"Menikah dengannya membuatmu berubah, Jennie! Itulah sebabnya aku melarangmu!" Lisa memotong pembicaraan anaknya. "Kamu sudah menjadi anak yang pembangkang!" lanjutnya sambil menunjuk Jennie dengan acungan tangan.
"Bang Gara nggak seburuk dan nggak sejahat yang Mama pikirkan!" Jennie tak mau kalah. "Aku yang memilih untuk merahasiakan hal ini, kenapa Mama menyalahkannya!""Karena dia sudah membawa pengaruh buruk padamu!" Lisa kembali membentak, ia sangat kesal Jennie semakin menantangnya."Ya, kami bertemu! Kami memang sempat bicara beberapa saat yang lalu." menjeda penjelasannya sebentar. "Asal Mama tahu, kami berdua nggak akan bisa dipisahkan semudah itu, Ma!" terang wanita yang mulai berani untuk melawan ketika dirinya tidak merasa bersalah.“Sebelum menikah dengannya kamu tidak pernah melawan Mama seperti ini.“"Karena aku udah capek mengikuti semua perintah Mama. Dan aku tegaskan, kami nggak akan pernah meninggalkan satu sama lain!" Mengakhiri perlawanannya dengan percaya diri, Jennie merasa puas.Sementara Lisa yang bungkam karena Putrinya sudah berani mengatakan kalimat demi kalimat penolakan tersebut hanya diam.'Kenapa kamu sangat percaya diri sekali, putriku? Kalian nggak akan pernah meninggalkan satu sama lain?' Lisa berucap dalam hati sembari tersenyum mengejek. "Kita lihat saja nanti.""Ya, kami nggak akan terpisahkan. Aku mencintai suamiku, begitu pun dengan dirinya," balas Jennie."Omong kosong macam apa itu?" lanjut Lisa sambil tertawa remeh. "Kamu tidak mengenalnya, Jennie. Dia bukan pria yang pantas kamu cintai."Jennie bergeming, tersenyum miring mendengar kata-kata yang menurutnya sangat tak masuk akal. "Aku nggak tahu kenapa Mama sangat membenci Bang Gara dan menolaknya untuk menjadi menantu, meskipun aku udah berulang kali menjelaskan bahwa dia adalah pria yang baik."“Karena firasat seorang ibu itu tidak pernah salah.“ Lisa beralasan."Apa Mama memiliki masa lalu yang buruk dengan keluarganya sampai aku harus mengakhiri hubungan rumah tanggaku? Benarkah begitu, Ma?" Jennie menyelesaikan kegelisahan hati, dengan mengutarakan apa yang ia pikirkan."Tutup mulutmu!" Lisa mengamuk. "Jangan bicara apapun atau mengungkit tentang pria itu di hadapanku."Hukuman yang terpaksa diterima oleh Jennie semakin bertambah karena dirinya terus membuat ibunya merasa kesal.Namun Jennie terlihat tidak peduli. Bukan kewajibannya untuk menuruti tindakan yang sangat salah ini.Lisa memutuskan untuk menambah keamanan di rumah itu. Sebab dirinya sudah tidak bisa lagi tinggal bersama dengan sang putri, semenjak memiliki suami baru.Meskipun begitu, Jennie tetap tidak bisa meninggalkan rumah ini dengan mudah karena semua telah diatur sedemikian rupa oleh wanita itu, agar dapat memantau gerak-gerik putrinya. Entah itu setiap tindakan kecil ataupun aktivitas lainnya."Makanlah, Nona. Ibu Lisa meminta—""Aku tidak berselera," potong Jennie, kembali meringkuk tidur dan tidak mau bicara atau menemui siapa pun."Tapi, Anda harus—"
