Share

BAB 6: VISHAKA

Penulis: Cicero
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Lantai yang dilapisi marmer warna - warni, tembok putih yang tertutup permadani terbaik, deretan jendela raksasa yang menghadap taman istana di satu sisi sementara pemandangan Teluk Malka disisi yang lain, aula utama yang berada di dalam istana Malingga merupakan sebuah ruangan besar yang akan membuat mata siapapun terbelalak.

Di dalam aula yang disusupi cahaya matahari sore tersebut, Dapunta Vishaka duduk di sebuah kursi jati yang dihiasi kain beludru, sebuah kursi yang telah ia duduki selama puluhan tahun menjadi Dapunta, tangan kanan kepercayaan Raja dan Ratu Kedatuan Malingga. Ia memandangi sebuah singgasana yang berjarak beberapa jengkal disebelahnya, terletak diatas lantai yang lebih tinggi sesuai dengan kedudukan orang yang bertakhta di atasnya, berhiaskan ukiran dari perak yang berkilau dan batu giok yang indah. Singgasana yang diperuntukan bagi Maharaja Malingga...atau Maharatu khusus beberapa tahun belakangan.

Dihadapanya sedang berlutut seorang pria, sosok dengan wajah kasar yang mengenakan seragam prajurit Malingga lengkap dengan pedang tersarung di pinggang, "Senapati, atas perintah dari yang mulia Maharatu Nattari Amerta, sebarkan pengumuman ini ke seluruh kota dan desa di kedatuan. Malingga membutuhkan para pria pemberani untuk bergabung sebagai prajurit kerajaan, umumkan bahwa ini adalah perekrutan resmi, semua akan dibayar dan mendapat tunjangan sesuai dengan ketentuan kerajaan," Vishaka memberi perintah dari atas kursi jatinya.

Pria berwajah keras dan berseragam prajurit itu menengadah menatapnya sembari menangkupkan kedua tanganya yang tampak kasar, "Dan berapa banyak  yang Malingga butuhkan, tuan?"

Vishaka diam sejenak, tanganya menggaruk dagu sambil berfikir. Malingga saat ini memiliki 3500 prajurit, ia butuh lebih banyak prajurit jika ingin rencana yang disusunya berhasil, dan rencana itu harus berhasil. "Kita akan membutuhkan tambahan sebanyak 2000 prajurit, Senapati, dan aku harus diberitahu setiap perkembangan yang berhasil engkau buat, aku sendiri yang akan meneruskan informasi itu kepada Maharatu. Sekarang pergilah Senapati Subala."

Senapati itu dengan sigap berdiri dan pamit mengundurkan diri keluar aula, meninggalkan Vishaka yang seketika larut dalam pikiranya.

Matanya menatap kembali kearah singgasana megah disebelahnya, ia berdiri, berjalan mendekati singgasana tersebut lalu meraba peganganya yang bersepuh perak berkilau, ia menatap singgasana itu layaknya tak ada hal lain yang lebih indah di dunia selain bangku dihadapanya. Kakinya kembali berjalan, ia menyingsingkan kain tenun di kakinya untuk memudahkan langkahnya menaiki undakan. Dengan lembut ia menyeret tanganya yang dihiasi gelang emas mulai dari pegangan menuju sandaran singgasana. Perlahan tanganya lalu mengarah pada 4 buah batu giok berwarna hijau laut yang terpasang di permukaan sandaran, disentuhnya batu mulia itu. 

Ingatan akan masa lalu membanjirinya, ingatan saat ayahnya, Maharaja Anggada Amerta membawa Malingga menuju masa keemasan mereka, lalu saat kakaknya, Balaputra menggantikan ayahnya duduk di singgasana berkilau itu, lalu insiden pertengkaran kakanya dan keponakanya Mahesa Amerta yang meninggalkan takhta dan memilih kehidupan sebagai pertapa.

Kedatuan Malingga perlahan merosot sejak saat itu, keponakan perempuanya yang sekarang menjadi Maharatu memang telah berusaha sekuat tenaga namun firasatnya mengatakan Nattari tidak cukup mumpuni, putranya, Balaputra II, yang akan menjadi penerus juga menunjukan ketidak cakapan seiring waktu berjalan, pangeran itu telah berusia 14 tahun tapi masih bermain layaknya anak kecil berusia 8 tahun.

Vishaka telah melihat segalanya dari kursi perdana menteri miliknya, baik buruk dan jatuh bangun Malingga telah ia saksikan, namun ada satu orang lagi yang selalu berada disana, seseorang yang bahkan jauh lebih dulu darinya, "Ki Hasta! wahai Dyaksha yang terhormat! Kenapa engkau mengendap disana seperti seorang pencuri?" ia memanggil setelah menyadari adanya sosok pria tua yang sedari tadi memperhatikanya.

