"Jahanam besar! Kalian bertiga ternyata tidak becus!” Empat muka Jin Muka Seribu kembali berubah menjadi wajah-wajah raksasa menggidikkan.
"Sebenarnya hal mudah bagi kami untuk membereskan pemuda itu. Malah Dewi Awan Putih telah kami tawan.”
"Apa?!” Jin Muka Seribu tersentak. ”Di mana Dewi Itu sekarang?"
"Aku sembunyikan di sebuah sumur melintang dekat jalan masuk ke Istana Surga Dunia di sebelah utara.”
"Jangan bermain culas denganku Pahidungbesar. Gadis itu harus kau bawa ke hadapanku! Aku sudah lama menyarang dendam terhadapnya. Walau aku tidak boleh membunuhnya tapi aku sudah lama berniat untuk merampas kehormatannya. Bahkan aku akan membuatnya hamil mengandung! Agar segala kutuk jatuh pada dirinya!” Jin Muka Seribu basahi bibirnya dengan ujung lidah berulang kali. Rangkungannya turun naik dan empat wajahnya berubah menjadi wajah empat orang pemuda gagah. Ini pertanda bahwa dirinya telah dirasuki nafsu birahi kotor!
LELAKI yang membekal parang terbuat dari batu biru di tangan kanannya itu hentikan lari di ujung jurang.Memandang ke bawah sesaat dia jadi tercekat. ”Jurang batu. Dalam sekali! Celaka! Tak mungkin kuterjuni.” Dia silangkan parang di depan dada lalu berpaling ke belakang. Belum selesai dia membuat gerakan tiba-tiba sesosok tubuh melayang di udara, membuat gerakan berjumpalitan dua kali. Di lain kejap sosok ini sudah tegak di hadapannya dengan muka menyeringai garang dan membersitkan nafas menyapu panas sampai ke permukaan wajahnya."Patumpangan! Tempat larimu sudah putus! Kau hanya punya tiga pilihan! Mampus bunuh diri menerjuni jurang! Mati di tanganku atau menyerahkan Jimat Hati Dewa padaku!"Orang yang memegang parang biru mendengus lalu meludah ke tanah. ”Selama Parang Langit Biru masih berada di tanganku, jangan kau berani mencari mati Hai Pasedayu!"Pasedayu si muka garang tertawa bergelak. ”Parang Langit Biru hanya ciptaan a
”Remasan Sepuluh Jari Jin...!” desis Patumpangan menyebut ilmu lawan yang menciderainya. Tiba-tiba seperti kalap Patumpangan berteriak keras. Lalu tangan kirinya laksana kilat menghantam berulang kali ke depan."Bukkk! Bukkkk! Bukkkk!"Tubuh Pasedayu terangkat sampai tiga kali berturut-turut begitu jotosan Patumpangan mendarat susul menyusul di dadanya."Puaskan hatimu Patumpangan! Pukul terus sesukamu!” kata Pasedayu sambil menyeringai buruk."Bukkk! Bukkk! Bukkkk!"Kembali Patumpangan menghujani tubuh lawan dengan pukulan-pukulan keras. Kembali sosok Pasedayu terangkat ke udara bahkan kini dari mulutnya kelihatan ada darah mengucur. Tapi dia masih saja menyeringai."Cukup Patumpangan!” Tiba-tiba Pasedayu berteriak. Tangannya kiri kanan berkelebat ke sekujur tubuh lawan, mulai dari kepala sampai ke dada.Kraaakk...kraaakkk... kraaakk!Suara patah dan hancurnya tulang terdengar mengerikan berulang kali.
Daging kakinya tampak terkelupas merah. ”Jahanam! Berani kau menciderai diriku!” teriak Pasedayu. Dia hantamkan tangan kanannya. Lepaskan satu pukulan tangan kosong. Si kakek cepat menyingkir ketika melihat satu sinar kuning berkiblat menyambarnya. Sambil mengelak dia gerakan cambuk apinya."Wusss! Taaarrrrr!"Nyala api panjang menembus kiblatan cahaya kuning. Saat itu juga cahaya kuning bertabur berantakan dengan mengeluarkan suara letusan keras!Tangan kiri si kakek bergetar keras. Cambuk api yang dipegangnya mental ke udara. Dia cepat menguasai senjata itu sementara Pasedayu terjajar sampai tiga langkah. Mukanya pucat. Tangan kanannya seperti kaku. ”Kakek itu mampu menghancurkan Pukulan Tangan Dewa Warna Kuning.” Diam-diam Pasedayu menjadi kecut. “Akan kucoba dengan Pukulan Tangan Dewa Warna Biru yang paling hebat!"Pasedayu lalu kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan dan tanpa menunggu lebih lama dia segera menghantam. Si
Jika saja Pasedayu tidak menelan Jimat Hati Dewa, pada saat cambuk api melilit dan disentakkan dari lehernya, pastilah leher itu akan hancur putus dan kepalanya akan menggelinding di tanah! Namun yang terjadi justru sebaliknya. Cambuk api keluarkan suara "dess... desss... desss” Berulang kali disertai kepulan asap seolah diguyur air. Lalu kelihatan bagaimana cambuk itu terputus-putus menjadi beberapa bagian. Begitu si kakek melompat kaget, dia lihat dan dapatkan cambuk apinya telah berubah kembali menjadi sebatang tongkat yang kini panjangnya hanya tinggal dua jengkal!"Kakek yang mengaku Wakil Para Dewa! Takdir telah berbalik menentukan lain! Hari ini kau terpaksa serahkan nyawamu padaku!” Pasedayu maju mendekat sambil tertawa bergelak."Kau akan terkutuk seumur-umur jika berani membunuhku!” kata si kakek seraya melemparkan potongan tongkatnya ke arah Pasedayu. Benda berapi ini melesat menyambar ke tenggorokan Pasedayu.Sekali Pasedayu mengang
