Sore itu hujan turuh lebat sekali. Cuaca gelap sesekali diterangi oleh sambaran petir. Guntur menggelegar menambah mencekamnya suasana. Dalam keadaan seperti itu kelihatan sosok seorang nenek berjalan basah kuyup terseok-seok. Di tangan kanannya dia memegang sebatang tongkat terbuat dari bambu kuning yang besarnya sepergelangan lengan dan panjang kurang dari sepuluh jengkal. Sambil melangkah si nenek tiada hentinya keluarkan suara nyanyian. Selain itu tangannya yang memegang tongkat tak bisa diam. Sebentar-sebentar tangan itu digerakkan untuk memukul rambas semak belukar yang menghalangi jalannya. Bahkan beberapa kali tongkat itu diayun menggebuk batang-batang pohon hingga patah bertumbangan.
“Hujan lebat begini rupa. Tubuh reyot seharusnya berada di dalam goa. Membaca doa sambil hidupkan pendupa. Agar sisa hidup bisa mengurangi segala dosa.
Hujan gila begini rupa. Cuaca gelap menutup pandangan mata. Seharusnya tubuh reyot ini berada di dalam goa. Tapi mengapa su
DIATAS cabang paling rendah pohon di hadapan si nenek, tergantung satu sosok tubuh perempuan. Seutas tambang menjirat lehernya yang mulai membusuk. Di dada perempuan ini ada sebuah kantong terbuat dari jerami. Kantong itu bergerak-gerak seolah ada sesuatu yang hidup di dalamnya. Curahan air hujan yang mengguyur sekujur tubuh mayat tergantung itu mengucur deras ke bawah, melewati kaki dan jatuh ke tanah. Si nenek seperti beku kaku, memandang melotot, berusaha, memperhatikan wajah perempuan yang tergantung itu. Dia tersentak ketika tiba-tiba dari dalam kantong jerami melesat suara tangis bayi. Si nenek tersadar.“Ada orok di dalam kantong itu!” Si nenek terlonjak. Kaki kiri dibanting ke tanah. Saat itu juga tubuhnya melayang ke atas. Tongkat di tangan kanan berkelebat. “Craasss!” Tali yang mengikat kantong jerami ke tubuh mayat putus. Mayat tergantung bergoyang-goyang. Di lain kejap si nenek sudah menjejakkan kakinya kembali di tanah. Di bawah pohon besa
Anehnya gadis di atas batu di tengah sungai perlihatkan wajah penuh senyum lalu dua tangannya dikembangkan ke depan, dua telapak terbuka. Gerakan tangannya, dorongan dua telapak tangan dengan jari-jari yang bergerak tiada henti serta geseran sepasang kaki berbetis putih dan bagus, nyaris merupakan gerakan seorang penari yang penuh kelembutan. Dari dua telapak tangan yang terbuka dan mengandung tenaga dalam tinggi keluar tiupan angin yang sama sekali tidak keras, tidak beda tiupan angin lembah di pagi hari penuh kelembutan.“Kalian semua sahabat-sahabatku. Tidurlah. !”Terjadilah hal yang aneh, sukar dipercaya. Siuran angin lembut yang keluar dari dua telapak tengah si gadis membuat ratusan katak melayang jatuh secara perlahan-lahan. Di atas batu, di dalam air atau di tanah. Ada juga yang menyangsrang di semak belukar atau jatuh di atas pohon. Semuanya diam tak bergerak. Sepasang mata mereka terkatup. Semua binatang itu berada dalam keheningan alias be
Di kepalanya ada sebuah mahkota kecil bertabur batu permata. Pakaiannya terbuat dari gulungan sutera biru yang panjang sekali seolah-olah bergulung sampai ke langit. Saat itu juga tempat tersebut dipenuhi oleh bau harum semerbak. Hidung si nenek tampak kembang kempis. Dia dapat mencium bau harum itu tetapi tidak melihat sosok perempuan cantik berpakaian biru yang barusan seolah turun dari langit.Walau hatinya tergoncang melihat keanehan ini namun Ruhcinta berhasil tabahkan diri. Dengan mengulas senyum di bibir dia berkata. “Hai perempuan cantik bermahkota! Siapa gerangan kau adanya?”“Aku adalah Bunda Dewi dari Negeri Atas Langit. Kedatanganku untuk memberi petunjuk. Jika kau tinggalkan lembah ini pergilah ke arah matahari terbit. Pada pagi hari kedua setelah kau berada di perjalanan kau akan mendapatkan petunjuk yang kelak bakal menyingkapkan asal usul dirimu. Namun ingat baik-baik Hai gadis bernama Ruhcinta. Apapun kelak yang bakal kau dapat dan ke
