Ruang autopsi itu dingin, sedingin tubuh-tubuh yang dibedah di situ. Keadaan itu pun memengaruhi dokter forensik yang menghabiskan setengah dari 24 jam sehari yang dipunyai dengan menghuni tempat itu.Di mata rekan-rekannya, Dokter Levin adalah sosok manusia yang tidak berperasaan, nihil empati, dan nyaris tidak ada interaksi dengan orang lain, kecuali soal pekerjaan. Sungguh sesuai dengan profesinya yang berkaitan sangat erat dengan mayat.Dokter Levin tengah menyelesaikan tahap akhir autopsi yang dibebankan padanya: menjahit bagian tengah badan jenazah yang telah dibedahnya dengan kecepatan dan ketepatan yang mengagumkan. Jahitannya sudah hampir berakhir saat dinding kaca yang membatasi ruang autopsi dan ruang tunggu yang biasanya digunakan oleh polisi, jaksa, atau rekan dokter yang lain tiba-tiba diketuk.Tok, tok, tok!Ketukan dengan bunyi mendesak seperti itu hanya bermakna dua hal bagi Dokter Levin. Satu, ada mayat lain yang perlu diautopsi secepatnya. Dan dua, pihak yang membua
"Bik Yuli, tolong bicara jujur. Apa benar keterangan Bu Citra yang menyatakan bahwa Anda membawa Bu Henny ke kamarnya setelah beliau bertengkar dengan Bu Citra sekitar pukul 4 lewat di sore hari kejadian?"Menindaklanjuti informasi yang diterimanya dari Dokter Levin, Nadi langsung memanggil Bik Yuli ke kantor polisi untuk diinterogasi sebagai saksi keesokan paginya, walaupun Erian sempat bersikeras agar asisten rumah tangganya itu ditanyai di rumahnya saja saat aparat menjemput Bik Yuli."Emm, emm, itu benar, Pak. Tapi, saya tidak tahu jam berapa membawa Nyonya Henny ke kamar," jawab Bik Yuli gugup. Matanya tidak berhenti menjelajahi ruangan tempatnya diwawancarai, terutama dua polisi bertubuh tegap yang menemani Nadi.Nadi membuang napas. Sepertinya perkiraan kronologi yang dipaparkan oleh Dokter Levin tepat. Bisa saja saat bertengkar itu korban sudah sangat mengantuk akibat pengaruh obat tidur sehingga mudah saja terjatuh. Tapi, kenapa tidak ada bekas lebam di tubuhnya?"Bik Yuli, d
Orion menatap tak berkedip layar ponsel di tangannya. Pandangannya terpancang pada susunan huruf-huruf yang di bawahnya dipampang dengan jelas foto ibunya bersama ayahnya saat Hotel Ryha diresmikan hampir sepuluh tahun lalu. Mungkin media tidak berhasil mendapatkan foto Henny yang terbaru sehingga hanya bisa memajang foto itu. Padahal, ibunya telah banyak sekali berubah sejak waktu itu.Pintu ruangannya tiba-tiba menguak dan memperlihatkan Ulfa dengan setelan kemeja dan rok pendeknya yang berwarna hitam, mungkin maksudnya turut berduka cita walaupun Orion tahu tida ada kesedihan sama sekali dalam diri selingkuhannya itu.“Sayang, bisa tidak kamu mengetuk pintu dulu sebelum masuk? Aku kaget kalau kamu mendadak membuka pintu begitu,” tegur Orion dengan suara yang berupaya dibuat selembut mungkin.Ulfa merengut manja. “Kenapa aku harus melakukan itu, Sayang? Aku kan pasti tahu kalau ada orang lain di dalam ruanganmu. Atau, jangan-jangan kamu menyembunyikan sesuatu dariku, ya?” Mata Ulfa
“Aku tidak mengerti kenapa kita harus pergi ke kantor polisi sepagi ini. Lihat, belum juga jam 7. Bahkan polisi pun masih ada yang belum bangun jam segini,” gerutu Orion begitu keluar dari kamar mandi dengan handuk yang membungkus bagian bawah tubuhnya dan air yang berceceran dari rambutnya membasahi lantai.Citra yang tengah memoleskan make up tipis-tipis ke wajahnya di depan meja rias berhenti sejenak demi memberi suaminya, yang berada di belakangnya, lirikan sinis lewat cermin. Ia tidak tertarik menanggapi omongan Orion.“Nah, lebih baik nanti kamu mengaku saja kalau kamu yang sudah membunuh Ibu. Lebih cepat lebih baik. Aku tidak suka jika harus ke kantor polisi sering-sering,” ujar Orion, menatap wajah istrinya juga melalui cermin.Gerakan tangan Citra yang menepuk-nepukkan bedak di pipinya seketika terhenti. Dengan wajah sangar ia berbalik ke arah suaminya. “Apa? Mengaku kalau aku yang membunuh Ibu? Bukannya itu perbuatanmu? Jangan coba-coba membuatku bertanggungjawab atas perbua
