Para taruna saat itu sedang berada di pinggiran Hutan Vanara, berhektar - hektar lautan berwarna hijau yang terasa lembab, saking luasnya, hutan itu hampir menutupi seluruh wilayah selatan Sagara dan menghantui desa desa kecil disekitarnya.
Nala dan keempat sahabatnya berada di antara puluhan taruna yang berusia 10 sampai 14 tahun, berkumpul di bagian luar hutan. Mereka dijadwalkan untuk latihan taktis hari ini. Mpu Merdah dan para guru serta pengawas lain juga hadir di sana, tapi yang membuat pertandingan kali ini spesial adalah kehadiran Patih Jambha penguasa wilayah selatan.
Para taruna akan dibagi menjadi 2 kelompok yang masing - masing terdiri dari 30 orang. Kedua kelompok akan saling berhadapan di dalam wilayah hutan yang telah ditentukan. Untuk meraih kemenangan, salah satu kelompok harus berhasil merebut bendera dari markas kelompok lawan, sambil berusaha mempertahankan bendera sendiri mereka dari lawan. Mereka juga dibebaskan untuk memasang perangkap sederhana dengan memanfaatkan keadaan alam sekitar. Para taruna yang berpartisipasi akan dibekali persenjataan yang tumpul untuk menghindari cedera parah, juga sebuah terompet kerang untuk ditiup ketika berhasil mendapatkan bendera musuh. Sebelum terompet ditiup maka permainan masih berjalan dan musuh bisa merebut kembali bendera mereka.
Nala seperti biasa memilih berada di kelompok yang sama dengan Giri, Janu, dan Umbara. Taruna lain menyebut mereka 4 serangkai karena sealu terlihat bersama dimanapun. Tarna, seorang taruna yang seumuran dengan Giri bahkan sering berkelakar apakah mereka juga kencing bersamaan, yang tentu saja tidak benar.
Setelah kelompok dibagi, para taruna lalu masuk ke dalam hutan menuju markas masing- masing. Mereka kini memiliki waktu selama 1 jam untuk mempersiapkan perangkap sebelum terompet para pengawas ditiup menandakan permainan akan dimulai. "Giri! Kau harus menjadi ketua kelompok seperti biasa!" Ujar salah satu taruna disebelah Nala.
Giri yang berjalan paling depan mengangguk, "Kita akan persiapkan jebakan lebih dulu sebelum berunding. Tanah masih basah setelah hujan tadi, bagaimana kalu kita buat banyak lubang jebakan?" Nala dapat mendengar suara keras Giri dari posisinya sekarang. Taruna lain bersorak mendengar arahan Giri itu.
***
"Bara! Ambilkan pelepah kelapa kering itu, lubang ini sudah cukup dalam," Nala meminta bantuan Umbara, lubang yang ia gali hanya sedalam lutut, namun saat terjadinya pertarungan, bahkan lubang seperti itu dapat menghasilkan situasi yang menguntungkan.
Lambat laun taruna yang lain juga tampaknya perlahan menyelesaikan perangkap mereka, Giri sedang memasang tali jerat terakhir yang disambungkan ke pohon, sementara Umbara dan pemanah lain telah memilih pohon strategis tempat mereka bertengger nanti.
Setelah semuanya selesai mengatur perimeter pertahanan, mereka lalu berkumpul dan berunding menentukan taktik serangan.
Nala dan yang lain setuju untuk menggunakan taktik ular dua kepala. Giri sebagai pemimpin kelompok seperti biasa akan menjadi penyerang utama atau kepala utama, ia dan beberapa taruna lain akan menarik perhatian musuh di pertarungan langsung. Nala, Janu dan 3 taruna lain akan menjadi kepala kedua yang mengendap menuju belakang garis pertahanan lawan dan langsung mengincar bendera tanpa terdeteksi. Sisanya akan disebar di area pertahanan jika saja ada musuh yang menyerang.
"Aku ingin ikut sebagai kepala pertama!" Umbara menggerutu, teman jangkungnya itu sebenarnya ditunjuk sebagai pemimpin pertahanan, dan ia memang selalu menjadi bagian pertahanan setiap diadakan latihan.
"Kau lebih tepat untuk bertahan Umbara, tubuhmu tinggi dan kau ahli dalam memanah, naiklah ke pohon itu sebagai pemantau!" Protes taruna lain.
Giri mendekat dan memegangi bahu Umbara, "Panah milikmu akan sangat diperlukan jika ada musuh yang mendekat, pertahanan ini bergantung padamu, bara."
Memang, posisi sebagai penyerang utama adalah yang paling diinginkan, lebih banyak pertarungan dan kebanggan di sana. Jika saja Nala tidak memiliki tubuh yang kecil, ia pasti akan memprotes seperti Umbara. Giri dan yang lain juga beranggapan bahwa kami yang bertubuh kecil akan lebih lincah dan cocok menjadi kepala kedua. Sementara sudah menjadi rahasia umum bahwa Janu menjadi kepala kedua karena ia dikenal tidak begitu cerdik dalam pertarungan.
"Jadi, semua perangkap sudah di siapkan, pastikan kalian semua menyadari posisi setiap perangkap dan pastikan jangan terjebak dalam perangkap sendiri!" ujar Giri tegas, dan bukan tanpa alasan, Janu pernah terperangkap di sebuah lubang yang ia gali sendiri. "Lakukan yang terbaik! Ingat permainan saat ini dihadiri Patih Jambha sebagai pengawas!"
