Bab118
Rumi terkekeh, membaca balasan pesan dari Ganesa.
"Kalau bukan karena kamu! Mungkin wanita itu, menyusul adek kesayangannya," seru Rumi pada lelaki yang membawanya tadi.
"Rumi, tolong berhentilah! Jangan kamu lakukan ini lagi. Mau berapa banyak, orang yang akan menderita, karena ulahmu ini?" kata lelaki itu.
"Ah, ini asik."
Lelaki itu menghembuskan napas kasar.
"Apakah kamu tidak ingin hidup normal? Tenang dan damai, dan bisa menikmati udara segar di pagi hari."
Rumi terkekeh. "Hidup damai, normal, dan menikmati indah pagi? Itu hanya impian yang lenyap dimakan takdir. Nyatanya, Tuhan tidak adil padaku! Dia membuat skenario takdir yang teramat menyakitkan."
"Kamu tahu semua itu sakit. Tapi kenapa, kamu malah menjadi Monster yang kejam. Tuhan menyayangimu! Rumi. Dia ingin kamu kuat, dan tumbuh menjadi wanita hebat."
"Aku tidak butuh itu! Juan. Aku butuh kasih sayang. Aku rindu keluarga yang utuh, dan aku iri pada me
Bab119Ganesa memandangi wajah Gaby, yang masih tidak sadarkan diri. Dengan banyaknya alat-alat, yang menempel di tubuh wanita itu.Sedangkan Rumi, kini masih belum di temukan, dan masih menjadi buronan.Rumi menghilang bak ditelan bumi. Terauma yang Rumi ciptakan pada Helena pun, berangsur hilang. Gadis kecil itu mulai bisa mengendalikan dirinya kini.Meskipun kadang-kadang, bayangan ketakutan itu, masih ada datang mengganggunya.Najib merengkuh tubuh Ganesa dari belakang. "Bagaimana kondisinya?" tanya lelaki itu.Ganesa tersenyum. "Kamu rupanya." Memandang ke arah wajah Najib, yang kini mengambil posisi duduk, tepat di sebelah Ganesa."Gaby koma.""Kasihan sekali," lirih Najib."Bagaimana kasus Rumi? Apakah mereka tidak dapat menangkap wanita kejam itu secepatnya?"
Bab120"Sudahlah, fokus sama pada Gaby," sela Parwira, yang mulai bosan mendengarkan perkataan-perkataan penuh dendam, yang terus Melin gaungkan."Tapi Rumi itu sudah sangat keterlaluan dan kejam.""Biar pihak yang berwajib, yang mengurusnya. Kita cukup berdoa saja, semoga dia segera ditangkap."Melin terisak, mengingat bagaimana Rumi membantai dengan kejam menantu kesayangannya itu."Entah bagaimana, dia bisa sekejam itu pada saudaranya sendiri," lirih Andre."Iblis berbentuk manusia," ucap Melin.Parwira hanya menarik napas, dan tetap fokus melajukan mobilnya.Kondisi Gaby dinyatakan koma. Hal itu, membuat Melin semakin histeris."Mah, ini rumah sakit," tegur Parwira, ketika Melin menangis begitu keras."Kasihan sekali Gaby Pah, kasihan sekali dia," pekik Melin
Bab121Panggilan telepon diputus Rumi, dan membuat Najib sangat panik, hingga meninju kasar setiran mobil."Jangan bicara omong kosong!" teriaknya pada Ganesa. "Kau pikir dirimu begitu hebat? Kalau anakku sampai kenapa-kenapa, aku tidak akan memaafkan kamu," lanjut Najib berapi-api."Mas, aku hanya tidak ingin wanita itu kesenangan, karena tahu kita panik.""Kau pikir kalau mau bicara! Otak dipake! Jangan seperti Papahmu yang ceroboh itu," kata Najib kepalang emosi diubun-ubun.Ganesa terhenyak, mendengar ucapan kasar Najib. Bahkan lelaki itu dengan tega, menyeret-nyeret nama Papahnya, yang baru meninggal 5 bulan ini.Luka tidak berdarah, hal itulah yang sering Ganesa rasakan. Ketika Najib, menyalahkan Zaki, karena kerugian besar yang perusahaan mereka alami saat mereka tinggal di Singapur.Mungkin yang orang katakan benar, pernikahan yang manis itu, hanyalah untuk pengantin baru.Tidak dengan pernikahannya kini. Menginjak usia
