Tangan Nadi yang berada di gagang pintu tiba-tiba turun dan terlepas sehingga pintu utama kantor polisi yang sedianya ia bukakan untuk Citra tertutup kembali. Dokter Lavin dan Citra tidak kalah terperanjatnya. Mereka sampai berhenti melangkah dan mendadak kaki keduanya seperti terpancang ke bumi. Citra bahkan sampai lupa bernapas dan otaknya tidak dapat berfungsi sejenak.Setelah beberapa saat dalam kondisi seperti itu, Citra akhirnya sanggup menghirup udara kembali dengan normal. Dalam gerakan lambat yang masih dipengaruhi oleh perasaan tercengangnya, ia menoleh pada Ulfa yang berdiri di halaman parkir tidak jauh dari mereka dengan senyum mengembang. “Apa? Kamu- kamu hamil anak Orion?”“Iya, betul sekali,” jawab Ulfa riang, jelas-jelas terhibur dengan reaksi yang Citra pertontonkan. Itulah tujuan sebenarnya memberitahukan informasi soal kehamilannya, ingin melihat langsung ekspresi shock istri sah selingkuhannya itu dan menikmatinya. “Tidak usah memberi selamat, Citra. Aku juga tidak
“Aku- aku memang-”Perkataan Dokter Lavin yang memang tiba-tiba tergagap tanpa alasan yang jelas itu mendadak terputus saat ekor matanya mendeteksi pergerakan dari tempat tidur kecil Citra. Ia pun segera mengalihkan tatapannya dari wajah Orion dan membalikkan tubuh sepenuhnya untuk mengamati wanita yang masih memejamkan matanya itu, lebih tepatnya memerhatikan jari-jari tangannya yang tadi dirasanya bergerak.Benar saja, beberapa detik setelahnya, Dokter Lavin betul-betul melihat jari tangan Citra bergerak, disusul oleh kelopak mata wanita itu yang perlahan membuka. Usai Citra mengerjapkan matanya berkali-kali dengan pandangan lurus ke arah langit-langit, Dokter Lavin bertanya dengan suara lembut dan teramat hati-hati dari sampingnya. “Kamu sudah sadar, Citra? Bagaimana perasaanmu? Ada yang sakit? Perutmu tidak apa-apa?”Citra menoleh ke kanan perlahan untuk merespons pertanyaan Dokter Lavin, tapi, ketika wujud Orion yang berdiri di samping mantan kekasihnya itu merangsek masuk ke rua
Perjalanan itu terasa canggung. Dokter Lavin dan Citra masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Mereka hanya bertegur sapa formal saat menaiki mobil, itu pun karena alasan etika. Citra akan merasa tidak sopan jika tidak berbicara apapun pada orang yang telah berbaik hati memberinya tumpangan, bahkan tempat tinggal. Sedangkan Dokter Lavin melakukan aksi irit bicara sebab agak bersalah karena sudah menguping dengan sengaja di ruang kesehatan tadi.Sebenarnya, Citra sedikit enggan untuk pergi ke tempat yang Dokter Lavin sarankan sekarang. Usai permintaannya yang berani untuk bercerai dari Orion tadi, ia membutuhkan kesendirian, aman dari mata siapapun, untuk memikirkan lebih lanjut tentang bagaimana kehidupannya setelah ia benar-benar berpisah dari suaminya dan keluarga Indrayana.Tapi, melihat wajah Dokter Lavin yang terlihat sungguh-sungguh tulus ingin membantunya menyembunyikan diri dari Erian ketika pria itu menemuinya di ruang kesehatan, Citra jadi tidak bisa menolak. Biarlah,
“Apa? Kalian kehilangan mobil itu?”Erian berteriak garang pada para petugas keamanan berbadan kekar yang menghadapnya di ruang kerja di rumahnya. Saat memasuki rumah tadi, ia sudah dikejutkan dengan keadaan kamar Bik Yuli yang terkunci dari luar, sesuatu yang tidak akan pernah dilakukan oleh asisten rumah tangganya ketika sedang tidak pulang kampung.Begitu kamar wanita tua itu dibuka, Erian pun menemukan Bik Yuli tengah terduduk di tempat tidurnya sambil mengurut-urut kakinya yang bengkak. Citra sudah tidak ditemukan di mana pun. Usai mendengar penjelasan Bik Yuli tentang bagaimana Citra kabur dari situ, Erian menjadi yakin jika Dokter Lavin yang memproduksi keributan di depan rumahnya bekerja sama dengan Citra yang menyusup.“Apa Citra bilang dia mau mengajak Bibik ke mana?” Erian bertanya frustrasi. Rasa jengkelnya semakin menjadi-jadi saat wanita tua yang ditanyainya menjawab dengan gelengan takut-takut. “Bibik bagaimana, sih. Harusnya Bibik pura-pura menurut saja waktu Citra mau