Dari kejauhan, suara sebuah terompet perang bergema di sepenjuru hutan, pertanda permainan bisa dimulai, "Sebelum memulai mari kita berdoa pada para dewa dewi, utamanya Dewa Perang Kumara," ujar Giri sembari memejamkan mata disusul yang lain, setelah selesai berdoa ia lalu berteriak, "Menuju posisi masing masing! Demi Nusa!"
"Demi Nusa!" Yang lain menjawab. Bersamaan dengan itu, para taruna seketika berhamburan. Nala dapat melihat Umbara dan beberapa taruna pemanah mendaki pepohonan dengan cekatan sambil menggendong busur panah di punggung mereka. Giri memimpin 20 taruna berlari maju membawa pedang dan perisai kayu.
"Kita juga harus bergegas!" Nala memberanikan diri berujar pada regunya, yang disusul teriakan semangat. Teriakan itu membuat Nala tersenyum lebar. Baru kali ini ia menjadi sosok yang memberi arahan seperti itu. Mereka lalu berlari melewati jalan memutar, menembus semak belukar dan rimbunya pohon.
Setelah beberapa menit berlari Nala tak lagi dapat melihat markas dibelakang mereka atau suara langkah dan teriakan dari kepala pertama. Regunya kini telah memasuki wilayah yang agak jauh dari markas, tanpa perlu disuruh mereka semua berjalan sambil membungkuk, berusaha menyamarkan diri di balik lebatnya hutan.
Nala dan para taruna lain hapal area hutan itu layaknya halaman padepokan Sagara. Mereka telah menyusuri tempat itu seumur hidup mereka, setidaknya, area yang biasa mereka pakai untuk latihan. Beberapa meter diluar itu dan mereka akan berada di tanah yang tak pernah mereka injak sebelumnya, tapi Nala tidak khawatir, para kesatria yang bertugas di padepokan biasanya akan menjaga area paling luar untuk mengantisipasi adanya taruna yang tersesat.
"Ssstt" salah satu temanya tiba - tiba mendesis, tanganya terangkat mengisyaratkan kelompok untuk berhenti. Mata Nala celingukan awas, dari balik batu besar tempat mereka bersembunyi. Ia mengedarkan pandangan ke area sekitar, kearah pohon - pohon yang yang dipenuhi pakis, kearah batu batuan yang berlumut, dan disana dibalik rumpun bambu, sebuah siluet perlahan bergerak menuju arah markas mereka. Satu orang musuh yang menunggu untuk di robohkan.
Jarak mereka cukup jauh, dan musuh itu tidak melihat mereka, "Kita kalahkan dia dan kembali bergerak maju," ujar Janu yang seketika melangkah.
"Tunggu! ini mungkin jebakan," bisik Nala sambil menarik kembali lengan temanya, Nala beranggapan bahwa situasi itu begitu aneh, kenapa taruna musuh itu hanya seorang diri? mungkin mereka ceroboh atau mungkin itu adalah perangkap, dan Nala tak ingin mengambil resiko, "Kita acuhkan dia dan kembali maju," saran Nala.
"Kita kalahkan yang satu ini, jumlah mereka akan berkurang, dan markas mereka akan lebih mudah di tembus, aku akan maju," ujar salah satu temanya yang lalu berjalan membungkuk diantara semak dan tanaman merambat, ia terus maju mendekati musuh, tak bersuara dan tak terlihat, tepat ketika temanya hendak memukul musuh dengan pedang seorang musuh lain muncul dari balik pohon yang membuat temanya tersentak, pertarungan seketika terjadi di tengah rimbunya pohon.
"Musuh hanya dua orang, aku akan membantunya!" ujar temanya yang lain, 2 orang dari mereka menerjang untuk membantu, tepat saat mereka mendekat ke pertarungan itu beberapa orang musuh lain muncul dari balik pohon, membuat keadaan menjadi sangat kacau, 3 orang temanya kini berhadapan dengan 10 orang musuh. Janu melihat kearahnya dengan panik, "Kita harus kembali ke markas dan memperingatkan!" ia berbisik.
Nala menggeleng dan mengguncang bahu Janu, ia merasa situasi yang mereka hadapi justru menguntungkan, "Tidak, kita akan merebut bendera mereka, 10 musuh ada disini, dan sisanya dihadapi kelompok Giri, yang berarti markas mereka..."
"Kosong!" Janu menjawab, matanya melotot menatap Nala, "Ayo!"
Nala segera berlari maju, Janu membuntuti dibelakangnya, dibelakang mereka Nala dapat mendengar teriakan taruna yang sedang bertempur, ia berdoa semoga 3 orang temanya mampu bertahan setidaknya sampai mereka merebut bendera musuh. Nala dan Janu terus berlari sampai sebuah area terbuka tampak di depan mereka, itu adalah markas musuh, dan bendera putih mereka bercokol di tengah area itu. Dari arah yang lain Nala dapat mendengar pertempuran yang lebih ramai, itu pastilah Giri dan kelompoknya. "Lihat!" Janu berbisik disebelahnya sambil menunjuk markas musuh.
Setelah memperhatikan, dugaanya ternyata salah, markas itu tidak sepenuhnya kosong, tapi hanya di jaga 4 orang musuh, 2 di darat dan 2 lagi memegang busur diatas dahan pohon. "Salah satu dari kita harus membuat pengalih perhatian, sementara yang lain diam diam mengambil bendera dari arah berlawanan, jika kita cukup cepat, permainan ini akan segera berakhir.
