“Bik Yuli! Bik Yuli! Ini Citra, Bik. Tolong buka jendelanya!”Citra berbisik sambil membungkuk di bawah ambang jendela kamar Bik Yuli usai berkali-kali mengetuk kaca. Tubuhnya seperti akan menyatu dengan dinding sebagai bentuk kewaspadaan tingkat tinggi terhadap para penjaga keamanan di rumah keluarga Indrayana yang bisa saja sewaktu-waktu memergokinya.Walaupun Citra secara resmi masih berstatus sebagai anggota keluarga yang menghuni rumah mewah itu, tapi, tidak diragukan lagi, Erian yang telah menganggap menantunya itu sebagai musuh pasti telah memberi instruksi kepada bodyguardnya untuk menangkap Citra jika wanita itu ketahuan bergentayangan di sekitar rumahnya.Atas dasar itulah, Citra tidak membiarkan Dokter Lavin mengikutinya masuk ke rumah dan menyuruh pria itu menunggunya di mobil yang terparkir tidak jauh dari situ saja. Alasan lainnya, sebisa mungkin Citra tidak ingin melibatkan mantan kekasihnya itu lebih dari yang sudah Dokter Lavin ingin lakukan. Sebab, tidak ada yang san
Dokter Lavin melongok arlojinya dengan gelisah, entah untuk yang keberapa kalinya sejak Citra memilih memasuki kediaman keluarga Indrayana sendiri saja. Ia tengah duduk di dalam mobilnya yang sengaja diparkir di tempat yang dirasa cukup tersembunyi, tidak terlalu jauh dari rumah mewah Erian tapi tidak begitu dekat juga untuk menghindari kecurigaan dari penjaga yang bercokol di pos dekat pintu gerbang.Sebetulnya, Dokter Lavin kurang setuju dengan rencana Citra yang ingin mengambil barang-barangnya sendiri serta mengajak asisten rumah tangganya agar ikut bersamanya. Selain karena alasan keamanan, jujur saja Dokter Lavin bukanlah tipe orang yang cepat percaya pada manusia lain. Bisa saja wanita yang disebut Citra itu malah berpihak pada Erian dengan cara berpura-pura menolong. Tapi, Dokter Lavin tidak punya opsi lain kecuali terpaksa menerima dengan berat hati karena Citra bersikeras Bik Yuli bisa dipercaya. Walaupun jika dilihat dari yang terjadi sekarang, penilaian mantan kekasihnya
“Hei, bangun. Ada yang mau ketemu.”Tapi, Orion sepertinya tidak mendengar sebab ia sama sekali tidak bergerak dari posisinya yang tengah berbaring menyamping dengan kepala beralaskan tangan, alih-alih bantal yang tersedia, di lantai sel tahanan yang dilapisi tikar tipis. Punggungnya menghadap ke pintu tempat si polisi yang bertugas menjaganya barusan memanggil.“Hei, bangun. Bangun! Ada yang mau ketemu. Sudah jam sepuluh dan kamu masih tidur? Jadi orang kaya memang menyenangkan, bisa bangun kapan pun. Beda dengan kami yang harus bangun pagi di jam yang sama untuk bekerja agar bisa dapat uang. Kalian orang kaya, tidak kerja pun uang tetap mengalir,” ujar si polisi yang sudah bersungut-sungut seperti biasanya.Orion masih bergeming. Tidak ada pergerakan sedikit pun yang bisa dilihat dari tubuhnya yang membelakang, baik menggeliat atau mengubah pose tidurnya yang sudah bertahan sejak si polisi bangun jam enam pagi tadi. Reaksi yang nihil itu pun menyulut rasa jengkel dari si petugas kea
Citra menggelengkan kepalanya, menolak percaya jika Bik Yuli telah tega mengkhianatinya. Tidak! Ia tidak mungkin kembali ke rumah keluarga Indrayana hanya untuk membiarkan dirinya dijebak oleh orang yang paling tidak diharapkan oleh Citra untuk membohonginya. Tapi, wanita tua yang berdiri di depannya terang-terangan mengaku. Dan Citra tahu betul kalau Bik Yuli saat ini tidak sedang bercanda.“Apa? Kenapa Bibik melakukan itu? Bibik kan tahu kalau Ayah ingin membalasku karena sudah membongkar perselingkuhan kami,” ujar Citra yang masih terkejut dengan perubahan pendirian Bik Yuli yang begitu tiba-tiba sekaligus merugikannya. Hatinya terasa sangat sakit, sampai-sampai ia berpikir untuk tidak akan memercayai orang lain lagi setelah ini.“Maafkan Bibik, Non, tapi jujur saja, Bibik tidak percaya dengan ucapan Non Citra kalau bukan Non yang membunuh Nyonya. Bibik lihat sendiri Non masuk ke kamar Nyonya dan tidak keluar sampai mungkin sekitar lima menit karena Bibik sempat menunggu di tangga.
