Bab111
Gaby gelisah, menunggu Rumi di depan rumahnya datang.
"Kemana anak itu," lirih Gaby.
Wanita itu gemetar hebat, kala mendapati kirim paket pagi tadi, yang isinya, ada foto dirinya, dengan lumuran darah di dalam sebuah kotak kecil.
Dan sebuah tulisan, bernada penuh ancaman.
"Sebentar lagi, nasibmu seperti foto ini."
Gaby bingung, harus bicara pada siapa? Sedangkan Melin tidak ada di rumahnya. Semenjak pertikaiannya beberapa hari yang lalu.
Melin dan Parwira, memutuskan untuk ke kampung halaman Melin. Sedangkan Andre, memilih untuk menyewa apartemen dekat kantornya.
Andre merasa malu pada Gaby, karena ketahuan berselingkuh dari Harumi.
*****
Melihat Rumi datang, dengan menumpangi taksi kota. Hati Gaby sedikit lega, meskipun pikirannya masih dalam keadaan tidak tenang.
Rumi membuka paga
Bab112Masa-masa indah itu telah sirna bagi Gaby. Bayangan kebahagian di masa tua, juga tidak ada sama sekali.Kedatangan Rumi di hidupnya, tidak juga mampu membangkitkan semangat.Gaby tetap merasa hampa, dan semakin tidak tenang.***********"Mah, Rumi mau keluar ya hari ini, ada urusan," kata Rumi dengan santai."Jangan lama-lama, ya.""Hhmmm." Rumi menanggapi dengan sikap acuh tak acuh, sembari menegak susu dalam gelas, yang tersedia di meja makan."Makan rotinya, Nak!" seru Gaby."Nanti saja, Rumi nggak napsu," ungkap Rumi sembari bangkit, dan berlalu begitu saja.Gaby menarik napas berat, kemudian dia merasakan rindu yang mendalam pada Harumi.Rumi dan Harumi, memang memiliki kepribadian yang sangat berbeda. Jika Harumi lembut dan sopan.
Bab113 "Mamah ngapain?" ulang Rumi dengan tatapan dingin. Gaby gemetar, dan menatap Rumi. "Rumi, ini milik kamu?" tanya Gaby, sambil berusaha bangkit dari duduknya di lantai tadi. "Mamah ngapain? Jawab aku!" teriak Rumi dengan suara keras, membuat Gaby sangat terkejut. Rumi menatap tajam wajah Gaby, tatapan tajam dipenuhi dengan emosi. "Mamah rindu dengan Harumi, makanya Mamah masuk ke kamar ini. Niatnya, Mamah pengen mengambil baju Rumi. Tapi, malah dapat itu," jelas Gaby dengan suara bergetar. Bukan hanya suara, tubuhnya pun sama. Perasaan Gaby tidak nyaman, mendapati tatapan tajam mematikan dari mata Rumi. "Lancang!" kata Rumi, sambil berjalan, dan mendorong keras kepala Gaby, hingga membentur ke arah kaca lemari baju Harumi, yang terletak di depan Gaby berdiri. Prannggg .... pecahan kaca, diikuti dengan darah yang mengalir, di kepala Gaby. "Ya Allah," pekik Gaby kesakitan. "Dengar kau p
Bab114"Mamah nggak ada," sahut Rumi."Kemana? Sudah lama?""Ketempat Tante Ganesa! Saudara kembar Mamah. Sudah kan? Aku mau tidur," kata Rumi dengan tatapan malas.Andre pun mengangguk, dan berjalan menuju rumahnya.Rumi kembali menutup, dan mengunci daun pintu. Ia kembali ke gudang belakang, menemui Gaby."Mamah, bagaimana, kalau kita bermain-main dulu?" tawar Rumi, sambil mengeluarkan sebuah silet, dari dalam dompetnya.***********"Andre, ada mertua kamu di rumahnya?" tanya Melin, sambil menyandarkan diri di sofa."Nggak ada, Mah. Kata Rumi, Mamah Gaby keluar.""Tumben. Kemana katanya?"Andre menggendikkan bahu. "Nggak tahu. Andre ngantuk dan capek," ungkap Andre, sembari berjalan menuju pintu kamarnya."Assalamuallaik
Bab115"Hallo Mamah," sapa Rumi sambil terkekeh, melihat ke arah Gaby, yang masih terikat diatas kursi.Gaby menatap Rumi dengan kuyu, tenaganya tidak lagi banyak. Untuk mengangkat wajah saja, Gaby merasa tidak memiliki kekuatan.Rumi melirik ke arah jam tangannya. Dan mengeluarkan beberapa pil, yang sedari tadi di pegangnya."Mamah, maafkan aku," bisik Rumi, mendekat ke arah Gaby.Gaby waspada, namun Rumi langsung mencengkar kedua pipi Gaby, dan membuka penutup mulut. Kemudian, Gaby memaksakan beberapa pil itu, masuk ke dalam mulut Gaby.Gaby terbatuk, namun Rumi kembali menyokongnya dengan air putih. Setelah memastikan semua pil itu tertelan, Rumi kembali terkekeh dan menatap tajam wajah Gaby yang semakin melemah."Bagaimana rasanya melahirkan seorang monster, Mah? Mengerikan bukan?" ucap Rumi sambil tersenyum. "Mamah yang
