Share

Kronik Negeri Nusa
Kronik Negeri Nusa
Penulis: Cicero

PROLOG

Penulis: Cicero
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Diwata merasa telah mendayung selamanya, perahu kayu reot yang ia duduki melaju perlahan dibawah langit yang berubah semakin gelap. Raut wajah pemuda itu terlihat tidak puas, kedua tanganya terasa nyeri, tenggorokanya meronta meminta air. Ia memang menghabiskan sebagian hidupnya di lautan sebagai perompak, membajak kapal dagang di sepenjuru Nusa, tapi ia terbiasa menjadi penindas bukan orang yang di tindas dan melarikan diri seperti sekarang ini. Kepalanya yang dibalut kain menoleh kebelakang, menatap kearah lautan yang sepi dan pulau yang baru saja ia tinggalkan. "Tak ada yang selamat," Diwata membatin.

Sesaat dirinya terpikir untuk melompat dan membiarkan dirinya menjadi santapan hewan buas dari laut dalam, ia sendiri pernah melihat seseorang dicabik cabik oleh sekawanan hiu, seorang pedagang kain dari Malingga yang dengan bodoh menantang kelompoknya di lautan. Namun Diwata menepis pikiran itu, ia belum ingin mati, ia masih ingin hidup, dan pesannya harus tersampaikan pada sisa-sia kelompoknya. 

Pikiranya melayang memikirkan nasib teman temanya yang berada di Indanao, mereka tidak tahu apa yang akan mendatangi mereka, "Harus kuperingatkan, yang lain harus ku peringatkan." Dengan seluruh tenaganya yang tersisa, perompak yang malang itu mendayung dengan cepat menuju sebuah pulau kecil di kejauhan yang diterangi titik - titik kecil cahaya, Diwata terus mendayung hingga pandanganya perlahan semakin remang dan semakin gelap, dan nafasnya perlahan semakin berat.

Sang perompak terbangun oleh sebuah tamparan yang mendarat di pipinya. Dalam pandangannya yang masih berkunang kunang, ia melihat seseorang memegang botol berisi air dan memaksanya untuk minum, menumpahkan seisi botol keramik itu kedalam mulutnya.

"Dimana aku?" Tanya Diwata lirih, tapi orang disebelahnya justru tertawa terbahak. "Pulau Indanao dasar bodoh! Kau mendayung dari pulau Uzon sampai Indanao! Apa kau sudah gila?"

Mendengar itu ia jadi tersadar, ya mungkin saja ia sudah gila, mungkin saja kewarasanya perlahan menghilang, tapi Diwata mengingat sesuatu dan seketika mengguncang bahu orang dihadapanya dengan sekuat tenaga, "Lari! Peringatkan yang lain! Laskar Sagara akan datang dan menghabisi kita semua!"

Orang itu kembali tertawa terbahak tapi kali ini diselingi cekukan dan disertai nafas yang didominasi bau arak, ia lalu berdiri dan berjalan sempoyongan meninggalkan Diwata seorang diri berselimut rasa panik.

Pria malang itu mengerjapkan mata berusaha untuk lebih fokus dan menyingkirkan kunang - kunang di matanya. Langit rupanya sudah gelap sepenuhnya, ia dapat melihat sekumpulan orang yang sedang menari dan bernyanyi mengelilingi api unggun yang dibuat dari potongan perahu nelayan sementara bau minuman keras memenuhi udara malam.

Kelompok perompaknya ternyata sedang berpesta.

Diwata berhasil mengumpulkan tenaga untuk berdiri dan menyeret kakinya di atas pasir pantai, ia berjalan menuju arah perkampungan yang terlihat lebih ramai dan riuh untuk mencari ketua kelompoknya. Melihat keadaan kampung itu, Diwata langsung menyadari bahwa teman - temanya baru saja menjarah kampung nelayan terpencil ini, terlihat jelas dari rumah - rumah yang hancur dan tangis histeris penduduk lokal ditengah tawa riang kelompoknya. Suatu kegiatan yang  biasa bagi para Perompak Lanun, menjarah kapal dan perkampungan pesisir.