"Kau lebih lincah dariku Nala, kau harus mengambil benderanya," ujar Janu menatapnya, Nala merasa tidak enak, Janu akan menjadi sasaran empuk, tapi temanya itu menepuk punggung Nala dan meyakinkan, "Aku tidak akan tumbang dengan mudah."
Dengan berat hati Nala mengangguk, "Hanya saja, perhatikan langkahmu, jika saja mereka memasang jebakan, semoga kau berhasil Jan, aku tidak akan lama," ujar Nala pada temanya.
"Dan kau juga kawan, sekarang pergilah," dengan itu Janu keluar dari tempat mereka bersembunyi, perisai kayunya terangkat begitu juga pedangnya, "HEI KALIAN!" ia berteriak lantang sengaja mencari perhatian. Nala bergegas maju, kakinya yang lincah melompat sementara matanya dengan cepat menyusuri tanah dibawahnya, dihindarinya sebuah gundukan yang tidak normal, sebuah jebakan yang tidak disiapkan dengan baik.
"Apa yang akan kau lakukan seorang diri Janu!" Nala dapat mendengar musuhnya berteriak sambil tertawa, ia mengenali suara itu, suara milik Tarna. Sesaat kemudian suara desing panah tumpul terdengar yang disusul suara pantulan perisai, Janu pasti berhasil menepis panah itu. Ini cukup mudah, ujar Nala dalam hati, sedikit lagi dan ia akan berada beberapa meter dari bendera, tapi Nala menunggu saat yang tepat.
"Jangan bilang 2 orang dari kalian tidak ada yang berani menghadapiku hah?" tantang Janu meski suaranya bergetar, musuh sepertinya termakan umpan karena seketika Tarna dan temanya melangkah menghampirinya dan berteriak, "Lumpuhkan dia pemanah!" disusul suara berdesing bertubi - tubi, tapi janu belum tumbang meski beberapa panah mengenainya.
Sekarang, ia memantapkan hati dan berlari maju menuju bendera, matanya melihat kedepan, ia melihat Janu yang kini meringkuk setelah diberondong panah dan dihajar 2 orang taruna musuh, beberapa meter lagi dan ia akan meraih bendera itu, tapi Tarna yang membalikan badan menyadari kehadiranya, ia melotot, "Dibelakang!" teriaknya lantang. Seketika Nala mendapati anak panah melayang ke arahnya, 1...2...3 anak panah dan semuanya meleset, tanganya terbentang, bendera itu hanya beberapa jengkal darinya, sebuah panah mengenai dadanya tapi Nala menahan rasa sakit yang menghampirinya, ia dapat melihat Tarna dan temanya berlari cepat kearahya, sebuah anak panah lain mengenai pelipisnya dan Nala terjatuh, pandanganya berkunang - kunang tapi dengan sisa kesadaran yang ada di dalam dirinya, ia mengambil terompet kerang dan meniupnya keras - keras, sementara salah satu tanganya memegang bendera putih yang membuat kelompoknya menang.
***
Nala merasa pusing dan mual, ia tak pernah terkena panah tumpul di kepala sebelumnya, dan rasanya mungkin sama jika kepalanya dilempar batu bata, "Aku berhasil," ujarnya lemah. Ia mendapati Tarna, dan seorang pemanah musuh berjongkok diatasnya, "Hah! kau mengendap - endap seperti hantu Nala, tentu saja kau berhasil," ujar Tarna sambil menepuk bahunya.
"Para pengawas pertandingan akan segera datang, kau bisa berdiri?" Taruna yang lebih tua darinya itu bertanya. Nala mengangguk ia perlahan berusaha duduk dibantu seorang pemanah musuh.
"Maaf, aku menembakan panah terakhir yang mengenai kepalamu," ujar pemanah itu seraya menyalami Nala memberi selamat. "Sayangnya beberapa panahmu meleset sebelumnya," jawab Nala disusul tawa Tarna dan si pemanah.
Nala menyadari ternyata dirinya sudah berada di titik pertemuan awal, sebuah area terbuka yang lebih besar dari markas markas kelompok mereka, seseorang atau seekor kuda pasti mengangkutnya kesana mengingat saat terakhir ia jatuh dan tak sadarkan diri.
Disana para taruna lain yang terluka sedang dirawat, ia dapat melihat Giri bersama seorang wanita perawat yang sedang melilit lenganya dengan perban putih, Janu juga tampaknya sudah tersadar dari pingsan, tubuhnya penuh luka dan memar, Janu melihat kearahnya dan memberikan isyarat berupa jempol. Sementara Umbara tidak terlihat dimanapun. Beberapa taruna lain tiba - tiba datang menghampirinya dan memberi selamat, disusul Giri dan Janu yang memeluknya dari 2 arah.
Tapi ada sesuatu yang tidak beres saat itu, Nala melihat beberapa kesatria pengawas, Mpu Merdah, bahkan Patih Jambha terlihat gelisah. Tidak ada kata selamat bagi kelompok yang menang atau ucapan penyemangat bagi kelompok yang kalah, Nala sedikit kecewa, sebagai orang yang mendapat bendera, ia sebenarnya berharap dapat berbicara sebentar dengan Patih Jambha.
Suara terompet kerang tiba - tiba terdengar, suara yang jauh lebih keras dan mengerikan dibanding terompet yang ia tiup tadi, terompet itu ditiup oleh Patih Jambha yang membuat Nala bertanya - tanya apa yang sebenarnya terjadi.