"Tinggalkan aku sendiri." Jennie memotong ucapan wanita paruh baya yang ditugaskan Lisa untuk menjaga Jennie supaya tidak kabur.Wanita itu kebingungan harus melakukan apa. Yang dititipkan padanya benar-benar tidak berniat untuk melanjutkan hidup.Karena mendapatkan laporan bahwa putrinya kembali bertingkah, Lisa terpaksa mengunjungi Jennie dan memeriksa secara langsung keadaan putrinya tersebut."Kamu melakukan semua hal ini demi pria itu, Jennie?" selidik Lisa, berdiri menatap remeh tindakan kekanak-kanakan putrinya.Jennie bangkit, duduk di ranjangnya sambil memeluk kedua kakinya. Wanita itu menatap dingin ke arah mamanya. "Aku harus menjalani hukuman ini karena nggak punya pilihan lain. Aku nggak mau bercerai," sarkasnya, menekankan keterpaksaan di sana.Lisa memutar bola matanya, malas. "Aku terlihat jahat sekali padamu, Nak. Padahal apa yang aku lakukan adalah keputusan terbaik untukmu.""Keputusan terbaik?" ulang Jennie, tidak menyangka akan mendengar hal semacam itu dari sosok di hadapannya ini. "Hancurnya rumah tanggaku adalah kebaikan untukmu, Ma?""Makan dan jalani hidupmu dengan baik! Aku sudah memberimu tawaran untuk bisa bebas dengan menceraikan pria itu." Wanita itu menyilangkan tangannya di bawah dada. "Kamu terlalu keras kepala untuk seseorang yang tidak kamu kenal dengan baik."Jennie berdecak, tertawa remeh. "Aku nggak mungkin menjadikannya suami kalau nggak mengenalnya, Ma.""Cukup, Jennie! Sampai kapan kita akan terus bertengkar seperti ini?" Lisa mengakhiri, sudah tidak tahan selalu emosi bila berhadapan dengan putrinya."Aku akan terus menentangmu, Ma!" sergah Jennie, "aku nggak akan menceraikan Bang Gara kalau Mama nggak memberiku alasan yang kuat untuk itu.""Mama sudah bilang dia bukan laki-laki yang baik untukmu. Kalau dia lelaki baik dan bertanggung jawab, dia akan meminta izin padaku untuk menikahimu, tapi ini tidak."'Semua ini salahku karena aku yang melarang Bang Gara memberi tahu Mama,' ucap Jennie dalam hatinya."Ma, tolong beri kami kesempatan. Aku yakin Bang Gara nggak akan menyakitiku. Jika dia menyakitiku, aku janji akan menuruti perintahmu, Ma.""Mama sudah cukup memberimu kelonggaran untuk mengikuti apa pun yang kamu mau. Sekarang tidak lagi!" cecar Lisa, hendak berbalik."Ma-mama mau pergi lagi?" Jennie mencekal tangan Lisa, bertanya terbata-bata. "Jangan tinggalkan aku sendiri, Ma." Mata wanita itu sampai berkaca-kaca saat melontarkan kalimat tersebut.Karena putrinya itu mendadak mengatakan sebuah permintaan dengan sangat lirih, Lisa terpaku di tempat. Menatap Jennie yang terus bersikap lemah di hadapannya."Mama tahu kalau aku nggak suka sendirian? Kalau Mama nggak mengizinkanku keluar untuk bertemu dengan suamiku, setidaknya jangan tinggalkan aku." sungguh Jennie, memelas serendah mungkin.Lisa yang terdiam membuat Jennie merapatkan bibirnya. Jika mamanya ini termakan dengan apa yang dirinya katakan, seharusnya Jennie mendapatkan kesempatan."Mama juga tidak pernah ingin meninggalkanmu sendiri."Jennie hendak bersorak. Ia paham betul siapa ibunya itu. Sekeras apa pun seorang ibu, ia yakin ibunya itu masih punya belas kasih.Bila berhadapan dengan seseorang yang tidak bisa kamu kalahkan dengan sikap keras yang sama, kamu bisa mengalahkannya dengan ketulusan dan kelembutanmu.Hati seorang ibu tidak pernah bisa ditipu. Lisa tidak benar-benar membenci putrinya, dan secara sengaja melakukan semua hal ini jika saja Jennie bisa menurut."Mama sangat ingin kamu berbahagia dengan orang yang tepat, Jennie," ujar Lisa, mengatakan yang terdalam di hatinya, "tapi tidak dengan pria yang akan menyakitimu!"Jennie tidak ingin lagi memberontak karena itu hanya percuma. Ia akan mencari cara lain yang lebih halus untuk menentang ibunya.Suasana di antara keduanya mendadak