"Baigu!" Ia berteriak lantang. Diwata menarik lengan salah satu perompak disana dan menanyakan keberadaan pemimpin mereka itu, tapi sayangnya jawaban yang ia terima hanya berupa muntahan.

Dengan sedikit kesal Diwata kembali melangkah dan mulutnya terus berteriak, "Baigu! Baigu!"

Kali ini ia melewati sekumpulan perompak yang menyeret seorang wanita muda kedalam rumah yang setengah hancur sementara beberapa perompak lain memukuli seorang pria yang kemungkinan besar kerabat wanita malang itu. Mata Diwata tertarik ke arah ujung perkampungan dimana terlihat gundukan yang lumayan tinggi, ia berjalan mendekat dan menyadari gundukan itu ternyata adalah tumpukan mayat warga yang habis mereka bantai. Tertumpuk dan dikerubungi serangga bagai onggokan ikan segar di pasar pagi. "Baigu dimana kau!?" sekuat tenaga Diwata kembali berteriak.

"Kenapa kau tidak berhenti berteriak, dan mulai bersenang senang, eh?" Seorang perompak muncul dibelakang Diwata, seseorang berbadan besar dan gemuk dengan bulu dada yang sangat lebat. Baigu mengenakan kain batik penuh sobekan yang menutupi pinggang hingga pahanya, juga baju terbuka yang seakan tersiksa tidak mampu menutupi tubuh besarnya, sementara di lehernya tergantung sebuah kalung emas berbandul matahari, dan  kemungkinan besar semuanya adalah barang hasil jarahan.

"Baigu! Aku telah mencarimu sejak tadi, kita harus lari dari sini! Pergi sejauh mungkin sekarang!" Diwata memohon dengan cepat, suaranya terdengar panik. "Laskar Sagara, mereka telah menghabisi semua yang ada di Uzon, kita harus segera pergi jika tidak..."

Perompak bernama Baigu itu tertawa, sekali lagi bau arak menyembur ke udara, "Biarkan orang orang kuno itu datang ! Kita ini Perompak Lanun, tidak ada yang harus kita takuti!"

Melihat keadaan kelompoknya, Diwata tampak putus asa, sebagian temanya mabuk dan tidak sadarkan diri, sebagian lain larut dalam euforia, sementara Baigu sang pemimpin perompak Lanun masih congkak seperti biasa, "Baigu, aku mohon...kalau saja kau melihat apa yang mampu orang Sagara itu lakukan di Uzon."

Baigu kemudian mengangkat tangan, ia menyuruh Diwata berhenti berbicara dan dengan angkuh berjalan kearah keramaian. "Saudarku para perompak Lanun!" Pria bertubuh besar itu berteriak sembari berjalan mondar mandir dihapan kelompoknya. Para perompak lain seketika menghentikan kegiatan dan memperhatikan pemimpin mereka, "Kawan kita Diwata ini membawa kabar dari Uzon, katanya sekelompok orang udik dari Sagara akan menyerang kita!" Seketika para perompak saling bergumam, beberapa tampak kaget, sementara yang lain cekikan renyah.

Baigu berhenti sejenak, dan menendang papan kayu didepanya hingga terbelah dua, "Banyak dari kalian yang mungkin mendengar dongeng tentang kehebatan mereka, tapi jangan lupakan! Kita adalah kelompok perompak yang ditakuti seantero Nusa! Jika Laskar Sagara itu benar benar berani datang, aku ingin kalian semua mengangkat senjata dan mencincang mereka sama seperti yang kita lakukan pada warga desa ini!"

Para perompak seketika bersorak, mereka bersulang dan menari nari dengan riang. Nala melihat teman - temanya dengan pasrah, ia lalu menghempaskan dirinya ke atas tanah berpasir seraya memegangi kepalanya putus asa, "Kita akan mati, aku akan mati," bisiknya pada diri sendiri.

Ditengah riuh sorak sorai mereka, sayup sayup terdengar teriakan ngeri yang tidak biasa, lama kelamaan teriakan itu semakin dekat. Para perompak lain mulai menampakan kebingungan tapi Diwata sudah tahu apa yang akan terjadi.

