Share

BAB 2 : MADA

Author: Cicero
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Sebuah pohon beringin raksasa berdiri tegap di atas bukit, dahan dan rantingnya terbentang lebar seakan membentuk payung raksasa ditegah hamparan ilalang dan semak belukar. Saking besarnya, batang beringin itu sampai menutupi sebagian altar kuno yang didirikan di depanya. Mada sedang menikmati waktunya, duduk santai sambil bersandar di batang pohon beringin yang besarnya hampir menyamai rumah tempat tinggalnya itu.

Mada baru saja kembali dari tugas resmi keluar pulau dan bahkan belum sempat mengganti baju zirahnya yang terkena noda darah, tapi setidaknya Mada telah melepas pelindung kepala besi yang dipakai dan membiarkan rambutnya yang hitam pekat sepanjang bahu berkibar diterpa angin sepoi.

Ia menarik nafas dalam, Patih itu dapat mencium aroma khas dari dupa dan kemenyan persembahan yang diletakan pada altar disebelahnya, juga aroma dedaunan kering dan lumut yang menempel disana, bersantai di bawah naungan beringin keramat itu merupakan kebiasaanya sehabis melakukan kewajibanya sebagai kesatria Laskar Sagara.

Lokasi bukit tempat dimana beringin itu tumbuh terletak tepat ditengah pulau. Posisi yang membuat Mada hampir bisa memandang ke seantero pulau Sagara. Ia dapat melihat kota dan perkampungan dikejauhan, Hutan Vanara, dan kompleks kediaman para kesatria Laskar Sagara yang dinamai Madya Puri tepat dikaki bukit, juga tembok yang mengitari kompleks tersebut. Entah mengapa ia merasa beringin tua itu seakan memancarkan ketenangan yang selalu membuatnya betah, sesuatu yang Mada harapkan setelah 2 minggu bertempur melawan kelompok Perompak Lanun.

Keadaan tenang itu membuat pikiranya melayang ke masa lalu, Mada teringat dongeng yang sering diceritakan ayah dan ibunya sejak ia berusia 5 tahun, tentang peradaban Nusa zaman Dwi Yuga yang hilang ribuan tahun yang lalu. Dalam hati Mada bertanya - tanya apakah beringin tua ini sudah ada sejak masa itu atau pohon ini tumbuh setelah terjadinya Mahapralaya, saat kerajaan kerajaan baru mulai berdiri pada masa Tri Yuga. Ayahnya juga sering mendongeng tentang kisah - kisah heroik kesatria Laskar Sagara terdahulu. Mada tidak akan pernah menyangka 20 tahun kemudian akan menjadi bagian dari dongeng yang dia dengar sejak kecil, menjadi bagian dari Laskar Sagara.

Lamunan Mada seketika terhenti saat melihat sosok pria yang berlari kecil menanjak dari bawah bukit, awalnya Mada mengira dia akan berhenti di lapangan latihan memanah. Namun pria itu ternyata terus berlari keatas menuju ke arahnya, setelah diamati, Mada ternyata mengenali pria dengan rambut dikuncir dan menggendong busur panah berwarna merah itu. Dalam sekejap, Lyong, salah satu kesatria Laskar sampai dihadapanya.

Lyong langsung berlutut seraya menangkupkan tanganya dan memberi salam, dia kemudian perlahan mengangkat kepalanya, memperlihatkan bekas luka vertikal yang menggores mata kananya. "Salam Patih Mada, saya membawakan pesan penting dari Utama Puri," ucapnya.

Mada hendak memujinya karena tidak tampak lelah setelah berlari keatas bukit, tapi ucapan Lyong membuatnya  mengurungkan niat. "Pertama, kau tidak usah membungkuk dan bersikap formal seperti itu Lyong, Mahapatih tidak ada di sini untuk menegurmu," suara Mada terdengar berisi dan tegas.

Lyong perlahan berdiri, ia tampak menahan senyum di wajahnya, "Hamba hanyalah seorang pesuruh yang hina tuan, apalah artinya dibanding tuan Patih yang agung."

Mendengar ucapan itu Mada melemparkan tinju ke bahu Lyong seperti yang biasa ia lakukan saat pemanah Sagara itu mengejeknya. Mereka berdua kemudian tertawa kecil. Mada sudah mengenal Lyong sejak lama, mereka dulunya bergabung dengan Laskar Sagara di waktu yang bersamaan dan berakhir di Divisi yang sama saat mereka lulus menjadi kesatria seutuhnya.

"Jadi temanku Lyong, apa pesan yang kau bawakan?" tanya Mada dengan wajah malas, "Aku harap ini bukan tentang perompak lagi?" Mada belum rela lepas dari ketenangan di atas bukit itu, dia baru baru ini dilantik menjadi seorang Patih dan bertanggung jawab untuk memimpin Divisi Cakra, jabatan yang membuat waktunya bersantai semakin berkurang.

Senyuman di wajah Lyong perlahan memudar. "Sayangnya ini bukan masalah perompak lagi Mada, Mahapatih akan mengadakan rapat membahas beberapa hal nanti malam."