"Ada hal yang tidak beres," Giri berujar disebelahnya, matanya melirik kearah para kesatria yang sedang berjalan kesana kemari, beberapa bahkan menunggangi kuda keluar masuk area hutan.
"Aku juga merasakanya, kalian ada yang lihat dimana Umbara?" Nala bertanya pada kedua sahabatnya namun mereka hanya menggeleng.
Dikejauhan, Nala dapat melihat seorang kesatria berkuda menghampiri Patih Jambha, kesatria itu seperti mengatakan sesuatu yang berbahaya karena sedetik kemudian, Patih Jambha, para pengawas lain, dan Mpu Merdah memperlihatkan raut wajah panik.
Mpu Merdah lalu berjalan menemui guru pengajar lainya, mereka seperti sedang mendiskusikan sesuatu yang penting. Patih Jambha dan beberapa kesatria yang ada disana lalu berkuda pergi menuju kedalam hutan, meninggalkan Mpu Merdah dan guru lain yang menyiapkan kereta angkutan mereka kembali ke padepokan.
"Bangunlah anak - anak , kita akan segera kembali!" teriak Mpu Merdah disusul gumaman para taruna.
Nala, Giri, dan Janu lalu berdiri dan berlari menghampiri guru mereka yang berkeringat.
Giri membungkuk dihadapan Mpu Merdah lalu berujar, "Guru, Umbara teman kami sepertinya belum kembali."
Mendengar ucapan itu, mata Mpu Merdah tiba tiba berkijap tak normal, mulutnya menganga sesaat, "Umbara... bocah tinggi itu? Mungkin sudah kembali ke padepokan lebih dulu, ya, aku yakin itu... Kalian juga harus segera kembali," ujar gurunya sambil terbata dan berlalu pergi.
Nala dan sahabatnya saling menatap bingung, Giri menyentuh lengan Nala, ia memberi isyarat agar kearah lokasi yang jauh dari keramaian, mau tak mau Nala membuntuti temanya itu berjalan menjauh, begitu juga dengan Janu yang berjalan agak pincang.
"Sesuatu jelas sedang tidak beres," ujar Giri setelah mereka sampai di sebelah batu besar yang dinaungi pohon aren.
"Ini mungkin tentang Umbara, kau tidak berpikir kalau dia..." Nala membalas, suaranya pelan dan bergemetar, ia membayangkan kalau Umbara tersesat, atau lebih buruk....mati.
Giri seketika mendorongnya ke arah batu, membuat punggung Nala terbentur, "Dengar, tidak pernah ada seorang taruna yang mati dalam latihan ini, dan Umbara tidak akan jadi yang pertama," suara Giri ibarat sebuah palu yang membentur telinganya, tapi Nala dapat melihat mata temanya itu perlahan berubah merah.
"Bagaimana kalau kita menyelinap melihat pergi ke hutan? Maksudku, para kesatria berbondong pergi kearah sana," Janu yang sedari tadi terdiam akhirnya membuka suara.
Tatapan Giri lalu beralih kearah Janu, ia lalu mengangguk, "Ya, kita harus melihat kemana para kesatria itu pergi, jika Umbara ada ditengah hutan itu, kita akan segera mengetahuinya."
Nala terdiam dan melihat para taruna lain perlahan sudah mulai menaiki kereta angkutan, beberapa kereta bahkan sudah bergerak keluar hutan menuju padepokan mereka, "Bagaimana kalau kita ketahuan? Mpu Merdah jelas sudah menyuruh kita pulang."
"Oh Nala! tidakah kau penasaran? Jika kau ingin pulang, pulanglah, aku dan Janu akan tetap masuk ke hutan," suara Giri kali ini terdengar tajam, nafasnya semakin berat.
Nala berpikir sejenak, ia menyadari betapa bodohnya dia mementingkan perintah Mpu Merdah dibanding keselamatan teman yang ia anggap sebagai saudara, ia lalu mengangguk mantap, "Maafkan aku," ujarnya lemah.
"Kalau begitu ikut aku," ujar Giri sambil berjalan dibawah bayang bayang pohon, mereka mengambil jalan memutar menghindar dari pandangan para guru, perawat, dan taruna lain. Langkah mereka ibarat seekor macan kumbang yang sedang memburu mangsa, perlahan dan waspada.
Mereka berhasil berjalan cukup jauh mengikuti jejak - jejak para kesatria yang berkuda memasuki area yang lebih jauh di dalam hutan, Giri tiba - tiba menunduk dibawah semak sambil memberi isyarat untuk diam, Nala memperhatikan ruas jalan kecil di depan mereka, dari balik semak ia dapat melihat 2 orang kesatria bersama seorang guru padepokan sedang berjalan pelan sambil berbincang.
"Hal seperti ini tak pernah terjadi sebelumnya, pelaku akan membayar dengan sangat mahal untuk ini" ujar salah satu kesatria, suaranya terdengar penuh amarah.
Mendengar itu, Nala dan sahabatnya menguping dengan saksama.
"Berapa banyak yang mati?" tanya kesatria kedua.
"Tiga orang dari kita, dibunuh secara diam - diam saat mereka sedang menjaga area latihan paling luar," ujar kesatria pertama sambil meninju batang bohon disebelahnya.
"Bagaimana dengan musuh?" tanya yang kedua, kali ini suaranya diikuti oleh teriakan kawanan kera yang menggema dari kejauhan, teriakan yang membuat bulu kuduk Nala merinding.
Kesatria pertama terdiam sesaat, "Bahkan para kera mengerti saat sesuatu yang mengerikan terjadi di wilayah mereka," ujarnya, "Tidak ada mayat musuh yang ditemukan."