Mobil memasuki gerbang kantor polisi dan melewati portal yang dinaikkan oleh seorang petugas yang tampak jelas masih mengantuk. Namun, bukannya melaju lurus ke tempat parkir di sisi sebelah selatan bangunan, Pak Soni justru membawa kendaraannya berbelok ke kiri dan memasuki tempat parkir bawah tanah yang hanya digunakan oleh para petinggi Kepolisian Ryha.Tempat parkir bawah tanah itu lengang, hanya ada dua mobil mewah yang teronggok di salah satu sisi. Lampu yang tergantung di langit-langit menyiramkan cahayanya pada sesosok tubuh yang berdiri di samping salah satu mobil.“Rupanya Pak Nadi sudah menunggu kita. Semoga dia tidak menunggu terlalu lama, itu bisa menjadi kesan yang buruk bagi kita,” ujar Erian begitu matanya menangkap wujud polisi yang telah dikenalnya.Pak Soni menghentikan mobil persis di depan Nadi. Erian, Orion, dan Citra membuka pintu dan turun bersamaan. Erian langsung menghampiri Nadi dan menjabat tangannya erat. “Terima kasih sudah mengizinkan kami menggunakan tem
"Permisi, Anda Citra Narutama, kan? Yang aktris itu?"Citra yang tengah sibuk memperbaiki make up-nya di cermin wastafel toilet kantor polisi melirik ke samping kanan dan menemukan dua orang wanita menatapnya penasaran.Pasti mereka bukan polisi, pikir Citra yakin, tidak akan ada polisi dengan tubuh sependek dan segemuk mereka. Mungkin mereka hanya pengunjung atau juga akan ditanyai seperti dirinya."Iya, benar," jawab Citra sambil memamerkan senyum menawannya, seperti yang selalu dilakukannya ketika bertemu dengan orang lain sewaktu masih aktif jadi aktris.Dua wanita di depan Citra memekik riang kemudian menutup mulut, masih cekikikan sumringah. Lalu, salah seorang dari mereka memilih bertanya."Apa yang Anda lakukan di sini? Apa Anda di sini sehubungan dengan kasus pembunuhan ibu mertua Anda?"Senyum menawan Citra hilang. Sekarang ia yakin betul bahwa dirinya sedang bertatap muka dengan salah dua reporter. Diam-diam ia mengutuki diri karena nekat ke toilet cuma untuk memoles-moles
Mungkin karena gugup, karena hanya beberapa menit setelah Erian memasuki ruang interogasi dan Citra izin ke polisi untuk ke toilet, Orion pun bermaksud ke kamar kecil. Bukan untuk buang air kecil atau hajat-hajat semacamnya, tapi untuk menenangkan diri. Orion merasa tidak bisa rileks di bawah pengawasan polisi yang tiap beberapa detik sekali memberinya tatapan tajam.Hampir tiba di toilet, Orion disuguhkan dengan pemandangan menarik. Ia baru saja melihat Citra mengikuti seorang pria menuju ke luar bangunan kantor polisi. Orion tidak bisa memastikan identitas si pria karena hanya melihat bagian belakangnya. Lebih karena penasaran apa yang dibicarakan oleh Citra dengan pria asing itu, daripada karena rasa cemburu ataupun hasrat ingin melindungi istrinya, Orion membatalkan niatnya dan memilih mengikuti dua orang itu.Sambil berjongkok di sebelah semak-semak yang sudah ditata sedemikian rupa agar kelihatan estetik, beberapa meter dari pria yang berdiri di samping bangku taman, Orion memic
"Hah? Polisi datang sepagi ini? Buat apa?"Erian bertanya pada Bik Yuli yang baru saja melapor soal itu dan yang didapatnya adalah gelengan tidak tahu. Ia mengernyitkan jidat dan mengira-ngira alasannya. Baru kemarin Erian bertemu dengan polisi dan sekarang harus bertatap muka lagi. Kapankah ia bisa menikmati hari tanpa perlu bersua dengan para aparat itu?"Ya sudah, bilang sama mereka kalau saya akan menemuinya di ruang tamu," ujar Erian dengan nada lelah. Ia kembali memasuki kamar tamu yang ditempatinya sejak kematian Henny, karena kamarnya diberi garis polisi dan belum bisa dihuni, untuk menyimpan handuk yang tadi dipakainya usai mandi karena terburu-buru berpakaian sebab Bik Yuli berkali-kali mengetuk pintunya.Setelah mengamati penampakan dirinya sekilas di depan cermin, Erian keluar dari kamar dan menuju ruang tamu. Di sana, telah menunggu Nadi bersama sekumpulan rekannya yang memenuhi ruangan, bahkan ada juga yang terlihat berkeliaran di teras. Erian pun duduk dengan wajah kehe