Mada mendesah setelah mendengar kalimat itu, jika ada hal yang tidak ia sukai dari Mahapatih Sura pemimpin mereka, itu adalah kecenderunganya mengadakan rapat mendadak. Setelah beberapa detik melakukan peregangan, dan mengucapkan perpisahan pada beringin tua, Mada perlahan berjalan menuruni bukit, hal terakhir yang dia inginkan adalah kemarahan Mahapatih karena terlambat hadir saat rapat. Lyong berjalan mengikutinya dibelakang.

"Bagaimana dengan kepala orang orang Lanun itu?" Mada bertanya tanpa menoleh.

"Sudah disingkirkan, semuanya dikremasi bersamaan, kenapa pula kita harus pulang membawa kepala sebanyak itu," jawab si pemanah heran.

"Usulan dari Mpu Kanda, beliau sepertinya mendapat tekanan dari kalangan pedagang, mereka ingin bukti bahwa perompak benar benar di tumpas seluruhnya," jawab Mada seraya melihat kota Glora di kejauhan, ia mengingat saat berlabuh tadi, saat warga bersorak dan petinggi Serikat Dagang Glora di temani Mpu Kanda mengucapkan terimakasih kepada Divisinya.

"Bukanya aku ingin lancang, tapi Patih Guraksha tidak hadir saat kedatangan kita tadi. Beliau adalah penguasa wilayah barat, dan itu termasuk kota Glora, seharusnya Patih Guraksha hadir memberi kita selamat," Lyong terdengar heran, tapi Mada tidak perduli.

"Yang aku inginkan adalah ketenangan...semakin banyak petinggi yang menyambut kita semakin lama kita harus berbincang dan bersalaman," ucapnya sambil mengeluarkan tawa seiring langkah mereka yang semakin mendekati Madya Puri.

Sesampainya di Madya Puri, Mada berpisah dengan temanya, sang Patih berjalan menuju sebuah rumah khusus Patih yang tampak lebih mewah dan luas dari rumah kesatria biasa, ia masuk melewati gerbang gapura berbahan bata merah dan menyapa dua orang pengawal yang menjaga kediamanya. Sebelum memasuki pintu rumah, ia menyempatkan diri untuk mengecek kudanya di kandang halaman belakang, lalu berjalan menuju sebuah altar kecil untuk bersembahyang, dalam hatinya ia mengucapkan syukur kepada Dewata dan para pendahulu Sagara.

***

Malam itu terasa ramai seperti biasanya, para kesatria dan anggota keluarga mereka tampak lalu lalang dijalanan yang diterangi tiang - tiang obor. Madya Puri adalah kompleks hunian bagi kesatria Laskar Sagara dengan luas mencapai 15 hektare, kompleks itu dibentuk menyerupai lingkaran besar mengelilingi Utama Puri atau istana utama yang terletak ditengahnya. Bangunan dan rumah rumah di sana tampak sederhana, semuanya terbuat dari kombinasi bata dan kayu dengan atap genteng dari tanah liat.

Mada keluar dari kediamanya, ia baru saja mengganti baju zirah yang dia kenakan dengan pakaian santai para patih, kombinasi kain batik dan selendang merah yang menutupi perut hingga lutut, hiasan kepala, kalung, dan gelang yang semuanya terbuat dari kuningan. Para pria yang lahir di Sagara tidak biasa mengenakan baju, namun lebih memilih bertelanjang dada memperlihatkan tubuh mereka yang kecokelatan seperti buah sawo. Para Patih khususnya diwajibkan menyelipkan sebilah keris di pinggang, sebuah belati dengan lekuk layaknya ular yang dibuat dari logam - logam langka dan di tempa secara khusus oleh Mpu Atri sang Mantri Seni Tempa dan Pahat.

Dalam perjalananya menuju Utama Puri, Mada melihat sebuah kereta kuda melaju menuju arah yang sama. Kereta dengan kompartemen kayu bercat hitam itu seketika menangkap perhatianya, ia menyadari itu adalah kereta tahanan dan Mada seketika diliputi rasa penasaran. Sang patih lalu berjalan mendekat kearah kereta hitam itu.

"Salam Patih!" Kusir kereta menyapanya seraya menghentikan laju kudanya. Mada kemudian menanyakan siapa gerangan sosok penjahat yang dia angkut, yang kemudian di balas si kusir, "Seorang pencuri beras dari desa Yawi di timur, tuan. Patih Taksha menangkapnya tadi siang atas pengaduan warga di sana."

Sesaat setelah si kusir bicara, kereta kuda itu tiba tiba berguncang, gedoran terdengar dari arah dalam kompartemen di mana pencuri itu ditahan, disusul teriakan permohonan ampun. "Saya tidak bersalah tuan! Saya tidak pernah mencuri! bebaskan saya!" Teriakan pencuri itu sangat keras dan membuat beberapa warga disana menoleh.

Seorang kesatria lain yang menunggang kuda muncul dari balik gelapnya malam, kesatria yang mengenakan baju zirah Laskar Sagara lengkap dengan tambahan pelindung lengan berwarna keemasan, dibelakangnya beberapa kesatria berkuda lain mengikuti. "Mada! Aku kira orang orang Lanun itu berhasil menenggelamkanmu!" Kesatria itu kemudian membuka pelindung kepalanya, menampakan rambut hitam pendek dan jambang hitam tebal mengelilingi wajah. Duduk diatas punggung kuda berwarna cokelat keemasan ternyata adalah Patih Taksha, pemimpin Divisi Bajra yang menguasai desa - desa di timur Sagara.