Ruhcinta memandang dengan tersenyum membuat orang di atas dangau yang bukan lain adalah Jin Muka Seribu tambah berkobar hasrat kejinya. Seperti diketahui Jin Muka Seribu memiliki kemampuan merubah-rubah empat wajah di kepalanya. Jika empat wajahnya muncul dalam rupa pemuda gagah maka itu berarti dia terangsang untuk bercinta. Sambil memandang, otak Ruhcinta bekerja. Dalam hati dia membatin. “Hemm…” Makhluk bermuka empat ini muncul seperti kilat yang berubah menjadi bayang-bayang.Pertanda dia memiliki kepandaian tinggi. Wajah, sikap dan cara bicaranya seolah tulus tapi aku mencium tak ada cinta kasih dibalik semua itu. Pertanyaannya banyak sekali seperti dia tengah menyelidik. Makhluk satu ini tak bisa kupercaya, tetapi jika aku hadapi dengan tenang dan kebaikan hati mungkin aku bisa memanfaatkannya. Mungkin dialah petunjuk yang diberikan Bunda Dewi. Orang yang akan menyingkap tabir asal-usul diriku”Ruhcinta kembali tersenyum. “Pemuda ga
Yang ada hanya sebuah batu besar dialasi anyaman rumput kering dan dijadikan ranjang tempat tidur. Walaupun hatinya tidak enak namun Ruhcinta tetap saja memoles senyum di bibirnya yang bagus.“Jangan perhatikan mereka Hai Ruhcinta. Tiga gadis ini adalah pembantu yang mengurus dan menjaga tempat kediamanku jika aku pergi.” Lalu pada tiga gadis di dalam ruangan Jin Muka Seribu segera berkata. “Lekas kalian memberi hormat pada tamuku! Kalau sudah memberi hormat segera siapkan hidangan dan minuman. Kami lapar! Setelah itu kalian Semua boleh pergi! Kami haus! Berikan minuman lebih dulu!”Tiga gadis di dalam Ruang Dua Belas Obor segera berdiri lalu menjura memberi hormat pada Ruhcinta. Sebelum sempat si gadis membalas penghormatan itu ketiganya telah meninggalkan ruangan.“Hai Jin Muka Seribu, kita telah berada di tempat kediamanmu. Apakah kau bisa segera mulai memberi keterangan tentang orang-orang bernama Patampi dan Ruhpiranti itu?&rdq
“Pembicaraan kita mengapa jadi berubah Jin Muka Seribu? Bukankah kau berkata hendak memberi tahu riwayat dua orang bernama Patampi dari Ruhpiranti itu? Sekarang kau bicara hal-hai yang aku tidak mengerti.”“Kau tidak perlu mengerti. Yang kau harus mengerti adalah melayani diriku sampai puas! Ha. ha… ha!”Kembali Jin Muka Seribu menyergap Ruhcinta. Kali ini si gadis cepat menghindar lalu berkelebat ke arah pintu ruangan. Namun dari belakang tiba-tiba melesat dua larik sinar hijau. Sinar-sinar aneh ini ternyata menyembul keluar dari sepasang mata Jin Muka Seribu sebelah depan.Ruhcinta berteriak kaget ketika dua larik sinar hijau seperti dua utas tali tahu-tahu menggulung sekujur tubuhnya hingga dia tidak mampu menggerakkan kaki maupun tangan! Sekali Jin Muka Seribu menyentakkan kepalanya tubuh Ruhcinta terlempar ke atas ranjang batu dan masih dalam keadaan terikat dua larik sinar hijau itu!“Makhluk jahat! Apa yan
“Nek, tak usah kau kejar orang jahat itu. Beri dia kesempatan untuk berpikir. Siapa tahu tidak sekarang tapi nanti cinta kasih akan masuk ke dalam tubuhnya, mengalir di dalam darahnya dan tertanam di lubuk hatinya. Hingga kelak dia mau bertobat dan menjadi orang baik...”Mendengar kata-kata itu, si nenek yang sudah nekad hendak mengejar Jin Muka Seribu jadi hentikan gerakannya. Saat itu dia masih belum melihat jelas wajah Ruhcinta karena asap hijau yang ditinggalkan Jin Muka Seribu masih mengambang dalam ruangan. Namun dengan suara perlahan si nenek berkata.“Kau gadis berhati baik dan tulus. Agaknya ajaran kasih sayang begitu mendalam dalam hati sanubarimu. Tetapi Hai gadis tulus! Tahukah engkau bahwa begitu banyak makhluk yang menemui celaka bahkan kematian hanya karena berbuat baik secara berlebihan?”“Mereka mati dalam kebaikan. Dalam cinta kasih. Apakah ada kematian yang lebih indah dari itu Nek?”Jin Penjunj
Dua mata si nenek mendadak keluarkan sinar merah terang menggidikkan. Agaknya dia tidak main-main. Kalau dua larik sinar merah mengandung hawa panas disemburkannya maka jika benda mati yang terkena seperti batu, akan hancur lebur. Jika benda hidup akan mati seolah terpanggang!. Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Tumpukan katak yang ada di tengah sungai kecil kelihatan bergerak. Bangkit membentuk sosok manusia yang ditempeli ratusan katak hijau. Hanya mata, hidung dan mulutnya saja yang kelihatan. Inilah dia si Nenek Jin Lembah Paekatakhijau yang tubuhnya tertutup oleh katak-katak peliharaannya!“Muridku Ruhcinta! Hai! Enam hari lalu kau tinggalkan lembah ini! tahu-tahu kau muncul kembali di sini! Ada apakah Hai muridku? Apa dunia luar sana tidak kau sukai atau ada sesuatu yang memaksamu kembali ke sini?!”Jin Penjunjung Roh yang berdiri di sebelah Ruhcinta serta merta menjadi jengkel.“Jelas-jelas aku berada di sini! Tegak di samping mur