Share

BAB 7: MADA

Penulis: Cicero
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-26 12:37:29

Tradisi, kehormatan, harga diri, semuanya tak berarti apa - apa di kota seperti Glora, itulah yang selalu ada dalam benak Patih Mada setiap ia berkunjung ke kota dagang tersebut. Mada baru saja datang dari arah Madya Puri dan memasuki kota itu melewati gapura timur. Langkahnya mengarah langsung menuju bagian kota mengenaskan yang bernama 'Distrik Pelesir'. Mada saat itu menyamarkan dirinya dengan sebuah jubah lapuk lengkap dengan kerudung, ia juga menanggalkan atribut Patihnya dan hanya menyisakan keris yang terselip di pinggang untuk jaga - jaga.

Sebagai seorang patih yang terhormat Mada tak ingin terlihat berada di kawasan itu, kawasan yang berbanding terbalik dengan ajaran dan prinsip Laskar Sagara. 

Rumah bordil, warung - warung minum, para pedagang arak dan tuak bertebaran kemanapun matanya memandang, sementara udara dipenuhi aroma alkohol dan wangi pembakaran kemenyan , dulunya Laskar Sagara melarang adanya tempat - tempat kotor seperti itu, namun Patih Guraksha dan beberapa orang Mantri beranggapan lain, setelah melewati berbagai pertimbangan, utamanya perihal pajak dan lapangan kerja, Laskar Sagara akhirnya mengizinkan dibangunya distrik itu dengan syarat hanya dibatasi hanya pada area tersebut.

Mada mengamati sekitarnya, ia sempat kaget melihat beberapa orang kesatria yang berkumpul sambil menikmati tuak disalah satu warung, tidak mengherankan mengingat mereka adalah bagian dari Divisi Padma dibawah Guraksha yang perilakunya sendiri patut dipertanyakan. Para kesatria Laskar seharusnya tidak berada disana, dan tidak menenggak tuak seperti kumpulan monyet yang kehausan, ia hendak mendatangi mereka untuk menegur namun Mada mengurungkan niatnya saat ingat penyamaran yang ia lakukan.

Di depan warung beberapa orang tampak menari - nari diiringi tabuhan gamelan berirama menyenangkan, sementara di tempat lain seorang pria sedang muntah dibawah pohon belimbing.

"Anda tertarik untuk melepas penat, Tuan?" Seorang wanita muda memanggilnya dari seberang jalan, wanita itu berdiri di depan rumah bordil, dia memakai kain batik yang hanya sepanjang paha, sementara kebaya yang dia kenakan hampir melorot. Mada menolaknya dengan sopan, tujuanya berkuda seharian kesana bukanlah untuk  menghabiskan waktunya untuk tidur dengan pelacur. Hanya satu tujuanya datang ke Glora yaitu untuk mencari teman masa kecilnya Lani dan menyampaikan permintaan maaf ayahnya. Mengingat itu membuatnya kembali bersedih, Bapu yang malang pasti sudah di bawa ke Yawi saat ini, atau malah sudah di eksekusi oleh Patih Taskha. 

Matanya melihat ke arah sosok lelaki tua lelaki tua yang berpakaian modis menghampiri wanita di depan rumah bordil itu, lelaki itu menciumnya lalu si wanita mengajaknya masuk. Mada mendengus, ia lalu turun dari kudanya dan memutuskan untuk berjalan kaki.

Pandanganya kini beralih kearah sebuah kerumunan di kejauhan, disana, sekumpulan pria bertelanjang dada dan mengenakan celana dari lilitan kain tampak sedang mengelilingi sebuah lapangan kecil berbentuk persegi. Mada yang tertarik menyempatkan diri untuk mendekat dan seketika ia mendengar teriakan mereka.

"Gasal!", "Bihing!", "Buik!".

Mendengar itu ia menyadari kalau mereka yang ada disana sedang bermain sabung ayam, kepalanya yang ditutupi kerudung melihat sekilas ke dalam arena, dua ekor ayam jantan sedang saling berhadapan, bulu bulu leher mereka kembang diikuti gerakan tubuh yang saling megintimidasi, sementara sebuah taji atau pisau kecil terikat di ceker masing - masing. Salah satu ayam memiliki bulu warna warni sementara lawanya berbulu merah pekat. Tanpa menunggu lama kedua ayam saling menerjang dan saling mematuk dengan beringas membuat bulu mereka seketika berterbangan. Namun ayam yang berbulu merah atau 'bihing' tampaknya tertusuk taji dibagian leher dan mati kehabisan darah diiringi sorakan penonton.

"Puji para Dewa!" Seorang pria berkumis tebal berteriak seraya menerima sejumlah uang taruhan, Mada berpendapat bahwa pria dengan ikat kepala berwarna gelap itu adalah pemilik ayam aduan yang menang, tubuhnya berjingkrak dengan sangat girang dan tidak peduli dengan keadaan sekitar.

Berbeda dengan mata Mada yang awas saat melihat seorang pria lain berjalan mendekati pria berkumis itu dari belakang, insting Mada menyadari ada hal yang tak beres, pria yang mendekat itu mengeluarkan sebilah pisau dari balik bajunya dan tampak akan menusuk si pria berkumis. Dengan sigap Mada mengambil sebuah batu sekepal tangan di tanah yang kemudian ia lempar tepat kearah kepala pria yang memegang pisau, sosok itu berteriak lalu tersungkur sambil memegangi dahinya yang mengeluarkan darah. Para penjudi lain kemudian berhenti untuk melihat apa yang sedang terjadi dan melihat pria yang terkapar dengan pisau di tanganya.