"Patih Taksha, anda tahu butuh lebih dari sekadar perompak untuk mengalahkan Divisi Cakra dari Laskar Sagara," Mada menjawab dengan nada bercanda, kedua Patih itu lalu bersalaman. Taksha adalah Patih senior yang sudah menjabat selama bertahun tahun. Cerita tentang kehebatan Taksha sebagai patih sudah tersebar di seantero Sagara, Mada bahkan menjadikan Taksha sebagai panutan semasa ia menjadi taruna.

"Sudah aku duga kau memang hebat dalam memimpin Mada, walau sedikit santai." Mada tidak tahu apa ia harus merasa senang atau sebaliknya mendengar ucapan itu, namun ia mampu memaksa dirinya tertawa yang kemudian diikuti Taksha, "Kau sebaiknya segera menuju Utama Puri, aku akan menyusul setelah mengurus tahanan ini," ujar Taksha sembari mengangguk.

Mada melihat kembali kearah kereta tahanan, "Mohon maaf, Patih Taksha, saya penasaran, siapa gerangan pencuri yang tertangkap itu."

"Kita akan membicarakanya nanti Patih Mada, saat rapat." jawab Taksha singkat yang membuat Mada sedikit heran, para Patih biasanya berbagi informasi terutama soal pelanggaran hukum dan sejenisnya.

Patih Taksha dan kereta tahanan yang di kawalnnya kembali bergerak. Mada mundur beberapa langkah untuk membiarkan kereta itu lewat, dan sekali lagi, penjahat di dalamnya menggedor dan berteriak memohon pengampunan yang membuat si kusir marah dan memaki, "Renuninglah nasibmu selagi bisa pencuri, aku tidak menjamin kau masih bernafas besok." Kusir itu lalu tertawa. Mendengar ucapan si kusir penjahat itu meraung, kali ini diselingi sedikit tangisan.

Anehnya, setelah mendengarkan lebih saksama, Mada merasa pernah mendengar suara tahanan itu sebelumnya, namun ia tidak bisa mengingat siapa.

Saat kereta tahanan itu menjauh, Mada perlahan melanjutkan perjalanan menuju lokasi rapat di Utama Puri namun pikiranya terganggu mengingat suara tahanan tadi. Kusir tadi menyebut desa Yawi, Mada dulunya menghabiskan masa kecilnya di sana sampai berusia 10 tahun, tapi ia tidak mengingat pernah mengenal satu orangpun yang kemungkinan menjadi pencuri, selain itu, desa Yawi juga dijuluki sebagai lumbung padi Sagara, sungguh mengherankan warga desa itu ada yang sampai mencuri beras ditengah lautan sawah yang ada.

Setelah beberapa menit berjalan melewati jalanan yang diaspal dengan bebatuan dan kerikil, Mada akhirnya sampai di Utama Puri, pusat pemerintahan Laskar Sagara. Kompleks istana itu tidak terlalu megah jika dibandingkan dengan istana yang ada di kerajaan lain.

Utama Puri terdiri dari bangunan atau Gedong yang terpisah sesuai kegunaan dan fungsinya masing masing yang hampir semuanya berbahan batu paras putih dan terpahat dengan indah dilengkapi tiang penyangga berbahan kayu jati, areal itu dikelilingi tembok setinggi 10 meter berbentuk persegi dengan akses masuk berupa gapura putih yang di pahat dengan ukiran berbentuk harimau.

Mada berjalan melewati gapura tersebut dan berpapasan dengan beberapa penjaga yang langsung memberi hormat, "Mahapatih dan pejabat lain menunggu di Gedong Saddharma."

Mada mengangguk dan mengucapkan terimakasih kepada para penjaga itu lalu berjalan menuju, Gedong Saddharma, sebuah bangunan ditengah Utama Puri yang dikhuskan untuk pertemuan dan rapat.

Perjalananya terhenti ketika melihat Patih Taksha yang baru keluar dari Gedong Yama yang merupakan sebuah penjara bawah tanah di pojok Utama Puri. Patih Taksha nampaknya telah menempatkan penjahat tadi di bawah sana. Mada merasa bimbang, sesuatu mendorongnya untuk mengunjungi Gedong Yama tersebut, tingkah Patih Taksha sebelumnya membuatnya sedikit curiga, tapi disisi lain ia juga tidak ingin terlambat menghadiri rapatnya. Pada akhirnya rasa penasaran mengalahkanya.

'Aku hanya akan menengok dan segera kembali,' pikir Mada, ia memutuskan bersembunyi dibalik batang sebuah pohon kepuh besar, menunggu hingga Patih Taksha menuju Gedong Saddharma lokasi rapat mereka. Saat Patih Taksha sudah menghilang dari pandangan, Mada bergegas menuju penjara itu, ia mendapati dua orang pengawal sedang berjaga di gerbang masuk yang dengan mudah dapat dilewati Mada karena jabatan yang dimilikinya.

Mada masuk kedalam area Gedong Yama, sebuah ruangan yang kosong dan hanya diterangi oleh dua buah obor. Langkahnya lalu menyusuri tangga yang terletak tepat di ujung ruangan dan mengarah langsung menuju ruangan bawah tanah yang terasa lembab. Sang Patih berusaha mengacuhkan bau apak disekelilingnya, matanya memeriksa dan melihat beberapa kurungan besi yang mengkarat saling berhadapan, ia melihat semuanya kosong kecuali satu kurungan.