hening, terhanyut oleh perasaan masing-masing. Tidak tahu kapan keretakan ini bermula, tetapi saling memberikan amarah jelas sangat tidak nyaman untuk keduanya."Aku ...." Jennie berbisik dengan suaranya yang serak. "Aku ingin berkata jujur tentang sesuatu pada Mama saat ini."Lisa memberi kesempatan, wanita itu mengurungkan niatnya untuk pergi dari sana dan memilih untuk mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh putrinya."Berkata jujur?" Lisa menyipitkan mata, menatap lekat kepada Jennie yang menggantungkan kalimatnya."Mama pasti akan terkejut saat mendengarnya atau mungkin lebih dari itu."Jennie mengangkat wajahnya yang semula tertunduk dalam. "Aku dan Bang Gara ...." Jennie menjeda pernyataannya. "Kami sebenarnya melakukan pernikahan kontrak.""Apa?!" pekik Lisa. "Apa-apaan, kalian! Apa maksudnya ini? Pernikahan kontrak—""Mama seharusnya nggak terkejut dan justru senang mendengar hal ini." Jennie memotong ucapan mamanya dengan santai. "Bukankah memang sejak awal Mama nggak pernah merestui tentang hubungan kami?"Mendengar itu merubah ekspresi Lisa. "Tetap saja itu salah." Lisa terlihat canggung. "Apa tujuanmu melakukan pernikahan kontrak?"Jennie mulai menjelaskan. "Apa yang Mama dengar nggak salah, inilah kebenarannya." Mengungkap fakta, mimik wajah wanita itu tidak bisa menggambarkan apakah saat ini ia memang serius atau sedang berpura-pura."Bagaimana kamu bisa mengenalnya?" tanya Lisa yang mulai melembut."Alasan dan bagaimana kami bertemu dan menikah secepat ini, kurasa aku nggak perlu menceritakan lebih detail lagi," kata Jennie, "karena ini hanyalah pernikahan dengan kesepakatan.""Tapi Mama perlu tahu kenapa kamu melakukan pernikahan kontrak?""Yang jelas semua karena uang," jawab Jennie, "bukankah selama ini Mama selalu menuntutku untuk memenuhi kebutuhan Mama sama Adek?""Sekarang Mama sudah menikah dengan laki-laki yang mempunyai uang banyak, jadi kamu tidak perlu melakukan itu." Lisa melembut supaya Jennie menurut padanya. “Kamu harus bercerai dengan suamimu.““Mama nggak perlu memintaku untuk menceraikan Bang Gara hanya karena alasan kebencian Mama atau apa pun itu. Biarkan kami menjalankan kesepakatan ini hingga selesai, hingga tidak ada yang merasa dirugikan dengan kesepakatan ini.“Jennie berhasil membuat ibunya luluh dengan pengakuannya, tapi ia tidak berpikir kalau tindakannya malah mempersulit dirinya.“Apa maksudmu?”Jennie menarik napas panjang. "Karena pada akhirnya, setelah masa kontrak kami berakhir, aku dan Bang Gara akan berpisah. Sesuai kesepakatan, kami akan menjalani hidup masing-masing." Lisa mendekat sambil menatap tajam Jennie. "Kamu sadar sudah berapa banyak kebohongan yang kamu ucapkan pada Mama, Jennie?" “Maafkan aku, Ma. Aku mengaku salah.” Jennie menunduk untuk meyakinkan sang mama kalau ia benar-benar menyesal. "Kamu mengatakan ini, karena ingin membuatku percaya dan membebaskanmu, 'kan? Jangan pernah sekali-kali berniat untuk menipuku lagi!" Jennie sudah menebak kalau mamanya tidak akan mudah percaya dengan apa yang dia ucapkan, tapi ia tidak akan putus asa mencari cara supaya sang mama tidak mengurungnya lagi. "Mama boleh percaya atau nggak sama aku, tapi aku berkata sejujurnya kalau kontrak pernikahanku hanya enam bulan." Jennie menggunakan rahasianya untuk bisa bebas dari kurungan sang mama, tapi ia tidak sadar kalau itu hanya akan membuat Lisa semakin mudah memisahkann