"Suamiku, sebenarnya sejak beberapa waktu belakangan ini muncul banyak kekhawatiran dalam diriku. Aku sering mimpi buruk tentang dirimu, tentang Keempat anak kita. Mereka.”"Ruhpingitan, orang di Negeri Jin ini menyebut mimpi adalah rampai bunganya tidur. Buruk atau baiknya yang akan terjadi adalah suratan Para Dewa di atas langit.”"Justru aku juga telah beberapa kali kedatangan Dewa dalam mimpiku Hai Pasedayu. Sepertinya ada yang tidak disenangi Para Dewa terhadap kita sekeluarga.”Pasedayu tersenyum namun diam-diam dia teringat pada kejadian belasan tahun silam ketika dia berkelahi dengan Wakil Para Dewa dan berhasil menciderai kakek itu. Walau hatinya mendadak tidak enak, pada istrinya Pasedayu tetap saja berkata lembut dan menghibur.“Sudahlah Ruhpingitan, aku akan berangkat sekarang. Tenangkan hatimu. Lihat anak-anak kita. Mereka tidur nyenyak, mereka gemuk-gemuk semua tanda sehat. Dan lihat tanda bunga dalam lingkaran yang a
PASEDAYU duduk terbungkuk-bungkuk di tanah yang becek. Sekujur tubuhnya terutama di sebelah belakang mendenyut sakit Mukanya pucat dan pandangan matanya sayu. Kalau saja dia bisa meminta rasanya saat itu dia lebih suka memilih mati. Perlahan-lahan dia turunkan tangan kanan yang sejak tadi dipergunakan untuk menopang keningnya. Memandang ke depan dia hanya melihat tanah rata yang disana-sini masih digenangi air. Pasedayu sampai di tempat itu malam tadi. Dan kini matahari menjelang tenggelam. Berarti hampir satu hari penuh dia terduduk di situ, didera oleh rasa sakit di sekujur tubuh serta perasaan hancur di dalam hati. Otaknya seperti mau gila menghadapi kenyataan ini."Rata semua.... Rumahku, lenyap tak berbekas. Para Dewa. Hai tunjukkan padaku dimana mereka berada. Mengapa kau jatuhkan cobaan maha berat ini padaku! Anak istriku... Ruhpingitan, anak-anakku.... Apakah mereka masih hidup? Dimana mereka sekarang?” Tenggorokan Pasedayu turun naik. Dadanya terasa sesak. Mata
"Hai makhluk di puncak batu karang tempat arus berputar! Jika kau mengikuti petunjukku, kau tak perlu harus menunggu sampai sepuluh tahun lagi! Sebelum sang surya tenggelam hari ini, kau sudah boleh meninggalkan pulau karang!"Makhluk di atas batu karang tersentak kaget. Dia mendongak ke atas. Di antara silaunya Matahari Terik dia melihat ada sebuah benda berwarna merah melayang turun dari sebelah utara. Belum sempat dia berkejap, benda ini tahu-tahu sudah sampai di hadapannya! Kejut si makhluk aneh bukan alang kepalang!Sosok yang tegak di depannya saat itu adalah sosok seorang kakek yang keadaannya sungguh mengerikan. Sekujur badannya dikobari nyala api. Namun sosok sebelah kanan yaitu bagian bahu sampai ke pinggang hanya merupakan satu lobang besar menggidikkan. Makhluk berlumut di atas batu bisa melihat isi dada dan perut serta genangan darah di dalamnya. ”Makhluk api yang sosokmu hanya tinggal sebelah! Siapa kau adanya! Apa maksud ucapanmu tadi?!" Yang
"Kau bisa menghancurkan, tapi apakah kau sanggup mengembalikan debu karang itu ke bentuknya semula?”bertanya kakek api Pamanyala."Aku tidak mengerti...” jawab makhluk berlumut.”Kau tidak mengerti! Ha... ha... ha! Lihat apa yang aku lakukan!”Kakek api ulurkan tangan kanannya lalu disapukan ke tanah. Debu hancuran batu karang yang tadi dipukul makhluk berlumut membubung ke udara, menyatu kembali secara aneh. Si kakek gerakan tangan kanannya dua kali, kali ketiga dia seperti memukul ke arah lobang di depan makhluk berlumut."Wuuttt! Seetttt! Setttt!Bluuupppp!"Lobang besar akibat hantaman pukulan tadi kini tertutup oleh gumpalan debu, rata tak berbekas seperti keadaan semula! Pabahala hanya bisa leletkan lidah menyaksikan kejadian itu. Kakek api menyeringai lebar lalu berkata."Sungguh hebat ilmu pukulan Menghancur Karang Membentuk Debu yang kau perlihatkan padaku. Hai, bukankah itu nama pukulan yang barusan kau Perli