Nala mengerti apa yang mereka bicarakan, setiap adanya latihan taktis para taruna, beberapa orang kesatria bawahan Patih Jambha memang ditugaskan sebagi 'pengawas', mereka akan berjaga di area terluar dari lokasi latihan untuk menjaga agar para taruna tidak ada yang tersesat. Dan 3 dari mereka sekarang ditemukan tewas.
Seorang guru yang bersama mereka berujar, ia terdengar sama marahnya seperti yang lain "Mpu Merdah mengatakan ada seorang taruna yang menghilang, Umbara, seorang pemanah."
Giri melihat kebelakang, tepat kearah Nala dan Janu yang berada disebelahnya, ia terlihat bingung, Nala menyentuh bahu temanya itu, ia merasakan tubuh temanya basah oleh keringat dingin. Mereka lalu berjalan agak jauh mengikuti 2 kesatria dan seorang guru tadi, menuju bagian hutan yang tak mereka kenali, disana, dibawah rumpun bambu hijau, Nala melihat kumpulan kesatria, guru, dan kuda tunggangan mereka. Patih Jambha juga ada disana, menatap dengan sedih kearah tanah dibawahnya.
Di atas tanah yang lembab tertutupi lumut, Nala melihat tubuh 3 orang kesatria yang tak bernyawa dengan mata melotot dan mulut menganga. Darah keluar dari mulut dan ujung mata mayat tapi tak satupun dari mereka yang tampak terkena sayatan pedang atau tusukan tombak. Saat fokus melihat kearah mayat Nala merasakan sebuah tangan menepuk punggungnya, "Apa yang kau lakukan Jan?" tanya Nala.
"Apa?" bisik Janu disebelahnya, dengan kedua tanganya menyentuh tanah. Sementara Giri berada di depan dan tidak mungkin dia yang menepuk punggunya.
Dengan cepat Nala menengok, matanya terbelalak seakan melihat hantu, dan mungkin ia memang sedang melihat hantu, "HAAHH!" Nala tidak dapat menahan teriakan keluar dari mulutnya dan membuat semua orang disana terkejut, para kesatria mulai berlari kearah semak tempat mereka bersembunyi dengan pedang terangkat yang membuat Giri berdiri sambil berteriak' "Kami taruna! kami taruna!".
Nala mendapati Umbara sahabatnya yang ia cari sedang berjongkok di belakangnya dengan wajah bingung.
***
Arak - arakan kremasi sedang berjalan menuju Setra, sebuah lapangan luas yang berfungsi sebagai tempat pembakaran mayat para kesatria yang gugur. 3 mayat kesatria yang tewas di hutan Vanara ditempatkan dalam wadah dari bambu lalu digotong oleh puluhan kesateria lain. Mahapatih Sura ada diantara puluhan manusia yang mengiringi, ia berjalan paling depan bersama Mpu Mudita sang Mantri Keagamaan dan para pendeta lain. Rombongan berjalan dari Utama Puri menuju Setra yang ada di pinggir Madya Puri, sepanjang perjalanan mereka ditonton oleh para penduduk yang berduka. Sesampainya rombongan di Setra, mayat para kesatria langsung ditempatkan berjejer diatas gundukan kayu, Mpu Mudita dan para pendeta langsung memimpin ritual, mengucapkan mantra - mantra kuno untuk mempermudah perjalanan roh para mendiang menuju Satyaloka disaksikan oleh kesatria lain yang kini duduk bersila diatas padang rumput yang kering. Sura menyaksikan prosesi ritual itu dengan pik
Nattari Amerta merasakan sedikit beban di pundaknya terlepas ketika melihat Balaputra, anaknya sekaligus putra mahkota Kedatuan Malingga duduk di dalam sebuah ruangan memanjang yang dipenuhi rak berbahan kayu berisi buku, lontar, dan gulungan. Dyaksha Ki Hasta duduk diseberang putranya sambil jarinya menunjuk kearah salah satu halaman pada buku yang sedang mereka baca. Orang tua itu mengenakan pakaian serba putih seperti biasanya tapi kali ini tampak lebih cemerlang, sementara tongkat kayunya tersandar di bahu.Ruangan itu diselimuti semerbak harum dupa yang ditancapkan pada sebuah altar persembahan bagi Isvati sang Dewi Pengetahuan. Ki Hasta sebenarnya tidak berkewajiban untuk mengajari putranya apapun, para guru pengajarlah yang seharusnya melakukan itu tapi Sinha berpendapat bahwa tidak ada orang yang lebih berpengetahuan di tanah Malingga saat ini selain sang Dyaksha."Balaputra anaku, Ibu harap kamu belajar banyak hal hari ini," ujar Nattari pada
Peluh dingin mengucur dari tubuh Mada yang sedang tertidur pulas. Kepalanya bergerak gelisah di atas bantal yang berisikan kapuk, sebuah gambaran akan kejadian buruk yang terjadi belakangan terputar kembali dalam sebuah kilasan mimpi yang dialaminya. Kilasan tentang Bapu pamanya yang sudah tiada, memanggil - manggil namanya dan nama Lani dari balik jeruji dibawah Gedong Yama. Mimpinya lalu beralih pada saat dimana ia membantai para perompak, lalu pada warga pulau Uzon yang menyesali kematian mereka, menangisi kedatangan Mada yang begitu terlambat. Sebuah tepukan keras pada bahunya membuat mata Mada seketika terbuka, nafasnya tersengal melihat temanya Lyong berdiri di sebelah dipan tidurnya, "Mada! Bangunlah! Sesuatu yang gawat terjadi, beringin tua terbakar!" "Apa?" Setengah tubuh Mada masih tertidur. "Berdirilah! Seseorang telah membakar beringin tua di bukit! Kita harus bergegas, yang lain sedang berusaha memadankan apinya!" Lyong berteriak deng
