalirkan tenaga dalam ke seluruh tubuhnya.
Tetapi alangkah terkejutnya Degasoka, karena seluruh tenaga dalamnya menghilang tiba-tiba.
"Terkutuk, ada apa dengan tenaga dalamku," sergah Degasoka.
"Ada apa Degasoka. Bukankah kau ingin membunuhku dan seluruh Pasukan Satyawira?" tanya Jatiraga sambil tersenyum sinis dari balik kumpulan tombak itu.
"Terkutuk kau Jatiraga, sihir apa yang kau lakukan padaku," balas Degasoka kesal menanggapi ucapan sinis Jatiraga.
"Hahaha… sihir? Kau benar-benar bodoh Degasoka." Jatiraga tertawa puas mendengar perkataan Degasoka.
Setelah puas tertawa, Jatiraga berjalan menuju Galisaka, "Bagaimana keadaan Aditara?" tanya Jatiraga kepada Galisaka.
"Semua lukanya telah hamba obati Senopati, hanya saja ia masih belum siuman." Sambil menunduk Galisaka menjawab pertanyaan Jatiraga.
"Begitu rupanya." Jatiraga menatap Aditara seraya berlutut disamping tubuhnya,
"Maafkan aku Aditara, seharusnya aku menghalangimu menyerang Degasoka seorang diri," ucap Jatiraga sambil memegang pundak Aditara.
"Baiklah, kita kembali ke Kithara," ucap Jatiraga kepada seluruh Pasukan Satyawira.
"Bagaimana dengan Degasoka Senopati, apa kita akan membawanya juga?" tanya Galisaka dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
"Tentu Galisaka, informasi yang ia miliki pasti sangat berguna untuk kita," jawab Jatiraga.
Mendengar hal tersebut seluruh Pasukan Satyawira amat terkejut, tidak terkecuali Galisaka, "Bukankah lebih baik jika kita menunggu beberapa saat lagi sampai ia benar-benar lemah Senopati," usul Galisaka kepada Jatiraga.
"Aku memiliki firasat buruk saudaraku. Kerajaan Ambarata tidak mungkin mengirim salah satu Senopati terbaiknya untuk menjadi tilik sandi tanpa alasan, pasti ada sesuatu dibalik semua ini," jelas Jatiraga dengan raut wajah serius.
Mendengar hal tersebut seluruh Pasukan Satyawira terdiam, tatapan mereka penuh dengan keresahan.
"Jadi menurut Senopati, ada maksud tersembunyi dari Kerajaan Ambarata?" tanya Galisaka.
"Semoga firasat ku salah. Tapi jika benar, maka menunggu Degasoka sampai benar-benar lemah akan merugikan bagi kita," jelas Jariraga
"Lalu bagaimana kita akan membawanya Senopati?" tanya salah seorang anggota Pasukan Satyawira yang tak lain adalah Ekawira.
"Aku akan menggunakan Pusaka Besta Panca Jiwa, kekuatan dari pusaka ini akan menghilangkan sisa tenaga dalamnya untuk sementara. Sehingga kita dapat dengan mudah membawanya," jelas Jatiraga sambil menunjukkan pusaka yang dimaksud.
"Jika itu keputusan Senopati, kami akan mengikutinya," ucap Ekawira sambil menundukkan kepalanya.
"Ekawira, Dutasena aku ingin kalian berdua membuka segel Kunjara Api begitu aku perintahkan, sementara yang lainnya bersiaga." Jatiraga menginstruksikan dengan jelas rencananya kepada pasukan satyawira.
"Baik Senopati," jawab seluruh Pasukan Satyawira dengan serempak, kemudian segera menempati posisi yang telah dijelaskan oleh Jatiraga.
"Ajian Pusaka Besta Panca Jiwa." Jatiraga merapal jurus.
Tak lama setelah Jatiraga merapal jurus, Pusaka Besta Panca Jiwa yang ia genggam, melayang-layang diudara dengan diselimuti energi disekelilingnya.