Di dalam kurungan sempit itu Mada melihat seorang pria meringkuk membelakanginya, orang itu tampak tua dan kurus, "Si pencuri," ucapnya dalam diam.

Mada mendengar pencuri itu menangis tersedu, dilihat dari posturnya ia merasa tidak mengenali pencuri tersebut, sampai saat tiba tiba pencuri itu membalikan badan, menatap lurus kearahnya, lalu melotot.

"Mada, kaukah itu !?" pencuri itu berteriak, orang tua itu membelalak seketika, ia lalu bangun dan mencoba merangkul Mada namun jeruji besi menghalangi niatnya.

Setelah diperhatikan lebih lama , Mada akhirnya tersadar, sosok mengenaskan itu adalah paman Bapu, seorang juragan padi di desa Yawi, pria itu adalah sahabat orang tuanya, dan orang yang mengasuhnya semenjak ayah dan ibunya meninggal.

Paman Bapu terlihat sangat berbeda dengan orang yang dia kenal bertahun tahun lalu, ia tak habis pikir bagaimana seorang juragan beras sepertinya, berakhir di dalam kurungan Gedong Yama. Rasa bingung melanda pikiran Mada, bagaimana bisa seorang yang dulunya terhormat dan mulia berakhir menjadi pencuri. Ia ingat masa lalu saat bermain di persawahan milik Bapu, saat Bapu mengajarinya membajak sawah, saat ia dan anak perempuan Bapu yang bernama Lani bermain bersama.

"Apa yang terjadi padamu paman? Bagaimana keadaan Lani? Kau memiliki sawah yang luas, tak mungkin kau mencuri beras kan?" Mada memberondongnya dengan pertanyaan, yang hanya dibalas dengan gelengan kepala Bapu.

"Ceritakan padaku kejadian sebenarnya paman, aku akan berusaha meminta pengampunan pada Mahapatih." Mada berujar dengan panik, ia ingin membantu pamanya itu.

Bapu terdiam dan tampak hancur, dia kemudian berbicara dengan suara yang menyayat, "Aku kehilangan hartaku dalam perjudian nak, aku mempertaruhkan dan kehilangan segalanya."

Mada tidak menyangka akan mendengar hal itu, bagaimana mungkin? Paman Bapu yang dia kenal dahulu merupakan seorang yang baik hati, orang tua Mada dahulu bekerja di sawah Bapu dan selalu memperlakukan mereka dengan baik, ia lalu menggenggam tangan Bapu, "Katakan bahwa kau tidak melakukan pencurian itu paman Bapu, tatap aku! Aku bisa membantumu keluar dari sini."

Pria tua itu melepaskan tangan Mada, dan berbalik, "Aku memang melakukanya, nak," ujarnya sembari menunduk, "Aku sudah melakukan banyak hal tak terpuji selama ini."

Keheningan hadir sesaat Gedong Yama, Bapu termenung, dia tampak sudah pasrah dengan keadaan, sesaat kemudian ia membuka mulut lalu berbicara dengan pelan, sesuatu yang membuat Mada kehilangan rasa iba, "Aku juga menjual Lani pada para penyamun di kota Glora," ucap Bapu lirih, air matanya mengucur deras.

Seketika perasaan Mada bak tersambar petir, Lani? Dijual pada para penyamun? Ingatan perlahan membanjiri kepala Mada, ia mengingat Lani temanya, sebagai gadis manis yang mewarnai masa kecilnya, gadis dengan wajah bulat yang selalu kotor oleh lumpur sawah dan mata cokelat berbinar.

Lani suka menyanyi, Mada ingat gadis itu selalu bernyanyi riang mengikuti irama seruling yang dimainkan Mada saat ia mengembala sapi dulu. Mada tidak percaya apa yang di dengarnya, ia perlahan bergerak mundur, rasa marah menumpuk dalam hatinya, ia lalu memalingkan badan berusaha menenangkan amarah, "Mengapa paman? mengapa kau sampai menjual Lani?"

"Aku tak punya pilihan saat itu nak, aku jatuh miskin, aku..." Bapu terus berbicara, namun Mada sudah diliputi amarah, ia menatap tembok gelap dihadapanya dengan intens, tanganya terkepal erat.

Sang Patih lalu berjalan menaiki tangga dengan langkah berat, dia berniat meninggalkan Bapu sebelum suara lirih Bapu menghentikanya, "Nak, tolong sampaikan permintaan maafku pada Lani, tolong sampaikan penyesalanku nak, dia ada di kota Glora," ujar paman Bapu penuh penyesalan, dari balik penjara itu Bapu bersujud menyentuh lantai yang becek.

Mendengar ucapan itu membuat Mada berhenti sejenak, pikiranya berkecamuk, ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan, perlahan Mada mendapati dirinya melangkahkan kakinya kembali menaiki tangga, keluar Gedong Yama dan menembus malam yang bermandi cahaya bulan menuju Gedong Saddharma.