Si pria berkumis sepertinya menyadari apa yang akan terjadi padanya dan apa yang Mada lakukan, dan kerumanan disana mulai bergumam dan saling menyumpah.

"Pria itu hendak menusukmu dan merampokmu! Lihat! Tanganya memegang sebilah pisau," ujar Mada. Dalam hati ia sebenarnya tidak menyangka telah menyelamatkan seorang penjudi.

Sepertinya kehebohan itu memancing beberapa orang kesatria yang sedang bersantai di warung tuak tadi, mereka lalu berlari mendekat, dan menenangkan massa yang sepertinya hendak main hakim sendiri, melihat itu Mada segera bergerak menjauh dari sana untuk mengindari perhatian.

"Tunggu!" pria berkumis tadi berteriak di tengah keributan.

Pria itu kemudian berlari kecil, masih dengan ayam aduan yang ia dekap di lengan, "Tuan, saya belum sempat berterimakasih. Setidaknya izinkan saya membelikan anda minuman." 

Mada memperhatikan orang itu dengan saksama, pakaianya, kumisnya, ia merasa pernah melihat orang ini sebelumnya entah dimana. Hal yang sama sepertinya juga dilakukan oleh pria berkumis itu karena kini ia menatap wajah Mada dengan mata hitam yang heran. Ia baru hendak menghindar tapi sudah terlambat.

"Astaga! anda Patih Mada!" Pria kumis tebal itu terperanjat, tubuhnya perlahan membungkuk tapi Mada menariknya kembali berdiri, saking keras ia menarik sampai ayam aduanya hampir terlepas dari genggaman.

Pria itu awalnya tampak kaget namun ekspresinya perlahan berubah menjadi ketakutan, "Maafkan hamba Patih, Mpu Merdah memberi saya hari libur hari ini, saya hanya sedikit menghibur diri."

Mada terdiam sejenak untuk berpikir, ia kemudian menyeret pria itu ke belakang sebuah lapak pedagang yang tampak kosong. Mpu Merdah? pria ini pasti berasal dari padepokan Sagara, sangat wajar jika ia bisa mengenali Mada, "Katakan siapa namamu?" 

"Darsam, tuan, saya kusir angkutan dari padepokan Sagara." jawabnya dengan suara bergetar.

"Sekarang dengar, Darsam, saat ini aku tidak peduli bagaimana caramu menghabiskan hari liburmu atau bagaimana kau menghabiskan uang," Mada berbisik di telinga Darsam. "Aku sedang mencari seorang wanita bernama Lani yang berasal dari desa Yawi dan kau terlihat seperti seseorang yang hafal distrik ini."

Darsam tampak kebingungan, dahinya berkerut dan rautnga menampakan ketakutan juga keraguan. Namun pria berkumis tebal itu sepertinya mengingat sesuatu, "Sa-saya pernah mendengar seorang pekerja wanita di sebuah rumah judi bernama Lani, tuan, tapi saya tidak tahumenahu darimana pelayan itu berasal."

"Bisakah kau tunjukan padaku tempat itu kusir?" Mada bertanya setengah menuntut.

Darsam lalu memohon waktu sebentar, ia berjalan mengambil sebuah tas berbahan rotan dan memasukan ayam aduanya kedalam, setelah itu ia memberi isyarat agar Mada mengikutinya. Dengan cepat mereka lalu berjalan melewati keramaian Distrik Pelesir yang sesak.

Darsam mengajak Mada berbelok menuju sebuah jalan yang lebih lebar dan dipenuhi tanaman hias disisi - sisinya, area beberapa are itu benar - benar tampak indah seakan bukan merupakan bagian dari distrik pelesir. Mada melihat manusia dengan berbagai macam warna kulit, warna rambut dan gaya berpakaian yang bahkan belum pernah ia lihat sebelumnya. Beberapa bangunan besar berwarna putih yang tampaknya terbuat dari batu pualam berdiri kokoh dipinggir jalan yang di aspal kerikil. Semuanya dihiasi gambar serta ukiran unik pada dinding.

"Tuan Patih lihat bangunan itu?" tanya Darsam menunjuk kearah salah satu bangunan yang dihiasi ukiran ayam jago, "Itu adalah Balai Tajen, tempat sabung ayam paling elit di tanah Sagara, mereka bilang ayam - ayam aduan terbaiklah yang berlaga di sana."

"Aku hanya ingin tahu dimana Lani berada, Darsam," ia menjawab ketus, Mada memperhatikan bangunan lain yang serupa, ada yang memiliki ukiran berupa kartu cekian , ada yang memiliki ukiran berupa dadu, otaknya mengambil kesimpulan singkat bahwa semua bangunan itu adalah tempat judi.

Kusir itu kemudian menunjuk kearah sebuah bangunan lain di ujung jalan yang ternyata adakah jalan buntu. Bangunan itu nampak lebih tinggi dan besar dari yang lain, "Itu adalah Rumah minum Nyi Sandat, saya pernah mendengar seorang pelayan bernama Lani dengan kecantikan luar biasa bekerja disana tuan."

Mada menatap Darsam dengan sangsi, "Dan dari mana gerangan kau mendengar kabar itu kusir?"

"Dari seorang pemabuk kaya di salah satu warung tentu saja, saya berbincang denganya kemarin, orang hebat yang satu itu, segelas besar arak habis dengan sekali tenggak," ujarnya terdengar kagum. Mada mau tak mau melihatnya dengan tatapan kesal. "Terimakasih Darsam, satu hal lagi, tolong jaga kuda miliku sebentar," Mada berujar sambil mengikat tali kudanya di salah satu tiang disana. 