Orion duduk sambil memeluk kakinya. Wajahnya merana. Napasnya berat. Sejak bangun tidur pada subuh tadi sampai sekarang di waktu lewat tengah hari, ia belum berminat terhadap makanan. Si polisi yang menjaganya hanya mengernyit tidak suka saat mengangkat nampan makan Orion yang sama sekali tidak tersentuh, mengira pria itu tidak suka makanannya, dan mulai mengomel tentang orang kaya yang hobinya pilih-pilih pangan. “Harusnya kamu bersyukur karena masih ada makanan untuk dimakan. Lihat di luar sana, banyak sekali anak-anak dan orang tua yang sudah tidak produktif mengais-ngais tong sampah cuma untuk memungut sisa makanan yang mungkin sudah tidak layak makan,” omel si polisi sambil berlalu keluar dari ruang tahanan.Merasa dirinya tidak melakukan apa yang si polisi tuduhkan, Orion memilih diam dan hanya melanjutkan renungannya usai melirik punggung si polisi sesaat. Lagipula, banyaknya kejadian yang menimpanya sepanjang pagi ini telah menguras semua tenaganya untuk berbicara. Bahkan, ka
“Belinda?”Citra berseru kaget dengan mata terbelalak. Kepalanya menoleh cepat untuk bergantian menatap Dokter Lavin yang tersenyum di sampingnya dan gadis kecil yang berlari menyongsongnya, masih terpana dengan pemandangan di depannya sehingga membuatnya lupa bagaimana caranya menghamburkan kata-kata untuk sesaat. Pemahaman mulai terbentuk dalam tengkoraknya. Jadi, Dokter Lavin membawa Citra ke rumahnya sendiri?“Anak Papa sudah pulang sekolah, ya?” Dokter Lavin bertanya lembut sambil membawa Belinda ke dalam gendongannya, mengelus rambutnya, lalu mencubit pipinya gemas. “Bagaimana di sekolah hari ini? Belinda belajar dan bermain dengan baik, kan? Bersikap baik pada teman dan guru, kan? Oh ya, Belinda sudah makan?”Belinda menggeleng lucu. Rambut panjangnya yang dikuncir dua dan diberi ikatan berhias kupu-kupu di masing-masing sisi kepala ikut berkibar. “Belinda belum makan, Pa. Tadi, Belinda sudah di meja makan waktu dengar suara mobil Papa datang. Jadi, Belinda keluar, deh. Ayo, Pa
Erian duduk dengan resah di dalam mobil mahalnya yang terparkir rapi di halaman kantor polisi Kota Ryha. Lewat kaca jendela yang terbuka lebar di samping kanannya, ia menoleh dan menghadapkan wajahnya ke kejauhan, ke arah jalanan yang cukup ramai di depan bangunan besar bercat navy itu sambil memijit-mijit pelipis dengan lengan yang bertelekan di bingkai jendela.Dua jam yang lalu, Erian sangat terperanjat saat mendapati Nadi dan dua rekannya berdiri di depan pintu ruang kerjanya, berniat menjemputnya untuk ditanyai sebagai saksi kasus pembunuhan istrinya. Untung saja ia sudah menyimpan kembali wadah obat tidur yang tadi dipegangnya. Kalau tidak, Erian harus mencari alasan dan para polisi yang menyambangi rumahnya bisa-bisa curiga.Di dalam mobil mahalnya yang dikemudikan oleh Pak Soni, beriringan dengan mobil polisi yang mengangkut Nadi dan rekan-rekannya, Erian berpikir keras. Seharusnya, dengan ditemukannya sidik jari Oron di guci kecil yang digunakan sebagai senjata pembunuh, para
“Silakan keluar!”Walaupun mendengar gemerincing kunci, gedebuk gembok sel tahanannya yang dibuka, dan suara si polisi penjaga, Orion tidak tertarik untuk mengubah posisinya yang berbaring menyamping sambil membelakangi pintu. Ia tetap berpura-pura memejamkan mata dengan tangan tergeletak di bawah pipinya, mengesankan pada siapa pun yang melihatnya jika dirinya sedang tidur.“Pak Orion, silakan keluar!” Nada kalimat si polisi sudah merambat naik beberapa oktaf. Pasti ia sudah merasa jengkel karena Orion tidak bergerak-gerak. Si polisi sendiri sudah lelah menghadapi tingkah tahanannya yang satu itu, seolah Orion sengaja membuatnya berang. Entah apa alasannya. Mungkin semata-mata karena orang kaya itu bosan dan ia beranggapan kalau berperilaku menyebalkan dapat mengurangi sedikit kejenuhan.Huh, pikir Orion tidak riang, si polisi menyuruh keluar sel pasti karena ada lagi orang yang datang berkunjung. Bukannya ia sudah bilang bahwa ia tidak ingin bertemu siapa pun saat ini? Mana mungkin