"Bang Gara yang menyimpannya." Jennie tidak akan menyia-nyiakan kesempatan, seharusnya Lisa menyuruhnya untuk mengambil surat perjanjian itu. "Jika Mama mengijinkanku untuk mengambilnya, aku akan menepati janjiku dan memberikan apa yang Mama mau."
Jennie menunduk, menunggu jawaban dari sang mama. Sudah beberapa menit berlalu, sang mama belum juga bersuara.
"Baiklah. Mama akan mengizinkanmu pulang ke rumah suamimu, tapi ingat! Hanya untuk mengambil surat perjanjian itu saja.“
Akhirnya Lisa luluh juga, dan itu membuat Jennie mengembangkan senyumnya di balik rambutnya yang terurai menutupi wajah.
Jennie menegakkan duduknya, lalu mengangguk. “Aku janji. Setelah berhasil mengambil surat perjanjian itu, aku akan segera kembali.”
Jennie tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk berbicara dengan sang suami supaya bersabar sedikit. Ia yakin sang mama akan merestui hubungan mereka jika tahu kalau Gara adalah laki-laki yang baik, tidak seperti yang namanya tuduhkan.
Jennie bangun dari duduknya sambil mengusap sisa-sisa air mata yang membasahi pipinya. “Aku akan berangkat sekarang.”
Jennie hendak meraih gagang pintu, tapi Lisa mencegatnya untuk memberikan persyaratan. "Kamu jangan lupa bahwa Mama akan terus mengawasimu!"
“Aku tau itu.”
"Jika sampai terbukti bahwa apa yang kamu katakan ini hanyalah sebuah alasan agar bisa bebas dari kurungan, Mama tidak akan segan-segan untuk memberikan hukuman yang lebih dari ini ke depannya!" Ancaman Lisa tidak main-main.
Sayangnya, semua kalimat gertakan yang disuguhkan Lisa sudah tak mempan lagi untuk Jennie. "Jangan khawatir, Ma. Seorang pembohong tidak akan melakukan hal yang sama ketika dirinya sudah dicurigai."
Lisa terdiam setelah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut anaknya sendiri.
Baru selangkah lagi Jennie meninggalkan tempat itu, Lisa sudah kembali berteriak. "Tunggu!"
"Ada apalagi, Ma?"
"Kamu juga harus membahas soal perceraian setelah kontrak berakhir," terang wanita paruh baya tersebut dengan buru-buru.
Jennie tidak menjawab perintah ibunya, ia terus melangkah keluar rumah. Sedetik pun tidak akan ia sia-siakan untuk menghabiskan waktu bersama sang suami.
Karena Jennie mengatakan bahwa kontrak yang ia tandatangani mengharuskan mereka menjalin hubungan selama enam bulan, Lisa menangkap hal tersebut sebagai waktu untuk putrinya mempersiapkan diri demi kemungkinan terburuk. Berpisah selamanya dengan sang suami.
Saat mendatangi kediamannya dengan Gara, Jennie benar-benar merasa bahagia juga sekaligus sedih. Pikirannya campur aduk, antara senang atau sedih.
"Bagaimana kamu bisa keluar dari sana, Biggie?"
Jennie tidak menjawab pertanyaan sang suami, ia hany memeluk erat tubuh jangkung itu untuk melepakan kerinduannya.
Setelah melepas pelukannya, Gara menatap istrinya dengan lekat. “Katakan padaku, bagaimana ini bisa terjadi?” Melihat Jennie bisa keluar dari cengkeraman ibunya, ia yakin kalau ada sesuatu yang terjadi di antara ibu dan anak itu.'Tidak mungkin wanita selicik Lisa bisa dengan mudah dibodohi oleh Jennie,' gumam Gara.
"Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan semuanya." Perlahan mundur, wanita itu mendadak murung.
"Semuanya baik-baik saja, 'kan?" Gara mengangkat dagu sang istri hingga wajah yang dibasahi dengan air mata itu terlihat jelas.
"Aku harus mengatakan sesuatu padamu, Bang," ujar Jennie sambil mengusap air matanya, tidak ada basa-basi sama sekali di antara mereka, benar-benar pertemuan yang menyedihkan.
Gara mengusap air mata yang membasahi sudut pipi wanitanya. "Katakan, ada apa?"