***

Bangunan itu ternyata terdiri dari dua lantai, bagian luar dihiasi oleh pagar pendek berbahan batu bata, sepasang patung wanita tanpa busana terpampang jelas mengapit pintu gerbang masuknya, Mada berjalan melewati kedua patung itu dan mendapati dirinya berada di sebuah taman yang dipenuhi bunga mawar, ia lalu menuju pintu masuk bangunan utama.

Ruangan utama benar benar nampak indah, dinding - dindingnya dihiasi permadani dari barat jauh, ditambah kerajinan keramik yang pastinya berasal dari negeri - negeri atas angin, tempat yang jauh dari Nusa, Mada memperhatikan orang orang nampak sedang berjudi serta berpesta diiringi tarian dan musik, Mada memutuskan untuk berjalan ke salah satu kursi di pojok untuk mengamati dan menunggu kehadiran Lani.

Setelah beberapa saat Mada melihat seorang wanita paruh baya berjalan menuruni tangga, wanita itu mengenakan kebaya tipis berwarna putih dan kain batik berwarna gelap sepanjang betis, sebuah kalung berwarna emas dengan bandul giok tergantung di lehernya yang kurus, ia mengenakan perhiasan emas di kepala dan hiasan telinga dengan warna yang serasi, ia berjalan dengan anggun kearah Mada.

"Bagaimana hamba bisa melayani Tuan?" ujar wanita itu lembut.

"Saya hanya ingin melihat - lihat," ujar Mada, ia seketika menyadari ucapanya terdengar bodoh, siapa yang masuk ke rumah judi hanya untuk melihat - lihat ? Mada segera memalingkan pandangan.

"Perkenalkan tuan, nama saya Nyi Sekar, pemilik usaha sederhana ini," ia berujar dengan senyum terukir di wajahnya yang sedikit keriput, Nyi Sekar kemudian melanjutkan, "Tuan pastilah baru datang dari tempat yang jauh, mereka yang datang kesini biasanya ingin segera bersenang senang, bukan hanya duduk dan melihat -lihat."

Mada yang tidak ingin membuat wanita bernama Nyi Sekar itu curiga dengan cepat menjawab, "Aku kemari untuk melihat seorang wanita bernama Lani, aku mendengar tentangnya di seluruh Distrik ini."

Wanita itu tertawa sesaat, "Seluruh pria di kota ini juga ingin bertemu Lani tuan, tapi setidaknya yang lain menghabiskan banyak uang mereka disini, sementara anda tidak membeli apapun atau bermain apapun, saya takut banyak orang lain sedang mengantri untuk kursi yang sekarang anda duduki, tuan." Nyi Sekar sedikit menggertak, Mada menyadari wanita itu mengusirnya secara halus, ia baru hendak membuka kerudung jubahnya dan mengatakan identitasnya saat tiba - tiba suara yang tidak asing tiba tiba terdengar dari belakang Nyi Sekar.

"Jaga sikapmu ketika berbicara dengan temanku wanita tua!" si pemilik suara menghardik, disana, berdiri dibelakang Nyi Sekar adalah orang terakhir yang ingin ia lihat di Glora, Patih Guraksha.

Guraksha tersenyum simpul melihat Mada, dibelakangnya beberapa kesatria berdiri memegang sebuah kotak kayu berwarna coklat, "Bawa upetinya kembali ke markas, aku akan menemani temanku ini sebentar." Para kesatria lain kemudian membukuk dan memberi hormat kearah Guraksha dan Mada lalu berjalan keluar.

Si Patih berambut mengkilat itu lalu duduk di samping Mada, senyumnya kini sudah menghilang, "Nyonya, temanku ini ingin bertemu seseorang, sekarang sebaiknya anda tunjukan dimana orang yang ia cari berada, atau tempat ini akan ada dalam masalah."

Nyi Sekar terdiam sesaat, tanganya terlipat di dada, ia kemudian menjawab dengan nada ketus, "Lani akan tampil sebentar lagi, kalian tunggulah sampai ia selesai." Mada ingin bertanya lebih lanjut namun Nyi Sekar sudah berjalan cepat kembali menuju tangga lalu naik ke lantai atas.

"Aku tidak tahu mana yang lebih yang lebih baik, sendiri bersama wanita itu atau sendiri bersamamu," ujar Mada kesal, ia tidak berharap melihat Guraksha disini, Mada bisa menangani Nyi Sekar tanpa bantuanya, dan sekarang ia harus menerka - nerka maksud dan tujuan Guraksha yang menemaninya.

"Jangan kasar begitu, kawan, kau menutupi dirimu dengan kerudung dan jubah, kau tidak ingin terlihat disini bukan? Aku semata mata hanya membantumu, jika kau mengatakan pada Nyi Sekar siapa dirimu sebenarnya, besok pagi seisi kota akan mengetahuinya," ujar Guraksha sambil memegang bahu Mada.

Suka tidak suka ucapan Guraksha ada benarnya, Mada lalu melihat Guraksha, ia tidak tahu harus berkata apa pada Patih di sebelahnya, membantu seorang kriminal sangat dilarang bagi kesatria Laskar, apalagi seorang Patih, bahkan sekedar menyampaikan pesan terakhir mereka, Mada lalu menyadari sesuatu, "Sejak kapan kau menyadari keberadaanku disini?" ujar Mada curiga.

"Aku tidak pernah melihat seseorang memasuki tempat hiburan ini, bahkan area distrik ini memakai jubah kawanku yang baik, para pengunjung biasanya akan mengenakan pakaian necis untuk menarik para wanita," ujar Guraksha sedikit terkekeh.