"Bang Gara yang menyimpannya." Jennie tidak akan menyia-nyiakan kesempatan, seharusnya Lisa menyuruhnya untuk mengambil surat perjanjian itu. "Jika Mama mengijinkanku untuk mengambilnya, aku akan menepati janjiku dan memberikan apa yang Mama mau." Jennie menunduk, menunggu jawaban dari sang mama. Sudah beberapa menit berlalu, sang mama belum juga bersuara. "Baiklah. Mama akan mengizinkanmu pulang ke rumah suamimu, tapi ingat! Hanya untuk mengambil surat perjanjian itu saja.“ Akhirnya Lisa luluh juga, dan itu membuat Jennie mengembangkan senyumnya di balik rambutnya yang terurai menutupi wajah. Jennie menegakkan duduknya, lalu mengangguk. “Aku janji. Setelah berhasil mengambil surat perjanjian itu, aku akan segera kembali.” Jennie tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk berbicara dengan sang suami supaya bersabar sedikit. Ia yakin sang mama akan merestui hubungan mereka jika tahu kalau Gara adalah laki-laki yang baik, tidak seperti yang namanya tuduhkan. Jennie bangun dari dud
"Bang, aku mengatakan pada Mama kalau terjadi sesuatu diantara kita berdua. Sehingga, untuk beberapa saat tolong jangan temui aku dulu.""Kamu datang hanya untuk pergi?" tanya Gara, "jika aku bertanya alasannya, apa kamu akan menjawabnya, Biggie?"Jennie menghela napas panjang. “Bang, semua yang aku lakukan supaya kita bisa bersama lagi. Bersabarlah sebentar saja, aku janji akan membuat Mama merestui hubungan kita.”“Dengan begini kamu membuatku menjadi suami yang tidak berguna. Aku hanya duduk manis di rumah menunggu restu dari ibumu?”“Bang … aku tau siapa mamaku, aku yakin dia akan menuruti kemauanku. Tidak ada orang tua yang ingin merusak kebahagiaan anaknya kan? Mungkin saat ini Mama hanya sakit hati karena kita menikah tanpa memberitahunya.”'Kamu tidak tau kalau dia bukan ibu kandungmu, Biggie.' Gara hanya bisa berucap dalam hati, ia tidak bisa mengatakan semuanya karena tidak mempunyai bukti yang kuat.Setelah beberapa saat menghening, Jennie melanjutkan ucapannya. "Aku tau pa
'Ya Tuhan … bagaimana ini?' gumam Jennie dalam hati. Ia buru-buru melipat asal kertas perjanjian itu, lalu menyelipkannya pada pakaian yang akan ia bawa.“I-ini aku mau bawa baju kamu,” jawab Jennie sedikit gugup, “boleh kan? Aku bisa memeluk ini kalau aku kangen sama kamu, Bang.”Jennie mengambil pakaian yang biasa di gunakan sang suami sehari-hari sambil menyembunyikan selembar surat perjanjian pernikahannya dengan Gara.Entah apa yang ada di pikiran wanita itu. Bukannya menyelematkan pernikahannya, tapi perbuatan Jennie bisa mengancam rumah tangganya sendiri.Jennie hanya ingin membuat Lisa percaya lagi padanya supaya ia dan Gara bisa berbicara baik-baik pada ibunya, tapi Jennie tidak tahu kalau wanita yang dia anggap ibu kandungnya itu sangatlah licik.Gara menghampiri Jennie, lalu memeluknya dari belakang. Ia melabuhkan ciuman di tengkuk sang istri. “Maafkan aku, Biggie. Aku tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu, aku tidak bisa melindungimu.”Seandainya saja sang mertua adal