Dari balik pilar istana yang terlilit kain berwarna jingga, seorang Dyakhsa atau penasihat kerajaan muncul berjalan dengan tongkat kayu, wajah dan sekujur tubuhnya tampak termakan usia dengan bercak  kehitaman menempel di kulit wajahnya. Penasihat itu memiliki bola mata yang berwarna seperti abu dupa, dan mengenakan jubah berwarna putih tipis khas para Dyaksha.

"Tuan Dapunta, tidak perlu menuduh hamba seperti itu, hamba hanya sedang berjalan - jalan, tuan. Jendela - jendela besar di aula ini selalu menghembuskan angin segar yang sangat dibutuhkan oleh orang tua seperti hambaz" balas sang Dyaksha datar.

Ki Hasta berjalan mendekat, senyum tersungging dari bibirnya yang tampak seperti bibir mayat. Dyaksha satu ini selalu saja tersenyum, entah dalam suka maupun duka, entah dalam situasi genting atau santai. Orang - orang awam akan menganggapnya sebagai sosok tua bijak yang ramah, namun bagi Vishaka ia hanyalah orang tua yang menyembunyikan tujuanya dibalik senyuman menipu.

Jika saja perjanjian Nalanda tidak mewajibkan setiap kerajaan untuk didampingi seorang Dyaksha, ia pasti sudah menyingkirkan Ki Hasta sejak dulu, tapi sekarang, setelah sekian lama, Maharatu malah sangat mempercayai Ki Hasta sama seperti sang ratu mempercayainya yang merupakan keluarga sendiri.

"Ah singgasana Malingga, tempat duduk paling indah di seantero negeri," ujar Ki Hasta sambil melirik kearah singgasana.

"Yang terindah, betul, tapi juga yang paling rapuh untuk saat ini," Dyaksha itu melanjutkan, namun kali ini mata abu - abunya memandang tepat kearahnya.

"Jadi menurutmu begitu? aku penasaran bagaimana bisa engkau menyimpulkan hal seburuk itu Dyaksha, aku tidak melihat adanya tanda - tanda keropos pada singgasana ini," balas Vishaka dengan suara yang sama datarnya. Jika Dyaksha itu ingin bermain teka teki, ia akan dengan senang hati meladeninya.

"Singgasana megah, tapi tetap saja berbahan dasar kayu jati, dan sudah berusia ratusan tahun pula, dari luar mungkin tidak dapat dilihat, tapi siapa tahu rayap sedang menggerogotinya dari dalam," ujar Ki Hasta dengan alis berkerut. Matanya menelisik melihat singgasana itu dari atas sampai bawah.

Dyaksha tua itu lalu berjalan mendekatinya dengan agak pincang, sesaat kemudian Vishaka mendapati dirinya sudah saling berhadapan dengan penasihat yang perlahan membungkuk sopan padanya. "Pendapatmu sungguh menarik Ki, tapi tetap saja aku tidak melihat adanya bekas serbuk dari kayu yang keropos, rayap biasanya meninggalkan serbuk kayu," Ia membalas sembari berjalan mengelilingi singgasana. Vishaka lalu berjongkok dan pura - pura meraba setiap jengkal dari singgasana tersebut. Setelah itu ia menoleh kembali kearah si penasihat dengan cepat, membuat anting besar yang melubangi daun telinganya bergoyang. "Para pengawal dan pelayan tentu tahu jika kumpulan rayap menyerang singgasana milik Ratu mereka bukan?" 

Ki Hasta dengan sangat lamban menyusulnya mendekat ke arah singgasana, suara tongkatnya menggema ke seantero aula tiap kali menyentuh lantai yang dilapisi marmer, tanganya yang kurus keriput kini ikut meraba permukaan singgasana, "Rayap yang pintar, tuan, tidak meninggalkan jejak, tidak meninggalkan bekas, seakan mereka tidak ingin diketahui, seakan mereka mengerti bahwa sedikit saja bukti akan menjadi ajal mereka."

Dyaksha itu menghentikan ucapanya sesaat dan sekali lagi menyeringai, seringai yang membuatnya tampak seperti hantu, "Saya khawatir singgasana ini akan roboh saat Ratu Sinha duduk diatasnya."

"Ohh bagaimana mungkin engkau membicarakan kemungkinan buruk seperti itu sambil tersenyum Dyaksha?" tanya Vishaka sedikit mengejek. "Aku penasaran apakah kau akan tetap tersenyum saat hal buruk itu terjadi? Katakanlah, apakah aku dan Maharatu harus berhati - hati terhadapmu?" 