Dari arah pantai beberapa perompak lari tunggang langgang, "Kita diserang! kita di ser--" Sedetik kemudian sebuah anak panah melesat menembus tepat di bola matanya.

Menyadari kehadiran kelompok tak diundang, Baigu berteriak sambil menarik pedang dari sarungnya, "Perompak Lanun! siapkan senjata kalian!" Di sisi lain Diwata seketika berdiri dan mematung menatap kearah pantai, kejadian ini bagai mimpi buruk yang terulang. Dalam sekejap, muncul dari balik gelapnya malam belasan kesatria yang menyerbu sambil berteriak, "Demi Nusa! Demi Nusa!" Sekumpulan manusia dengan badan dipenuhi otot dan sorot mata layaknya hewan buas yang lapar.

Para penyerbu itu mengenakan zirah kulit tebal lengkap dengan lempengan besi bersimbol harimau yang terpasang dibagian dada juga mengenakan pelindung kepala yang sekilas mirip dengan bentuk kepala seekor harimau. Bagian lengan dan kaki mereka ditutupi pelindung berbahan kulit, sementara kain berwarna kecokelatan terlilit menutupi pinggang hingga paha. Mereka masing masing dilengkapi senjata mulai dari pedang, tombak, dan perisai sementara beberapa membawa busur dan anak panah.

Diwata melihat kawanan perompaknya menerjang maju, tidak kurang dari sepuluh orang bersenjata pedang dan kapak, sayangnya, dalam sekejapan mata, kawanan perompak itu sudah tumbang, ada yang terpenggal, beberapa tersungkur dengan bagian tubuh sudah terpisah, sementara sisanya mati dengan kondisi yang sama mengenaskan.

Perompak yang lain tidak gentar, puluhan dari mereka dengan berani menghunuskan senjata dan menyerang sembari berteriak penuh amarah. Namun keahilan Laskar Sagara berada pada tingkat yang berbeda, orang - orang Sagara itu bertempur layaknya iblis. Diwata bergerak mundur dan berniat lari tapi Baigu menghalanginya, "Angkat senjatamu atau aku sendiri yang akan menghabisimu pengecut!"

Baigu kemudian mendorongnya maju, merasa tak punya pilihan lain, Diwata mau tak mau ikut melawan, ia mengambil sebilah golok yang jatuh lalu berlari kearah salah satu kesatria Sagara yang tampak terkepung oleh 3 perompak, salah satu perompak berhasil menebas kesatria itu namun alih alih tumbang, si kesatria malah berhasil bermanuver, membalikan keadaan dan membunuh ketiga teman perompaknya dengan sangat cepat.

Diwata berlari dan mulai mengibaskan senjata miliknya tapi serangan itu ditangkis dengan mudah, matanya melirik kearah luka tebasan yang diterima sang kesatria, lukanya masih mengucurkan darah segar tapi sosok kesatria itu sama sekali tidak tampak terganggu, tidak juga lukanya mempengaruhi kekuatan, kecepatan, dan daya tahan kesatria itu.

Diwata belum pernah melihat pemandangan seperti itu selama puluhan tahun karirnya menjadi perompak. Tanpa disadarinya darah justru tiba - tiba mencuat dari perutnya. Rupanya kesatria itu memanfaatkan kelengahan Diwata dan menusuknya dengan tombak. Golok Diwata terjatuh dari tanganya, tanganya berusaha mencabut tombak yang tertancap menembus perutnya namun tidak berhasil, tombak itu menancap terlalu dalam.

Pada saat terakhir Diwata melihat kembali kawanan perompaknya yang tersungkur habis dengan  mengenaskan, sementara belasan musuhnya tak satupun yang terlihat tumbang. Ia mendengar teriakan amarah para perompak perlahan menghilang, diliriknya Baigu yang mencoba melarikan diri namun tembakan panah tiba tiba mengenai kaki montoknya. Pria gemuk itu terjatuh diatas tanah pasir dan dalam sekejap sebuah mata tombak telah menembus lehernya yang berlemak. Baigu mati seketika.