Setelah memasuki pintu gebyog, sebuah pintu dari kayu jati yang berukir di Gedong Saddharma, ia mendapati beberapa Patih antara lain, Guraksha, Jambha, Taksha, dan Bahula, sedang duduk berjejer disebuah meja kayu yang memanjang, sementara duduk dengan tenang disisi lain meja, adalah seorang Dhyaksa, sosok sepuh berpakaian serba putih yang menghabiskan hidup mereka menimba ilmu nun jauh di Nalanda, kaum mereka ditunjuk sebagai penasihat para penguasa di Nusa sejak ratusan tahun lalu.

Lalu diujung meja, duduk disebuah kursi yang tampak lebih besar dari kursi lainya, sesosok pria berambut gondrong keperakan  dengan usia sudah 60 tahun tapi memiliki kondisi fisik yang seakan menolak fakta itu, tubuhnya bugar dan masih dipenuhi otot. Matanya berwarna kelabu dengan sorot yang tajam menatap kearah Mada, pria itu mengenakan mahkota keemasan yang menutupi sebagian kepalanya, sementara tubuhnya hanya dihiasi beberapa kalung dan gelang berbahan emas yang terpasang di lengan dan tangam. Kain batik dan selendang berwarna merah terlilit menutupi perut hingga lututnya yang penuh luka. Sosok itu adalah Mahapatih Sura, penguasa Sagara dan pemimpin para Patih.

***

Related chapters

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 3: SURA

    Mahapatih Sura tidak menunjukan raut wajah ramah seperti biasa, malam itu ia sedang duduk disebuah kursi kayu jati di dalam Gedong Saddharma yang diterangi cahaya obor. Berkumpul diruangan itu adalah para Patih yang sedang duduk berjejer di sebelah kanan meja berbentuk persegi panjang, sedangkan disisi meja yang berlawanan, duduk dalam diam, seorang Dyaksha tua yang selalu membisikinya nasihat dan wejangan. Siang tadi ia telah menerima surat dari wilayah perkampungan di timur, pedesaan Yawi tepatnya. Tempat dimana sebagian beras di pulau Sagara ini berasal. Patih Taksha rupanya berhasil menangkap pencuri berantai yang telah meresahkan penduduk timur selama berminggu - minggu. Sura merasa senang, tentu saja, seorang kriminal berhasil tertangkap. Namun disisi lain ia juga khawatir, ini sudah kesekian kalinya anggota Laskar mengangkap penjahat entah itu pencuri, pemerkosa, atau pembunuh dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Dahulu mereka biasanya hanya menangk

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 4: NATTARI

    "Ratu! Ratu!" Seorang pria berusia 50 tahun berteriak dan berlari melintasi lorong yang dinding - dindingnya dihiasi relief berbagai macam bentuk. Kain tenunan yang ia kenakan sebagai bawahan berkibar seiring langkah cepatnya sementara hiasan emas yang melubangi daun telinganya bergoyang seiring kepalanya yang celingukan. Pria itu menuju sebuah taman yang ada disebelah bangunan berbentuk stupa kemerahan setinggi 4 meter. Taman itu bermandikan cahaya dan dipenuhi tanaman bunga warna warni, terlihat jelas mereka yang tinggal istana itu benar - benar memberi perawatan yang terbaik. Maharatu Nattari Amerta melirik pria itu dari jauh. Dia mengenali sosok pria tersebut, seorang Dapunta mereka biasa memanggilnya, sebuah jabatan di Kedatuan Malingga yang berfungsi sebagai tangan kanan penguasa, Dapunta itu bernama Vishaka Amerta, yang juga adalah paman dari Maharatu Nattari. Tapi Maharatu pura - pura tidak menden

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 5: TAKSHA

    3 hari telah berlalu sejak rapat terakhir para Patih, selama 3 hari pula Taksha telah menanti saat dimana ia pada akhirnya akan mengeksekusi Bapu si pencuri. Patih berambut hitam pendek dan kumis tipis itu sudah tidak sabar mengayunkan pedangnya dihadapan penduduk Yawi yang akan menyorakan namanya, dan para penjahat yang akan meringkuk ketakutan setiap mendengar namanya. Taksha telah mengatur segala persiapan untuk memindahkan Bapu dari Madya Puri menuju Yawi, juga mengirimkan seekor elang pembawa pesan pada pasukan divisinya di sana, semua berjalan dengan baik sampai - sampai ia melupakan masalahnya dengan Patih Mada temanya. Taksha belum pernah berbicara dengan Mada sejak perdebatan terakhir mereka di Utama Puri, ia bahkan tidak pernah melihatnya lagi sejak kemarin, sekali ia mendatangi Lyong, wakil kepercayaan Mada, namun kesatria itu mengatakan Patih nya sedang menuju kota Glora entah untuk alasan apa, sangat disayangkan jika sampai Mada mengabaikan kehormatanya