Ki Hasta tak bergeming, namun Vishaka dapat melihat sorot mata Dyaksha itu berubah waspada setelah mendengar ucapanya. Sorot mata itu membuatnya puas, ia senang melihat Dyaksha itu tertegun. Vishaka memang tidak pernah menyukai Ki Hasta dan ia rasa sang  Dyaksha juga memendam kebencian yang sama pada dirinya. Ia tak pernah paham mengapa para penguasa setuju untuk memakai sekumpulan orang tua yang berlagak bijak sebagai lingkaran terdekat mereka. Tapi perjanjian Nalanda sudah terlanjur disetujui dan bagaimanapun Vishaka tetaplah seorang keturunan Amerta, ia tidak ingin dipojokan atau bahkan dikalahkan oleh seorang tua bijak dari negeri yang jauh, tidak di Malingga tempat kelahiranya dan para leluhurnya.

Untuk sesaat sang Dyaksha berdiri dalam diam, Vishaka mengira lawan bicaranya telah kehabisan kata - kata, tapi entah karena alasan apa mulut Dyaksha itu tiba - tiba terkekeh. Tawa kering menjijikan  menggema di aula, "Sepertinya hamba sudah cukup mendapat udara segar tuan, sekarang hamba akan kembali ke ruangan hamba," ujarnya masih dengan senyum seraya membungkuk hormat, bungkuknya kali ini lebih dalam dari sebelumnya.

Dapunta Vishaka tidak mempedulikan tawa aneh itu, ia hanya membalas senyuman Ki Hasta lalu mengangguk mempersilahkanya pergi, perlahan Dyaksha itu berjalan diiringi suara tongkatnya yang bergema menjauh dari aula utama. "Ki Hasta!" Vishaka menyempatkan diri untuk memanggil sebelum orang sepuh itu benar - benar menghilang dari aula. Dyaksha itu berhenti lalu menoleh, "Ya tuan?" tanyanya.

"Engkau sepertinya menaruh perhatian pada kebersihan di aula ini, katakanlah, apa engkau pernah melihat kelabang atau mungkin kumpulan kelabang disekitar sini tuan Dyaksha?" tanya Kartawirya, "Dan juga, apakah kalian para Dyaksha adalah orang yang percaya tahayul? aku penasaran apa pendapatmu tentang mimpi tuan putri kemarin, itupun kalau kau sudah mendengarnya." Mata Vishaka berkilat menatap tajam Ki Hasta.

"Kami adalah kaum terdidik tuan Dapunta yang baik. Tapi sayangnya tafsir mimpi bukanlah sesuatu yang diajarkan pada kami, para pendeta akan mebih mengerti," jawab Ki Hasta alisnya naik dan kerutan wajahnya seakan bertambah. "Lalu soal kelabang, makhluk itu berbeda dengan rayap, tuan, hewan itu cukup besar untuk dilihat para pelayan, saya yakin jikapun ada pasti akan segera tertangkap," dengan jawaban itu sang Dyaksha membalikan badan dan kembali berjalan menjauh. Hingga kembali menghilang ke balik pilar.

***

Setelah menghilangnya sang Dyaksha, Vishaka melihat kearah singgasana sekali lagi. Ia lalu memutuskan untuk berjalan keluar aula, melewati lorong menuju salah satu sayap bangunan tempat dimana kediaman pribadinya berada. Sebagai seorang Amerta, Kartawirya tinggal di dalam bangunan istana yang sama dengan keluarga Maharaja atau Maharatu. Ruangan pribadinya itu terdiri atas kamar tidur, ruang baca yang dipenuhi rak buku dan meja untuk menulis, serta sebuah ruang tamu yang tidak terlalu luas. Dinding dindingnya dihiasi lukisan bertema Malingga yang serba kerbau dan banteng sesuai lambang Kedatuan.

Vishaka masuk melalui pintu kayu yang tebal lalu berjalan mondar mandir di ruang tamunya yang disorot cahaya matahari sore, ia lalu berjalan menuju ruang baca yang merupakan tempat favoritnya, di atas meja yang dihiasi pot bunga dari keramik, sebuah gulungan kertas teronggok dalam kondisi lecek dan terbuka. Kartawirya mengambil kertas itu, sebuah pesan berisi informasi tentang diplomat Suryapura yang sedang berlayar menuju Sagara. Maharatu telah membaca pesan itu kemarin, sayangnya, Maharatu tidak menaruh sedikitpun rasa curiga pada Laskar Sagara. Sikap yang membuat Vishaka semakin khawatir pada masa depan Malingga.