"Sekarang, buka segel Kunjara Api." Jatiraga memberikan perintah kepada Ekawira dan Dutasena.
Ekawira dan Dutasena segera merapal jurus untuk membuka segel Kunjara Api.
Tak beberapa lama api yang berkobar mengelilingi Degasoka perlahan menghilang diikuti tombak-tombak yang kembali kembali ke ukuran normal.
Degasoka yang tersadar bahwa sudah terlepas dari kurungan, tidak dapat berbuat banyak. Kunjara Api telah menyerap sebagian besar tenaga dalamnya. Biarpun begitu, ia masih punya cukup tenaga dalam dan berniat untuk melarikan diri.
“Aku masih memiliki sisa tenaga dalam yang cukup untuk melarikan diri dengan ilmu meringankan tubuh.” Degasoka membatin.
Namun baru saja Degasoka hendak memasang kuda-kuda, Pusaka Besta Panca Jiwa langsung membelenggu tangan, kaki dan lehernya.
"Arrggghhhhh." Erangan kesakitan dari Degasoka menggelegar ke seluruh penjuru begitu Pusaka Besta Panca Jiwa membelenggu dirinya.
Beberapa kali Degasoka mengerang kesakitan, hal tersebut karena selain membelenggu dirinya, Pusaka Besta Panca Jiwa juga menyerap seluruh tenaga dalamnya, menyebabkan rasa sakit teramat sangat bagi Senopati Kerajaan Ambarata itu.
Setelah beberapa kali mengerang kesakitan, kini tubuh Degasoka jatuh tergulai lemas ditanah.
Jatiraga langsung memerintahkan untuk memasukkan Degasoka ke dalam kurungan yang telah dipersiapkan sebelumnya.
"Dutasena, Ekawira kalian berdua bertugas menjaga Degasoka yang lain membentuk formasi pertahanan selama perjalanan pulang," perintah Jatiraga.
"Baik Senopati," jawab seluruh Pasukan Satyawira dengan serentak sembari membuat formasi yang telah diinstruksikan oleh Jatiraga.
"Galisaka, bawa Aditara ke Empu Among Jiwa begitu kita sampai di Kithara," ucap Jatiraga sambil menatap kearah Galisaka.
"Baik Senopati," jawab Galisaka sambil menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
Tak menunggu lama, seluruh Pasukan Satyawira termasuk Jatiraga telah berada di atas kuda tunggangan mereka, serta bergegas kembali menuju Kota Kithara.
Pasukan Satyawira akhirnya tiba di Kithara melalui gerbang utara. Kithara merupakan kota penting bagi Kerajaan Prabangkara, karena menjadi garis depan pertahanan kerajaan. Oleh karena itu, Maha Patih Dalengga sengaja menempatkan Pasukan Satyawira di kota tersebut guna menghalau serangan dari Kerajaan Ambarata serta menjaga keamanan Kithara. Kembali ke Pasukan Satyawira yang baru saja memasuki Kithara. Tanpa mengulur waktu, Jatiraga langsung memerintahkan membawa Degasoka ke Garhupiksa yang merupakan tempat interogasi dan pemeriksaan tahanan. "Galisaka segera temui Empu Among Jiwa untuk memeriksa keadaan Aditara," perintah Jatiraga kepada Galisaka. "Daulat Senopati." Galisaka langsung menuju tempat Empu Among Jiwa yang berada di sebelah barat kota. Sedangkan Jatiraga tetap berkuda menuju Garhupiksa. "Ekawira, bawa Degasoka ke dalam ruang pemeriksaan, akan aku buat ia men