Diwata mendengus, ia menyadari legenda dan cerita tentang para Laskar Sagara itu ternyata benar adanya. Perompak itu menyesal, ia seharusnya kabur selagi sempat. Perlahan pandangan Diwata berubah gelap, rasa sakit di perutnya yang menjadi - jadi entah kenapa mulai tak terasa lagi, mungkin ia mati rasa, dan tanpa disadarinya jantungnya tak lagi berdetak.

.

.

.

.

.

KRONIK NEGERI NUSA

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
opening yang bagus.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 1 : NALA

    Nala sampai lupa berapa lama ia telah duduk bersila diatas Pendapa, bangunan tanpa dinding dengan 8 tiang - tiang kayu sebagai penyangga atap. Saat itu Nala dan teman - temanya sedang mendengar ocehan Mpu Merdah, seoarang guru sepuh yang mengajar di Padepokan Sagara, tempat pendidikan bagi para Taruna yang ingin bergabung menjadi kesatria Laskar Sagara. Nala merasa pernah mendengar pelajaran yang sama sebelumnya, kisah sejarah tentang Mahapatih Werkudara sang pembebas pulau Sagara di masa lalu dan sosok pendiri Laskar Sagara ratusan tahun yang lalu. Dalam benaknya Nala bertanya - tanya apakah mungkin usia telah membuat Mpu Merdah pikun, atau memang gurunya itu kehabisan materi untuk diajarkan. Rasa bosan membuat mata Nala menerawang dan menengok keseberang pendapa, di sana, seorang kesatria Laskar Sagara sedang berdiri seperti sedang menunggu sesuatu. Kesatria itu mengenakan zirah berbahan kulit keras sebagai atasan, kedua lenganya ter

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 2 : MADA

    Sebuah pohon beringin raksasa berdiri tegap di atas bukit, dahan dan rantingnya terbentang lebar seakan membentuk payung raksasa ditegah hamparan ilalang dan semak belukar. Saking besarnya, batang beringin itu sampai menutupi sebagian altar kuno yang didirikan di depanya. Mada sedang menikmati waktunya, duduk santai sambil bersandar di batang pohon beringin yang besarnya hampir menyamai rumah tempat tinggalnya itu. Mada baru saja kembali dari tugas resmi keluar pulau dan bahkan belum sempat mengganti baju zirahnya yang terkena noda darah, tapi setidaknya Mada telah melepas pelindung kepala besi yang dipakai dan membiarkan rambutnya yang hitam pekat sepanjang bahu berkibar diterpa angin sepoi. Ia menarik nafas dalam, Patih itu dapat mencium aroma khas dari dupa dan kemenyan persembahan yang diletakan pada altar disebelahnya, juga aroma dedaunan kering dan lumut yang menempel disana, bersantai di bawah naungan beringin keramat itu meru

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 3: SURA

    Mahapatih Sura tidak menunjukan raut wajah ramah seperti biasa, malam itu ia sedang duduk disebuah kursi kayu jati di dalam Gedong Saddharma yang diterangi cahaya obor. Berkumpul diruangan itu adalah para Patih yang sedang duduk berjejer di sebelah kanan meja berbentuk persegi panjang, sedangkan disisi meja yang berlawanan, duduk dalam diam, seorang Dyaksha tua yang selalu membisikinya nasihat dan wejangan. Siang tadi ia telah menerima surat dari wilayah perkampungan di timur, pedesaan Yawi tepatnya. Tempat dimana sebagian beras di pulau Sagara ini berasal. Patih Taksha rupanya berhasil menangkap pencuri berantai yang telah meresahkan penduduk timur selama berminggu - minggu. Sura merasa senang, tentu saja, seorang kriminal berhasil tertangkap. Namun disisi lain ia juga khawatir, ini sudah kesekian kalinya anggota Laskar mengangkap penjahat entah itu pencuri, pemerkosa, atau pembunuh dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Dahulu mereka biasanya hanya menangk

