Dokter Lavin menunggu reaksi Erian dengan agak tegang atas ucapannya yang provokatif barusan. Sebenarnya, ia tidak bermaksud akan berbicara selancang itu pada pria berpengaruh yang baru dua kali ia temui. Tapi, entah karena alasan apa, Dokter Lavin merasa ingin membalas Erian karena sudah memperlakukan Citra dengan buruk semalam di depan matanya.Erian maju selangkah. Wajahnya memerah menahan amarah yang membuncah. “Jaga ucapan Anda, Dokter Lavin. Kalau saya mau, saya bisa menghancurkan hidup Anda kapan pun. Lebih baik Anda tidak macam-macam dengan orang yang tidak bisa Anda tangani. Semua yang dikatakan Citra dalam artikel itu adalah bohong, dan saya akan pastikan wanita itu menerima balasannya karena sudah berani mencemari nama baik saya. Jadi, saya sarankan Anda bertindak bijaksana dengan tidak ikut campur.”Refleks, Dokter Lavin mengepalkan tinjunya di kedua sisi tubuhnya dan sudah berpikir akan mendaratkan salah satu pukulannya ke pipi Erian. Namun, akal sehatnya masih menahannya
“Sepertinya Dokter Hardi sudah menyuruh staf rumah sakit ini untuk mencariku,” ujar Citra dengan suara teredam karena mengenakan masker. Ia baru saja membuka pintu untuk mengamati sekali lagi situasi di luar sebelum beraksi. “Lihat itu, banyak perawat dan petugas keamanan yang mondar-mandir sambil celingukan. Bagaimana kalau kita sampai ketahuan, Lavin?”Seraya ikut mengintip di belakang Citra, Dokter Lavin menjawab. “Kalau begitu, kita akan ketahuan.” Reaksi yang sama sekali tidak ramah itu membuatnya mendapat tatapan tajam dari wanita itu. Sebab itu, Dokter Lavin terpaksa mengklarifikasi. “Maksudku bukan begitu, Citra. Aku hanya mau bilang, kalau kamu berpikiran seperti itu, maka itu yang akan terjadi. Berusahalah santai dan bersikap wajar.”“Baiklah, aku akan berusaha. Lagipula, Dokter Hardi tidak tahu kalau kita saling kenal, kan? Jadi, beliau tidak akan curiga kalau misalnya kita bertemu dengannya,” kata Citra yang berupaya menghilangkan nada tegang dalam suaranya. Ia kemudian be
Erian mempertontonkan seringai keji di wajahnya yang tetap memesona. Ponsel murah Bik Yuli tengah menempel di telinganya. Di depannya, si pemilik benda malang itu sedang duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk menekuri lantai. Tangannya mengusap-usap pipi keriputnya yang memerah, bekas tamparan tertera jelas di sana. Di sekitar mereka, dua koper besar dan dua tas bepergian terguling tidak berdaya.[Ayah, apa yang Ayah lakukan pada Bik Yuli? Kenapa ponselnya ada pada Ayah? Bik Yuli mana? Ayah menyakitinya, kan?]Jeritan Citra menguar dari pengeras suara yang sengaja diaktifkan oleh Erian. Usai melirik puas asisten rumah tangganya yang terlihat pasrah dengan apapun yang bakal menimpanya, Erian menjawab. “Setelah mempermalukan ayah mertuamu dengan ocehan konyolmu di depan reporter, sekarang kamu malah menuduh Ayah menyakiti Bik Yuli? Di mana sopan santunmu, Citra?”[Di mana Bik Yuli, Yah? Aku mau bicara dengannya!]Menyeringai sekali lagi, Erian menyodorkan ponsel murah itu pada pemilikn