Sore itu para pejabat paling penting di Kedatuan Malingga sedang berkumpul, pejabat paling penting dalam hal ini berarti Sang Ratu, Vishaka sendiri selaku Dapunta, Ki Hasta selaku Dyaksha, dan Pendeta Ghana. Menurutnya kedua nama terakhir sebaiknya di coret dari pertemuan, baginya Ki Hasta memiliki kepentingan lain selain untuk Malingga dan Pendeta Ghana tidak mengerti apapun soal politik, tapi Maharatu Nattari beranggapan lain. Pertemuan mereka kali ini hampir berakhir, mereka telah membahas sesuatu yang tak bisa dihindari yakni perihal Patih yang dikirim oleh Laskar Sagara ke Malingga, tentunya tujuan kedatangan Patih itu sudah dapat diperkirakan Vishaka. Sekarang hanya masalah apakah Kedatuan Malingga mampu menghalangi apa yang menjadi tujuan Patih itu. Ibarat sebuah ombak besar yang datang dari Sagara, apakah Malingga akan tenggelam atau mampu bertahan, Dapunta Vishaka beranggapan hanya dirinyalah yang sanggup menangani masalah itu. "Dengan begi
Angin meraung dari angkasa menerpa sekujur badan Mada dan mereka yang sedang sibuk di atas kapal layar. Raungan angin juga mengibarkan bendera harimau lambang kebesaran Laskar Sagara di tiang kapal tertinggi dan menghantam layar layar yang terkembang seiring kapal besar itu melaju di tengah hamparan samudra biru.Ombak saat itu cukup tinggi, air laut yang terus menerus menerjang terpantul oleh geladak kapal berbahan kayu nan keras, menghasilkan bunyi hantaman mengerikan disusul bunyi mirip hujan saat lompatan air laut berhasil menghujam dan membasahi bagian atas kapal, tempat dimana Mada sedang berdiri dan menatap horizon.Sudah sehari penuh Mada berlayar meninggalkan rumahnya di Madya Puri mengarungi lautan yang tidak menentu, berlayar menuju apa yang menurut Patih Jambha sebagai penentuan nasib kerajaan - kerajaan penghuni kepulauan Nusa. Mada tidak menyukai anggapan seperti itu, ia merasa seakan pundaknya diberi tambahan beban seberat 5 kali manusia dewasa.
Kentongan kayu yang terpasang di menara balai desa mulai di bunyikan, suaranya menggema memecah langit pagi di pedesaan dan pedukuhan di wilayah timur Sagara. Matahari bahkan belum sepenuhnya terbangun, fajar baru saja datang membawa angin segar dan aroma dinginnya embun pagi, tapi penduduk telah berbondong keluar dari kediaman mereka, saling bergunjing sambil berjalan cepat menuju sang patih dan puluhan kesatria di belakangnya. Keributan pagi itu bukan tanpa alasan, Taksha sebagai Patih pemimpin wilayah timur telah memberi perintah untuk melakukan sidak dan pemeriksaan ke seluruh desa - desa dibawah kekuasaanya, dan ia tidak pernah berhenti berkuda kesana - kemari sejak subuh tadi.Kabar terbaru tentang pohon keramat di Madyapuri telah membuat kepalanya mendidih, dan baginya semua yang terjadi adalah ulah sebuah kelompok yang diam - diam merancang sabotase dan kudeta pada Laskar Sagara, kelompok yang mengacau saat eksekusi Bapu, kelompok yang ingin ia pastikan tak bers
Aula istana yang kosong bergema nyaring seiring bayang - bayang Nattari yang bergerak kesana kemari. Langit malam itu tak menghadiahkannya bulan maupun bintang, bahkan angin tak juga bertiup melewati lubang - lubang besar yang menghadap ke luar istana. Takhta di hadapannya tegak dan kokoh, di jaga dan di kelilingi pasukan penjaga, takhta itu tampak tak bergeming dan tak bisa digoyahkan. Nattari melihat takhta itu dengan jantung yang berdebar, liukan obor terpantul dari matanya yang bergetar. Dia mengingat saat mendiang kakaknya lah yang duduk di atas takhta berhiaskan giok itu, merasakan dan memikul segala masalah dan kesulitan yang di alami Kedatuan Malingga, dan orang - orang di dalamnya. Beberapa tahun mendatang akan menjadi giliran anaknya, Balaputra II. Nattari membayangkan apakah anak lelakinya itu akan memerintah pada masa dimana keadaan sudah kembali tenang seperti dahulu, sementara itu Antari... Malam semakin larut dan larut, Nattari tak kunjung meninggalkan