“Apa?”Dokter Lavin tiba-tiba kehilangan fokus sebab terlalu terpana dengan ucapan yang keluar dari ponsel yang menempel di telinganya. Sesaat ia tidak menyadari apa yang tengah terjadi dan masalah apa yang baru saja diproduksinya. Barulah ketika Dokter Lavin menemukan kepala Citra yang muncul dari balik tembok beberapa meter di depan mobilnya, kesadarannya mendadak timbul.“Aku sudah berhasil keluar dari rumah Erian. Cepat pergi dari situ sebelum dia memerintahkan penjaga rumahnya menangkapmu! Aku tunggu di sini. Oh ya, buka pintu belakangmu di sebelah kanan lebih dulu dan berkendaralah di tengah jalan. Cepat!” Citra kedengaran bertitah dengan suara tegas dari seberang.Tuut!Walaupun sama sekali tidak paham tujuan Citra sampai memberinya perintah seaneh itu, Dokter Lavin menurutinya juga. Ia segera melempar ponselnya ke dashboard, berbalik ke belakang untuk membuka pintu yang dimaksud mantan kekasihnya, kemudian melajukan mobilnya di tengah jalan dengan kecepatan gila-gilaan, sampai
Orion menyeringai meremehkan, sama sekali tidak percaya satu huruf pun yang melompat dari mulut Ulfa. Mana mungkin Citra bisa berbuat seceroboh itu, terutama ketika artikel tentang dirinya yang berselingkuh dengan ayah mertuanya sendiri tengah merebak luas dan menjadi santapan lezat bagi para penikmat gosip. Mempertontonkan kemesraan dengan pria lain selain suaminya kepada khalayak? Yang benar saja!“Kalau kamu kemari hanya mau mengatakan omong kosong yang tidak masuk akal, maka kamu buang-buang waktu saja. Lebih baik kamu pulang sekarang karena aku sudah muak ketemu denganmu. Lebih bagus kalau kamu tidak usah datang lagi sekalian,” ujar Orion sambil berdiri dari kursi, bersiap meninggalkan ruang besuk.Melihat Ulfa yang diam saja dan tidak melakukan apa-apa untuk mencegahnya pergi, misalnya menangkap pergelangan tangannya agar tidak beranjak, membuat Orion berpikir jika wanita itu akhirnya paham kalau perbuatannya sia-sia dan tidak akan berdampak pada Orion seperti yang diinginkannya
“Kamu! Apa yang kamu lakukan di sini?”Citra bertanya dengan nada tidak suka yang terdengar jelas. Walaupun ia sedikit banyak tahu alasan Ulfa menampakkan dirinya di kantor polisi, Citra tidak ingin terlalu cepat mengambil kesimpulan. Bisa saja wanita itu ada urusan lain di tempat itu, urusan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Orion. Meskipun, harus ia akui, kemungkinan itu teramat kecil.Ulfa memilih tidak bereaksi terhadap pertanyaan Citra, ia justru mengalihkan tatapannya dari wanita yang masih mengenakan seragam rumah sakit itu pada pria tampan berjas dokter yang berdiri di sebelahnya. “Wah, wah. Dokter Lavin, kita ketemu lagi. Kali ini,“ Ulfa sengaja terang-terangan melirik ke arah Citra, “dengan orang yang di luar dugaan.”“Tidak usah mengelak seperti itu,” ujar Citra sambil maju selangkah. “Katakan saja apa tujuanmu kemari. Jangan bilang kamu ke sini untuk menemui suamiku. Dasar tidak tahu malu! Aku yakin Orion pasti sudah bilang padamu untuk memutuskan hubungan. Pal
Tangan Nadi yang berada di gagang pintu tiba-tiba turun dan terlepas sehingga pintu utama kantor polisi yang sedianya ia bukakan untuk Citra tertutup kembali. Dokter Lavin dan Citra tidak kalah terperanjatnya. Mereka sampai berhenti melangkah dan mendadak kaki keduanya seperti terpancang ke bumi. Citra bahkan sampai lupa bernapas dan otaknya tidak dapat berfungsi sejenak.Setelah beberapa saat dalam kondisi seperti itu, Citra akhirnya sanggup menghirup udara kembali dengan normal. Dalam gerakan lambat yang masih dipengaruhi oleh perasaan tercengangnya, ia menoleh pada Ulfa yang berdiri di halaman parkir tidak jauh dari mereka dengan senyum mengembang. “Apa? Kamu- kamu hamil anak Orion?”“Iya, betul sekali,” jawab Ulfa riang, jelas-jelas terhibur dengan reaksi yang Citra pertontonkan. Itulah tujuan sebenarnya memberitahukan informasi soal kehamilannya, ingin melihat langsung ekspresi shock istri sah selingkuhannya itu dan menikmatinya. “Tidak usah memberi selamat, Citra. Aku juga tidak