“Bik Yuli! Bik Yuli! Ini Citra, Bik. Tolong buka jendelanya!”Citra berbisik sambil membungkuk di bawah ambang jendela kamar Bik Yuli usai berkali-kali mengetuk kaca. Tubuhnya seperti akan menyatu dengan dinding sebagai bentuk kewaspadaan tingkat tinggi terhadap para penjaga keamanan di rumah keluarga Indrayana yang bisa saja sewaktu-waktu memergokinya.Walaupun Citra secara resmi masih berstatus sebagai anggota keluarga yang menghuni rumah mewah itu, tapi, tidak diragukan lagi, Erian yang telah menganggap menantunya itu sebagai musuh pasti telah memberi instruksi kepada bodyguardnya untuk menangkap Citra jika wanita itu ketahuan bergentayangan di sekitar rumahnya.Atas dasar itulah, Citra tidak membiarkan Dokter Lavin mengikutinya masuk ke rumah dan menyuruh pria itu menunggunya di mobil yang terparkir tidak jauh dari situ saja. Alasan lainnya, sebisa mungkin Citra tidak ingin melibatkan mantan kekasihnya itu lebih dari yang sudah Dokter Lavin ingin lakukan. Sebab, tidak ada yang san
Dokter Lavin melongok arlojinya dengan gelisah, entah untuk yang keberapa kalinya sejak Citra memilih memasuki kediaman keluarga Indrayana sendiri saja. Ia tengah duduk di dalam mobilnya yang sengaja diparkir di tempat yang dirasa cukup tersembunyi, tidak terlalu jauh dari rumah mewah Erian tapi tidak begitu dekat juga untuk menghindari kecurigaan dari penjaga yang bercokol di pos dekat pintu gerbang.Sebetulnya, Dokter Lavin kurang setuju dengan rencana Citra yang ingin mengambil barang-barangnya sendiri serta mengajak asisten rumah tangganya agar ikut bersamanya. Selain karena alasan keamanan, jujur saja Dokter Lavin bukanlah tipe orang yang cepat percaya pada manusia lain. Bisa saja wanita yang disebut Citra itu malah berpihak pada Erian dengan cara berpura-pura menolong. Tapi, Dokter Lavin tidak punya opsi lain kecuali terpaksa menerima dengan berat hati karena Citra bersikeras Bik Yuli bisa dipercaya. Walaupun jika dilihat dari yang terjadi sekarang, penilaian mantan kekasihnya
“Hei, bangun. Ada yang mau ketemu.”Tapi, Orion sepertinya tidak mendengar sebab ia sama sekali tidak bergerak dari posisinya yang tengah berbaring menyamping dengan kepala beralaskan tangan, alih-alih bantal yang tersedia, di lantai sel tahanan yang dilapisi tikar tipis. Punggungnya menghadap ke pintu tempat si polisi yang bertugas menjaganya barusan memanggil.“Hei, bangun. Bangun! Ada yang mau ketemu. Sudah jam sepuluh dan kamu masih tidur? Jadi orang kaya memang menyenangkan, bisa bangun kapan pun. Beda dengan kami yang harus bangun pagi di jam yang sama untuk bekerja agar bisa dapat uang. Kalian orang kaya, tidak kerja pun uang tetap mengalir,” ujar si polisi yang sudah bersungut-sungut seperti biasanya.Orion masih bergeming. Tidak ada pergerakan sedikit pun yang bisa dilihat dari tubuhnya yang membelakang, baik menggeliat atau mengubah pose tidurnya yang sudah bertahan sejak si polisi bangun jam enam pagi tadi. Reaksi yang nihil itu pun menyulut rasa jengkel dari si petugas kea
Citra menggelengkan kepalanya, menolak percaya jika Bik Yuli telah tega mengkhianatinya. Tidak! Ia tidak mungkin kembali ke rumah keluarga Indrayana hanya untuk membiarkan dirinya dijebak oleh orang yang paling tidak diharapkan oleh Citra untuk membohonginya. Tapi, wanita tua yang berdiri di depannya terang-terangan mengaku. Dan Citra tahu betul kalau Bik Yuli saat ini tidak sedang bercanda.“Apa? Kenapa Bibik melakukan itu? Bibik kan tahu kalau Ayah ingin membalasku karena sudah membongkar perselingkuhan kami,” ujar Citra yang masih terkejut dengan perubahan pendirian Bik Yuli yang begitu tiba-tiba sekaligus merugikannya. Hatinya terasa sangat sakit, sampai-sampai ia berpikir untuk tidak akan memercayai orang lain lagi setelah ini.“Maafkan Bibik, Non, tapi jujur saja, Bibik tidak percaya dengan ucapan Non Citra kalau bukan Non yang membunuh Nyonya. Bibik lihat sendiri Non masuk ke kamar Nyonya dan tidak keluar sampai mungkin sekitar lima menit karena Bibik sempat menunggu di tangga.
