“Jahanam Pamanyala! Siapa lagi kalau bukan dia yang punya pekerjaan! Belum puas dia rupanya! Caranya tadi menghantam dengan gelombang api jelas hendak memisahkan aku dengan Jin Kaki Batu. Tepat pada saat aku melihat sebuah tanda di lengan lelaki itu. Mungkin sekali Pamanyala tidak menginginkan aku mendapatkan jejak anak-anakku!”
Pasedayu alias Jin Terjungkir Langit memandang ke arah lenyapnya Maithatarun. “Jin Kaki Batu...” desisnya. “Firasatku mengatakan kau memang salah seorang dari mereka. Tidak ada manusia lain di dunia ini yang memiliki tanda bunga dalam lingkaran seperti yang kau miliki di belakang lenganmu sebelah kanan. Kau... Hai para Dewa, mengapa kau putus petunjuk ini? Ke mana aku harus mencarinya? Maithatarun... Jin Kaki Batu, aku yakin kau salah seorang dari mereka. Kalaupun aku tidak menemukan tiga lainnya, kau seorang sudah cukup menjadi pengobat hati dan derita sengsara puluhan tahun ini. Maithatarun... Nama gagah walau bukan aku
Jin Terjungkir Langit yang tidak jerih menghadapi serangan lawan putar tubuhnya bagian pinggang ke kaki dalam gerakan setengah lingkaran lalu menendang. Dua larik sinar kebiru-biruan menebar. Hawa dingin menyambar. Satu larik menangkis dan menghambat datangnya dua gelombang kobaran api serangan lawan. Satu larik lagi menyusup ke bawah lalu menderu di atas permukaan tanah, menyambar ke arah Pamanyala.Deesssss!Asap mengepul ke udara begitu larikan sinar kebiruan saling bentrok dengan dua gelombang api. Pamanyala terkejut sekali ketika melihat bagaimana serangannya terdorong hebat lalu pecah ke kiri dan ke kanan akibat bentrokan dengan kekuatan lawan. Di saat itu pula larikan sinar biru kedua menyambar ke arah kakinya.Kakek berbadan geroak bolong ini tersentak kaget. Sambil berteriak keras dia melompat ke atas lalu meniup dengan kekuatan tenaga dalam penuh. Empat larik kobaran api laksana gurita menyerbu Jin Terjungkir Langit. Orang tua yang diserang tetap berla
Sebelum ajal berpantang mati. Begitu kata ujar-ujar. Dalam keadaan siap meregang nyawa karena Jin Terjungkir Langit tidak mungkin tertolong lagi, tiba-tiba terjadi satu keanehan. Langit di atas lembah seolah redup padahal tidak ada mendung tidak ada hamparan kabut. Lalu udara mendadak berubah menjadi dingin. Makin lama hawa dingin ini semakin menggila hingga dua kakek yang mengeroyok Jin Terjungkir Langit mulai menggigil kedinginan.“Gila! Apa yang terjadi! Api di sekujur tubuhku meredup padam. Aku merasa dingin luar biasa!” Pamanyala menggigil. Rahangnya sampai bergemeletakan. “Jin Lumpur Hijau! Apa kau juga merasa dingin?!”Tak ada jawaban. Pamanyala berpaling dan kagetlah dia. Jin Lumpur Hijau dilihatnya seolah telah berubah menjadi patung. Sekujur tubuhnya kaku tegang dibungkus hawa dingin dan mengepulkan asap. Makhluk ini telah berubah menjadi patung es! Tak bisa bergerak, tak bisa bersuara. Sepasang matanya yang hijau melotot membeliak tap
“Hueekkk!” Arya memaki habis-habisan lalu meludah muntah-muntah!Bintang cepat-cepat rapikan celananya ketika dilihatnya ada orang mendatangi. Ternyata orang tua yang berjalan dengan mempergunakan dua tangannya itu.“Orang muda, aku tidak tahu mengapa kau barusan menolongku. Hai! Aku mengucapkan terima kasih kau telah menyelamatkan nyawaku...” Jin Terjungkir Langit sibakkan rambut putihnya. Matanya yang kelabu dikedip-kedipkannya pada Bintang. Mulutnya menyunggingkan senyum dan dua kakinya digerak-gerakkan. “Kau memiliki ilmu aneh. Sanggup membuat dua kakek jahat itu kaku tegang seolah dibungkus es. Siapakah kau adanya ?”Bintang balas tersenyum. “Aku bernama Bintang...”“Hai! Tunggu! Logat suaramu terdengar lucu. Kau... Aku pernah menyirap kabar. Kau pastilah pemuda asing yang katanya datang dari negeri manusia itu!”“Aku dan teman-teman ini...” kata Bintang sambil menunjuk pa