Pembaca Haidar yang sudah hadir, komen dong
"Bang, aku mengatakan pada Mama kalau terjadi sesuatu diantara kita berdua. Sehingga, untuk beberapa saat tolong jangan temui aku dulu.""Kamu datang hanya untuk pergi?" tanya Gara, "jika aku bertanya alasannya, apa kamu akan menjawabnya, Biggie?"Jennie menghela napas panjang. “Bang, semua yang aku lakukan supaya kita bisa bersama lagi. Bersabarlah sebentar saja, aku janji akan membuat Mama merestui hubungan kita.”“Dengan begini kamu membuatku menjadi suami yang tidak berguna. Aku hanya duduk manis di rumah menunggu restu dari ibumu?”“Bang … aku tau siapa mamaku, aku yakin dia akan menuruti kemauanku. Tidak ada orang tua yang ingin merusak kebahagiaan anaknya kan? Mungkin saat ini Mama hanya sakit hati karena kita menikah tanpa memberitahunya.”'Kamu tidak tau kalau dia bukan ibu kandungmu, Biggie.' Gara hanya bisa berucap dalam hati, ia tidak bisa mengatakan semuanya karena tidak mempunyai bukti yang kuat.Setelah beberapa saat menghening, Jennie melanjutkan ucapannya. "Aku tau pa
'Ya Tuhan … bagaimana ini?' gumam Jennie dalam hati. Ia buru-buru melipat asal kertas perjanjian itu, lalu menyelipkannya pada pakaian yang akan ia bawa.“I-ini aku mau bawa baju kamu,” jawab Jennie sedikit gugup, “boleh kan? Aku bisa memeluk ini kalau aku kangen sama kamu, Bang.”Jennie mengambil pakaian yang biasa di gunakan sang suami sehari-hari sambil menyembunyikan selembar surat perjanjian pernikahannya dengan Gara.Entah apa yang ada di pikiran wanita itu. Bukannya menyelematkan pernikahannya, tapi perbuatan Jennie bisa mengancam rumah tangganya sendiri.Jennie hanya ingin membuat Lisa percaya lagi padanya supaya ia dan Gara bisa berbicara baik-baik pada ibunya, tapi Jennie tidak tahu kalau wanita yang dia anggap ibu kandungnya itu sangatlah licik.Gara menghampiri Jennie, lalu memeluknya dari belakang. Ia melabuhkan ciuman di tengkuk sang istri. “Maafkan aku, Biggie. Aku tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu, aku tidak bisa melindungimu.”Seandainya saja sang mertua adal
Perempuan cantik itu beralih kembali pada Lisa. "Apa aku boleh masuk, Ma? Mama bisa lanjutkan mengobrol dengannya." "Dia datang ke sini untukmu, Jennie. Kenapa Mama yang harus menemaninya?"Belum sempat melangkah, perkataan Lisa jelas membuat Jennie mematung di tempat. Ia berbalik menghadap sang mama. Perlu waktu yang cukup lama demi bisa memahami kalimat yang terdengar sangat ambigu tersebut. 'Khusus untukku? Siapa dia?Aku bahkan nggak kenal sama dia,' batin Jennie."Maksud Mama apa?" tanya Jennie sambil melirik Mario yang sedang tersenyum, menatapnya."Mama mengundang Mario untuk mengenalkan mu padanya. Dia ini pewaris keluarga terkaya di kota ini. Dia sedang mencari seorang istri." Lisa berkata dengan senyuman mematikan. Sengaja mendekatkan wajahnya ke telinga Jennie, berbisik melanjutkan. "Seperti apa yang Mama katakan sebelumnya —akan mengenalkanmu dengan laki-laki lain yang jauh lebih baik.""Ma!" Jennie membentak Lisa. Ia tidak habis pikir dengan tindakan yang dilakukan oleh