Bab122Tidak semudah yang Rumi bayangkan. Ia yang begitu piawai memainkan peran selama ini, akhirnya tertangkap juga.Bukan karena tidak hati-hati. Tapi Rumi sudah terlalu jauh percaya diri, sehingga membuatnya terjatuh ke lubang yang dia gali sendiri."Kamu melakukan semuanya?""Ya." Tidak ada sedikit pun rasa takut, mau pun bentuk penyesalan yang terlihat dari wajah Rumi."Kamu tahu bukan, yang kamu lakukan ini adalah tindak kriminal. Kamu membunuh banyak orang yang kamu kenal. Bahkan, kamu melakukan penyiksaan, sebelum membunuh mereka. Kamu bisa saja, dituntut hukuman mati.""Tidak masalah.""Apakah kamu tidak sayang dengan diri sendiri? Wajah cantik sempurna, tetapi menjadi seorang pembunuh berdarah dingin."Rumi hanya menanggapi dengan tersenyum.Kedua Polisi yang melakukan intro
Bab123Melin memandangi seluruh pelayat dan mencari keluarga Gaby."Tante Ganesa tidak datang, Ndre? Kamu sudah ngabarin dia kan?" tanya Melin."Tante Ganesa tidak bisa datang, Mah. Katanya, dia dan keluarga di luar kota. Dan kita diminta untuk tidak menunggunya, dan menguburkan jenazah Mamah Gaby.""Kasihan sekali Gaby, bahkan diakhir napasnya pun, tidak ada satupun keluarganya yang mau datang. Bahkan di saat terakhir di dunia sekalipun, tetap tidak ada yang mau datang," lirih Melin sakit hati.Namun ketika dia memandangi jenazah Rumi. Hatinya meletup-letup penuh kebencian.Jika bukan karena wanita ini, Harumi pasti masih hidup, dan dia akan menggendong cucunya kini. Tapi apalah daya, takdir telah memporak-porandakan bayangan kebahagiaan mereka itu."Mah, jangan menatap jenazah Rumi begitu," tegur Andre.
Bab12410 tahun kemudian.Helena yang kini sudah beranjak dewasa. Dan umur gadis kecil itu, sudah menjadi 17 tahun.Ganesa pun menyiapkan ulang tahun terbaik, untuk putri semata wayangnya, yang lama tidak berjumpa.Semenjak kejadian yang menimpa Helena. Najib mengirim gadis itu ke Bandung, dan diurus keluarga Najib yang di sana.Meskipun awalnya Ganesa tidak setuju. Namun akhirnya dia tidak bisa mencegah keputusan itu. Demi mental si gadis kecil saat itu, dia merelakan terpisah bertahun-tahun dengan Helena.Semenjak kejadian penculikan yang kedua kalinya. Helena tidak mau dekat dengan Ganesa sama sekali, bahkan setiap kali melihat wajah Ganesa, Helena begitu marah.Hal itulah, yang menjadi alasan Najib, untuk mengirim Helena ke Bandung. Dan Ganesa, tidak dapat mencegah keputusan itu."Kamu yakin, menyiapkan semua ini?" tanya Najib tidak yakin, dengan semua kejutan, yang sedang Ganesa siapkan untuk menyambut kedatangan Putri mer
Bab125"Kak, mau jus buah nggak? Biar aku bikinkan," tawar Jesika dengan ramah."Boleh deh," sahut Najib. Kemudian berjalan ke arah Ganesa dan Arif."Kenapa kalian melihat aku dan Jesika seperti itu?" tanya Najib.Arif dan Ganesa tidak menyahut. "Ayo Kak, kubantu mendekornya," kata Arif.Ganesa mengangguk. Perasaan Ganesa kini terganggu, begitu juga dengan Arif. Melihat Jesika yang begitu bersikap manis, membuat Arif merasa curiga.Hal itu juga, yang membuatnya keluar dari rumah Ganesa, dan menyewa apartemen, untuk membina rumah tangga bersama Jesika.Sebab selama tinggal di rumah Ganesa, sikap Jesika terlalu manis dan terlalu perhatian pada Najib. Demi menjaga keutuhan rumah tangga keduanya, Arif memilih untuk pindah rumah.Meskipun Jesika sempat menolak beberapa kali, dan akhirnya mereka pun tetap pindah.Panggilan telepon masuk ke ponsel Najib, dia pun meraihnya dari kantong celana."Iya sayang," sahut Najib.