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 6: VISHAKA

    Lantai yang dilapisi marmer warna - warni, tembok putih yang tertutup permadani terbaik, deretan jendela raksasa yang menghadap taman istana di satu sisi sementara pemandangan Teluk Malka disisi yang lain, aula utama yang berada di dalam istana Malingga merupakan sebuah ruangan besar yang akan membuat mata siapapun terbelalak. Di dalam aula yang disusupi cahaya matahari sore tersebut, Dapunta Vishaka duduk di sebuah kursi jati yang dihiasi kain beludru, sebuah kursi yang telah ia duduki selama puluhan tahun menjadi Dapunta, tangan kanan kepercayaan Raja dan Ratu Kedatuan Malingga. Ia memandangi sebuah singgasana yang berjarak beberapa jengkal disebelahnya, terletak diatas lantai yang lebih tinggi sesuai dengan kedudukan orang yang bertakhta di atasnya, berhiaskan ukiran dari perak yang berkilau dan batu giok yang indah. Singgasana yang diperuntukan bagi Maharaja Malingga...atau Maharatu khusus beberapa tahun belakangan. Dihadapanya sedang berlutut seorang pria, sosok

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 7: MADA

    Tradisi, kehormatan, harga diri, semuanya tak berarti apa - apa di kota seperti Glora, itulah yang selalu ada dalam benak Patih Mada setiap ia berkunjung ke kota dagang tersebut. Mada baru saja datang dari arah Madya Puri dan memasuki kota itu melewati gapura timur. Langkahnya mengarah langsung menuju bagian kota mengenaskan yang bernama 'Distrik Pelesir'. Mada saat itu menyamarkan dirinya dengan sebuah jubah lapuk lengkap dengan kerudung, ia juga menanggalkan atribut Patihnya dan hanya menyisakan keris yang terselip di pinggang untuk jaga - jaga.Sebagai seorang patih yang terhormat Mada tak ingin terlihat berada di kawasan itu, kawasan yang berbanding terbalik dengan ajaran dan prinsip Laskar Sagara.Rumah bordil, warung - warung minum, para pedagang arak dan tuak bertebaran kemanapun matanya memandang, sementara udara dipenuhi aroma alkohol dan wangi pembakaran kemenyan , dulunya Laskar Sagara melarang adanya tempat - tempat kotor seperti itu, namun Patih Gura

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 8: NALA

    Para taruna saat itu sedang berada di pinggiran Hutan Vanara, berhektar - hektar lautan berwarna hijau yang terasa lembab, saking luasnya, hutan itu hampir menutupi seluruh wilayah selatan Sagara dan menghantui desa desa kecil disekitarnya. Nala dan keempat sahabatnya berada di antara puluhan taruna yang berusia 10 sampai 14 tahun, berkumpul di bagian luar hutan. Mereka dijadwalkan untuk latihan taktis hari ini. Mpu Merdah dan para guru serta pengawas lain juga hadir di sana, tapi yang membuat pertandingan kali ini spesial adalah kehadiran Patih Jambha penguasa wilayah selatan. Para taruna akan dibagi menjadi 2 kelompok yang masing - masing terdiri dari 30 orang. Kedua kelompok akan saling berhadapan di dalam wilayah hutan yang telah ditentukan. Untuk meraih kemenangan, salah satu kelompok harus berhasil merebut bendera dari markas kelompok lawan, sambil berusaha mempertahankan bendera sendiri mereka dari lawan. Mereka juga dibebaskan untuk memasang peran

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 9: SURA

    Arak - arakan kremasi sedang berjalan menuju Setra, sebuah lapangan luas yang berfungsi sebagai tempat pembakaran mayat para kesatria yang gugur. 3 mayat kesatria yang tewas di hutan Vanara ditempatkan dalam wadah dari bambu lalu digotong oleh puluhan kesateria lain. Mahapatih Sura ada diantara puluhan manusia yang mengiringi, ia berjalan paling depan bersama Mpu Mudita sang Mantri Keagamaan dan para pendeta lain. Rombongan berjalan dari Utama Puri menuju Setra yang ada di pinggir Madya Puri, sepanjang perjalanan mereka ditonton oleh para penduduk yang berduka. Sesampainya rombongan di Setra, mayat para kesatria langsung ditempatkan berjejer diatas gundukan kayu, Mpu Mudita dan para pendeta langsung memimpin ritual, mengucapkan mantra - mantra kuno untuk mempermudah perjalanan roh para mendiang menuju Satyaloka disaksikan oleh kesatria lain yang kini duduk bersila diatas padang rumput yang kering. Sura menyaksikan prosesi ritual itu dengan pik

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 10: NATTARI

    Nattari Amerta merasakan sedikit beban di pundaknya terlepas ketika melihat Balaputra, anaknya sekaligus putra mahkota Kedatuan Malingga duduk di dalam sebuah ruangan memanjang yang dipenuhi rak berbahan kayu berisi buku, lontar, dan gulungan. Dyaksha Ki Hasta duduk diseberang putranya sambil jarinya menunjuk kearah salah satu halaman pada buku yang sedang mereka baca. Orang tua itu mengenakan pakaian serba putih seperti biasanya tapi kali ini tampak lebih cemerlang, sementara tongkat kayunya tersandar di bahu.Ruangan itu diselimuti semerbak harum dupa yang ditancapkan pada sebuah altar persembahan bagi Isvati sang Dewi Pengetahuan. Ki Hasta sebenarnya tidak berkewajiban untuk mengajari putranya apapun, para guru pengajarlah yang seharusnya melakukan itu tapi Sinha berpendapat bahwa tidak ada orang yang lebih berpengetahuan di tanah Malingga saat ini selain sang Dyaksha."Balaputra anaku, Ibu harap kamu belajar banyak hal hari ini," ujar Nattari pada