"Heh, kau membangun kota ini dengan sangat baik, kota yang mulia, Glora ini," Mada terdengar sedikit menyindir.

"Tentu saja, luar biasa kemakmuran yang dihasilkan distrik ini, orang kaya membelanjakan uang mereka, yang miskin mendapat pekerjaan, dan para pedagang memiliki tempat yang ramai pembeli, kau mungkin berpikiran buruk tentangku Mada, tapi yang aku inginkan hanyalah kemakmuran bagi seluruh rakyat Glora, karena itulah aku kesal saat kau membawa para pengungsi kemari karena mereka akan membebani ekonomi Glora," balas Guraksha serius, Mada kaget melihat semangat dan ambisi di bola mata coklatnya, Guraksha kemudian mengalihkan pembicaraan, "Lagi pula apa tujuan Patih sepertimu datang kemari?" tanya Guraksha berbisik.

Mada yang hendak menjawab tiba tiba mendapati perhatian semua orang tiba tiba mengarah ke sebuah panggung, seorang gadis muda berjalan anggun keatas panggung yang dihiasi tirai - tirai bergambar awan.

Mada memperhatikan gadis itu, rambutnya bak mutiara hitam dan di pusung dan dijepit dengan perhiasan keemasan bermanik - manik, ia mengenakan gaun sutra terusan yang tidak biasa ia lihat di Sagara, wajahnya bulat dihiasi bola mata coklat yang indah serta hidung bangir, Mada terperanjat karena mengenalinya, "Lani," ujarnya pelan dengan terkesiap, namun Guraksha tampaknya memperhatikanya.

Lani masih tampak sama seperti dulu, gadis itu kemudian mengambil ancang - ancang dan bernyanyi diiringi denting suara gamelan, seperangkat alat musik berbahan tembaga, dia membawakan sebuah tembang asmaradana, suaranya sangat indah menggema keseluruh ruangan, memikat siapapun yang ada disana, untuk sesaat mata kedua teman lama itu bertemu.

"Wah...wah, aku tidak menyangka Mada, dia kekasihmu atau apa?" ujar Guraksha menggoda.

Mada sempat melupakan kehadiran Patih itu disebelahnya, ia mendesah, "Dia temanku saat kecil dulu di Yawi, kau ingat pencuri bernama Bapu yang ditangkap Patih Taksha, gadis itu adalah anaknya satu satunya," Mada bisa mendengar kegetiran di suaranya. Gurakhsa menangguk paham, "Jadi kau kemari untuk menyampaikan berita eksekusi ayahnya, aku mengerti, kalau begitu aku hanya menjadi pengganggu kalian nanti," ujar Guraksha sembari berdiri, ia lalu mengucapkan selamat tinggal pada Mada.

"Gurakhsa, terimakasih untuk bantuanmu tadi," ujar Mada tulus, yang dibalas lambaian tangan Guraksha, ia tidak menyangka akan mengucapkan terimakasih pada Patih itu.

Nyanyian Lani selesai disertai gemuruh tepuk tangan para pengunjung, sekali lagi Lani melihat kearah Mada, meski dari jarak yang jauh, Mada dapat melihat mata Lani berbinar, gadis itu lalu turun dari panggung lalu berjalan cepat kearahnya, Lani lalu masuk berjalan menuju sebuah ruangan dibelakang tempat Mada duduk, sesaat gadis itu memberi isyarat agar Mada mengikuti, yang seketika dilakukanya.

Di dalam sebuah ruangan yang sempit itu, Lani menggenggam tangan Mada, "Kamu? kamu Mada, kan?" tanya gadis itu dengan suara bergetar. Mada mengangguk, ia menahan keinginanya untuk memeluk Lani namun ternyata gadis itu yang mendahului.

Gadis itu memeluk Mada dengan sangat erat, Mada bisa merasakan kehangatan dan jantung gadis itu yang berdetak kencang, "Aku merindukanmu," katanya dengan mata yang berkaca kaca, "Aku, selama ini aku...," ia tak bisa menyelesaikan kalimatnya.

"Aku tahu apa yang terjadi Lani, apa yang terjadi padamu dan pada paman Bapu, maafkan aku tidak pernah mencarimu selama ini," ujar Mada terbata.

Lani melepaskan genggamanya, gadis itu lalu berbalik, entah kenapa ia sekarang menolak berhadapan denganya, "Aku sudah berdamai dengan masa lalu Mada, aku senang sekarang."

Sang Patih tampak bingung, "Lani, paman Bapu tertangkap sebagai pencuri di Yawi, dia...dia akan dihukum mati dalam waktu dekat," ucapan Mada terjeda sesaat, ia tidak mau mengatakan jika bahwa Bapu kemungkinan sudah terpenggal sekarang, "Ayahmu, paman Bapu ingin agar aku menyampaikan penyesalanya, atas apa yang ia perbuat padamu di masa lalu."

Tidak ada kata yang terucap, Lani hanya terdiam, Mada menarik gadis itu untuk berbalik, tapi ia tidak melihat adanya ekspresi kesedihan dimata Lani, tidak ada tetes airmata maupun emosi seperti yang Mada harapkan.

"Kamu sepertinya heran," ujar Lani tenang, dia perlahan menampilkan senyum sinis,  "Apa yang harus aku rasakan terhadap orang yang menjualku, Mada? Haruskah aku menangisi orang yang melemparkanku ke gerbang neraka? Haruskah aku bersedih pada orang yang menjualku sebagai budak?"

"Lani..." Mada berkata lirih, ia tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti itu keluar dari mulut teman masa kecilnya dulu, ia merasa bersalah, jika saja ia mengetahui apa yang dialami Lani lebih awal, jika saja ia mengunjungi Bapu dan menanyakan kabar Lani lebih awal...