“Apa?”Dokter Lavin tiba-tiba kehilangan fokus sebab terlalu terpana dengan ucapan yang keluar dari ponsel yang menempel di telinganya. Sesaat ia tidak menyadari apa yang tengah terjadi dan masalah apa yang baru saja diproduksinya. Barulah ketika Dokter Lavin menemukan kepala Citra yang muncul dari balik tembok beberapa meter di depan mobilnya, kesadarannya mendadak timbul.“Aku sudah berhasil keluar dari rumah Erian. Cepat pergi dari situ sebelum dia memerintahkan penjaga rumahnya menangkapmu! Aku tunggu di sini. Oh ya, buka pintu belakangmu di sebelah kanan lebih dulu dan berkendaralah di tengah jalan. Cepat!” Citra kedengaran bertitah dengan suara tegas dari seberang.Tuut!Walaupun sama sekali tidak paham tujuan Citra sampai memberinya perintah seaneh itu, Dokter Lavin menurutinya juga. Ia segera melempar ponselnya ke dashboard, berbalik ke belakang untuk membuka pintu yang dimaksud mantan kekasihnya, kemudian melajukan mobilnya di tengah jalan dengan kecepatan gila-gilaan, sampai
“Apa yang terjadi, Lavin? Kenapa ada polisi di sini?”Citra bertanya dengan wajah menghadap ke moncong pistol yang mengarah padanya, matanya tajam melirik Dokter Lavin yang tengah memberinya tatapan terluka. Walaupun malam itu udara lumayan dingin, keringat mulai bermunculan di dahinya. Wanita itu meneguk ludah yang terasa mengganjal. Ada yang tidak beres dengan mantan kekasihnya itu.Namun, bukannya menjawab, Dokter Lavin justru memutus kontak matanya dengan Citra, turun dari mobil, membuka pintu belakang, dan membawa Belinda ke dalam gendongannya. Ia memilih untuk tidak menengok ke arah Citra satu kali pun selagi melangkah kembali ke dalam toko yang pengunjungnya tampaknya tidak menyadari kejadian di depan bangunan yang mereka datangi, berbeda dengan Belinda yang tidak berhenti memelototi mobil yang baru saja mereka tinggalkan.“Lavin, Lavin, kamu mau ke mana? Jelaskan padaku ada apa ini. Lavin! Kamu tidak boleh pergi begitu saja dan meninggalkanku di sini!” Citra memanggil-manggil
Mata Citra terbelalak mendengar pengumuman mengejutkan yang disampaikan oleh Jian. Dengan mulut setengah membuka, ia menoleh ke arah Dokter Lavin yang juga tengah menatapnya. Berkat kehadiran polisi di luar sana di waktu yang sangat tidak tepat ini, rencananya bersama pria itu untuk mengasingkan Orion di ruangan tersendiri bisa dipastikan gagal.“Bagaimana mereka bisa tahu saya di sini? Setahu saya, kita tidak diikuti sejak di pusat perbelanjaan tadi. Saya juga yakin orang-orang di toko tidak ada yang mengenali saya,” ujar Citra dengan nada heran setelah berhasil berjumpa dengan suaranya. Kepalanya bergantian berpaling ke Dokter Lavin dan Jian, menuntut penjelasan. Tidak bisa dipungkiri ada sorot menuduh dalam pandangannya. Mungkin ibu dan anak itu tidak setulus yang Citra kira.Dokter Lavin melihat ke sekeliling rumah dengan resah sebelum membuka mulut. “Kalau dilihat dari polisi yang datang, bukan orang-orang suruhan Erian, kemungkinan besar mereka bisa mengetahui lokasi Citra denga
