Perjalanan itu terasa canggung. Dokter Lavin dan Citra masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Mereka hanya bertegur sapa formal saat menaiki mobil, itu pun karena alasan etika. Citra akan merasa tidak sopan jika tidak berbicara apapun pada orang yang telah berbaik hati memberinya tumpangan, bahkan tempat tinggal. Sedangkan Dokter Lavin melakukan aksi irit bicara sebab agak bersalah karena sudah menguping dengan sengaja di ruang kesehatan tadi.Sebenarnya, Citra sedikit enggan untuk pergi ke tempat yang Dokter Lavin sarankan sekarang. Usai permintaannya yang berani untuk bercerai dari Orion tadi, ia membutuhkan kesendirian, aman dari mata siapapun, untuk memikirkan lebih lanjut tentang bagaimana kehidupannya setelah ia benar-benar berpisah dari suaminya dan keluarga Indrayana.Tapi, melihat wajah Dokter Lavin yang terlihat sungguh-sungguh tulus ingin membantunya menyembunyikan diri dari Erian ketika pria itu menemuinya di ruang kesehatan, Citra jadi tidak bisa menolak. Biarlah,
“Apa? Kalian kehilangan mobil itu?”Erian berteriak garang pada para petugas keamanan berbadan kekar yang menghadapnya di ruang kerja di rumahnya. Saat memasuki rumah tadi, ia sudah dikejutkan dengan keadaan kamar Bik Yuli yang terkunci dari luar, sesuatu yang tidak akan pernah dilakukan oleh asisten rumah tangganya ketika sedang tidak pulang kampung.Begitu kamar wanita tua itu dibuka, Erian pun menemukan Bik Yuli tengah terduduk di tempat tidurnya sambil mengurut-urut kakinya yang bengkak. Citra sudah tidak ditemukan di mana pun. Usai mendengar penjelasan Bik Yuli tentang bagaimana Citra kabur dari situ, Erian menjadi yakin jika Dokter Lavin yang memproduksi keributan di depan rumahnya bekerja sama dengan Citra yang menyusup.“Apa Citra bilang dia mau mengajak Bibik ke mana?” Erian bertanya frustrasi. Rasa jengkelnya semakin menjadi-jadi saat wanita tua yang ditanyainya menjawab dengan gelengan takut-takut. “Bibik bagaimana, sih. Harusnya Bibik pura-pura menurut saja waktu Citra mau
Orion duduk sambil memeluk kakinya. Wajahnya merana. Napasnya berat. Sejak bangun tidur pada subuh tadi sampai sekarang di waktu lewat tengah hari, ia belum berminat terhadap makanan. Si polisi yang menjaganya hanya mengernyit tidak suka saat mengangkat nampan makan Orion yang sama sekali tidak tersentuh, mengira pria itu tidak suka makanannya, dan mulai mengomel tentang orang kaya yang hobinya pilih-pilih pangan. “Harusnya kamu bersyukur karena masih ada makanan untuk dimakan. Lihat di luar sana, banyak sekali anak-anak dan orang tua yang sudah tidak produktif mengais-ngais tong sampah cuma untuk memungut sisa makanan yang mungkin sudah tidak layak makan,” omel si polisi sambil berlalu keluar dari ruang tahanan.Merasa dirinya tidak melakukan apa yang si polisi tuduhkan, Orion memilih diam dan hanya melanjutkan renungannya usai melirik punggung si polisi sesaat. Lagipula, banyaknya kejadian yang menimpanya sepanjang pagi ini telah menguras semua tenaganya untuk berbicara. Bahkan, ka
“Belinda?”Citra berseru kaget dengan mata terbelalak. Kepalanya menoleh cepat untuk bergantian menatap Dokter Lavin yang tersenyum di sampingnya dan gadis kecil yang berlari menyongsongnya, masih terpana dengan pemandangan di depannya sehingga membuatnya lupa bagaimana caranya menghamburkan kata-kata untuk sesaat. Pemahaman mulai terbentuk dalam tengkoraknya. Jadi, Dokter Lavin membawa Citra ke rumahnya sendiri?“Anak Papa sudah pulang sekolah, ya?” Dokter Lavin bertanya lembut sambil membawa Belinda ke dalam gendongannya, mengelus rambutnya, lalu mencubit pipinya gemas. “Bagaimana di sekolah hari ini? Belinda belajar dan bermain dengan baik, kan? Bersikap baik pada teman dan guru, kan? Oh ya, Belinda sudah makan?”Belinda menggeleng lucu. Rambut panjangnya yang dikuncir dua dan diberi ikatan berhias kupu-kupu di masing-masing sisi kepala ikut berkibar. “Belinda belum makan, Pa. Tadi, Belinda sudah di meja makan waktu dengar suara mobil Papa datang. Jadi, Belinda keluar, deh. Ayo, Pa