Sesampainya di Kedhaton Madyantara, Dutasena segera menuju Pendopo Kertaraja yang berlokasi di tengah-tengah kompleks Kedhaton. “Mohon Ampun Gusti Adipati, hamba Dutasena dari Pasukan Satyawira mohon ijin untuk menghadap.” Dutasena berjongkok menunduk tepat di depan pintu masuk pendopo kertaraja. “Bangun dan kemarilah Dutasena, mengapa engkau yang menghadap, dimana Jatiraga?” tanya seseorang yang duduk di kursi berukir burung rajawali yang berlapiskan emas. Suara yang penuh akan wibawa tersebut kini memandang Dutasena dengan penuh tanya. Ia adalah Argarota. Adipati yang diberikan mandat oleh Maha Patih Dalengga untuk memimpin Kithara. Mematuhi perintah Argarota, Dutasena segera bangkit berdiri selanjutnya berjalan perlahan memasuki Pendopo Kertaraja sambil menundukkan kepalanya. Begitu sampai ditengah-tengah pendopo, ia kembali mengambil posisi berjongkok menunduk, “Mohon ampun Gusti Ad
“Jurus Tapak Nirdaya diciptakan oleh Ki Jagat Sukma, pemimpin Perguruan Ekor Naga Emas puluhan tahun yang lalu. Saat itu, Perguruan Ekor Naga Emas merupakan salah satu perguruan silat yang paling disegani di daratan utama. Karena disamping menghasilkan para pendekar-pendekar hebat, perguruan tersebut juga mendapatkan dukungan penuh dari Kerajaan Arnata…” Belum sempat Empu Among Jiwa melanjutkan kata-katanya, Galisaka dengan tergesa memotong penjelasan Empu Among Jiwa. “Kerajaan Arnata..., bukankah kerajaan tersebut telah hancur puluhan tahun yang lalu Empu,” sahut Galisaka dengan raut wajah penuh keterkejutan. Melihat ekspresi terkejut dan penasaran yang ditunjukkan oleh Galisaka, Empu Among Jiwa hanya dapat tersenyum lebar, “Hahaha… kau mengingatkan pada masa mudaku Galisaka, penuh dengan semangat yang menggebu-gebu,” ucap Empu Among Jiwa sambil tertawa terbahak-bahak. “Mohon maaf Empu, moho
Di Kedhaton Madyantara, Adipati Argarota telah mengenakan pakaian perang lengkap dengan keris yang tersemat di pinggangnya. Kemudian dengan langkah tegap ia berjalan menuju Kaputren Rajani berniat untuk menjumpai istrinya. Namun Dewi Widia Ayu, istri dari Adipati Argarota sedang bermain kecapi di Bale Bengong yang berada di taman kaputren. Mengetahui istri tercintanya sedang hanyut dalam permainan kecapi, Adipati Argarota melarang para dayang mengumumkan kedatangan dirinya dan memutuskan untuk sejenak menikmati alunan irama kecapi yang dimainkan oleh Dewi Widia Ayu. Beberapa saat kemudian Dewi Widia Ayu telah menyelesaikan permainan kecapinya. Akan tetapi begitu membuka matanya yang sedari tadi terpejam, Sang Ratu merasa heran karena melihat para dayang sedang berdiri mematung sambil menundu
Meskipun serangan pasukan pemanah telah menghabisi banyak Pasukan Kerajaan Ambarata. Tetapi hal itu tidaklah menghentikan mereka untuk terus mendekati gerbang selatan kota. “Persiapkan Pasukan Pedang,” perintah Adipati Argarota. Dutasena kembali memberikan isyarat untuk menyiapkan Pasukan Pedang, mendapati isyarat dari Dutasena, Pasukan Pedang segera bersiap mengatur formasinya. Pasukan Pedang merupakan satuan pasukan dari Kerajaan Prabangkara yang dibentuk khusus oleh Adipati Argarota. Walaupun secara kekuatan pasukan tersebut masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Pasukan Bindiwala ataupun Pasukan Satyawira. Namun Pasukan Pedang memiliki kelebihan bila menghadapi pertarungan jarak dekat, karena mereka memiliki senjata andalan yaitu Pedang Sarala.
Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Galisaka yang diminta oleh Empu Among Jiwa menyampaikan pesan kepada Senopati Jatiraga di gerbang selatan memacu kuda tunggangannya dengan kencang. Namun perjalanan Galisaka harus terhalang oleh iring-iringan Pasukan Bindiwala yang menuju gerbang utara.“Minggir...! Minggir...! Beri jalan...!” teriak beberapa prajurit berkuda. Bersamaan dengan melintasnya Pasukan Bindiwala membawa perisai dan senjata tombak andalan mereka.“Ada apa ini, mengapa Pasukan Bindiwala bergerak menuju gerbang utara?” gumam Galisaka dengan raut kegelisahan terukir diwajahnya.Kegelisahan yang dirasakan oleh Galisaka sangatlah wajar melihat
Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Di sebuah gubuk tua, di sebelah timur dari alun-alun Kithara, seorang lelaki tua mengenakan jubah hitam panjang dan longgar dengan seluruh rambut dan kumisnya yang telah memutih sedang sibuk meramu obat dari berbagai macam herbal.Setelah menuangkan ramuan obat yang telah masak ke dalam mangkuk kecil, sambil membawa ramuan obat, lelaki tua itu berjalan perlahan mendekati seorang gadis muda yang sedang terbaring di dipan. “Ramuan obat ini akan mengembalikan tenaga dalammu dengan cepat, minumlah,” ucap lelaki tua itu sambil menyerahkan mangkuk yang berisi ramuan obat kepada gadis muda itu.“Baik guru,” jawab gadis muda patuh seraya menga
Berkat serangan membabi buta Kebo Sita di Garhupiksa membuat Sima dengan mudah menyusup ke dalam penjara bawah tanah tempat Degasoka ditahan.“Siapa disana?” tanya prajurit yang menjaga salah satu ruang penjara begitu melihat Sima mendekatinya.Tidak menggubris pertanyaan prajurit tersebut, Sima langsung menyerang beberapa prajurit yang berjaga di depan ruangan itu, secepat kilat ia meraih leher salah seorang prajurit, lalu dengan sedikit gerakan pendekar wanita itu mematahkan leher prajurit malang itu hingga akhirnya tewas.Hampir dengan cara yang sama, Sima mengulangi serangannya tadi kepada para prajurit yang lain, hingga seluruh prajurit penjaga tewas mengenaskan di tangannya.Kemudian ia mengambil kunci dari salah satu mayat prajurit yang tergeletak dan segera membuka ruang tahanan tempat Degasoka ditahan.“Kupikir ada keributan apa di luar sana, ternyata itu semua ulahmu adik seperguruanku,” ucap Degasoka begitu Sima membuka pintu ruang tahanan.“Melihat keadaanmu sekarang tidak
“Hyaatt…!”Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya yang tersisa, Dirandra melancarkan serangan. Sementara itu, Arya Mandala tidak tampak gentar menghadapi komandan pasukan penjaga kedhaton itu.Serangan demi serangan maut mengalir deras dari kedua pesilat tangguh itu, layaknya gelombang ombak di lautan ganas, menjadikan pertarungan semakin mematikanSetelah melewati beberapa jurus mematikan, Arya Mandala melihat sebuah peluang emas. Tanpa pikir panjang, sebuah pukulan telah langsung disarangkan ke tubuh Dirandra.“Hugh…!”Tubuh Dirandra terpental beberapa hasta setelah sebelumnya memuntahkan darah segar, pukulan Arya Mandala sangatlah mematikan hingga membuat pakaian pelindung yang dikenakan oleh komandan pasukan kedhaton itu hancur seperti terbakar.“Tamat riwayatmu,...!”Tanpa memberi kesempatan kepada lawannya untuk bangkit, Arya Mandala segera melancarkan serangan pamungkasnya untuk menghabisi nyawa Dirandra. Dirandra hanya dapat berdiri terpaku di depan Arya Mandala, siap menyam