Bab116"Keponakan?" lirih Ganesa."Kemarilah Tante Ganesa! Temui aku. Atau, anak kesayangan Tante ini, akan aku jatuhkan dari jurang!" ancam Rumi."Jurang? Jangan gila kamu, Rumi. Dimana posisi kamu sekarang? Aku akan segera datang," pekik Ganesa."Ditengah hutan jalan Sido. Ikuti jalan setapak, dan Tante, harus datang seorang diri. Atau tidak, Helena akan mati yang teramat menyakitkan.""Gila," pekik Ganesa. "Baik! Aku akan datang seorang diri.""No no no ...." Rumi terkekeh. "Aku akan memantau Tante, melalui video call. Aku bukan orang bodoh, aku harus memastikan, Tante datang seorang diri."Ganesa mendesah berat. Dan panggilan video pun langsung Rumi lakukan.Ganesa amat terkejut, ketika melihat Helena, tergantung di pinggiran jurang, dengan kaki satu terikat.Hati Ganesa hancur, melihat nasib malang anaknya itu. "Biadab!" batin Ganesa."Uuuhh, jangan menangis dong! Helena masih hidup Tanteku sayang. Dan jika p
Bab117"Aakkkhhh," pekik Ganesa, melihat tubuh Rumi ambruk ke tanah berumput.Lelaki berperawakan tinggi, mengenakan jaket hitam kulit, demgan topi di kepalanya, juga masker penutup wajahnya.Memukul belakang Rumi dan membuat wanita kejam itu jatuh pingsan.Lelaki itu menatap datar tubuh Rumi dan beralih ke arah Ganesa."Tunggu apalagi? Cepat lepaskan anakmu! Saya akan mengurus wanita ini," seru lelaki itu dengan suara beratnya."Ah, ya!" sahut Ganesa kikuk dan juga gemetar. Ia pun bergegas berlari, melewati lelaki itu.Dengan perasaan sedih disertai panik. Ganesa meraih tubuh Helena yang ternyata pingsan."Sungguh wanita biadab," desis Ganesa, sambil gemetar, dia berusaha keras melepas ikatan di kaki anak perempuannya itu."Nih pake!" kata lelaki tadi, dengan menyerahkan pisau.
Bab118Rumi terkekeh, membaca balasan pesan dari Ganesa."Kalau bukan karena kamu! Mungkin wanita itu, menyusul adek kesayangannya," seru Rumi pada lelaki yang membawanya tadi."Rumi, tolong berhentilah! Jangan kamu lakukan ini lagi. Mau berapa banyak, orang yang akan menderita, karena ulahmu ini?" kata lelaki itu."Ah, ini asik."Lelaki itu menghembuskan napas kasar."Apakah kamu tidak ingin hidup normal? Tenang dan damai, dan bisa menikmati udara segar di pagi hari."Rumi terkekeh. "Hidup damai, normal, dan menikmati indah pagi? Itu hanya impian yang lenyap dimakan takdir. Nyatanya, Tuhan tidak adil padaku! Dia membuat skenario takdir yang teramat menyakitkan.""Kamu tahu semua itu sakit. Tapi kenapa, kamu malah menjadi Monster yang kejam. Tuhan menyayangimu! Rumi. Dia ingin kamu kuat, dan tumbuh menjadi wanita hebat.""Aku tidak butuh itu! Juan. Aku butuh kasih sayang. Aku rindu keluarga yang utuh, dan aku iri pada me
Bab119Ganesa memandangi wajah Gaby, yang masih tidak sadarkan diri. Dengan banyaknya alat-alat, yang menempel di tubuh wanita itu.Sedangkan Rumi, kini masih belum di temukan, dan masih menjadi buronan.Rumi menghilang bak ditelan bumi. Terauma yang Rumi ciptakan pada Helena pun, berangsur hilang. Gadis kecil itu mulai bisa mengendalikan dirinya kini.Meskipun kadang-kadang, bayangan ketakutan itu, masih ada datang mengganggunya.Najib merengkuh tubuh Ganesa dari belakang. "Bagaimana kondisinya?" tanya lelaki itu.Ganesa tersenyum. "Kamu rupanya." Memandang ke arah wajah Najib, yang kini mengambil posisi duduk, tepat di sebelah Ganesa."Gaby koma.""Kasihan sekali," lirih Najib."Bagaimana kasus Rumi? Apakah mereka tidak dapat menangkap wanita kejam itu secepatnya?"