“Hati-hati menggalinya, jangan sampai guci itu pecah. Lebih baik kita menggalinya pakai tangan saja.”Nadi memberi instruksi pada rekan-rekannya sambil membasmi keringat yang berlelehan mengaliri dahinya menggunakan punggung tangan yang berlumur tanah. Mereka, para aparat kepolisian itu, tengah menggali tanah di halaman belakang kediaman Indrayana untuk mencari sesuatu yang disebutkan oleh Erian pada Nadi tiga puluh menit sebelumnya.“Kalau Anda tahu siapa yang membunuh korban, kenapa Anda tidak bilang dari awal dan membantu penyidikan? Kenapa malah menyembunyikannya dan bersikap tidak tahu apa-apa, bahkan sampai menjebak anak Anda sendiri? Apakah Anda diancam oleh Bu Citra atau Anda sendiri yang memilih untuk menutupi kasus ini, Pak Erian?”“Saya sendiri yang memang memutuskan untuk menutupi kasus ini. Saya pikir, jika Henny ditemukan meninggal sebagai korban pembunuhan, orang-orang akan bersimpati pada saya yang akhirnya akan menaikkan harga saham hotel. Tapi, Citra juga turut andil
Dokter Lavin duduk di sofa ruang tamu rumahnya, alih-alih di ruang keluarga tempatnya mengambil kotak obat, semata-mata agar tidak mendengar pertengkaran antara Citra dan Orion. Sambil menotol-notolkan kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol ke lukanya, ia meyakinkan diri bahwa sangat tidak sopan menguping perselisihan suami istri dan mereka tentu tidak ingin didengar oleh siapapun., walaupun Dokter Lavin penasaran setengah hidup.Sekarang, setelah Citra ada di sini, apa yang akan mereka lakukan? Hanya bersembunyi dari Erian tanpa usaha apapun untuk melepaskan wanita itu sepenuhnya dari jeratan pengusaha ternama itu? Citra memang sudah mengambil langkah pertama dengan memutuskan untuk menggugat cerai Orion, tapi kaitan antara mantan kekasihnya dan Erian bukan hanya itu.Namun, sampai kapan mereka sanggup menyembunyikan diri begini? Dokter Lavin harus bekerja, yang tentu saja tidak aman dilakukan sebab Erian sudah tahu jika dirinya ikut terlibat. Sekali Dokter Lavin tertangkap, Citra,
“Itu benar, Pak Nadi. Citralah yang telah membunuh istriku. Aku tidak bohong atau sedang berupaya kabur. Itulah yang sebenarnya terjadi.”Erian menegaskan kalimatnya usai melihat reaksi Dokter Hardi dan Nadi atas perkataannya sebelumnya adalah saling melempar tatapan tidak mengerti. Tapi, sedetik kemudian, wajah si polisi menjelma tidak percaya dan ekspresi si dokter tetap dalam kebingungannya.“Apa maksudmu, Erian?” Dokter Hardi menyuarakan ketidakpahamannya. Ia bergantian memandang polisi di depannya dan temannya yang terbaring di brankar, menunggu salah satu dari keduanya sudi menjelaskan. “Citra yang membunuh Henny? Tapi, kenapa? Tadi kamu bilang kalau dijebak dan akan berusaha mencari pelaku sebenarnya, sekarang kamu bilang kalau Citra pelakunya. Apa yang terjadi di sini, Erian?”“Lebih baik Anda ikut ke kantor dan menjelaskan semuanya di sana, Pak Erian. Bangunlah, saya akan memapah Anda ke mobil,” sebut Nadi lalu melangkah mendekati brankar dan mengulurkan tangannya pada Erian,
Bunyi pukulan itu mengalihkan perhatian Citra yang tengah asyik duduk di kursi kerja Jian dan memelototi salah satu kertas yang diraupnya dari atas meja. Tangannya otomatis menjatuhkan benda yang dipegangnya begitu menyaksikan bagaimana suaminya menonjok pipi Dokter Lavin yang sama sekali tidak menduga datangnya serangan itu. Ia tergesa-gesa menghampiri mantan kekasihnya yang setengah bersimpuh di lantai dan berjongkok di sampingnya.“Kamu tidak apa-apa, Lavin?” Citra bertanya risau sambil mengamati wajah lebam pria di sisinya. Saat Dokter Lavin hanya mengangguk sebagai reaksi tanpa mengatakan apapun, wanita itu menaikkan kepalanya untuk memberi Orion tatapan sengit. “Apa yang kamu lakukan, Rion? Kenapa kamu memukul Lavin? Dia kan tidak salah apa-apa sama kamu.”Mata Orion mendelik, dadanya masih naik turun mengejar napas. Tenaganya yang tidak seberapa, karena baru makan sekali dalam hari ini, dikerahkan semuanya untuk memberi Dokter Lavin pukulan sekuatnya yang pantas pria itu terima