Latest chapter

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 16: MADA

    "Mendekati pelabuhan Kedatuan Malingga!" seorang prajurit berteriak dari atas tiang pemantau kapal. Dari anjungan tempatnya berdiri sekarang, Mada dapat melihat formasi pegunungan Antaboga lebih dulu dari pada pelabuhan Malingga. Deru angin dan hempasan ombak membawa kapal layar yang ia tumpangi semakin dekat dan kian dekat pada bibir pantai. Pelayarannya ke Malingga nyaris tidak menghadapi hambatan apapun, kecuali mungkin kehadiran seorang penyelundup di kapalnya. Sosok asing yang entah akan mereka apakan. Tapi Mada juga menangkap ke anehan dari suara sang juru pantau di atas sana, berdiri menahan angin dengan pakaian yang berkibar, suaranya terdengar jauh lebih jelas daripada seharusnya. Seketika ia menyadari bahwa angin perlahan semakin pelan dan lambat laun, angin bahkan tak mampu mengibarkan pakaian sang juru pantau, dan jelas sekali tidak akan mampu mendorong layar kapal mereka hingga ke pelabuhan. Laut juga menjadi tenang, sangat tenang yang membuat Mada

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 15: NATTARI

    Aula istana yang kosong bergema nyaring seiring bayang - bayang Nattari yang bergerak kesana kemari. Langit malam itu tak menghadiahkannya bulan maupun bintang, bahkan angin tak juga bertiup melewati lubang - lubang besar yang menghadap ke luar istana. Takhta di hadapannya tegak dan kokoh, di jaga dan di kelilingi pasukan penjaga, takhta itu tampak tak bergeming dan tak bisa digoyahkan. Nattari melihat takhta itu dengan jantung yang berdebar, liukan obor terpantul dari matanya yang bergetar. Dia mengingat saat mendiang kakaknya lah yang duduk di atas takhta berhiaskan giok itu, merasakan dan memikul segala masalah dan kesulitan yang di alami Kedatuan Malingga, dan orang - orang di dalamnya. Beberapa tahun mendatang akan menjadi giliran anaknya, Balaputra II. Nattari membayangkan apakah anak lelakinya itu akan memerintah pada masa dimana keadaan sudah kembali tenang seperti dahulu, sementara itu Antari... Malam semakin larut dan larut, Nattari tak kunjung meninggalkan

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 14 : TAKSHA

    Kentongan kayu yang terpasang di menara balai desa mulai di bunyikan, suaranya menggema memecah langit pagi di pedesaan dan pedukuhan di wilayah timur Sagara. Matahari bahkan belum sepenuhnya terbangun, fajar baru saja datang membawa angin segar dan aroma dinginnya embun pagi, tapi penduduk telah berbondong keluar dari kediaman mereka, saling bergunjing sambil berjalan cepat menuju sang patih dan puluhan kesatria di belakangnya. Keributan pagi itu bukan tanpa alasan, Taksha sebagai Patih pemimpin wilayah timur telah memberi perintah untuk melakukan sidak dan pemeriksaan ke seluruh desa - desa dibawah kekuasaanya, dan ia tidak pernah berhenti berkuda kesana - kemari sejak subuh tadi.Kabar terbaru tentang pohon keramat di Madyapuri telah membuat kepalanya mendidih, dan baginya semua yang terjadi adalah ulah sebuah kelompok yang diam - diam merancang sabotase dan kudeta pada Laskar Sagara, kelompok yang mengacau saat eksekusi Bapu, kelompok yang ingin ia pastikan tak bers

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 13: MADA

    Angin meraung dari angkasa menerpa sekujur badan Mada dan mereka yang sedang sibuk di atas kapal layar. Raungan angin juga mengibarkan bendera harimau lambang kebesaran Laskar Sagara di tiang kapal tertinggi dan menghantam layar layar yang terkembang seiring kapal besar itu melaju di tengah hamparan samudra biru.Ombak saat itu cukup tinggi, air laut yang terus menerus menerjang terpantul oleh geladak kapal berbahan kayu nan keras, menghasilkan bunyi hantaman mengerikan disusul bunyi mirip hujan saat lompatan air laut berhasil menghujam dan membasahi bagian atas kapal, tempat dimana Mada sedang berdiri dan menatap horizon.Sudah sehari penuh Mada berlayar meninggalkan rumahnya di Madya Puri mengarungi lautan yang tidak menentu, berlayar menuju apa yang menurut Patih Jambha sebagai penentuan nasib kerajaan - kerajaan penghuni kepulauan Nusa. Mada tidak menyukai anggapan seperti itu, ia merasa seakan pundaknya diberi tambahan beban seberat 5 kali manusia dewasa.