Bab145"Mamah Helena mohon! Helena janji akan jadi anak yang baik untuk Mamah dan Papah. Helena juga akan menuruti, apapun kemauan kalian," kata Helena memohon pada Ganesa.Ganesa terdiam, terpaku mendengarkan tangisan pertama anak gadisnya."Ganesa, bukannya maksud Mamah ingin ikut campur. Tapi tolong kamu pikirkan lagi, demi anak kalian. Beri Najib kesempatan sekali lagi, jika dia berulah kembali, maka apapun yang terjadi, Mamah akan dukung kamu 100 persen, Nak.""Iya Ganesa, bukannya kakak tidak mengerti perasaan kamu. Kakak ngerti banget. Tapi tidak ada salahnya, jika kamu pikirkan lagi."Terdengar langkah kaki pelan seseorang, berjalan ke arah mereka. Najib, memandang sayu ke arah mereka bertiga."Ganesa," panggil Najib. Ganesa pun tidak menoleh ke arah lelaki itu, dia hanya terdiam, dengan pikirannya yang terus berperang dengan hati.
Bab144 "Jadi ini, laki-laki yang menjadi selingkuhan kamu? Dan berarti benar yang dikatakan Jesika, kamu gadaikan rumah, demi lelaki ini," tunjuk Najib. Julian mengernyit. "Najib, kamu nggak malu di lihat orang? Kamu lagi berdongeng?" tanya Ganesa dengan tenang menanggapi Najib. "Ayo pulang!" ajak Najib. Ganesa berdiri, dan menatap Najib sengit. "Kamu pikir kamu siapa? Seenaknya mengusir aku dari rumahku sendiri, demi wanita lain. Dan kini datang kesini, hanya untuk mempermalukan aku?" "Ganesa, kamu itu masih istriku yang sah." "Oh ya? Sekarang baru kamu merasa aku istrimu! Sebelumnya bukan? Sehingga kamu seenaknya menyakitiku, dan selalu membela wanitamu. Ah, sudahlah, aku malas untuk berdebat. Sekarang pergi dari sini, atau kami
Bab143"Berapa lama?" Najib masih bertanya."Seminggu. Berangkatnya tadi pagi.""Seminggu? Lama sekali."Najib merasa kesal dan ingin marah. Tapi dia tidak tahu, harus marah pada siapa.Najib pulang ke rumah, dengan perasaan frustasi."Kenapa kamu?" tanya Ratna."Nggak apa-apa," sahut Najib seadanya. Ia pun menaiki anak tangga dengan gontai, menuju ke kamarnya.Di dalam kamar, dia membayangkan wajah Ganesa, wanita yang kini sangat dia rindukan. Bahkan Najib tidak bisa marah sama sekali, ketika tahu Ganesa menggadaikan rumah ini.Najib tahu, Ganesa tidak berniat jahat. Jika dia jahat, maka rumah ini tidak lagi dia gadaikan, tetapi dia jual."Ganesa, mas rindu sekali, sayang," lirih Najib memeluk guling.Sedangkan di Butik Ganesa, wanita i
Bab142●Pov Najib●"Mah, Najib menyesal," lirihku."Sudah Mamah ingatkan berkali-kali sebelumnya. Tapi kamu, tetap kekeh berkelakuan di belakang. Kalau sudah begini bagaimana.""Mah, biarkan saja sudah kalau begini. Besok kita balik ke Bandung lagi. Lagian, ini itu salahnya Najib sendiri," kata kak Aya dengan raut wajah kecewa.Aku tahu, aku yang salah dan terlalu angkuh dengan pencapaianku sendiri. Terlebih, Jesika selalu memujiku tampan, baik dan rupawan, juga hartawan. Aku melayang, dengan kesombongan diri yang berakhir kacaunya rumah tanggaku.Aku selalu memandang tak suka pada Ganesa. Entah mengapa, aku menganggap Ganesa layaknya wanita yang serba gagal.Gagal menjadi Ibu yang baik bagi anakku, dan gagal menjadi istri, yang bisa membuat suaminya setia.Bagaimana dia bisa membuatku setia? Jika setiap
Bab141"Astagfirullah, kak Najib," seru Jesika, dengan mata membulat karena terkejut, melihat Najib yang begitu marah."Apa yang kamu katakan tadi? Berani sekali kamu berkata seburuk itu pada Putriku," bentak Najib berang."Mas, kami hanya bercanda." Jesika membujuk."Bohong, Pah. Tante dari tadi menghina dan memakiku."Mendengar penuturan Putrinya, Najib semakin marah pada Jesika."Helena, kok kamu ngomong begitu, sih. Tega kamu sama Tante," lirih Jesika sembari menunjuk. Tangannya memilin-milin baju dengan gemetar."Sebaiknya, kamu angkat kaki dari rumah ini," pinta Najib dengan dingin.Jesika mendongak. "Sayang, kok ngomong begitu. Janganlah pake emosi gitu, kita kan bisa bicara baik-baik.""Aku mendengar semuanya. Demi menjaga mental anakku, pergilah dari rumah ini. Kamu dan aku,