"Cepatlah pulang kalau kamu masih menganggap aku ini sebagai ibumu!" titah sang mama dari balik telepon kepada Jennie. "Aku nggak bisa, Ma," sahut Jennie. "Besok pagi-pagi sekali aku pulang, sekarang aku lagi di rumah temen. Tempatnya lumayan jauh juga dari rumah, besok aja ya aku pulangnya, ini udah malam." Jennie berbohong, ia tidak mungkin mengatakan kalau sekarang dirinya sedang bersama dengan laki-laki yang ia cintai.Pernikahan kontrak membuatnya terjebak dalam lingkaran cinta sang CEO. Ia tidak menyangka akan jatuh cinta secepat ini kepada laki-laki yang ia benci yang sudah menikahinya beberapa Minggu lalu. Laki-laki sombong dan manja yang ia benci itu ternyata menjadi suaminya dan menjadi satu-satunya laki-laki yang bisa meluluhkan hatinya. "Ternyata kamu sudah pandai berbohong." Sang mama tertawa mendengar kebohongan dari anaknya. Dipikirnya ia tidak tahu tentang pernikahan diam-diam Jennie dengan bosnya itu. "Maksudnya teman hidupmu?" tanya sang mama sambil tertawa meng
"Kamu harus menceraikan Gara!" ucap Lisa, telak.Jennie mematung, mendengar kalimat itu membuatnya seperti kehilangan jiwa. "Ce-cerai?"Pernikahan yang baru saja berlangsung selama beberapa minggu itu dipaksa untuk diakhiri begitu saja?Bagaimana bisa perempuan yang melahirkan dirinya ini justru mengatakan hal semacam itu untuk rumah tangganya?"Ya! Kamu harus menceraikan pria itu!""Ma!" Tanpa sengaja, Jennie berteriak. Amarah yang semula ia tahan tidak bisa dibendung lagi ketika mendengar kata terlarang itu, perceraian."Mama apa-apaan sih?" Berlanjut, menghardik sosok di hadapannya. "Kenapa Mama bisa berpikir seperti itu untuk putri Mama sendiri!" geramnya, tidak terima.Lisa menatap lurus pada sang putri, sorot matanya seperti sedang menutupi sesuatu, sebuah rahasia besar. "Karena hanya itu yang terbaik untukmu!""Yang terbaik?" ulang Jennie, lalu tersenyum miring. "Sejak kapan sebuah perceraian dikatakan baik, Ma?""Kamu tidak akan mengerti!" Lisa membentak lagi. Frustasi karena p
"Kamu percaya dengan suamimu ini, 'kan?" Gara berusaha meyakinkan istrinya kalau semua akan baik-baik saja, tapi Jennie justru menangis sejadi-jadinya."Hei, kenapa malah menangis? Kamu harus kuat demi cinta kita.” Gara panik, ia tidak tahu kalau kalimatnya justru membuat Jennie menangis histeris. Gara menyentuh wajah istrinya yang dibanjiri air mata. "Biggie, Sayang. Jangan menangis seperti ini. Kamu membuatku semakin merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apa pun untukmu. Maafkan suamimu ini."Wanita itu sudah tidak peduli lagi dengan apa yang mungkin terjadi dan hanya ingin meluapkan segala rasa yang ada di hati.Kenapa di saat ia mulai mencintai laki-laki yang menikahinya itu cobaan datang begitu berat. Bagaimana tidak berat karena cobaan itu datang dari sang mama.Restu orang tua untuk kehidupannya itu nomor satu, tapi apakah boleh dia memberontak? Melawan wanita yang telah mencurahkan kasih sayang untuknya.Bukankah restu orang tua adalah restu Tuhan. Bagaimana bisa ia hidu
"Kita pasti akan bersama lagi." Jennie mencium punggung tangan suaminya. "Sebaiknya Bang Gara pergi sebelum Mama kembali!" pinta Jennie pada suaminya.Sejujurnya Jennie sangat senang ditemani Gara, tapi ia merasa kasihan pada sang suami yang terus berdiri sejak lama di luar jendela demi menemaninya.Gara menunduk sebentar. "Aku tidak mau pergi dari tempat ini."Sejak tadi, lebih tepatnya sejak pertama kali Jennie masuk ke dalam dan berdebat dengan orang tuanya, Gara terus menunggu di seberang rumah itu. Ia begitu mengkhawatirkan istrinya.“Bang, pergilah! Aku akan baik-baik aja.” Jennie memohon agar suaminya pergi. Ia tidak ingin semuanya menjadi kacau jika ibunya tahu kalau Gara menemuinya."Aku akan menunggu mamamu datang baru pergi dari sini. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian, Biggie," ucap Gara. “Bang, kumohon, pergilah!” sekali lagi Jennie memohon pada sang suami. “Bagaimana bisa aku meninggalkan istriku sendiri dalam keadaan seperti ini?”Ingin sekali Gara membawa kabur i