"Dengar, aku sudah diangkat menjadi Patih sekarang, aku bisa mengeluarkanmu dari sini, kembalilah ke Madya Puri bersamaku atau ke Yawi, atau kemanapun selain Glora, aku akan membuatkanmu rumah dan mencarikanmu pekerjaan lain, Lani." Mada mencoba terdengar bersemangat, dalam hatinya ia mencoba untuk mengungkapkan perasaan yang dipendamnya sejak dahulu.

"Aku puas dengan kehidupanku sekarang, inilah yang aku inginkan, Nyi Sekar membayarku dengan baik, dia membeliku dari para penyamun, dia mengeluarkanku dari liang terburuk di Glora dan memberikanku kesempatan untuk menjadi penyanyi di tempat ini, kamu tahu aku selalu bermimpi menjadi seorang penyanyi, Mada." Gadis itu tersenyum, kali ini bukan senyum sinis tapi senyum manis yang Mada nantikan sejak dulu, senyum yang membuatnya melayang kembali ke pematang sawah milik paman Bapu. Mada ingat Lani memang selalu mengatakan bahwa mimpinya adalah menjadi penyanyi, pesinden, atau apapun yang berhubungan dengan menunjukan suara indahnya. 

Mendengar jawaban dan ekspresi Lani,  Mada akhirnya memutuskan untuk memendam perasaanya, gadis itu tidak terlihat menderita disini, dia mungkin berada diantara pejudi dan orang mabuk tapi Lani benar - benar terlihat bahagia, dan Mada tidak merasa gadis itu memiliki perasaan yang sama terhadapnya, walau dihatinya berharap lain.

Dulu ia selalu membayangkan saat dimana ia akan kembali bertemu Lani dan Paman Bapu dalam situasi dan kondisi berbeda, dimana mereka masih merupakan keluarga bahagia yang ia ingat sejak kecil, kembali sebagai seorang Patih atau bahkan Mahapatih lalu melamar gadis yang di sukainya sejak kecil dan tinggal bersama di Madya Puri, namun pada akhirnya, ternyata permainan nasib tidak bisa ditebak.

***

Bab terkait

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 8: NALA

    Para taruna saat itu sedang berada di pinggiran Hutan Vanara, berhektar - hektar lautan berwarna hijau yang terasa lembab, saking luasnya, hutan itu hampir menutupi seluruh wilayah selatan Sagara dan menghantui desa desa kecil disekitarnya. Nala dan keempat sahabatnya berada di antara puluhan taruna yang berusia 10 sampai 14 tahun, berkumpul di bagian luar hutan. Mereka dijadwalkan untuk latihan taktis hari ini. Mpu Merdah dan para guru serta pengawas lain juga hadir di sana, tapi yang membuat pertandingan kali ini spesial adalah kehadiran Patih Jambha penguasa wilayah selatan. Para taruna akan dibagi menjadi 2 kelompok yang masing - masing terdiri dari 30 orang. Kedua kelompok akan saling berhadapan di dalam wilayah hutan yang telah ditentukan. Untuk meraih kemenangan, salah satu kelompok harus berhasil merebut bendera dari markas kelompok lawan, sambil berusaha mempertahankan bendera sendiri mereka dari lawan. Mereka juga dibebaskan untuk memasang peran

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-26
  • Kronik Negeri Nusa   BAB 9: SURA

    Arak - arakan kremasi sedang berjalan menuju Setra, sebuah lapangan luas yang berfungsi sebagai tempat pembakaran mayat para kesatria yang gugur. 3 mayat kesatria yang tewas di hutan Vanara ditempatkan dalam wadah dari bambu lalu digotong oleh puluhan kesateria lain. Mahapatih Sura ada diantara puluhan manusia yang mengiringi, ia berjalan paling depan bersama Mpu Mudita sang Mantri Keagamaan dan para pendeta lain. Rombongan berjalan dari Utama Puri menuju Setra yang ada di pinggir Madya Puri, sepanjang perjalanan mereka ditonton oleh para penduduk yang berduka. Sesampainya rombongan di Setra, mayat para kesatria langsung ditempatkan berjejer diatas gundukan kayu, Mpu Mudita dan para pendeta langsung memimpin ritual, mengucapkan mantra - mantra kuno untuk mempermudah perjalanan roh para mendiang menuju Satyaloka disaksikan oleh kesatria lain yang kini duduk bersila diatas padang rumput yang kering. Sura menyaksikan prosesi ritual itu dengan pik

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-27
  • Kronik Negeri Nusa   BAB 10: NATTARI

    Nattari Amerta merasakan sedikit beban di pundaknya terlepas ketika melihat Balaputra, anaknya sekaligus putra mahkota Kedatuan Malingga duduk di dalam sebuah ruangan memanjang yang dipenuhi rak berbahan kayu berisi buku, lontar, dan gulungan. Dyaksha Ki Hasta duduk diseberang putranya sambil jarinya menunjuk kearah salah satu halaman pada buku yang sedang mereka baca. Orang tua itu mengenakan pakaian serba putih seperti biasanya tapi kali ini tampak lebih cemerlang, sementara tongkat kayunya tersandar di bahu.Ruangan itu diselimuti semerbak harum dupa yang ditancapkan pada sebuah altar persembahan bagi Isvati sang Dewi Pengetahuan. Ki Hasta sebenarnya tidak berkewajiban untuk mengajari putranya apapun, para guru pengajarlah yang seharusnya melakukan itu tapi Sinha berpendapat bahwa tidak ada orang yang lebih berpengetahuan di tanah Malingga saat ini selain sang Dyaksha."Balaputra anaku, Ibu harap kamu belajar banyak hal hari ini," ujar Nattari pada