Sebuah ketukan pintu menganggetkanya, dengan waswas ia berjalan kembali menuju ruang tamu dan mengintip dari celah pintu, melihat siapa sosok yang ada dibaliknya. Vishaka bernafas lega, tanganya perlahan membuka pintu dan mendapati Iswara Amerta, seorang pemuda gagah dengan rambut hitam pendek, anting - anting bulat menggantung di telinga dan wajah yang tegas sedang berdiri diluar sembari memegang sebuah wadah bambu kecil, "Sebuah pesan dari teman kita di Sagara, Ayahanda, elang jambul datang beberapa saat yang lalu," bisik putranya itu sambil melirik sekitar lalu mengangguk.

"Masuklah nak," pinta Vishaka membukakan pada anaknya yang juga merupakan salah satu kapten prajurit Malingga itu, Iswara berjalan masuk dan seketika menyipitkan matanya karena silau, disusul Vishaka yang kemudian menutup pintu dan menguncinya, "Ada yang mencurigakan?" tanyanya. 

"Tidak ada, sejauh yang aku rasakan, tidak ada kecurigaan dari para pasukan di barak, atau dari para pelayan yang berpapasan denganku," jawab Iswara sembari menyerahkan wadah bambu itu kepadanya.

"Bagus," ujar Vishaka yang lalu membuka penutup wadah bambu itu dan diputarnya hingga terbalik, dari dalam wadah itu  merosot keluar sebuah gulungan kertas yang terikat dengan pita bersimpul warna merah, dibukanya simpul pita itu, "Kau yakin surat ini baru saja datang?" tanya Vishaka menatap anaknya.

"Tentu saja! beruntung aku berada di pos jaga ketika elangnya datang, selama aku menjabat, aku tidak akan membiarkan informasi apapun bocor," jawab anaknya bersemangat.

Tapi Vishaka merasa ia harus melakukan sesuatu, "Jangan terlalu yakin pada dirimu nak, terlalu berbahaya menerima surat mendatang di lokasi yang sama, apalagi Maharatu akan meningkatkan kegiatan militer seiring keadaan di Sagara."

Iswara tampak kaget mendengar ucapan itu, lalu tertunduk, "Maaf ayahanda, aku seharusnya menyadari itu." Anaknya adalah salah satu kapten militer Malingga dan akan sering meninggalkan pos yang ia jaga. Hal yang sangat berbahaya jika surat yang akan datang diterima oleh mereka yang tidak mengerti. 

"Apa isinya?" Iswara akhirnya bertanya penasaran.

Vishaka perlahan duduk bersandar di atas kursi baca lalu melepaskan segel dari pesan tersebut, dengan perasaan campur aduk ia lalu membaca isi dari surat tersebut,

Sedikit masalah, salah satu tertangkap, si peniup seruling sudah membereskanya, siap untuk langkah berikutnya.

Vishaka tersenyum, "Sebuah kabar baik nak, kabar baik di waktu yang tak menentu ini," ia lalu berdiri dan bergegas menuju ruang baca, dengan cepat ia mengambil selembar kertas kosong dan sebuah pena bulu yang lalu ia celupkan kedalam wadah dari batok kelapa yang berisikan tinta hitam. Vishaka lalu menulis beberapa kalimat di kertas kosong tersebut dan menggulungnya. Dimasukanya pesan itu kedalam wadah bambu yang sama dan setelah selesai, diserahkanya wadah itu pada Iswara. "Kirimkan pesan ini ke tujuan yang sama seperti sebelumnya nak," ujar Vishaka, "Pesan - pesan selanjutnya bukan engkau lagi yang akan menerima."

Iswara mengangguk mengerti dan bergegas berjalan keluar ruangan meninggalkan Ayahandanya yang kini memandang jauh keluar jendela.

***

Bab terkait

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 7: MADA

    Tradisi, kehormatan, harga diri, semuanya tak berarti apa - apa di kota seperti Glora, itulah yang selalu ada dalam benak Patih Mada setiap ia berkunjung ke kota dagang tersebut. Mada baru saja datang dari arah Madya Puri dan memasuki kota itu melewati gapura timur. Langkahnya mengarah langsung menuju bagian kota mengenaskan yang bernama 'Distrik Pelesir'. Mada saat itu menyamarkan dirinya dengan sebuah jubah lapuk lengkap dengan kerudung, ia juga menanggalkan atribut Patihnya dan hanya menyisakan keris yang terselip di pinggang untuk jaga - jaga.Sebagai seorang patih yang terhormat Mada tak ingin terlihat berada di kawasan itu, kawasan yang berbanding terbalik dengan ajaran dan prinsip Laskar Sagara.Rumah bordil, warung - warung minum, para pedagang arak dan tuak bertebaran kemanapun matanya memandang, sementara udara dipenuhi aroma alkohol dan wangi pembakaran kemenyan , dulunya Laskar Sagara melarang adanya tempat - tempat kotor seperti itu, namun Patih Gura