"Menikah dengannya membuatmu berubah, Jennie! Itulah sebabnya aku melarangmu!" Lisa memotong pembicaraan anaknya. "Kamu sudah menjadi anak yang pembangkang!" lanjutnya sambil menunjuk Jennie dengan acungan tangan."Bang Gara nggak seburuk dan nggak sejahat yang Mama pikirkan!" Jennie tak mau kalah. "Aku yang memilih untuk merahasiakan hal ini, kenapa Mama menyalahkannya!""Karena dia sudah membawa pengaruh buruk padamu!" Lisa kembali membentak, ia sangat kesal Jennie semakin menantangnya."Ya, kami bertemu! Kami memang sempat bicara beberapa saat yang lalu." menjeda penjelasannya sebentar. "Asal Mama tahu, kami berdua nggak akan bisa dipisahkan semudah itu, Ma!" terang wanita yang mulai berani untuk melawan ketika dirinya tidak merasa bersalah.“Sebelum menikah dengannya kamu tidak pernah melawan Mama seperti ini.“"Karena aku udah capek mengikuti semua perintah Mama. Dan aku tegaskan, kami nggak akan pernah meninggalkan satu sama lain!" Mengakhiri perlawanannya dengan percaya diri, Je
Perempuan cantik itu beralih kembali pada Lisa. "Apa aku boleh masuk, Ma? Mama bisa lanjutkan mengobrol dengannya." "Dia datang ke sini untukmu, Jennie. Kenapa Mama yang harus menemaninya?"Belum sempat melangkah, perkataan Lisa jelas membuat Jennie mematung di tempat. Ia berbalik menghadap sang mama. Perlu waktu yang cukup lama demi bisa memahami kalimat yang terdengar sangat ambigu tersebut. 'Khusus untukku? Siapa dia?Aku bahkan nggak kenal sama dia,' batin Jennie."Maksud Mama apa?" tanya Jennie sambil melirik Mario yang sedang tersenyum, menatapnya."Mama mengundang Mario untuk mengenalkan mu padanya. Dia ini pewaris keluarga terkaya di kota ini. Dia sedang mencari seorang istri." Lisa berkata dengan senyuman mematikan. Sengaja mendekatkan wajahnya ke telinga Jennie, berbisik melanjutkan. "Seperti apa yang Mama katakan sebelumnya —akan mengenalkanmu dengan laki-laki lain yang jauh lebih baik.""Ma!" Jennie membentak Lisa. Ia tidak habis pikir dengan tindakan yang dilakukan oleh
'Ya Tuhan … bagaimana ini?' gumam Jennie dalam hati. Ia buru-buru melipat asal kertas perjanjian itu, lalu menyelipkannya pada pakaian yang akan ia bawa.“I-ini aku mau bawa baju kamu,” jawab Jennie sedikit gugup, “boleh kan? Aku bisa memeluk ini kalau aku kangen sama kamu, Bang.”Jennie mengambil pakaian yang biasa di gunakan sang suami sehari-hari sambil menyembunyikan selembar surat perjanjian pernikahannya dengan Gara.Entah apa yang ada di pikiran wanita itu. Bukannya menyelematkan pernikahannya, tapi perbuatan Jennie bisa mengancam rumah tangganya sendiri.Jennie hanya ingin membuat Lisa percaya lagi padanya supaya ia dan Gara bisa berbicara baik-baik pada ibunya, tapi Jennie tidak tahu kalau wanita yang dia anggap ibu kandungnya itu sangatlah licik.Gara menghampiri Jennie, lalu memeluknya dari belakang. Ia melabuhkan ciuman di tengkuk sang istri. “Maafkan aku, Biggie. Aku tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu, aku tidak bisa melindungimu.”Seandainya saja sang mertua adal