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 4: NATTARI

    "Ratu! Ratu!" Seorang pria berusia 50 tahun berteriak dan berlari melintasi lorong yang dinding - dindingnya dihiasi relief berbagai macam bentuk. Kain tenunan yang ia kenakan sebagai bawahan berkibar seiring langkah cepatnya sementara hiasan emas yang melubangi daun telinganya bergoyang seiring kepalanya yang celingukan. Pria itu menuju sebuah taman yang ada disebelah bangunan berbentuk stupa kemerahan setinggi 4 meter. Taman itu bermandikan cahaya dan dipenuhi tanaman bunga warna warni, terlihat jelas mereka yang tinggal istana itu benar - benar memberi perawatan yang terbaik. Maharatu Nattari Amerta melirik pria itu dari jauh. Dia mengenali sosok pria tersebut, seorang Dapunta mereka biasa memanggilnya, sebuah jabatan di Kedatuan Malingga yang berfungsi sebagai tangan kanan penguasa, Dapunta itu bernama Vishaka Amerta, yang juga adalah paman dari Maharatu Nattari. Tapi Maharatu pura - pura tidak menden

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 5: TAKSHA

    3 hari telah berlalu sejak rapat terakhir para Patih, selama 3 hari pula Taksha telah menanti saat dimana ia pada akhirnya akan mengeksekusi Bapu si pencuri. Patih berambut hitam pendek dan kumis tipis itu sudah tidak sabar mengayunkan pedangnya dihadapan penduduk Yawi yang akan menyorakan namanya, dan para penjahat yang akan meringkuk ketakutan setiap mendengar namanya. Taksha telah mengatur segala persiapan untuk memindahkan Bapu dari Madya Puri menuju Yawi, juga mengirimkan seekor elang pembawa pesan pada pasukan divisinya di sana, semua berjalan dengan baik sampai - sampai ia melupakan masalahnya dengan Patih Mada temanya. Taksha belum pernah berbicara dengan Mada sejak perdebatan terakhir mereka di Utama Puri, ia bahkan tidak pernah melihatnya lagi sejak kemarin, sekali ia mendatangi Lyong, wakil kepercayaan Mada, namun kesatria itu mengatakan Patih nya sedang menuju kota Glora entah untuk alasan apa, sangat disayangkan jika sampai Mada mengabaikan kehormatanya

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 6: VISHAKA

    Lantai yang dilapisi marmer warna - warni, tembok putih yang tertutup permadani terbaik, deretan jendela raksasa yang menghadap taman istana di satu sisi sementara pemandangan Teluk Malka disisi yang lain, aula utama yang berada di dalam istana Malingga merupakan sebuah ruangan besar yang akan membuat mata siapapun terbelalak. Di dalam aula yang disusupi cahaya matahari sore tersebut, Dapunta Vishaka duduk di sebuah kursi jati yang dihiasi kain beludru, sebuah kursi yang telah ia duduki selama puluhan tahun menjadi Dapunta, tangan kanan kepercayaan Raja dan Ratu Kedatuan Malingga. Ia memandangi sebuah singgasana yang berjarak beberapa jengkal disebelahnya, terletak diatas lantai yang lebih tinggi sesuai dengan kedudukan orang yang bertakhta di atasnya, berhiaskan ukiran dari perak yang berkilau dan batu giok yang indah. Singgasana yang diperuntukan bagi Maharaja Malingga...atau Maharatu khusus beberapa tahun belakangan. Dihadapanya sedang berlutut seorang pria, sosok

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 7: MADA

    Tradisi, kehormatan, harga diri, semuanya tak berarti apa - apa di kota seperti Glora, itulah yang selalu ada dalam benak Patih Mada setiap ia berkunjung ke kota dagang tersebut. Mada baru saja datang dari arah Madya Puri dan memasuki kota itu melewati gapura timur. Langkahnya mengarah langsung menuju bagian kota mengenaskan yang bernama 'Distrik Pelesir'. Mada saat itu menyamarkan dirinya dengan sebuah jubah lapuk lengkap dengan kerudung, ia juga menanggalkan atribut Patihnya dan hanya menyisakan keris yang terselip di pinggang untuk jaga - jaga.Sebagai seorang patih yang terhormat Mada tak ingin terlihat berada di kawasan itu, kawasan yang berbanding terbalik dengan ajaran dan prinsip Laskar Sagara.Rumah bordil, warung - warung minum, para pedagang arak dan tuak bertebaran kemanapun matanya memandang, sementara udara dipenuhi aroma alkohol dan wangi pembakaran kemenyan , dulunya Laskar Sagara melarang adanya tempat - tempat kotor seperti itu, namun Patih Gura