Erian duduk dengan resah di dalam mobil mahalnya yang terparkir rapi di halaman kantor polisi Kota Ryha. Lewat kaca jendela yang terbuka lebar di samping kanannya, ia menoleh dan menghadapkan wajahnya ke kejauhan, ke arah jalanan yang cukup ramai di depan bangunan besar bercat navy itu sambil memijit-mijit pelipis dengan lengan yang bertelekan di bingkai jendela.Dua jam yang lalu, Erian sangat terperanjat saat mendapati Nadi dan dua rekannya berdiri di depan pintu ruang kerjanya, berniat menjemputnya untuk ditanyai sebagai saksi kasus pembunuhan istrinya. Untung saja ia sudah menyimpan kembali wadah obat tidur yang tadi dipegangnya. Kalau tidak, Erian harus mencari alasan dan para polisi yang menyambangi rumahnya bisa-bisa curiga.Di dalam mobil mahalnya yang dikemudikan oleh Pak Soni, beriringan dengan mobil polisi yang mengangkut Nadi dan rekan-rekannya, Erian berpikir keras. Seharusnya, dengan ditemukannya sidik jari Oron di guci kecil yang digunakan sebagai senjata pembunuh, para
“Silakan keluar!”Walaupun mendengar gemerincing kunci, gedebuk gembok sel tahanannya yang dibuka, dan suara si polisi penjaga, Orion tidak tertarik untuk mengubah posisinya yang berbaring menyamping sambil membelakangi pintu. Ia tetap berpura-pura memejamkan mata dengan tangan tergeletak di bawah pipinya, mengesankan pada siapa pun yang melihatnya jika dirinya sedang tidur.“Pak Orion, silakan keluar!” Nada kalimat si polisi sudah merambat naik beberapa oktaf. Pasti ia sudah merasa jengkel karena Orion tidak bergerak-gerak. Si polisi sendiri sudah lelah menghadapi tingkah tahanannya yang satu itu, seolah Orion sengaja membuatnya berang. Entah apa alasannya. Mungkin semata-mata karena orang kaya itu bosan dan ia beranggapan kalau berperilaku menyebalkan dapat mengurangi sedikit kejenuhan.Huh, pikir Orion tidak riang, si polisi menyuruh keluar sel pasti karena ada lagi orang yang datang berkunjung. Bukannya ia sudah bilang bahwa ia tidak ingin bertemu siapa pun saat ini? Mana mungkin
Teriakan yang tidak pernah disangka kedatangannya itu membuat Citra tersedak oleh makanannya dan terbatuk-batuk hebat. Dengan mata berair, ia meraih gelas berisi air putih yang disodorkan oleh Dokter Lavin padanya. Usai minum dua teguk, batuknya mereda dan Citra menoleh ke arah munculnya pekikan yang membahana itu. Penampakan yang ditangkap oleh penglihatannya otomatis membuatnya shock hingga membuatnya kontan berdiri dari duduknya. Harusnya Citra mempertimbangkan hal ini sebelum menerima tawaran Dokter Lavin untuk tinggal sementara di rumahnya.Walaupun sudah lebih dari lima tahun tidak bertemu dengan si pemilik suara itu, Citra tidak mungkin salah mengenalinya. Wajah ketus, nada bicara yang selalu meremehkan, dan penampilan mencolok yang tidak sesuai dengan usianya hanya dimiliki oleh seorang Jian Restia. Ibu Dokter Lavin.Begitu Citra memberinya tatapan tercengang, Jian mendecih tanda tidak suka. Wanita berusia 60-an tahun itu kemudian memasuki ruang makan dan tanpa sopan santun m
“Dokter Hardi, kamu harus menolongku. Orion dan Citra sudah keterlaluan. Bagaimana mungkin mereka melakukan itu pada orang tua mereka sendiri?”Erian berkata begitu sambil membuka pintu ruangan Dokter Hardi tanpa permisi, membuat dokter senior itu terlonjak kaget dan mendongak dari kertas yang tengah dipelototinya, ekspresinya campuran antara heran dan kurang riang dengan tingkah Erian yang tidak sopan itu.Tapi, Dokter Hardi memilih memakluminya karena dua alasan. Pertama, karena Erian adalah temannya. Kedua, sebab pengusaha hotel itu rutin berdonasi dengan jumlah besar untuk rumah sakit yang dikelolanya. Sehingga, Dokter Hardi berupaya mengendalikan diri dan bertanya. “Ada apa ini, Erian? Kamu membuatku benar-benar terkejut dengan masuk tanpa pemberitahuan seperti ini. Tidak biasanya kamu melakukan ini. Apa yang sudah mengganggumu?”“Orion dan Citra,” jawab Erian seraya melemparkan tubuhnya ke sandaran sofa empuk di situ kemudian memijit-mijit pelipisnya. “Saya tidak tahu apa yang m