"Mendekati pelabuhan Kedatuan Malingga!" seorang prajurit berteriak dari atas tiang pemantau kapal. Dari anjungan tempatnya berdiri sekarang, Mada dapat melihat formasi pegunungan Antaboga lebih dulu dari pada pelabuhan Malingga. Deru angin dan hempasan ombak membawa kapal layar yang ia tumpangi semakin dekat dan kian dekat pada bibir pantai. Pelayarannya ke Malingga nyaris tidak menghadapi hambatan apapun, kecuali mungkin kehadiran seorang penyelundup di kapalnya. Sosok asing yang entah akan mereka apakan. Tapi Mada juga menangkap ke anehan dari suara sang juru pantau di atas sana, berdiri menahan angin dengan pakaian yang berkibar, suaranya terdengar jauh lebih jelas daripada seharusnya. Seketika ia menyadari bahwa angin perlahan semakin pelan dan lambat laun, angin bahkan tak mampu mengibarkan pakaian sang juru pantau, dan jelas sekali tidak akan mampu mendorong layar kapal mereka hingga ke pelabuhan. Laut juga menjadi tenang, sangat tenang yang membuat Mada
"Mendekati pelabuhan Kedatuan Malingga!" seorang prajurit berteriak dari atas tiang pemantau kapal. Dari anjungan tempatnya berdiri sekarang, Mada dapat melihat formasi pegunungan Antaboga lebih dulu dari pada pelabuhan Malingga. Deru angin dan hempasan ombak membawa kapal layar yang ia tumpangi semakin dekat dan kian dekat pada bibir pantai. Pelayarannya ke Malingga nyaris tidak menghadapi hambatan apapun, kecuali mungkin kehadiran seorang penyelundup di kapalnya. Sosok asing yang entah akan mereka apakan. Tapi Mada juga menangkap ke anehan dari suara sang juru pantau di atas sana, berdiri menahan angin dengan pakaian yang berkibar, suaranya terdengar jauh lebih jelas daripada seharusnya. Seketika ia menyadari bahwa angin perlahan semakin pelan dan lambat laun, angin bahkan tak mampu mengibarkan pakaian sang juru pantau, dan jelas sekali tidak akan mampu mendorong layar kapal mereka hingga ke pelabuhan. Laut juga menjadi tenang, sangat tenang yang membuat Mada
Aula istana yang kosong bergema nyaring seiring bayang - bayang Nattari yang bergerak kesana kemari. Langit malam itu tak menghadiahkannya bulan maupun bintang, bahkan angin tak juga bertiup melewati lubang - lubang besar yang menghadap ke luar istana. Takhta di hadapannya tegak dan kokoh, di jaga dan di kelilingi pasukan penjaga, takhta itu tampak tak bergeming dan tak bisa digoyahkan. Nattari melihat takhta itu dengan jantung yang berdebar, liukan obor terpantul dari matanya yang bergetar. Dia mengingat saat mendiang kakaknya lah yang duduk di atas takhta berhiaskan giok itu, merasakan dan memikul segala masalah dan kesulitan yang di alami Kedatuan Malingga, dan orang - orang di dalamnya. Beberapa tahun mendatang akan menjadi giliran anaknya, Balaputra II. Nattari membayangkan apakah anak lelakinya itu akan memerintah pada masa dimana keadaan sudah kembali tenang seperti dahulu, sementara itu Antari... Malam semakin larut dan larut, Nattari tak kunjung meninggalkan
Kentongan kayu yang terpasang di menara balai desa mulai di bunyikan, suaranya menggema memecah langit pagi di pedesaan dan pedukuhan di wilayah timur Sagara. Matahari bahkan belum sepenuhnya terbangun, fajar baru saja datang membawa angin segar dan aroma dinginnya embun pagi, tapi penduduk telah berbondong keluar dari kediaman mereka, saling bergunjing sambil berjalan cepat menuju sang patih dan puluhan kesatria di belakangnya. Keributan pagi itu bukan tanpa alasan, Taksha sebagai Patih pemimpin wilayah timur telah memberi perintah untuk melakukan sidak dan pemeriksaan ke seluruh desa - desa dibawah kekuasaanya, dan ia tidak pernah berhenti berkuda kesana - kemari sejak subuh tadi.Kabar terbaru tentang pohon keramat di Madyapuri telah membuat kepalanya mendidih, dan baginya semua yang terjadi adalah ulah sebuah kelompok yang diam - diam merancang sabotase dan kudeta pada Laskar Sagara, kelompok yang mengacau saat eksekusi Bapu, kelompok yang ingin ia pastikan tak bers
Angin meraung dari angkasa menerpa sekujur badan Mada dan mereka yang sedang sibuk di atas kapal layar. Raungan angin juga mengibarkan bendera harimau lambang kebesaran Laskar Sagara di tiang kapal tertinggi dan menghantam layar layar yang terkembang seiring kapal besar itu melaju di tengah hamparan samudra biru.Ombak saat itu cukup tinggi, air laut yang terus menerus menerjang terpantul oleh geladak kapal berbahan kayu nan keras, menghasilkan bunyi hantaman mengerikan disusul bunyi mirip hujan saat lompatan air laut berhasil menghujam dan membasahi bagian atas kapal, tempat dimana Mada sedang berdiri dan menatap horizon.Sudah sehari penuh Mada berlayar meninggalkan rumahnya di Madya Puri mengarungi lautan yang tidak menentu, berlayar menuju apa yang menurut Patih Jambha sebagai penentuan nasib kerajaan - kerajaan penghuni kepulauan Nusa. Mada tidak menyukai anggapan seperti itu, ia merasa seakan pundaknya diberi tambahan beban seberat 5 kali manusia dewasa.