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 8: NALA

    Para taruna saat itu sedang berada di pinggiran Hutan Vanara, berhektar - hektar lautan berwarna hijau yang terasa lembab, saking luasnya, hutan itu hampir menutupi seluruh wilayah selatan Sagara dan menghantui desa desa kecil disekitarnya. Nala dan keempat sahabatnya berada di antara puluhan taruna yang berusia 10 sampai 14 tahun, berkumpul di bagian luar hutan. Mereka dijadwalkan untuk latihan taktis hari ini. Mpu Merdah dan para guru serta pengawas lain juga hadir di sana, tapi yang membuat pertandingan kali ini spesial adalah kehadiran Patih Jambha penguasa wilayah selatan. Para taruna akan dibagi menjadi 2 kelompok yang masing - masing terdiri dari 30 orang. Kedua kelompok akan saling berhadapan di dalam wilayah hutan yang telah ditentukan. Untuk meraih kemenangan, salah satu kelompok harus berhasil merebut bendera dari markas kelompok lawan, sambil berusaha mempertahankan bendera sendiri mereka dari lawan. Mereka juga dibebaskan untuk memasang peran

Bab terbaru

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 16: MADA

    "Mendekati pelabuhan Kedatuan Malingga!" seorang prajurit berteriak dari atas tiang pemantau kapal. Dari anjungan tempatnya berdiri sekarang, Mada dapat melihat formasi pegunungan Antaboga lebih dulu dari pada pelabuhan Malingga. Deru angin dan hempasan ombak membawa kapal layar yang ia tumpangi semakin dekat dan kian dekat pada bibir pantai. Pelayarannya ke Malingga nyaris tidak menghadapi hambatan apapun, kecuali mungkin kehadiran seorang penyelundup di kapalnya. Sosok asing yang entah akan mereka apakan. Tapi Mada juga menangkap ke anehan dari suara sang juru pantau di atas sana, berdiri menahan angin dengan pakaian yang berkibar, suaranya terdengar jauh lebih jelas daripada seharusnya. Seketika ia menyadari bahwa angin perlahan semakin pelan dan lambat laun, angin bahkan tak mampu mengibarkan pakaian sang juru pantau, dan jelas sekali tidak akan mampu mendorong layar kapal mereka hingga ke pelabuhan. Laut juga menjadi tenang, sangat tenang yang membuat Mada

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 15: NATTARI

    Aula istana yang kosong bergema nyaring seiring bayang - bayang Nattari yang bergerak kesana kemari. Langit malam itu tak menghadiahkannya bulan maupun bintang, bahkan angin tak juga bertiup melewati lubang - lubang besar yang menghadap ke luar istana. Takhta di hadapannya tegak dan kokoh, di jaga dan di kelilingi pasukan penjaga, takhta itu tampak tak bergeming dan tak bisa digoyahkan. Nattari melihat takhta itu dengan jantung yang berdebar, liukan obor terpantul dari matanya yang bergetar. Dia mengingat saat mendiang kakaknya lah yang duduk di atas takhta berhiaskan giok itu, merasakan dan memikul segala masalah dan kesulitan yang di alami Kedatuan Malingga, dan orang - orang di dalamnya. Beberapa tahun mendatang akan menjadi giliran anaknya, Balaputra II. Nattari membayangkan apakah anak lelakinya itu akan memerintah pada masa dimana keadaan sudah kembali tenang seperti dahulu, sementara itu Antari... Malam semakin larut dan larut, Nattari tak kunjung meninggalkan