Dewi Widia Ayu sedang duduk termenung di Taman Agung Kedhaton ketika seorang perempuan muda yang merupakan salah satu dayang kedhaton berlari menghampirinya.“Mohon ampun Gusti Ayu, maafkan hamba telah mengganggu waktu anda. Tetapi ada hal penting yang harus hamba sampaikan kepada Gusti Ayu segera,” tutur dayang tersebut dengan nafas terengah-engah.Seketika Dewi Widia Ayu tersadar dari lamunannya, kemudian berjalan ke arah dayang tadi. “Mengapa kau nampak gusar sekali, memang ada kejadian apa?” Dewi Widia Ayu bertanya dengan nada lembut.“Mohon izin Gusti Ayu, baru saja hamba mendapatkan informasi dari pasukan penjaga kedhaton, bahwa ada seorang pendekar sakti yang sedang mengamuk di alun-alun kota. Dari kabar yang hamba dengar, pendekar sakti tersebut telah mengalahkan seluruh pasukan penjaga kota yang bertugas di alun-alun,” tutur dayang tersebut sambil menundukkan kepalanya.“Apa katamu? lalu bagaimana dengan penduduk kota?” tanya Dewi Widia Ayu dengan ekspresi kegelisahan terluki
Setelah berhasil membunuh Degasoka, Sima segera memberikan tanda kepada Ki Mahesa dengan menyalakan kembang api berwarna hitam ke angkasa.Selepas itu, ia pergi menemui Kebo Sita yang sedang menghadapi pasukan penjaga di halaman tengah. Namun ketika ia tiba disana, sebuah kengerian terpampang nyata dihadapannya. Mayat para prajurit penjaga bertebaran dimana-mana, darah merah segar membanjiri tanah. Sementara di sudut lain terlihat Kebo Sita sedang memukuli seorang penjaga yang sudah tak bernyawa.“Cukup Kebo Sita, ia sudah tidak bernyawa,” bentak Sima kepada Kebo Sita.Mendengar teriakan Sima yang menggelegar, sontak Kebo Sita berhenti memukuli mayat penjaga malang itu, kemudian melempar tubuh penjaga itu ke arah lain. “oh rupanya kau telah berhasil melaksanakan misimu,” jawab Kebo Sita dengan santai.“Bukankah yang kau lakukan ini sangat berlebihan Kebo Sita?” tanya Sima dengan geram. Meskipun Sima diasuh dan dilatih oleh Ki Mahesa sebagai seorang pembunuh keji. Namun tetap saja ia
Bersamaan dengan penyerangan Garhupiksa oleh Kebo Sita dan Sima. Di kediaman Empu Among Jiwa yang terletak sebelah utara dari Garhupiksa, sang empu terus berjaga guna mengantisipasi jika terdapat serangan dari tamu yang tidak diinginkan. “Krek…!” Tiba-tiba terdengar suara ranting patah seperti terinjak. Empu Among Jiwa dengan cepat membawa Aditara yang sedang tak sadarkan diri untuk keluar dari kediamannya. Apa yang dilakukan oleh Empu Among Jiwa sungguh sangat tepat, selang beberapa detik setelah ia meninggalkan kediamannya, tiba-tiba saja gumpalan bola api meluncur begitu cepat. Bola api itu langsung menghantam kediaman dari Empu Among Jiwa, lalu terdengar suara hantaman yang begitu keras disusul api yang langsung berkobar membakar habis kediaman dari Empu Among. Empu Among Jiwa berdiri dengan tegak dengan sorot mata yang tajam ke arah kediamannya yang tengah terlalap api sembari memperhatikan keadaan sekitar. Setelah memastikan bahwa keadaan aman sang empu merebahkan tubuh Adita
Berkat serangan membabi buta Kebo Sita di Garhupiksa membuat Sima dengan mudah menyusup ke dalam penjara bawah tanah tempat Degasoka ditahan.“Siapa disana?” tanya prajurit yang menjaga salah satu ruang penjara begitu melihat Sima mendekatinya.Tidak menggubris pertanyaan prajurit tersebut, Sima langsung menyerang beberapa prajurit yang berjaga di depan ruangan itu, secepat kilat ia meraih leher salah seorang prajurit, lalu dengan sedikit gerakan pendekar wanita itu mematahkan leher prajurit malang itu hingga akhirnya tewas.Hampir dengan cara yang sama, Sima mengulangi serangannya tadi kepada para prajurit yang lain, hingga seluruh prajurit penjaga tewas mengenaskan di tangannya.Kemudian ia mengambil kunci dari salah satu mayat prajurit yang tergeletak dan segera membuka ruang tahanan tempat Degasoka ditahan.“Kupikir ada keributan apa di luar sana, ternyata itu semua ulahmu adik seperguruanku,” ucap Degasoka begitu Sima membuka pintu ruang tahanan.“Melihat keadaanmu sekarang tidak
Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Di sebuah gubuk tua, di sebelah timur dari alun-alun Kithara, seorang lelaki tua mengenakan jubah hitam panjang dan longgar dengan seluruh rambut dan kumisnya yang telah memutih sedang sibuk meramu obat dari berbagai macam herbal.Setelah menuangkan ramuan obat yang telah masak ke dalam mangkuk kecil, sambil membawa ramuan obat, lelaki tua itu berjalan perlahan mendekati seorang gadis muda yang sedang terbaring di dipan. “Ramuan obat ini akan mengembalikan tenaga dalammu dengan cepat, minumlah,” ucap lelaki tua itu sambil menyerahkan mangkuk yang berisi ramuan obat kepada gadis muda itu.“Baik guru,” jawab gadis muda patuh seraya menga
Beberapa jam sebelum penyerangan Pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan.Galisaka yang diminta oleh Empu Among Jiwa menyampaikan pesan kepada Senopati Jatiraga di gerbang selatan memacu kuda tunggangannya dengan kencang. Namun perjalanan Galisaka harus terhalang oleh iring-iringan Pasukan Bindiwala yang menuju gerbang utara.“Minggir...! Minggir...! Beri jalan...!” teriak beberapa prajurit berkuda. Bersamaan dengan melintasnya Pasukan Bindiwala membawa perisai dan senjata tombak andalan mereka.“Ada apa ini, mengapa Pasukan Bindiwala bergerak menuju gerbang utara?” gumam Galisaka dengan raut kegelisahan terukir diwajahnya.Kegelisahan yang dirasakan oleh Galisaka sangatlah wajar melihat
Meskipun serangan pasukan pemanah telah menghabisi banyak Pasukan Kerajaan Ambarata. Tetapi hal itu tidaklah menghentikan mereka untuk terus mendekati gerbang selatan kota. “Persiapkan Pasukan Pedang,” perintah Adipati Argarota. Dutasena kembali memberikan isyarat untuk menyiapkan Pasukan Pedang, mendapati isyarat dari Dutasena, Pasukan Pedang segera bersiap mengatur formasinya. Pasukan Pedang merupakan satuan pasukan dari Kerajaan Prabangkara yang dibentuk khusus oleh Adipati Argarota. Walaupun secara kekuatan pasukan tersebut masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Pasukan Bindiwala ataupun Pasukan Satyawira. Namun Pasukan Pedang memiliki kelebihan bila menghadapi pertarungan jarak dekat, karena mereka memiliki senjata andalan yaitu Pedang Sarala.
Di Kedhaton Madyantara, Adipati Argarota telah mengenakan pakaian perang lengkap dengan keris yang tersemat di pinggangnya. Kemudian dengan langkah tegap ia berjalan menuju Kaputren Rajani berniat untuk menjumpai istrinya. Namun Dewi Widia Ayu, istri dari Adipati Argarota sedang bermain kecapi di Bale Bengong yang berada di taman kaputren. Mengetahui istri tercintanya sedang hanyut dalam permainan kecapi, Adipati Argarota melarang para dayang mengumumkan kedatangan dirinya dan memutuskan untuk sejenak menikmati alunan irama kecapi yang dimainkan oleh Dewi Widia Ayu. Beberapa saat kemudian Dewi Widia Ayu telah menyelesaikan permainan kecapinya. Akan tetapi begitu membuka matanya yang sedari tadi terpejam, Sang Ratu merasa heran karena melihat para dayang sedang berdiri mematung sambil menundu