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-06
  • Kronik Negeri Nusa   BAB 11: MADA

    Peluh dingin mengucur dari tubuh Mada yang sedang tertidur pulas. Kepalanya bergerak gelisah di atas bantal yang berisikan kapuk, sebuah gambaran akan kejadian buruk yang terjadi belakangan terputar kembali dalam sebuah kilasan mimpi yang dialaminya. Kilasan tentang Bapu pamanya yang sudah tiada, memanggil - manggil namanya dan nama Lani dari balik jeruji dibawah Gedong Yama. Mimpinya lalu beralih pada saat dimana ia membantai para perompak, lalu pada warga pulau Uzon yang menyesali kematian mereka, menangisi kedatangan Mada yang begitu terlambat. Sebuah tepukan keras pada bahunya membuat mata Mada seketika terbuka, nafasnya tersengal melihat temanya Lyong berdiri di sebelah dipan tidurnya, "Mada! Bangunlah! Sesuatu yang gawat terjadi, beringin tua terbakar!" "Apa?" Setengah tubuh Mada masih tertidur. "Berdirilah! Seseorang telah membakar beringin tua di bukit! Kita harus bergegas, yang lain sedang berusaha memadankan apinya!" Lyong berteriak deng

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-16
  • Kronik Negeri Nusa   BAB 12 : VISHAKA

    Sore itu para pejabat paling penting di Kedatuan Malingga sedang berkumpul, pejabat paling penting dalam hal ini berarti Sang Ratu, Vishaka sendiri selaku Dapunta, Ki Hasta selaku Dyaksha, dan Pendeta Ghana. Menurutnya kedua nama terakhir sebaiknya di coret dari pertemuan, baginya Ki Hasta memiliki kepentingan lain selain untuk Malingga dan Pendeta Ghana tidak mengerti apapun soal politik, tapi Maharatu Nattari beranggapan lain. Pertemuan mereka kali ini hampir berakhir, mereka telah membahas sesuatu yang tak bisa dihindari yakni perihal Patih yang dikirim oleh Laskar Sagara ke Malingga, tentunya tujuan kedatangan Patih itu sudah dapat diperkirakan Vishaka. Sekarang hanya masalah apakah Kedatuan Malingga mampu menghalangi apa yang menjadi tujuan Patih itu. Ibarat sebuah ombak besar yang datang dari Sagara, apakah Malingga akan tenggelam atau mampu bertahan, Dapunta Vishaka beranggapan hanya dirinyalah yang sanggup menangani masalah itu. "Dengan begi

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-29
  • Kronik Negeri Nusa   BAB 13: MADA

    Angin meraung dari angkasa menerpa sekujur badan Mada dan mereka yang sedang sibuk di atas kapal layar. Raungan angin juga mengibarkan bendera harimau lambang kebesaran Laskar Sagara di tiang kapal tertinggi dan menghantam layar layar yang terkembang seiring kapal besar itu melaju di tengah hamparan samudra biru.Ombak saat itu cukup tinggi, air laut yang terus menerus menerjang terpantul oleh geladak kapal berbahan kayu nan keras, menghasilkan bunyi hantaman mengerikan disusul bunyi mirip hujan saat lompatan air laut berhasil menghujam dan membasahi bagian atas kapal, tempat dimana Mada sedang berdiri dan menatap horizon.Sudah sehari penuh Mada berlayar meninggalkan rumahnya di Madya Puri mengarungi lautan yang tidak menentu, berlayar menuju apa yang menurut Patih Jambha sebagai penentuan nasib kerajaan - kerajaan penghuni kepulauan Nusa. Mada tidak menyukai anggapan seperti itu, ia merasa seakan pundaknya diberi tambahan beban seberat 5 kali manusia dewasa.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Kronik Negeri Nusa   BAB 14 : TAKSHA

    Kentongan kayu yang terpasang di menara balai desa mulai di bunyikan, suaranya menggema memecah langit pagi di pedesaan dan pedukuhan di wilayah timur Sagara. Matahari bahkan belum sepenuhnya terbangun, fajar baru saja datang membawa angin segar dan aroma dinginnya embun pagi, tapi penduduk telah berbondong keluar dari kediaman mereka, saling bergunjing sambil berjalan cepat menuju sang patih dan puluhan kesatria di belakangnya. Keributan pagi itu bukan tanpa alasan, Taksha sebagai Patih pemimpin wilayah timur telah memberi perintah untuk melakukan sidak dan pemeriksaan ke seluruh desa - desa dibawah kekuasaanya, dan ia tidak pernah berhenti berkuda kesana - kemari sejak subuh tadi.Kabar terbaru tentang pohon keramat di Madyapuri telah membuat kepalanya mendidih, dan baginya semua yang terjadi adalah ulah sebuah kelompok yang diam - diam merancang sabotase dan kudeta pada Laskar Sagara, kelompok yang mengacau saat eksekusi Bapu, kelompok yang ingin ia pastikan tak bers

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-09
  • Kronik Negeri Nusa   BAB 15: NATTARI

