"Permisi, Anda Citra Narutama, kan? Yang aktris itu?"Citra yang tengah sibuk memperbaiki make up-nya di cermin wastafel toilet kantor polisi melirik ke samping kanan dan menemukan dua orang wanita menatapnya penasaran.Pasti mereka bukan polisi, pikir Citra yakin, tidak akan ada polisi dengan tubuh sependek dan segemuk mereka. Mungkin mereka hanya pengunjung atau juga akan ditanyai seperti dirinya."Iya, benar," jawab Citra sambil memamerkan senyum menawannya, seperti yang selalu dilakukannya ketika bertemu dengan orang lain sewaktu masih aktif jadi aktris.Dua wanita di depan Citra memekik riang kemudian menutup mulut, masih cekikikan sumringah. Lalu, salah seorang dari mereka memilih bertanya."Apa yang Anda lakukan di sini? Apa Anda di sini sehubungan dengan kasus pembunuhan ibu mertua Anda?"Senyum menawan Citra hilang. Sekarang ia yakin betul bahwa dirinya sedang bertatap muka dengan salah dua reporter. Diam-diam ia mengutuki diri karena nekat ke toilet cuma untuk memoles-moles
Mungkin karena gugup, karena hanya beberapa menit setelah Erian memasuki ruang interogasi dan Citra izin ke polisi untuk ke toilet, Orion pun bermaksud ke kamar kecil. Bukan untuk buang air kecil atau hajat-hajat semacamnya, tapi untuk menenangkan diri. Orion merasa tidak bisa rileks di bawah pengawasan polisi yang tiap beberapa detik sekali memberinya tatapan tajam.Hampir tiba di toilet, Orion disuguhkan dengan pemandangan menarik. Ia baru saja melihat Citra mengikuti seorang pria menuju ke luar bangunan kantor polisi. Orion tidak bisa memastikan identitas si pria karena hanya melihat bagian belakangnya. Lebih karena penasaran apa yang dibicarakan oleh Citra dengan pria asing itu, daripada karena rasa cemburu ataupun hasrat ingin melindungi istrinya, Orion membatalkan niatnya dan memilih mengikuti dua orang itu.Sambil berjongkok di sebelah semak-semak yang sudah ditata sedemikian rupa agar kelihatan estetik, beberapa meter dari pria yang berdiri di samping bangku taman, Orion memic
"Hah? Polisi datang sepagi ini? Buat apa?"Erian bertanya pada Bik Yuli yang baru saja melapor soal itu dan yang didapatnya adalah gelengan tidak tahu. Ia mengernyitkan jidat dan mengira-ngira alasannya. Baru kemarin Erian bertemu dengan polisi dan sekarang harus bertatap muka lagi. Kapankah ia bisa menikmati hari tanpa perlu bersua dengan para aparat itu?"Ya sudah, bilang sama mereka kalau saya akan menemuinya di ruang tamu," ujar Erian dengan nada lelah. Ia kembali memasuki kamar tamu yang ditempatinya sejak kematian Henny, karena kamarnya diberi garis polisi dan belum bisa dihuni, untuk menyimpan handuk yang tadi dipakainya usai mandi karena terburu-buru berpakaian sebab Bik Yuli berkali-kali mengetuk pintunya.Setelah mengamati penampakan dirinya sekilas di depan cermin, Erian keluar dari kamar dan menuju ruang tamu. Di sana, telah menunggu Nadi bersama sekumpulan rekannya yang memenuhi ruangan, bahkan ada juga yang terlihat berkeliaran di teras. Erian pun duduk dengan wajah kehe
Bukannya mengambil air minum seperti tujuannya semula, Citra jusru membiarkan punggungnya merosot di dinding kitchen set. Walaupun sudah berupaya maksimal untuk bersikap tenang, tidak ayal Citra disergap kegugupan juga. Polisi akhirnya menemukan juga senjata yang disembunyikannya dengan sengaja di toilet ketika ia mandi tadi. Sekarang ia hanya bisa berharap sidik jarinya tidak tertinggal di plastik bening tadi walaupun telah menggunakan sarung tangan.“Non Citra kenapa? Ada yang sakit? Perut Non sakit? Apa Bibik perlu telpon dokter?” Bik Yuli bertanya bertubi-tubi begitu melihat Citra terduduk di lantai dapur.Citra mendongak dan mendapati wajah risau Bik Yuli. “Saya tidak apa-apa kok, Bik. Hanya kelelahan.” Ia kemudian melambaikan tangan untuk memanggil. “Mendekat ke sini sebentar, Bik. Saya mau tanya sesuatu.”Dengan patuh, Bik Yuli menghampiri Citra dan berjongkok di sampingnya, menyiagakan telinga untuk mendengarkan apapun yang akan disampaikan majikannya yang cantik itu.“Bik, wa