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 12 : VISHAKA

    Sore itu para pejabat paling penting di Kedatuan Malingga sedang berkumpul, pejabat paling penting dalam hal ini berarti Sang Ratu, Vishaka sendiri selaku Dapunta, Ki Hasta selaku Dyaksha, dan Pendeta Ghana. Menurutnya kedua nama terakhir sebaiknya di coret dari pertemuan, baginya Ki Hasta memiliki kepentingan lain selain untuk Malingga dan Pendeta Ghana tidak mengerti apapun soal politik, tapi Maharatu Nattari beranggapan lain. Pertemuan mereka kali ini hampir berakhir, mereka telah membahas sesuatu yang tak bisa dihindari yakni perihal Patih yang dikirim oleh Laskar Sagara ke Malingga, tentunya tujuan kedatangan Patih itu sudah dapat diperkirakan Vishaka. Sekarang hanya masalah apakah Kedatuan Malingga mampu menghalangi apa yang menjadi tujuan Patih itu. Ibarat sebuah ombak besar yang datang dari Sagara, apakah Malingga akan tenggelam atau mampu bertahan, Dapunta Vishaka beranggapan hanya dirinyalah yang sanggup menangani masalah itu. "Dengan begi

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 11: MADA

    Peluh dingin mengucur dari tubuh Mada yang sedang tertidur pulas. Kepalanya bergerak gelisah di atas bantal yang berisikan kapuk, sebuah gambaran akan kejadian buruk yang terjadi belakangan terputar kembali dalam sebuah kilasan mimpi yang dialaminya. Kilasan tentang Bapu pamanya yang sudah tiada, memanggil - manggil namanya dan nama Lani dari balik jeruji dibawah Gedong Yama. Mimpinya lalu beralih pada saat dimana ia membantai para perompak, lalu pada warga pulau Uzon yang menyesali kematian mereka, menangisi kedatangan Mada yang begitu terlambat. Sebuah tepukan keras pada bahunya membuat mata Mada seketika terbuka, nafasnya tersengal melihat temanya Lyong berdiri di sebelah dipan tidurnya, "Mada! Bangunlah! Sesuatu yang gawat terjadi, beringin tua terbakar!" "Apa?" Setengah tubuh Mada masih tertidur. "Berdirilah! Seseorang telah membakar beringin tua di bukit! Kita harus bergegas, yang lain sedang berusaha memadankan apinya!" Lyong berteriak deng

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 10: NATTARI

    Nattari Amerta merasakan sedikit beban di pundaknya terlepas ketika melihat Balaputra, anaknya sekaligus putra mahkota Kedatuan Malingga duduk di dalam sebuah ruangan memanjang yang dipenuhi rak berbahan kayu berisi buku, lontar, dan gulungan. Dyaksha Ki Hasta duduk diseberang putranya sambil jarinya menunjuk kearah salah satu halaman pada buku yang sedang mereka baca. Orang tua itu mengenakan pakaian serba putih seperti biasanya tapi kali ini tampak lebih cemerlang, sementara tongkat kayunya tersandar di bahu.Ruangan itu diselimuti semerbak harum dupa yang ditancapkan pada sebuah altar persembahan bagi Isvati sang Dewi Pengetahuan. Ki Hasta sebenarnya tidak berkewajiban untuk mengajari putranya apapun, para guru pengajarlah yang seharusnya melakukan itu tapi Sinha berpendapat bahwa tidak ada orang yang lebih berpengetahuan di tanah Malingga saat ini selain sang Dyaksha."Balaputra anaku, Ibu harap kamu belajar banyak hal hari ini," ujar Nattari pada

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 9: SURA

    Arak - arakan kremasi sedang berjalan menuju Setra, sebuah lapangan luas yang berfungsi sebagai tempat pembakaran mayat para kesatria yang gugur. 3 mayat kesatria yang tewas di hutan Vanara ditempatkan dalam wadah dari bambu lalu digotong oleh puluhan kesateria lain. Mahapatih Sura ada diantara puluhan manusia yang mengiringi, ia berjalan paling depan bersama Mpu Mudita sang Mantri Keagamaan dan para pendeta lain. Rombongan berjalan dari Utama Puri menuju Setra yang ada di pinggir Madya Puri, sepanjang perjalanan mereka ditonton oleh para penduduk yang berduka. Sesampainya rombongan di Setra, mayat para kesatria langsung ditempatkan berjejer diatas gundukan kayu, Mpu Mudita dan para pendeta langsung memimpin ritual, mengucapkan mantra - mantra kuno untuk mempermudah perjalanan roh para mendiang menuju Satyaloka disaksikan oleh kesatria lain yang kini duduk bersila diatas padang rumput yang kering. Sura menyaksikan prosesi ritual itu dengan pik

  • Kronik Negeri Nusa   BAB 8: NALA

    Para taruna saat itu sedang berada di pinggiran Hutan Vanara, berhektar - hektar lautan berwarna hijau yang terasa lembab, saking luasnya, hutan itu hampir menutupi seluruh wilayah selatan Sagara dan menghantui desa desa kecil disekitarnya. Nala dan keempat sahabatnya berada di antara puluhan taruna yang berusia 10 sampai 14 tahun, berkumpul di bagian luar hutan. Mereka dijadwalkan untuk latihan taktis hari ini. Mpu Merdah dan para guru serta pengawas lain juga hadir di sana, tapi yang membuat pertandingan kali ini spesial adalah kehadiran Patih Jambha penguasa wilayah selatan. Para taruna akan dibagi menjadi 2 kelompok yang masing - masing terdiri dari 30 orang. Kedua kelompok akan saling berhadapan di dalam wilayah hutan yang telah ditentukan. Untuk meraih kemenangan, salah satu kelompok harus berhasil merebut bendera dari markas kelompok lawan, sambil berusaha mempertahankan bendera sendiri mereka dari lawan. Mereka juga dibebaskan untuk memasang peran

DMCA.com Protection Status