    Aula istana yang kosong bergema nyaring seiring bayang - bayang Nattari yang bergerak kesana kemari. Langit malam itu tak menghadiahkannya bulan maupun bintang, bahkan angin tak juga bertiup melewati lubang - lubang besar yang menghadap ke luar istana. Takhta di hadapannya tegak dan kokoh, di jaga dan di kelilingi pasukan penjaga, takhta itu tampak tak bergeming dan tak bisa digoyahkan. Nattari melihat takhta itu dengan jantung yang berdebar, liukan obor terpantul dari matanya yang bergetar. Dia mengingat saat mendiang kakaknya lah yang duduk di atas takhta berhiaskan giok itu, merasakan dan memikul segala masalah dan kesulitan yang di alami Kedatuan Malingga, dan orang - orang di dalamnya. Beberapa tahun mendatang akan menjadi giliran anaknya, Balaputra II. Nattari membayangkan apakah anak lelakinya itu akan memerintah pada masa dimana keadaan sudah kembali tenang seperti dahulu, sementara itu Antari... Malam semakin larut dan larut, Nattari tak kunjung meninggalkan

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-10

Bab terbaru

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 16: MADA

    "Mendekati pelabuhan Kedatuan Malingga!" seorang prajurit berteriak dari atas tiang pemantau kapal. Dari anjungan tempatnya berdiri sekarang, Mada dapat melihat formasi pegunungan Antaboga lebih dulu dari pada pelabuhan Malingga. Deru angin dan hempasan ombak membawa kapal layar yang ia tumpangi semakin dekat dan kian dekat pada bibir pantai. Pelayarannya ke Malingga nyaris tidak menghadapi hambatan apapun, kecuali mungkin kehadiran seorang penyelundup di kapalnya. Sosok asing yang entah akan mereka apakan. Tapi Mada juga menangkap ke anehan dari suara sang juru pantau di atas sana, berdiri menahan angin dengan pakaian yang berkibar, suaranya terdengar jauh lebih jelas daripada seharusnya. Seketika ia menyadari bahwa angin perlahan semakin pelan dan lambat laun, angin bahkan tak mampu mengibarkan pakaian sang juru pantau, dan jelas sekali tidak akan mampu mendorong layar kapal mereka hingga ke pelabuhan. Laut juga menjadi tenang, sangat tenang yang membuat Mada

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 15: NATTARI

    Aula istana yang kosong bergema nyaring seiring bayang - bayang Nattari yang bergerak kesana kemari. Langit malam itu tak menghadiahkannya bulan maupun bintang, bahkan angin tak juga bertiup melewati lubang - lubang besar yang menghadap ke luar istana. Takhta di hadapannya tegak dan kokoh, di jaga dan di kelilingi pasukan penjaga, takhta itu tampak tak bergeming dan tak bisa digoyahkan. Nattari melihat takhta itu dengan jantung yang berdebar, liukan obor terpantul dari matanya yang bergetar. Dia mengingat saat mendiang kakaknya lah yang duduk di atas takhta berhiaskan giok itu, merasakan dan memikul segala masalah dan kesulitan yang di alami Kedatuan Malingga, dan orang - orang di dalamnya. Beberapa tahun mendatang akan menjadi giliran anaknya, Balaputra II. Nattari membayangkan apakah anak lelakinya itu akan memerintah pada masa dimana keadaan sudah kembali tenang seperti dahulu, sementara itu Antari... Malam semakin larut dan larut, Nattari tak kunjung meninggalkan

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 14 : TAKSHA

    Kentongan kayu yang terpasang di menara balai desa mulai di bunyikan, suaranya menggema memecah langit pagi di pedesaan dan pedukuhan di wilayah timur Sagara. Matahari bahkan belum sepenuhnya terbangun, fajar baru saja datang membawa angin segar dan aroma dinginnya embun pagi, tapi penduduk telah berbondong keluar dari kediaman mereka, saling bergunjing sambil berjalan cepat menuju sang patih dan puluhan kesatria di belakangnya. Keributan pagi itu bukan tanpa alasan, Taksha sebagai Patih pemimpin wilayah timur telah memberi perintah untuk melakukan sidak dan pemeriksaan ke seluruh desa - desa dibawah kekuasaanya, dan ia tidak pernah berhenti berkuda kesana - kemari sejak subuh tadi.Kabar terbaru tentang pohon keramat di Madyapuri telah membuat kepalanya mendidih, dan baginya semua yang terjadi adalah ulah sebuah kelompok yang diam - diam merancang sabotase dan kudeta pada Laskar Sagara, kelompok yang mengacau saat eksekusi Bapu, kelompok yang ingin ia pastikan tak bers

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 13: MADA

    Angin meraung dari angkasa menerpa sekujur badan Mada dan mereka yang sedang sibuk di atas kapal layar. Raungan angin juga mengibarkan bendera harimau lambang kebesaran Laskar Sagara di tiang kapal tertinggi dan menghantam layar layar yang terkembang seiring kapal besar itu melaju di tengah hamparan samudra biru.Ombak saat itu cukup tinggi, air laut yang terus menerus menerjang terpantul oleh geladak kapal berbahan kayu nan keras, menghasilkan bunyi hantaman mengerikan disusul bunyi mirip hujan saat lompatan air laut berhasil menghujam dan membasahi bagian atas kapal, tempat dimana Mada sedang berdiri dan menatap horizon.Sudah sehari penuh Mada berlayar meninggalkan rumahnya di Madya Puri mengarungi lautan yang tidak menentu, berlayar menuju apa yang menurut Patih Jambha sebagai penentuan nasib kerajaan - kerajaan penghuni kepulauan Nusa. Mada tidak menyukai anggapan seperti itu, ia merasa seakan pundaknya diberi tambahan beban seberat 5 kali manusia dewasa.