Bab140Entah keyakinan dari mana, Jesika memberanikan diri menelpon mertuanya, juga kakak iparnya.Tangis palsu Jesika pecah, ketika menceritakan deritanya bersama Najib di rumah ini."Jesika, nggak mungkin Ganesa melakukan itu! Kamu jangan mengada ngada ya," kata Aya, Kakak tertua Najib."Sumpah kak. Ganesa pergi dari rumah ini, dan hidup bersama lelaki lain. Bahkan dia gadaikan rumah Kak Najib ini, demi membahagiakan lelakinya.""Astagfirullah, kakak akan hubungi Ganesa dulu." Sambungan telepon seketika di matikan begitu saja.Jesika meradang. "Sialan, dasar bedebah," pekik Jesika.Ia pun menghubungi Ratna, mertuanya itu, untuk mengompori wanita tua itu juga."Ada apa, Jesika," tanya Ratna. Ketika menjawab panggilan telepon Jesika."Mah, rumah kak Najib digadaikan Ganesa ke Bank. Bahkan, kak Ganesa tidak mau membayarnya lagi dan pergi dari rumah, bersama laki-laki lain.""Jesika, kamu jangan coba mengada-n
Bab139Mendengar ucapan Najib, dada Jena bergetar, sembari memandangi sesaat wajah Andre, suami yang baru sah pagi tadi menjadi miliknya."Mas, kenapa ada orang kedua yang berucap tentang hal ini. Jika saat itu, Lena kamu katakan berhalusinasi, lalu itu tadi apa?" tanya Jena, ketika mereka duduk di pelaminan."Aku akan jelaskan nanti, usai resepsi ini selesai, bisa kan?" tanya Andre kembali, merasa tidak nyaman.Jena hanya menghela napas berat, menatap Andre dengan tatapan kekecewaan."Salah diri ini, memilih menyimpan bangkai, di bandingkan bercerita kepadanya. Kalau sudah begini, aku hanya menimbulkan getar keraguan di mata Jena," batin Andre.Kini perasaan keduanya menjadi gamang. Sedangkan Ganesa, hanya menatap biasa kepada pasangan itu.Meskipun awal kedatangan Ganesa, sempat membuat Andre gelisah. Namun ketika Ganesa ti
Bab138"Ya, ada apa? Ibu kenal?" tanya Jena.Aku menatap Jena sesaat."Cuma tahu, kalau mengenal banget sih, nggak."Jena mengangguk. "Datang ya, Bu.""Insya Allah," jawabku.Jena pun keluar dari ruanganku, karena memang hanya memberikanku undangan pernikahannya.Aku menyandarkan tubuh di kursi, sambil menscroll status teman-teman kontak whatappku.Terlihat Jesika mengunggah sebuah foto, yang memperlihatkan kemesraannya dengan suamiku. Padahal berkas permohonan perceraian kami, baru masuk beberapa hari yang lalu.Tapi wanita ini, sudah sangat percaya diri, untuk memperlihatkan kemesraan mereka.Aku tersenyum kecut, melihat foto itu. Disusul ketikan status, status yang nyaris 100% memburukkanku."Wanita yang tega meninggalkan suaminya, hanya demi ambisinya. Ka
Bab137●Pov Ganesa●"Helena, yang sopan sama Tante Jesika!" bentak mas Najib, lelaki itu bangkit dan menatap tajam anak perempuan kami itu."Cepat minta maaf," titah mas Najib lagi pada Helena.Jesika menangis keras. "Ya Allah, mengapa aku hidup begini? Lebih baik aku mati saja, dari pada hidup menjadi beban dan hinaan mereka saja.""Jesika, kamu apa-apaan sih?" Mas Najib memindai Jesika dengan aneh."Mas, anak kamu sekarang tega menyakiti hatiku. Tega sekali, membuat hatiku bergejolak sakit.""Uuwu sekali," seruku, ketika melihat sikap Jesika, yang terang-terangan, berani memegangi lengan suamiku."Cepatlah pergi, sebelum rumah ini semakin hancur."Aku berjalan menaiki tangga, melewati Helena yang sudah aku diam kan beberapa hari ini. Tidak lagi kutegur, mau pun aku pedulikan.