"Bang, aku mengatakan pada Mama kalau terjadi sesuatu diantara kita berdua. Sehingga, untuk beberapa saat tolong jangan temui aku dulu.""Kamu datang hanya untuk pergi?" tanya Gara, "jika aku bertanya alasannya, apa kamu akan menjawabnya, Biggie?"Jennie menghela napas panjang. “Bang, semua yang aku lakukan supaya kita bisa bersama lagi. Bersabarlah sebentar saja, aku janji akan membuat Mama merestui hubungan kita.”“Dengan begini kamu membuatku menjadi suami yang tidak berguna. Aku hanya duduk manis di rumah menunggu restu dari ibumu?”“Bang … aku tau siapa mamaku, aku yakin dia akan menuruti kemauanku. Tidak ada orang tua yang ingin merusak kebahagiaan anaknya kan? Mungkin saat ini Mama hanya sakit hati karena kita menikah tanpa memberitahunya.”'Kamu tidak tau kalau dia bukan ibu kandungmu, Biggie.' Gara hanya bisa berucap dalam hati, ia tidak bisa mengatakan semuanya karena tidak mempunyai bukti yang kuat.Setelah beberapa saat menghening, Jennie melanjutkan ucapannya. "Aku tau pa
"Bang Gara yang menyimpannya." Jennie tidak akan menyia-nyiakan kesempatan, seharusnya Lisa menyuruhnya untuk mengambil surat perjanjian itu. "Jika Mama mengijinkanku untuk mengambilnya, aku akan menepati janjiku dan memberikan apa yang Mama mau." Jennie menunduk, menunggu jawaban dari sang mama. Sudah beberapa menit berlalu, sang mama belum juga bersuara. "Baiklah. Mama akan mengizinkanmu pulang ke rumah suamimu, tapi ingat! Hanya untuk mengambil surat perjanjian itu saja.“ Akhirnya Lisa luluh juga, dan itu membuat Jennie mengembangkan senyumnya di balik rambutnya yang terurai menutupi wajah. Jennie menegakkan duduknya, lalu mengangguk. “Aku janji. Setelah berhasil mengambil surat perjanjian itu, aku akan segera kembali.” Jennie tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk berbicara dengan sang suami supaya bersabar sedikit. Ia yakin sang mama akan merestui hubungan mereka jika tahu kalau Gara adalah laki-laki yang baik, tidak seperti yang namanya tuduhkan. Jennie bangun dari dud
Jennie menarik napas panjang. "Karena pada akhirnya, setelah masa kontrak kami berakhir, aku dan Bang Gara akan berpisah. Sesuai kesepakatan, kami akan menjalani hidup masing-masing." Lisa mendekat sambil menatap tajam Jennie. "Kamu sadar sudah berapa banyak kebohongan yang kamu ucapkan pada Mama, Jennie?" “Maafkan aku, Ma. Aku mengaku salah.” Jennie menunduk untuk meyakinkan sang mama kalau ia benar-benar menyesal. "Kamu mengatakan ini, karena ingin membuatku percaya dan membebaskanmu, 'kan? Jangan pernah sekali-kali berniat untuk menipuku lagi!" Jennie sudah menebak kalau mamanya tidak akan mudah percaya dengan apa yang dia ucapkan, tapi ia tidak akan putus asa mencari cara supaya sang mama tidak mengurungnya lagi. "Mama boleh percaya atau nggak sama aku, tapi aku berkata sejujurnya kalau kontrak pernikahanku hanya enam bulan." Jennie menggunakan rahasianya untuk bisa bebas dari kurungan sang mama, tapi ia tidak sadar kalau itu hanya akan membuat Lisa semakin mudah memisahkann
"Menikah dengannya membuatmu berubah, Jennie! Itulah sebabnya aku melarangmu!" Lisa memotong pembicaraan anaknya. "Kamu sudah menjadi anak yang pembangkang!" lanjutnya sambil menunjuk Jennie dengan acungan tangan."Bang Gara nggak seburuk dan nggak sejahat yang Mama pikirkan!" Jennie tak mau kalah. "Aku yang memilih untuk merahasiakan hal ini, kenapa Mama menyalahkannya!""Karena dia sudah membawa pengaruh buruk padamu!" Lisa kembali membentak, ia sangat kesal Jennie semakin menantangnya."Ya, kami bertemu! Kami memang sempat bicara beberapa saat yang lalu." menjeda penjelasannya sebentar. "Asal Mama tahu, kami berdua nggak akan bisa dipisahkan semudah itu, Ma!" terang wanita yang mulai berani untuk melawan ketika dirinya tidak merasa bersalah.“Sebelum menikah dengannya kamu tidak pernah melawan Mama seperti ini.“"Karena aku udah capek mengikuti semua perintah Mama. Dan aku tegaskan, kami nggak akan pernah meninggalkan satu sama lain!" Mengakhiri perlawanannya dengan percaya diri, Je