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 8: NALA

    Para taruna saat itu sedang berada di pinggiran Hutan Vanara, berhektar - hektar lautan berwarna hijau yang terasa lembab, saking luasnya, hutan itu hampir menutupi seluruh wilayah selatan Sagara dan menghantui desa desa kecil disekitarnya. Nala dan keempat sahabatnya berada di antara puluhan taruna yang berusia 10 sampai 14 tahun, berkumpul di bagian luar hutan. Mereka dijadwalkan untuk latihan taktis hari ini. Mpu Merdah dan para guru serta pengawas lain juga hadir di sana, tapi yang membuat pertandingan kali ini spesial adalah kehadiran Patih Jambha penguasa wilayah selatan. Para taruna akan dibagi menjadi 2 kelompok yang masing - masing terdiri dari 30 orang. Kedua kelompok akan saling berhadapan di dalam wilayah hutan yang telah ditentukan. Untuk meraih kemenangan, salah satu kelompok harus berhasil merebut bendera dari markas kelompok lawan, sambil berusaha mempertahankan bendera sendiri mereka dari lawan. Mereka juga dibebaskan untuk memasang peran

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 9: SURA

    Arak - arakan kremasi sedang berjalan menuju Setra, sebuah lapangan luas yang berfungsi sebagai tempat pembakaran mayat para kesatria yang gugur. 3 mayat kesatria yang tewas di hutan Vanara ditempatkan dalam wadah dari bambu lalu digotong oleh puluhan kesateria lain. Mahapatih Sura ada diantara puluhan manusia yang mengiringi, ia berjalan paling depan bersama Mpu Mudita sang Mantri Keagamaan dan para pendeta lain. Rombongan berjalan dari Utama Puri menuju Setra yang ada di pinggir Madya Puri, sepanjang perjalanan mereka ditonton oleh para penduduk yang berduka. Sesampainya rombongan di Setra, mayat para kesatria langsung ditempatkan berjejer diatas gundukan kayu, Mpu Mudita dan para pendeta langsung memimpin ritual, mengucapkan mantra - mantra kuno untuk mempermudah perjalanan roh para mendiang menuju Satyaloka disaksikan oleh kesatria lain yang kini duduk bersila diatas padang rumput yang kering. Sura menyaksikan prosesi ritual itu dengan pik

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 10: NATTARI

    Nattari Amerta merasakan sedikit beban di pundaknya terlepas ketika melihat Balaputra, anaknya sekaligus putra mahkota Kedatuan Malingga duduk di dalam sebuah ruangan memanjang yang dipenuhi rak berbahan kayu berisi buku, lontar, dan gulungan. Dyaksha Ki Hasta duduk diseberang putranya sambil jarinya menunjuk kearah salah satu halaman pada buku yang sedang mereka baca. Orang tua itu mengenakan pakaian serba putih seperti biasanya tapi kali ini tampak lebih cemerlang, sementara tongkat kayunya tersandar di bahu.Ruangan itu diselimuti semerbak harum dupa yang ditancapkan pada sebuah altar persembahan bagi Isvati sang Dewi Pengetahuan. Ki Hasta sebenarnya tidak berkewajiban untuk mengajari putranya apapun, para guru pengajarlah yang seharusnya melakukan itu tapi Sinha berpendapat bahwa tidak ada orang yang lebih berpengetahuan di tanah Malingga saat ini selain sang Dyaksha."Balaputra anaku, Ibu harap kamu belajar banyak hal hari ini," ujar Nattari pada

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 11: MADA

    Peluh dingin mengucur dari tubuh Mada yang sedang tertidur pulas. Kepalanya bergerak gelisah di atas bantal yang berisikan kapuk, sebuah gambaran akan kejadian buruk yang terjadi belakangan terputar kembali dalam sebuah kilasan mimpi yang dialaminya. Kilasan tentang Bapu pamanya yang sudah tiada, memanggil - manggil namanya dan nama Lani dari balik jeruji dibawah Gedong Yama. Mimpinya lalu beralih pada saat dimana ia membantai para perompak, lalu pada warga pulau Uzon yang menyesali kematian mereka, menangisi kedatangan Mada yang begitu terlambat. Sebuah tepukan keras pada bahunya membuat mata Mada seketika terbuka, nafasnya tersengal melihat temanya Lyong berdiri di sebelah dipan tidurnya, "Mada! Bangunlah! Sesuatu yang gawat terjadi, beringin tua terbakar!" "Apa?" Setengah tubuh Mada masih tertidur. "Berdirilah! Seseorang telah membakar beringin tua di bukit! Kita harus bergegas, yang lain sedang berusaha memadankan apinya!" Lyong berteriak deng