Bab126"Ah, Helena pasti capek! Ayo istirahat," ajak Jesika."Makan dulu, Nak!" timpal Ganesa.Helena mendengkus. "Lena capek! Mau langsung istirahat saja.""Helena, Mamah kamu sudah menyiapkan semuanya! Setidaknya kamu hargai dia," pinta Arif."Arif, Helena itu capek! Biar Jesika membawanya istirahat dulu." Najib menyahut."Najib, Arif itu benar. Helena makan dulu, sayang. Nenek nggak suka kamu begini."Dengan sikap malas, Helena berdiri, dan berjalan menuju dapur. Disusul Ganesa, juga Jesika.Sedangkan Ibu Ratna, yang merupakan Ibu mertua Ganesa, memandangi Najib dengan tajam.Namun Beliau tidak jadi bersuara, hanya menghela napas berat, dan berjalan menuju meja makan.Wajah Ganesa terlihat berat. Matanya berkaca-kaca, menahan perasaan perih di hatinya kini.Sedangkan Jesika, begitu bersikap manis dan perhatian pada Ratna dan Helena."Cobain ikan ini, enak loh," kata Jesika, sembari memberikan poto
Bab145"Mamah Helena mohon! Helena janji akan jadi anak yang baik untuk Mamah dan Papah. Helena juga akan menuruti, apapun kemauan kalian," kata Helena memohon pada Ganesa.Ganesa terdiam, terpaku mendengarkan tangisan pertama anak gadisnya."Ganesa, bukannya maksud Mamah ingin ikut campur. Tapi tolong kamu pikirkan lagi, demi anak kalian. Beri Najib kesempatan sekali lagi, jika dia berulah kembali, maka apapun yang terjadi, Mamah akan dukung kamu 100 persen, Nak.""Iya Ganesa, bukannya kakak tidak mengerti perasaan kamu. Kakak ngerti banget. Tapi tidak ada salahnya, jika kamu pikirkan lagi."Terdengar langkah kaki pelan seseorang, berjalan ke arah mereka. Najib, memandang sayu ke arah mereka bertiga."Ganesa," panggil Najib. Ganesa pun tidak menoleh ke arah lelaki itu, dia hanya terdiam, dengan pikirannya yang terus berperang dengan hati.
Bab144 "Jadi ini, laki-laki yang menjadi selingkuhan kamu? Dan berarti benar yang dikatakan Jesika, kamu gadaikan rumah, demi lelaki ini," tunjuk Najib. Julian mengernyit. "Najib, kamu nggak malu di lihat orang? Kamu lagi berdongeng?" tanya Ganesa dengan tenang menanggapi Najib. "Ayo pulang!" ajak Najib. Ganesa berdiri, dan menatap Najib sengit. "Kamu pikir kamu siapa? Seenaknya mengusir aku dari rumahku sendiri, demi wanita lain. Dan kini datang kesini, hanya untuk mempermalukan aku?" "Ganesa, kamu itu masih istriku yang sah." "Oh ya? Sekarang baru kamu merasa aku istrimu! Sebelumnya bukan? Sehingga kamu seenaknya menyakitiku, dan selalu membela wanitamu. Ah, sudahlah, aku malas untuk berdebat. Sekarang pergi dari sini, atau kami
Bab143"Berapa lama?" Najib masih bertanya."Seminggu. Berangkatnya tadi pagi.""Seminggu? Lama sekali."Najib merasa kesal dan ingin marah. Tapi dia tidak tahu, harus marah pada siapa.Najib pulang ke rumah, dengan perasaan frustasi."Kenapa kamu?" tanya Ratna."Nggak apa-apa," sahut Najib seadanya. Ia pun menaiki anak tangga dengan gontai, menuju ke kamarnya.Di dalam kamar, dia membayangkan wajah Ganesa, wanita yang kini sangat dia rindukan. Bahkan Najib tidak bisa marah sama sekali, ketika tahu Ganesa menggadaikan rumah ini.Najib tahu, Ganesa tidak berniat jahat. Jika dia jahat, maka rumah ini tidak lagi dia gadaikan, tetapi dia jual."Ganesa, mas rindu sekali, sayang," lirih Najib memeluk guling.Sedangkan di Butik Ganesa, wanita i
Bab142●Pov Najib●"Mah, Najib menyesal," lirihku."Sudah Mamah ingatkan berkali-kali sebelumnya. Tapi kamu, tetap kekeh berkelakuan di belakang. Kalau sudah begini bagaimana.""Mah, biarkan saja sudah kalau begini. Besok kita balik ke Bandung lagi. Lagian, ini itu salahnya Najib sendiri," kata kak Aya dengan raut wajah kecewa.Aku tahu, aku yang salah dan terlalu angkuh dengan pencapaianku sendiri. Terlebih, Jesika selalu memujiku tampan, baik dan rupawan, juga hartawan. Aku melayang, dengan kesombongan diri yang berakhir kacaunya rumah tanggaku.Aku selalu memandang tak suka pada Ganesa. Entah mengapa, aku menganggap Ganesa layaknya wanita yang serba gagal.Gagal menjadi Ibu yang baik bagi anakku, dan gagal menjadi istri, yang bisa membuat suaminya setia.Bagaimana dia bisa membuatku setia? Jika setiap