Sore itu para pejabat paling penting di Kedatuan Malingga sedang berkumpul, pejabat paling penting dalam hal ini berarti Sang Ratu, Vishaka sendiri selaku Dapunta, Ki Hasta selaku Dyaksha, dan Pendeta Ghana. Menurutnya kedua nama terakhir sebaiknya di coret dari pertemuan, baginya Ki Hasta memiliki kepentingan lain selain untuk Malingga dan Pendeta Ghana tidak mengerti apapun soal politik, tapi Maharatu Nattari beranggapan lain. Pertemuan mereka kali ini hampir berakhir, mereka telah membahas sesuatu yang tak bisa dihindari yakni perihal Patih yang dikirim oleh Laskar Sagara ke Malingga, tentunya tujuan kedatangan Patih itu sudah dapat diperkirakan Vishaka. Sekarang hanya masalah apakah Kedatuan Malingga mampu menghalangi apa yang menjadi tujuan Patih itu. Ibarat sebuah ombak besar yang datang dari Sagara, apakah Malingga akan tenggelam atau mampu bertahan, Dapunta Vishaka beranggapan hanya dirinyalah yang sanggup menangani masalah itu. "Dengan begi
Peluh dingin mengucur dari tubuh Mada yang sedang tertidur pulas. Kepalanya bergerak gelisah di atas bantal yang berisikan kapuk, sebuah gambaran akan kejadian buruk yang terjadi belakangan terputar kembali dalam sebuah kilasan mimpi yang dialaminya. Kilasan tentang Bapu pamanya yang sudah tiada, memanggil - manggil namanya dan nama Lani dari balik jeruji dibawah Gedong Yama. Mimpinya lalu beralih pada saat dimana ia membantai para perompak, lalu pada warga pulau Uzon yang menyesali kematian mereka, menangisi kedatangan Mada yang begitu terlambat. Sebuah tepukan keras pada bahunya membuat mata Mada seketika terbuka, nafasnya tersengal melihat temanya Lyong berdiri di sebelah dipan tidurnya, "Mada! Bangunlah! Sesuatu yang gawat terjadi, beringin tua terbakar!" "Apa?" Setengah tubuh Mada masih tertidur. "Berdirilah! Seseorang telah membakar beringin tua di bukit! Kita harus bergegas, yang lain sedang berusaha memadankan apinya!" Lyong berteriak deng
Nattari Amerta merasakan sedikit beban di pundaknya terlepas ketika melihat Balaputra, anaknya sekaligus putra mahkota Kedatuan Malingga duduk di dalam sebuah ruangan memanjang yang dipenuhi rak berbahan kayu berisi buku, lontar, dan gulungan. Dyaksha Ki Hasta duduk diseberang putranya sambil jarinya menunjuk kearah salah satu halaman pada buku yang sedang mereka baca. Orang tua itu mengenakan pakaian serba putih seperti biasanya tapi kali ini tampak lebih cemerlang, sementara tongkat kayunya tersandar di bahu.Ruangan itu diselimuti semerbak harum dupa yang ditancapkan pada sebuah altar persembahan bagi Isvati sang Dewi Pengetahuan. Ki Hasta sebenarnya tidak berkewajiban untuk mengajari putranya apapun, para guru pengajarlah yang seharusnya melakukan itu tapi Sinha berpendapat bahwa tidak ada orang yang lebih berpengetahuan di tanah Malingga saat ini selain sang Dyaksha."Balaputra anaku, Ibu harap kamu belajar banyak hal hari ini," ujar Nattari pada
Arak - arakan kremasi sedang berjalan menuju Setra, sebuah lapangan luas yang berfungsi sebagai tempat pembakaran mayat para kesatria yang gugur. 3 mayat kesatria yang tewas di hutan Vanara ditempatkan dalam wadah dari bambu lalu digotong oleh puluhan kesateria lain. Mahapatih Sura ada diantara puluhan manusia yang mengiringi, ia berjalan paling depan bersama Mpu Mudita sang Mantri Keagamaan dan para pendeta lain. Rombongan berjalan dari Utama Puri menuju Setra yang ada di pinggir Madya Puri, sepanjang perjalanan mereka ditonton oleh para penduduk yang berduka. Sesampainya rombongan di Setra, mayat para kesatria langsung ditempatkan berjejer diatas gundukan kayu, Mpu Mudita dan para pendeta langsung memimpin ritual, mengucapkan mantra - mantra kuno untuk mempermudah perjalanan roh para mendiang menuju Satyaloka disaksikan oleh kesatria lain yang kini duduk bersila diatas padang rumput yang kering. Sura menyaksikan prosesi ritual itu dengan pik
Para taruna saat itu sedang berada di pinggiran Hutan Vanara, berhektar - hektar lautan berwarna hijau yang terasa lembab, saking luasnya, hutan itu hampir menutupi seluruh wilayah selatan Sagara dan menghantui desa desa kecil disekitarnya. Nala dan keempat sahabatnya berada di antara puluhan taruna yang berusia 10 sampai 14 tahun, berkumpul di bagian luar hutan. Mereka dijadwalkan untuk latihan taktis hari ini. Mpu Merdah dan para guru serta pengawas lain juga hadir di sana, tapi yang membuat pertandingan kali ini spesial adalah kehadiran Patih Jambha penguasa wilayah selatan. Para taruna akan dibagi menjadi 2 kelompok yang masing - masing terdiri dari 30 orang. Kedua kelompok akan saling berhadapan di dalam wilayah hutan yang telah ditentukan. Untuk meraih kemenangan, salah satu kelompok harus berhasil merebut bendera dari markas kelompok lawan, sambil berusaha mempertahankan bendera sendiri mereka dari lawan. Mereka juga dibebaskan untuk memasang peran