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 12 : VISHAKA

    Sore itu para pejabat paling penting di Kedatuan Malingga sedang berkumpul, pejabat paling penting dalam hal ini berarti Sang Ratu, Vishaka sendiri selaku Dapunta, Ki Hasta selaku Dyaksha, dan Pendeta Ghana. Menurutnya kedua nama terakhir sebaiknya di coret dari pertemuan, baginya Ki Hasta memiliki kepentingan lain selain untuk Malingga dan Pendeta Ghana tidak mengerti apapun soal politik, tapi Maharatu Nattari beranggapan lain. Pertemuan mereka kali ini hampir berakhir, mereka telah membahas sesuatu yang tak bisa dihindari yakni perihal Patih yang dikirim oleh Laskar Sagara ke Malingga, tentunya tujuan kedatangan Patih itu sudah dapat diperkirakan Vishaka. Sekarang hanya masalah apakah Kedatuan Malingga mampu menghalangi apa yang menjadi tujuan Patih itu. Ibarat sebuah ombak besar yang datang dari Sagara, apakah Malingga akan tenggelam atau mampu bertahan, Dapunta Vishaka beranggapan hanya dirinyalah yang sanggup menangani masalah itu. "Dengan begi

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 13: MADA

    Angin meraung dari angkasa menerpa sekujur badan Mada dan mereka yang sedang sibuk di atas kapal layar. Raungan angin juga mengibarkan bendera harimau lambang kebesaran Laskar Sagara di tiang kapal tertinggi dan menghantam layar layar yang terkembang seiring kapal besar itu melaju di tengah hamparan samudra biru.Ombak saat itu cukup tinggi, air laut yang terus menerus menerjang terpantul oleh geladak kapal berbahan kayu nan keras, menghasilkan bunyi hantaman mengerikan disusul bunyi mirip hujan saat lompatan air laut berhasil menghujam dan membasahi bagian atas kapal, tempat dimana Mada sedang berdiri dan menatap horizon.Sudah sehari penuh Mada berlayar meninggalkan rumahnya di Madya Puri mengarungi lautan yang tidak menentu, berlayar menuju apa yang menurut Patih Jambha sebagai penentuan nasib kerajaan - kerajaan penghuni kepulauan Nusa. Mada tidak menyukai anggapan seperti itu, ia merasa seakan pundaknya diberi tambahan beban seberat 5 kali manusia dewasa.

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 14 : TAKSHA

    Kentongan kayu yang terpasang di menara balai desa mulai di bunyikan, suaranya menggema memecah langit pagi di pedesaan dan pedukuhan di wilayah timur Sagara. Matahari bahkan belum sepenuhnya terbangun, fajar baru saja datang membawa angin segar dan aroma dinginnya embun pagi, tapi penduduk telah berbondong keluar dari kediaman mereka, saling bergunjing sambil berjalan cepat menuju sang patih dan puluhan kesatria di belakangnya. Keributan pagi itu bukan tanpa alasan, Taksha sebagai Patih pemimpin wilayah timur telah memberi perintah untuk melakukan sidak dan pemeriksaan ke seluruh desa - desa dibawah kekuasaanya, dan ia tidak pernah berhenti berkuda kesana - kemari sejak subuh tadi.Kabar terbaru tentang pohon keramat di Madyapuri telah membuat kepalanya mendidih, dan baginya semua yang terjadi adalah ulah sebuah kelompok yang diam - diam merancang sabotase dan kudeta pada Laskar Sagara, kelompok yang mengacau saat eksekusi Bapu, kelompok yang ingin ia pastikan tak bers

Bab terbaru

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 16: MADA

    "Mendekati pelabuhan Kedatuan Malingga!" seorang prajurit berteriak dari atas tiang pemantau kapal. Dari anjungan tempatnya berdiri sekarang, Mada dapat melihat formasi pegunungan Antaboga lebih dulu dari pada pelabuhan Malingga. Deru angin dan hempasan ombak membawa kapal layar yang ia tumpangi semakin dekat dan kian dekat pada bibir pantai. Pelayarannya ke Malingga nyaris tidak menghadapi hambatan apapun, kecuali mungkin kehadiran seorang penyelundup di kapalnya. Sosok asing yang entah akan mereka apakan. Tapi Mada juga menangkap ke anehan dari suara sang juru pantau di atas sana, berdiri menahan angin dengan pakaian yang berkibar, suaranya terdengar jauh lebih jelas daripada seharusnya. Seketika ia menyadari bahwa angin perlahan semakin pelan dan lambat laun, angin bahkan tak mampu mengibarkan pakaian sang juru pantau, dan jelas sekali tidak akan mampu mendorong layar kapal mereka hingga ke pelabuhan. Laut juga menjadi tenang, sangat tenang yang membuat Mada