Bab141"Astagfirullah, kak Najib," seru Jesika, dengan mata membulat karena terkejut, melihat Najib yang begitu marah."Apa yang kamu katakan tadi? Berani sekali kamu berkata seburuk itu pada Putriku," bentak Najib berang."Mas, kami hanya bercanda." Jesika membujuk."Bohong, Pah. Tante dari tadi menghina dan memakiku."Mendengar penuturan Putrinya, Najib semakin marah pada Jesika."Helena, kok kamu ngomong begitu, sih. Tega kamu sama Tante," lirih Jesika sembari menunjuk. Tangannya memilin-milin baju dengan gemetar."Sebaiknya, kamu angkat kaki dari rumah ini," pinta Najib dengan dingin.Jesika mendongak. "Sayang, kok ngomong begitu. Janganlah pake emosi gitu, kita kan bisa bicara baik-baik.""Aku mendengar semuanya. Demi menjaga mental anakku, pergilah dari rumah ini. Kamu dan aku,
Bab140Entah keyakinan dari mana, Jesika memberanikan diri menelpon mertuanya, juga kakak iparnya.Tangis palsu Jesika pecah, ketika menceritakan deritanya bersama Najib di rumah ini."Jesika, nggak mungkin Ganesa melakukan itu! Kamu jangan mengada ngada ya," kata Aya, Kakak tertua Najib."Sumpah kak. Ganesa pergi dari rumah ini, dan hidup bersama lelaki lain. Bahkan dia gadaikan rumah Kak Najib ini, demi membahagiakan lelakinya.""Astagfirullah, kakak akan hubungi Ganesa dulu." Sambungan telepon seketika di matikan begitu saja.Jesika meradang. "Sialan, dasar bedebah," pekik Jesika.Ia pun menghubungi Ratna, mertuanya itu, untuk mengompori wanita tua itu juga."Ada apa, Jesika," tanya Ratna. Ketika menjawab panggilan telepon Jesika."Mah, rumah kak Najib digadaikan Ganesa ke Bank. Bahkan, kak Ganesa tidak mau membayarnya lagi dan pergi dari rumah, bersama laki-laki lain.""Jesika, kamu jangan coba mengada-n
Bab139Mendengar ucapan Najib, dada Jena bergetar, sembari memandangi sesaat wajah Andre, suami yang baru sah pagi tadi menjadi miliknya."Mas, kenapa ada orang kedua yang berucap tentang hal ini. Jika saat itu, Lena kamu katakan berhalusinasi, lalu itu tadi apa?" tanya Jena, ketika mereka duduk di pelaminan."Aku akan jelaskan nanti, usai resepsi ini selesai, bisa kan?" tanya Andre kembali, merasa tidak nyaman.Jena hanya menghela napas berat, menatap Andre dengan tatapan kekecewaan."Salah diri ini, memilih menyimpan bangkai, di bandingkan bercerita kepadanya. Kalau sudah begini, aku hanya menimbulkan getar keraguan di mata Jena," batin Andre.Kini perasaan keduanya menjadi gamang. Sedangkan Ganesa, hanya menatap biasa kepada pasangan itu.Meskipun awal kedatangan Ganesa, sempat membuat Andre gelisah. Namun ketika Ganesa ti
Bab138"Ya, ada apa? Ibu kenal?" tanya Jena.Aku menatap Jena sesaat."Cuma tahu, kalau mengenal banget sih, nggak."Jena mengangguk. "Datang ya, Bu.""Insya Allah," jawabku.Jena pun keluar dari ruanganku, karena memang hanya memberikanku undangan pernikahannya.Aku menyandarkan tubuh di kursi, sambil menscroll status teman-teman kontak whatappku.Terlihat Jesika mengunggah sebuah foto, yang memperlihatkan kemesraannya dengan suamiku. Padahal berkas permohonan perceraian kami, baru masuk beberapa hari yang lalu.Tapi wanita ini, sudah sangat percaya diri, untuk memperlihatkan kemesraan mereka.Aku tersenyum kecut, melihat foto itu. Disusul ketikan status, status yang nyaris 100% memburukkanku."Wanita yang tega meninggalkan suaminya, hanya demi ambisinya. Ka
Bab137●Pov Ganesa●"Helena, yang sopan sama Tante Jesika!" bentak mas Najib, lelaki itu bangkit dan menatap tajam anak perempuan kami itu."Cepat minta maaf," titah mas Najib lagi pada Helena.Jesika menangis keras. "Ya Allah, mengapa aku hidup begini? Lebih baik aku mati saja, dari pada hidup menjadi beban dan hinaan mereka saja.""Jesika, kamu apa-apaan sih?" Mas Najib memindai Jesika dengan aneh."Mas, anak kamu sekarang tega menyakiti hatiku. Tega sekali, membuat hatiku bergejolak sakit.""Uuwu sekali," seruku, ketika melihat sikap Jesika, yang terang-terangan, berani memegangi lengan suamiku."Cepatlah pergi, sebelum rumah ini semakin hancur."Aku berjalan menaiki tangga, melewati Helena yang sudah aku diam kan beberapa hari ini. Tidak lagi kutegur, mau pun aku pedulikan.