“Ibu!”“Tante!”Dokter Lavin dan Citra memekik berjamaah kemudian saling bertatapan salah tingkah setelahnya yang segera dilanjutkan dengan membuang pandangan masing-masing ke arah berlawanan. Citra pura-pura tertarik dengan hiasan rambut Belinda yang duduk di pangkuannya, sedangkan Dokter Lavin berdeham tidak jelas sambil bersikap seakan-akan terpesona dengan pemandangan di luar jendela mobil.“Loh, apa yang salah?” Jian bertanya dengan wajah tanpa dosa, tidak menyadari bencana yang baru saja diciptakannya, matanya bergantian menatap tiga penumpang dewasa yang terduduk di kursi belakang mobilnya. “Kalau Citra dan pria ini bercerai, artinya dia bisa kembali pada Lavin dan anak kandungnya, Belinda. Nah, pria ini bisa bersama dengan si poni kekanak-kanakan itu. Akhir yang bahagia untuk semuanya.”Usai menemukan kendali dirinya kembali, Dokter Lavin memandang ibunya, sebisa mungkin menahan matanya agar tidak melirik ke arah Citra atau Orion yang duduk di sisi kiri dan kanannya. “Lebih ba
Nadi duduk tepekur di sofa kulit mahal yang ada di ruang rawat mewah itu. Operasi pengangkatan peluru di betis Erian yang dilakukan langsung oleh Dokter Hardi sudah selesai tiga jam yang lalu. Sekarang, ia hanya perlu menunggu pengusaha hotel itu siuman untuk ditanyai. Nadi memilih untuk bersiaga di ruangan yang sama dengan Erian untuk mencegah orang kaya itu berkonspirasi jahat dengan Dokter Hardi lagi.Sebenarnya, ia bisa saja meminta Kun atau rekannya yang lain untuk menggantikannya berjaga di rumah sakit. Tapi, Nadi memutuskan terlibat langsung karena saat ini bisa dikatakan jika Erian merupakan terduga potensial dalam kasus pembunuhan Henny serta kecelakaan Gema dan Ariani. Baginya, ini semacam tanggung jawab moril selaku ketua tim penyidikan. Bukankah sebagai pemimpin, ia yang harus bekerja lebih keras?Usai beberapa belas menit duduk sambil menjalin tangan dan bertatap muka dengan lantai, Nadi mengubah posisinya menjadi bersandar di sofa dengan kepala mendongak dan mata nyalang
“Orion?”Citra menggumamkan nama suaminya dengan nada terperanjat bervolume rendah. Ia tidak salah dengar, kan? Tapi, apa yang dilakukan Orion di sini? Bukannya dia tengah ditahan di kantor polisi?“Buka pintunya, Citra. Ini aku, Orion!” Orang yang berdiri di luar bilik toilet Citra itu berbicara lagi.Mendengar suara manusia itu sekali lagi, Citra akhirnya yakin. Sekarang ia berseru lantang. “Orion? Itu benar-benar kamu, kan?”“Iya, Citra. Aku Orion, suamimu.”Lebih tepatnya, pria yang sebentar lagi akan menjadi mantan suamiku, pikir Citra. Walaupun yakin betul kalau makhluk yang mengobrol dengannya adalah Orion, ia tetap memilih melakukan tindakan pencegahan dengan cara mengintip lagi melalui celah di bawah pintu, siapa tahu ada orang lain di situ.Usai memastikan jika suaminya memang benar-benar datang sendirian, Citra menjatuhkan pecahan cermin di tangannya ke lantai dan membuka pintu bilik toilet. Di depannya, terpampang wujud Orion yang terlihat tidak terurus dengan wajah dan pa