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 14 : TAKSHA

    Kentongan kayu yang terpasang di menara balai desa mulai di bunyikan, suaranya menggema memecah langit pagi di pedesaan dan pedukuhan di wilayah timur Sagara. Matahari bahkan belum sepenuhnya terbangun, fajar baru saja datang membawa angin segar dan aroma dinginnya embun pagi, tapi penduduk telah berbondong keluar dari kediaman mereka, saling bergunjing sambil berjalan cepat menuju sang patih dan puluhan kesatria di belakangnya. Keributan pagi itu bukan tanpa alasan, Taksha sebagai Patih pemimpin wilayah timur telah memberi perintah untuk melakukan sidak dan pemeriksaan ke seluruh desa - desa dibawah kekuasaanya, dan ia tidak pernah berhenti berkuda kesana - kemari sejak subuh tadi.Kabar terbaru tentang pohon keramat di Madyapuri telah membuat kepalanya mendidih, dan baginya semua yang terjadi adalah ulah sebuah kelompok yang diam - diam merancang sabotase dan kudeta pada Laskar Sagara, kelompok yang mengacau saat eksekusi Bapu, kelompok yang ingin ia pastikan tak bers

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 13: MADA

    Angin meraung dari angkasa menerpa sekujur badan Mada dan mereka yang sedang sibuk di atas kapal layar. Raungan angin juga mengibarkan bendera harimau lambang kebesaran Laskar Sagara di tiang kapal tertinggi dan menghantam layar layar yang terkembang seiring kapal besar itu melaju di tengah hamparan samudra biru.Ombak saat itu cukup tinggi, air laut yang terus menerus menerjang terpantul oleh geladak kapal berbahan kayu nan keras, menghasilkan bunyi hantaman mengerikan disusul bunyi mirip hujan saat lompatan air laut berhasil menghujam dan membasahi bagian atas kapal, tempat dimana Mada sedang berdiri dan menatap horizon.Sudah sehari penuh Mada berlayar meninggalkan rumahnya di Madya Puri mengarungi lautan yang tidak menentu, berlayar menuju apa yang menurut Patih Jambha sebagai penentuan nasib kerajaan - kerajaan penghuni kepulauan Nusa. Mada tidak menyukai anggapan seperti itu, ia merasa seakan pundaknya diberi tambahan beban seberat 5 kali manusia dewasa.

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 12 : VISHAKA

    Sore itu para pejabat paling penting di Kedatuan Malingga sedang berkumpul, pejabat paling penting dalam hal ini berarti Sang Ratu, Vishaka sendiri selaku Dapunta, Ki Hasta selaku Dyaksha, dan Pendeta Ghana. Menurutnya kedua nama terakhir sebaiknya di coret dari pertemuan, baginya Ki Hasta memiliki kepentingan lain selain untuk Malingga dan Pendeta Ghana tidak mengerti apapun soal politik, tapi Maharatu Nattari beranggapan lain. Pertemuan mereka kali ini hampir berakhir, mereka telah membahas sesuatu yang tak bisa dihindari yakni perihal Patih yang dikirim oleh Laskar Sagara ke Malingga, tentunya tujuan kedatangan Patih itu sudah dapat diperkirakan Vishaka. Sekarang hanya masalah apakah Kedatuan Malingga mampu menghalangi apa yang menjadi tujuan Patih itu. Ibarat sebuah ombak besar yang datang dari Sagara, apakah Malingga akan tenggelam atau mampu bertahan, Dapunta Vishaka beranggapan hanya dirinyalah yang sanggup menangani masalah itu. "Dengan begi

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 11: MADA

    Peluh dingin mengucur dari tubuh Mada yang sedang tertidur pulas. Kepalanya bergerak gelisah di atas bantal yang berisikan kapuk, sebuah gambaran akan kejadian buruk yang terjadi belakangan terputar kembali dalam sebuah kilasan mimpi yang dialaminya. Kilasan tentang Bapu pamanya yang sudah tiada, memanggil - manggil namanya dan nama Lani dari balik jeruji dibawah Gedong Yama. Mimpinya lalu beralih pada saat dimana ia membantai para perompak, lalu pada warga pulau Uzon yang menyesali kematian mereka, menangisi kedatangan Mada yang begitu terlambat. Sebuah tepukan keras pada bahunya membuat mata Mada seketika terbuka, nafasnya tersengal melihat temanya Lyong berdiri di sebelah dipan tidurnya, "Mada! Bangunlah! Sesuatu yang gawat terjadi, beringin tua terbakar!" "Apa?" Setengah tubuh Mada masih tertidur. "Berdirilah! Seseorang telah membakar beringin tua di bukit! Kita harus bergegas, yang lain sedang berusaha memadankan apinya!" Lyong berteriak deng