23“Bagaimana? Kamu sudah meyakinkan Rion seperti rencana kita?”Erian bertanya begitu Citra memasuki mobil dan duduk di sampingnya. Mereka berdua berencana pergi ke vila pribadi keluarga Indrayana yang terletak di perbatasan Kota Ryha dengan kota sebelah, mumpung Orion keluar rumah dengan alasan ada pertemuan mendadak dengan wakil perusahaan periklanan. Tapi, Citra yakin betul siapa yang akan ditemui suaminya. Siapa lagi kalau bukan Ulfa. Jadi, Citra tidak merasa salah saat memutuskan akan menghabiskan hari libur itu dengan selingkuhannya juga.Pak Soni sudah mengarahkan mobil keluar dari halaman rumah ketika Citra beringsut ke arah Erian, mendekap lengannya, dan membuka mulut. “Tentu saja, Sayang. Dan, seperti yang kita perkirakan, Rion kan bodoh, jadi dia cepat percaya sama apa yang aku bilang. Ditambah lagi dengan aktingku yang sangat meyakinkan, dia akan menelan bulat-bulat semua omonganku.”“Bagus sekali, Sayang. Kamu memang dapat diandalkan,” ujar Erian bangga sambil mengusap l
24Jalan menuju keluar perumahan itu sepi dan menawarkan perlindungan yang dibutuhkan. Sebab itu, Orion memilih berhenti sejenak di balik pohon besar yang tumbuh di situ untuk menelpon Ulfa. Ia baru ingat kalau dirinya dilarang bepergian keluar kota sedangkan ia sudah telanjur berjanji pada Ulfa untuk menemuinya di sebuah hotel di kota sebelah. Karena itu, ia mau mengganti tempat pertemuan mereka.Orion baru mengeluarkan ponsel dari saku jaket abu-abunya saat sebuah mobil menuju ke arahnya. Matanya membeliak ketika menyadari mobil itu adalah milik ayahnya, artinya Erian akan pergi ke suatu tempat. Gawat! Orion harus sembunyi.Walaupun ada risiko dikenali dari kendaraannya, ia tidak terlalu resah karena ada beberapa orang di perumahan itu yang memiliki mobil yang sama sehingga ayahnya akan berpikir jika mobil itu milik orang lain, bukan Orion.Setelah beberapa menit yang menegangkan, Orion akhirnya berani menaikkan kepalanya. Merasa tempat persinggahannya sudah tidak aman, siapa tahu a
“Emm-, Rion? Kamu kenapa? Rion?” Citra bertanya canggung dalam dekapan suaminya. Ia diterjang kebingungan yang tidak terkira-kira. Bagaimana tidak, itu adalah pelukan pertama yang didapatnya dari Orion sejak setahun yang lalu. Citra tidak membalas memeluk Orion, hanya mengerjapkan matanya, tidak yakin harus bereaksi seperti apa. Sementara di depannya, Erian menyaksikan adegan itu dengan wajah tidak riang. Sedangkan Pak Soni di kursi sopir sekali-sekali melirik ke spion. Setelah beberapa menit yang melegakan, Orion melepaskan dekapannya dan menarik tangan istrinya, mengajaknya keluar dari mobil Erian tanpa kata. Walaupun heran sehingga masih tidak tahu mesti bagaimana, Citra membiarkan juga suaminya mengenggam tangannya dan turun.“Maaf, Ayah, tapi Citra sedang hamil muda. Tidak seharusnya Ayah membawanya ke mana pun tanpa seizin saya, suaminya,” ujar Orion tegas. Di sampingnya, Citra sangat terperanjat sampai matanya terbelalak dan mulutnya terbuka, tidak menyangka suaminya bisa mema
Satu nama itu rupanya ampuh menghancurkan suasana intim yang tidak sengaja terbangun di antara Orion dan Citra saat itu. Sebab, begitu melihat layar ponsel suaminya, kegeraman yang tak bisa dijelaskan tiba-tiba membungkus Citra, membuatnya memalingkan wajah dengan ekspresi jengkel, berniat tidak akan membiarkan matanya melihat sosok suaminya selama mungkin.Sedangkan Orion langsung merasa salah tingkah seperti telah tertangkap basah melakukan dosa besar. Matanya jumpalitan tidak fokus dan mulutnya buka tutup tidak jelas, tidak tahu apakah akan memutuskan akan berbicara atau tidak. Kalaupun bakal bersuara, kata apa yang akan dilompatkannya pun ia tidak tahu. Tapi, Orion yakin sekali jika Citra tidak suka dengan deretan huruf yang terpajang di ponselnya sekarang sehingga memilih untuk mengabaikan saja panggilan itu sampai layarnya menggelap kembali.Namun, orang yang berusaha menghubungi Orion adalah manusia pantang menyerah, atau mungkin keras kepala karena beberapa detik setelahnya,