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 12 : VISHAKA

    Sore itu para pejabat paling penting di Kedatuan Malingga sedang berkumpul, pejabat paling penting dalam hal ini berarti Sang Ratu, Vishaka sendiri selaku Dapunta, Ki Hasta selaku Dyaksha, dan Pendeta Ghana. Menurutnya kedua nama terakhir sebaiknya di coret dari pertemuan, baginya Ki Hasta memiliki kepentingan lain selain untuk Malingga dan Pendeta Ghana tidak mengerti apapun soal politik, tapi Maharatu Nattari beranggapan lain. Pertemuan mereka kali ini hampir berakhir, mereka telah membahas sesuatu yang tak bisa dihindari yakni perihal Patih yang dikirim oleh Laskar Sagara ke Malingga, tentunya tujuan kedatangan Patih itu sudah dapat diperkirakan Vishaka. Sekarang hanya masalah apakah Kedatuan Malingga mampu menghalangi apa yang menjadi tujuan Patih itu. Ibarat sebuah ombak besar yang datang dari Sagara, apakah Malingga akan tenggelam atau mampu bertahan, Dapunta Vishaka beranggapan hanya dirinyalah yang sanggup menangani masalah itu. "Dengan begi

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 11: MADA

    Peluh dingin mengucur dari tubuh Mada yang sedang tertidur pulas. Kepalanya bergerak gelisah di atas bantal yang berisikan kapuk, sebuah gambaran akan kejadian buruk yang terjadi belakangan terputar kembali dalam sebuah kilasan mimpi yang dialaminya. Kilasan tentang Bapu pamanya yang sudah tiada, memanggil - manggil namanya dan nama Lani dari balik jeruji dibawah Gedong Yama. Mimpinya lalu beralih pada saat dimana ia membantai para perompak, lalu pada warga pulau Uzon yang menyesali kematian mereka, menangisi kedatangan Mada yang begitu terlambat. Sebuah tepukan keras pada bahunya membuat mata Mada seketika terbuka, nafasnya tersengal melihat temanya Lyong berdiri di sebelah dipan tidurnya, "Mada! Bangunlah! Sesuatu yang gawat terjadi, beringin tua terbakar!" "Apa?" Setengah tubuh Mada masih tertidur. "Berdirilah! Seseorang telah membakar beringin tua di bukit! Kita harus bergegas, yang lain sedang berusaha memadankan apinya!" Lyong berteriak deng

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 10: NATTARI

    Nattari Amerta merasakan sedikit beban di pundaknya terlepas ketika melihat Balaputra, anaknya sekaligus putra mahkota Kedatuan Malingga duduk di dalam sebuah ruangan memanjang yang dipenuhi rak berbahan kayu berisi buku, lontar, dan gulungan. Dyaksha Ki Hasta duduk diseberang putranya sambil jarinya menunjuk kearah salah satu halaman pada buku yang sedang mereka baca. Orang tua itu mengenakan pakaian serba putih seperti biasanya tapi kali ini tampak lebih cemerlang, sementara tongkat kayunya tersandar di bahu.Ruangan itu diselimuti semerbak harum dupa yang ditancapkan pada sebuah altar persembahan bagi Isvati sang Dewi Pengetahuan. Ki Hasta sebenarnya tidak berkewajiban untuk mengajari putranya apapun, para guru pengajarlah yang seharusnya melakukan itu tapi Sinha berpendapat bahwa tidak ada orang yang lebih berpengetahuan di tanah Malingga saat ini selain sang Dyaksha."Balaputra anaku, Ibu harap kamu belajar banyak hal hari ini," ujar Nattari pada

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 9: SURA

    Arak - arakan kremasi sedang berjalan menuju Setra, sebuah lapangan luas yang berfungsi sebagai tempat pembakaran mayat para kesatria yang gugur. 3 mayat kesatria yang tewas di hutan Vanara ditempatkan dalam wadah dari bambu lalu digotong oleh puluhan kesateria lain. Mahapatih Sura ada diantara puluhan manusia yang mengiringi, ia berjalan paling depan bersama Mpu Mudita sang Mantri Keagamaan dan para pendeta lain. Rombongan berjalan dari Utama Puri menuju Setra yang ada di pinggir Madya Puri, sepanjang perjalanan mereka ditonton oleh para penduduk yang berduka. Sesampainya rombongan di Setra, mayat para kesatria langsung ditempatkan berjejer diatas gundukan kayu, Mpu Mudita dan para pendeta langsung memimpin ritual, mengucapkan mantra - mantra kuno untuk mempermudah perjalanan roh para mendiang menuju Satyaloka disaksikan oleh kesatria lain yang kini duduk bersila diatas padang rumput yang kering. Sura menyaksikan prosesi ritual itu dengan pik

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 8: NALA

    Para taruna saat itu sedang berada di pinggiran Hutan Vanara, berhektar - hektar lautan berwarna hijau yang terasa lembab, saking luasnya, hutan itu hampir menutupi seluruh wilayah selatan Sagara dan menghantui desa desa kecil disekitarnya. Nala dan keempat sahabatnya berada di antara puluhan taruna yang berusia 10 sampai 14 tahun, berkumpul di bagian luar hutan. Mereka dijadwalkan untuk latihan taktis hari ini. Mpu Merdah dan para guru serta pengawas lain juga hadir di sana, tapi yang membuat pertandingan kali ini spesial adalah kehadiran Patih Jambha penguasa wilayah selatan. Para taruna akan dibagi menjadi 2 kelompok yang masing - masing terdiri dari 30 orang. Kedua kelompok akan saling berhadapan di dalam wilayah hutan yang telah ditentukan. Untuk meraih kemenangan, salah satu kelompok harus berhasil merebut bendera dari markas kelompok lawan, sambil berusaha mempertahankan bendera sendiri mereka dari lawan. Mereka juga dibebaskan untuk memasang peran

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status