Jin Terjungkir Langit tertawa lalu berkata.“Anak muda, kau lihat sendiri. Kau telah berhasil membalikkan diriku kepala ke atas kaki menginjak tanah. Sekarang coba kalian lepaskan tangan-tangan kalian dari bahu dan kakiku!”Bintang ikuti ucapan Jin Terjungkir Langit. Begitu Bintang lepaskan tangannya dari bahu orang tua itu, dan Bayu serta Arya lepaskan pula pegangan mereka pada sepasang kaki si kakek, sosok Jin Terjungkir Langit secara aneh mumbul ke atas lalu perlahan-lahan kepalanya berputar ke samping, terus turun ke bawah. Dengan sendirinya kedua kakinya naik ke atas. Sebelum kepalanya menyentuh tanah, orang tua itu cepat ulurkan tangan ke bawah untuk menopang tubuhnya.Bintang memperhatikan apa yang terjadi dengan perasaan aneh. Bayu mencolek tangan Arya lalu berkata. “Ada keanehan pada orang satu ini. Kurasa jangan-jangan kantong menyannya besar seperti bola dan ada hawa di dalamnya. Mungkin itu yang membuat tubuhnya sebelah bawah selalu
“Belum pernah aku melihat patung sebagus ini. Halus sekali. Para pemahat di tanah Jawa kurasa tidak sanggup membuat yang seapik ini...” Bintang geleng-geleng kepala. Dia perhatikan wajah patung lalu berkata pada dua temannya. “Kalian bilang patung ini bisa menangis menitikkan air mata. Bisa mengedipkan mata. Saat ini kulihat biasa-biasa saja. Kecantikan dan kehalusan buatannya memang mengagumkan sekali.”Bintang melangkah seputar patung. Ketika dia sampai di sebelah depan patung kembali, pendekar kita mendadak tersurut dua langkah. Dia melihat bibir patung seperti bergerak membentuk senyum.“Kau tak percaya! Apa kataku!” bisik Bayu.Ksatria Pengembara ulurkan tangan hendak mengusap bibir patung. Tiba-tiba di mulut goa terdengar suara aneh.Buuuuttttttttttt..!“Hai, suara apa itu?” Mata jereng Arya berputar.Buuuuttttttt...!Suara aneh panjang itu kembali terdengar. Datangnya memang dari
Buuuutttt...!Si nenek muka kuning bangkit berlutut lalu peluk patung batu itu. “Hai patung batu berwajah cantik jelita. Mengapa kau diam saja. Tidakkah kau pandai bersuara? Hai patung batu cantik jelita. Tolong diriku. Sembuhkan penyakitku! Jawablah Hai patung. Jawablah!” Si nenek sesenggukan, lalu kentut panjang dan tertawa cekikikan.“Hai patung batu di dalam goa, mengapa kau belum juga menjawab ucapanku! Tolong diriku...”Di balik lekukan goa Bayu menggamit Bintang lalu menunjuk-nunjuk ke arah nenek muka kuning. “Nenek tukang kentut itu pasti miring otaknya. Supaya dia cepat keluar dari sini mengapa tidak kau jawab saja...”“Gila! Kita tidak tahu siapa adanya dia. Mengapa mau mencari penyakit. Jika sudah bosan dia pasti pergi sendiri dari sini...”“Kalau dia bosan! Kalau tujuh hari tujuh malam dia nongkrong terus di sini celaka kita semua...”Bintang geleng-geleng kepala. Ucapan
“Hai patungku, patung penolongku...” si nenek jatuhkan diri menciumi kaki patung sambil terkentut-kentut. “Apa yang harus kulakukan? Apa obat yang mujarab...?”“Apakah sebelumnya kau pernah minta pertolongan Jin Obat Seribu?”“Jin keparat itu! Memang pernah...!”“Kau diberinya obat?”“Dia menipuku.! Makhluk jahat itu malah mencelakai diriku!” jawab Ruhkentut alias Jin Selaksa Kentut.“Menipu mencelakai bagaimana?”“Dia menambal tubuhku dengan tumbukan daun cabai-cabaian! Akibatnya aku megap-megap setengah mati kepanasan!”Bintang, Bayu dan Arya sama-sama menekap mulut menahan ketawa.“Patung cantik patung jelita! Mengapa kau diam saja! Kau belum mengatakan apa obat buatku! Apa yang harus kulakukan...”“Hai, apa kau tahu ‘kibul’ ayam?”“Ayam aku tahu. Tapi kibul aku tidak tahu...
“Eh! Aku ingat sesuatu!” Ruhkentut alias Jin Selaksa Kentut pijit-pijit keningnya. “Bagaimana aku yakin kalian tidak akan kabur atau sembunyikan diri jika nanti terbukti aku tidak sembuh! Hai! Aku perlu jaminan dari salah satu kalian! Jaminan berupa... Hik... hik! Potongan salah satu bagian tubuh kalian!”“Mati aku!” kata Bayu dalam hati.Bintang terkesiap sedang Arya sudah jatuh melosoh ke lantai goa.“Hai! Kalian bertiga jangan takut. Aku tidak minta yang aneh-aneh. Aku cuma minta kalian menyerahkan salah satu daun telinga kalian! Hik... hik... hik!”Arya dan Bayu langsung tekap kuping masing-masing. Bintang merunduk tapi mengawasi waspada. Si nenek kembali tertawa dan kentut-kentut. “Siapa yang sukarela mau menyerahkan sepotong kupingnya?!”Tak ada yang menjawab, tak ada yang bergerak. Ruhkentut pandangi tiga orang di depannya satu persatu. Ketika dia memandang pada Bayu yang ketakutan