"Kita pasti akan bersama lagi." Jennie mencium punggung tangan suaminya. "Sebaiknya Bang Gara pergi sebelum Mama kembali!" pinta Jennie pada suaminya.Sejujurnya Jennie sangat senang ditemani Gara, tapi ia merasa kasihan pada sang suami yang terus berdiri sejak lama di luar jendela demi menemaninya.Gara menunduk sebentar. "Aku tidak mau pergi dari tempat ini."Sejak tadi, lebih tepatnya sejak pertama kali Jennie masuk ke dalam dan berdebat dengan orang tuanya, Gara terus menunggu di seberang rumah itu. Ia begitu mengkhawatirkan istrinya.“Bang, pergilah! Aku akan baik-baik aja.” Jennie memohon agar suaminya pergi. Ia tidak ingin semuanya menjadi kacau jika ibunya tahu kalau Gara menemuinya."Aku akan menunggu mamamu datang baru pergi dari sini. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian, Biggie," ucap Gara. “Bang, kumohon, pergilah!” sekali lagi Jennie memohon pada sang suami. “Bagaimana bisa aku meninggalkan istriku sendiri dalam keadaan seperti ini?”Ingin sekali Gara membawa kabur i
"Kamu percaya dengan suamimu ini, 'kan?" Gara berusaha meyakinkan istrinya kalau semua akan baik-baik saja, tapi Jennie justru menangis sejadi-jadinya."Hei, kenapa malah menangis? Kamu harus kuat demi cinta kita.” Gara panik, ia tidak tahu kalau kalimatnya justru membuat Jennie menangis histeris. Gara menyentuh wajah istrinya yang dibanjiri air mata. "Biggie, Sayang. Jangan menangis seperti ini. Kamu membuatku semakin merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apa pun untukmu. Maafkan suamimu ini."Wanita itu sudah tidak peduli lagi dengan apa yang mungkin terjadi dan hanya ingin meluapkan segala rasa yang ada di hati.Kenapa di saat ia mulai mencintai laki-laki yang menikahinya itu cobaan datang begitu berat. Bagaimana tidak berat karena cobaan itu datang dari sang mama.Restu orang tua untuk kehidupannya itu nomor satu, tapi apakah boleh dia memberontak? Melawan wanita yang telah mencurahkan kasih sayang untuknya.Bukankah restu orang tua adalah restu Tuhan. Bagaimana bisa ia hidu
"Kamu harus menceraikan Gara!" ucap Lisa, telak.Jennie mematung, mendengar kalimat itu membuatnya seperti kehilangan jiwa. "Ce-cerai?"Pernikahan yang baru saja berlangsung selama beberapa minggu itu dipaksa untuk diakhiri begitu saja?Bagaimana bisa perempuan yang melahirkan dirinya ini justru mengatakan hal semacam itu untuk rumah tangganya?"Ya! Kamu harus menceraikan pria itu!""Ma!" Tanpa sengaja, Jennie berteriak. Amarah yang semula ia tahan tidak bisa dibendung lagi ketika mendengar kata terlarang itu, perceraian."Mama apa-apaan sih?" Berlanjut, menghardik sosok di hadapannya. "Kenapa Mama bisa berpikir seperti itu untuk putri Mama sendiri!" geramnya, tidak terima.Lisa menatap lurus pada sang putri, sorot matanya seperti sedang menutupi sesuatu, sebuah rahasia besar. "Karena hanya itu yang terbaik untukmu!""Yang terbaik?" ulang Jennie, lalu tersenyum miring. "Sejak kapan sebuah perceraian dikatakan baik, Ma?""Kamu tidak akan mengerti!" Lisa membentak lagi. Frustasi karena p