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 15: NATTARI

    Aula istana yang kosong bergema nyaring seiring bayang - bayang Nattari yang bergerak kesana kemari. Langit malam itu tak menghadiahkannya bulan maupun bintang, bahkan angin tak juga bertiup melewati lubang - lubang besar yang menghadap ke luar istana. Takhta di hadapannya tegak dan kokoh, di jaga dan di kelilingi pasukan penjaga, takhta itu tampak tak bergeming dan tak bisa digoyahkan. Nattari melihat takhta itu dengan jantung yang berdebar, liukan obor terpantul dari matanya yang bergetar. Dia mengingat saat mendiang kakaknya lah yang duduk di atas takhta berhiaskan giok itu, merasakan dan memikul segala masalah dan kesulitan yang di alami Kedatuan Malingga, dan orang - orang di dalamnya. Beberapa tahun mendatang akan menjadi giliran anaknya, Balaputra II. Nattari membayangkan apakah anak lelakinya itu akan memerintah pada masa dimana keadaan sudah kembali tenang seperti dahulu, sementara itu Antari... Malam semakin larut dan larut, Nattari tak kunjung meninggalkan

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 14 : TAKSHA

    Kentongan kayu yang terpasang di menara balai desa mulai di bunyikan, suaranya menggema memecah langit pagi di pedesaan dan pedukuhan di wilayah timur Sagara. Matahari bahkan belum sepenuhnya terbangun, fajar baru saja datang membawa angin segar dan aroma dinginnya embun pagi, tapi penduduk telah berbondong keluar dari kediaman mereka, saling bergunjing sambil berjalan cepat menuju sang patih dan puluhan kesatria di belakangnya. Keributan pagi itu bukan tanpa alasan, Taksha sebagai Patih pemimpin wilayah timur telah memberi perintah untuk melakukan sidak dan pemeriksaan ke seluruh desa - desa dibawah kekuasaanya, dan ia tidak pernah berhenti berkuda kesana - kemari sejak subuh tadi.Kabar terbaru tentang pohon keramat di Madyapuri telah membuat kepalanya mendidih, dan baginya semua yang terjadi adalah ulah sebuah kelompok yang diam - diam merancang sabotase dan kudeta pada Laskar Sagara, kelompok yang mengacau saat eksekusi Bapu, kelompok yang ingin ia pastikan tak bers

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 13: MADA

    Angin meraung dari angkasa menerpa sekujur badan Mada dan mereka yang sedang sibuk di atas kapal layar. Raungan angin juga mengibarkan bendera harimau lambang kebesaran Laskar Sagara di tiang kapal tertinggi dan menghantam layar layar yang terkembang seiring kapal besar itu melaju di tengah hamparan samudra biru.Ombak saat itu cukup tinggi, air laut yang terus menerus menerjang terpantul oleh geladak kapal berbahan kayu nan keras, menghasilkan bunyi hantaman mengerikan disusul bunyi mirip hujan saat lompatan air laut berhasil menghujam dan membasahi bagian atas kapal, tempat dimana Mada sedang berdiri dan menatap horizon.Sudah sehari penuh Mada berlayar meninggalkan rumahnya di Madya Puri mengarungi lautan yang tidak menentu, berlayar menuju apa yang menurut Patih Jambha sebagai penentuan nasib kerajaan - kerajaan penghuni kepulauan Nusa. Mada tidak menyukai anggapan seperti itu, ia merasa seakan pundaknya diberi tambahan beban seberat 5 kali manusia dewasa.

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 12 : VISHAKA

    Sore itu para pejabat paling penting di Kedatuan Malingga sedang berkumpul, pejabat paling penting dalam hal ini berarti Sang Ratu, Vishaka sendiri selaku Dapunta, Ki Hasta selaku Dyaksha, dan Pendeta Ghana. Menurutnya kedua nama terakhir sebaiknya di coret dari pertemuan, baginya Ki Hasta memiliki kepentingan lain selain untuk Malingga dan Pendeta Ghana tidak mengerti apapun soal politik, tapi Maharatu Nattari beranggapan lain. Pertemuan mereka kali ini hampir berakhir, mereka telah membahas sesuatu yang tak bisa dihindari yakni perihal Patih yang dikirim oleh Laskar Sagara ke Malingga, tentunya tujuan kedatangan Patih itu sudah dapat diperkirakan Vishaka. Sekarang hanya masalah apakah Kedatuan Malingga mampu menghalangi apa yang menjadi tujuan Patih itu. Ibarat sebuah ombak besar yang datang dari Sagara, apakah Malingga akan tenggelam atau mampu bertahan, Dapunta Vishaka beranggapan hanya dirinyalah yang sanggup menangani masalah itu. "Dengan begi