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 10: NATTARI

    Nattari Amerta merasakan sedikit beban di pundaknya terlepas ketika melihat Balaputra, anaknya sekaligus putra mahkota Kedatuan Malingga duduk di dalam sebuah ruangan memanjang yang dipenuhi rak berbahan kayu berisi buku, lontar, dan gulungan. Dyaksha Ki Hasta duduk diseberang putranya sambil jarinya menunjuk kearah salah satu halaman pada buku yang sedang mereka baca. Orang tua itu mengenakan pakaian serba putih seperti biasanya tapi kali ini tampak lebih cemerlang, sementara tongkat kayunya tersandar di bahu.Ruangan itu diselimuti semerbak harum dupa yang ditancapkan pada sebuah altar persembahan bagi Isvati sang Dewi Pengetahuan. Ki Hasta sebenarnya tidak berkewajiban untuk mengajari putranya apapun, para guru pengajarlah yang seharusnya melakukan itu tapi Sinha berpendapat bahwa tidak ada orang yang lebih berpengetahuan di tanah Malingga saat ini selain sang Dyaksha."Balaputra anaku, Ibu harap kamu belajar banyak hal hari ini," ujar Nattari pada

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 9: SURA

    Arak - arakan kremasi sedang berjalan menuju Setra, sebuah lapangan luas yang berfungsi sebagai tempat pembakaran mayat para kesatria yang gugur. 3 mayat kesatria yang tewas di hutan Vanara ditempatkan dalam wadah dari bambu lalu digotong oleh puluhan kesateria lain. Mahapatih Sura ada diantara puluhan manusia yang mengiringi, ia berjalan paling depan bersama Mpu Mudita sang Mantri Keagamaan dan para pendeta lain. Rombongan berjalan dari Utama Puri menuju Setra yang ada di pinggir Madya Puri, sepanjang perjalanan mereka ditonton oleh para penduduk yang berduka. Sesampainya rombongan di Setra, mayat para kesatria langsung ditempatkan berjejer diatas gundukan kayu, Mpu Mudita dan para pendeta langsung memimpin ritual, mengucapkan mantra - mantra kuno untuk mempermudah perjalanan roh para mendiang menuju Satyaloka disaksikan oleh kesatria lain yang kini duduk bersila diatas padang rumput yang kering. Sura menyaksikan prosesi ritual itu dengan pik

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 8: NALA

    Para taruna saat itu sedang berada di pinggiran Hutan Vanara, berhektar - hektar lautan berwarna hijau yang terasa lembab, saking luasnya, hutan itu hampir menutupi seluruh wilayah selatan Sagara dan menghantui desa desa kecil disekitarnya. Nala dan keempat sahabatnya berada di antara puluhan taruna yang berusia 10 sampai 14 tahun, berkumpul di bagian luar hutan. Mereka dijadwalkan untuk latihan taktis hari ini. Mpu Merdah dan para guru serta pengawas lain juga hadir di sana, tapi yang membuat pertandingan kali ini spesial adalah kehadiran Patih Jambha penguasa wilayah selatan. Para taruna akan dibagi menjadi 2 kelompok yang masing - masing terdiri dari 30 orang. Kedua kelompok akan saling berhadapan di dalam wilayah hutan yang telah ditentukan. Untuk meraih kemenangan, salah satu kelompok harus berhasil merebut bendera dari markas kelompok lawan, sambil berusaha mempertahankan bendera sendiri mereka dari lawan. Mereka juga dibebaskan untuk memasang peran

DMCA.com Protection Status