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 11: MADA

    Peluh dingin mengucur dari tubuh Mada yang sedang tertidur pulas. Kepalanya bergerak gelisah di atas bantal yang berisikan kapuk, sebuah gambaran akan kejadian buruk yang terjadi belakangan terputar kembali dalam sebuah kilasan mimpi yang dialaminya. Kilasan tentang Bapu pamanya yang sudah tiada, memanggil - manggil namanya dan nama Lani dari balik jeruji dibawah Gedong Yama. Mimpinya lalu beralih pada saat dimana ia membantai para perompak, lalu pada warga pulau Uzon yang menyesali kematian mereka, menangisi kedatangan Mada yang begitu terlambat. Sebuah tepukan keras pada bahunya membuat mata Mada seketika terbuka, nafasnya tersengal melihat temanya Lyong berdiri di sebelah dipan tidurnya, "Mada! Bangunlah! Sesuatu yang gawat terjadi, beringin tua terbakar!" "Apa?" Setengah tubuh Mada masih tertidur. "Berdirilah! Seseorang telah membakar beringin tua di bukit! Kita harus bergegas, yang lain sedang berusaha memadankan apinya!" Lyong berteriak deng

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 10: NATTARI

    Nattari Amerta merasakan sedikit beban di pundaknya terlepas ketika melihat Balaputra, anaknya sekaligus putra mahkota Kedatuan Malingga duduk di dalam sebuah ruangan memanjang yang dipenuhi rak berbahan kayu berisi buku, lontar, dan gulungan. Dyaksha Ki Hasta duduk diseberang putranya sambil jarinya menunjuk kearah salah satu halaman pada buku yang sedang mereka baca. Orang tua itu mengenakan pakaian serba putih seperti biasanya tapi kali ini tampak lebih cemerlang, sementara tongkat kayunya tersandar di bahu.Ruangan itu diselimuti semerbak harum dupa yang ditancapkan pada sebuah altar persembahan bagi Isvati sang Dewi Pengetahuan. Ki Hasta sebenarnya tidak berkewajiban untuk mengajari putranya apapun, para guru pengajarlah yang seharusnya melakukan itu tapi Sinha berpendapat bahwa tidak ada orang yang lebih berpengetahuan di tanah Malingga saat ini selain sang Dyaksha."Balaputra anaku, Ibu harap kamu belajar banyak hal hari ini," ujar Nattari pada

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 9: SURA

    Arak - arakan kremasi sedang berjalan menuju Setra, sebuah lapangan luas yang berfungsi sebagai tempat pembakaran mayat para kesatria yang gugur. 3 mayat kesatria yang tewas di hutan Vanara ditempatkan dalam wadah dari bambu lalu digotong oleh puluhan kesateria lain. Mahapatih Sura ada diantara puluhan manusia yang mengiringi, ia berjalan paling depan bersama Mpu Mudita sang Mantri Keagamaan dan para pendeta lain. Rombongan berjalan dari Utama Puri menuju Setra yang ada di pinggir Madya Puri, sepanjang perjalanan mereka ditonton oleh para penduduk yang berduka. Sesampainya rombongan di Setra, mayat para kesatria langsung ditempatkan berjejer diatas gundukan kayu, Mpu Mudita dan para pendeta langsung memimpin ritual, mengucapkan mantra - mantra kuno untuk mempermudah perjalanan roh para mendiang menuju Satyaloka disaksikan oleh kesatria lain yang kini duduk bersila diatas padang rumput yang kering. Sura menyaksikan prosesi ritual itu dengan pik

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 8: NALA

    Para taruna saat itu sedang berada di pinggiran Hutan Vanara, berhektar - hektar lautan berwarna hijau yang terasa lembab, saking luasnya, hutan itu hampir menutupi seluruh wilayah selatan Sagara dan menghantui desa desa kecil disekitarnya. Nala dan keempat sahabatnya berada di antara puluhan taruna yang berusia 10 sampai 14 tahun, berkumpul di bagian luar hutan. Mereka dijadwalkan untuk latihan taktis hari ini. Mpu Merdah dan para guru serta pengawas lain juga hadir di sana, tapi yang membuat pertandingan kali ini spesial adalah kehadiran Patih Jambha penguasa wilayah selatan. Para taruna akan dibagi menjadi 2 kelompok yang masing - masing terdiri dari 30 orang. Kedua kelompok akan saling berhadapan di dalam wilayah hutan yang telah ditentukan. Untuk meraih kemenangan, salah satu kelompok harus berhasil merebut bendera dari markas kelompok lawan, sambil berusaha mempertahankan bendera sendiri mereka dari lawan. Mereka juga dibebaskan untuk memasang peran

DMCA.com Protection Status