Perempuan cantik itu beralih kembali pada Lisa. "Apa aku boleh masuk, Ma? Mama bisa lanjutkan mengobrol dengannya." "Dia datang ke sini untukmu, Jennie. Kenapa Mama yang harus menemaninya?"Belum sempat melangkah, perkataan Lisa jelas membuat Jennie mematung di tempat. Ia berbalik menghadap sang mama. Perlu waktu yang cukup lama demi bisa memahami kalimat yang terdengar sangat ambigu tersebut. 'Khusus untukku? Siapa dia?Aku bahkan nggak kenal sama dia,' batin Jennie."Maksud Mama apa?" tanya Jennie sambil melirik Mario yang sedang tersenyum, menatapnya."Mama mengundang Mario untuk mengenalkan mu padanya. Dia ini pewaris keluarga terkaya di kota ini. Dia sedang mencari seorang istri." Lisa berkata dengan senyuman mematikan. Sengaja mendekatkan wajahnya ke telinga Jennie, berbisik melanjutkan. "Seperti apa yang Mama katakan sebelumnya —akan mengenalkanmu dengan laki-laki lain yang jauh lebih baik.""Ma!" Jennie membentak Lisa. Ia tidak habis pikir dengan tindakan yang dilakukan oleh
"Cepatlah pulang kalau kamu masih menganggap aku ini sebagai ibumu!" titah sang mama dari balik telepon kepada Jennie. "Aku nggak bisa, Ma," sahut Jennie. "Besok pagi-pagi sekali aku pulang, sekarang aku lagi di rumah temen. Tempatnya lumayan jauh juga dari rumah, besok aja ya aku pulangnya, ini udah malam." Jennie berbohong, ia tidak mungkin mengatakan kalau sekarang dirinya sedang bersama dengan laki-laki yang ia cintai.Pernikahan kontrak membuatnya terjebak dalam lingkaran cinta sang CEO. Ia tidak menyangka akan jatuh cinta secepat ini kepada laki-laki yang ia benci yang sudah menikahinya beberapa Minggu lalu. Laki-laki sombong dan manja yang ia benci itu ternyata menjadi suaminya dan menjadi satu-satunya laki-laki yang bisa meluluhkan hatinya. "Ternyata kamu sudah pandai berbohong." Sang mama tertawa mendengar kebohongan dari anaknya. Dipikirnya ia tidak tahu tentang pernikahan diam-diam Jennie dengan bosnya itu. "Maksudnya teman hidupmu?" tanya sang mama sambil tertawa meng
"Kamu harus menceraikan Gara!" ucap Lisa, telak.Jennie mematung, mendengar kalimat itu membuatnya seperti kehilangan jiwa. "Ce-cerai?"Pernikahan yang baru saja berlangsung selama beberapa minggu itu dipaksa untuk diakhiri begitu saja?Bagaimana bisa perempuan yang melahirkan dirinya ini justru mengatakan hal semacam itu untuk rumah tangganya?"Ya! Kamu harus menceraikan pria itu!""Ma!" Tanpa sengaja, Jennie berteriak. Amarah yang semula ia tahan tidak bisa dibendung lagi ketika mendengar kata terlarang itu, perceraian."Mama apa-apaan sih?" Berlanjut, menghardik sosok di hadapannya. "Kenapa Mama bisa berpikir seperti itu untuk putri Mama sendiri!" geramnya, tidak terima.Lisa menatap lurus pada sang putri, sorot matanya seperti sedang menutupi sesuatu, sebuah rahasia besar. "Karena hanya itu yang terbaik untukmu!""Yang terbaik?" ulang Jennie, lalu tersenyum miring. "Sejak kapan sebuah perceraian dikatakan baik, Ma?""Kamu tidak akan mengerti!" Lisa membentak lagi. Frustasi karena p
"Kamu percaya dengan suamimu ini, 'kan?" Gara berusaha meyakinkan istrinya kalau semua akan baik-baik saja, tapi Jennie justru menangis sejadi-jadinya."Hei, kenapa malah menangis? Kamu harus kuat demi cinta kita.” Gara panik, ia tidak tahu kalau kalimatnya justru membuat Jennie menangis histeris. Gara menyentuh wajah istrinya yang dibanjiri air mata. "Biggie, Sayang. Jangan menangis seperti ini. Kamu membuatku semakin merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apa pun untukmu. Maafkan suamimu ini."Wanita itu sudah tidak peduli lagi dengan apa yang mungkin terjadi dan hanya ingin meluapkan segala rasa yang ada di hati.Kenapa di saat ia mulai mencintai laki-laki yang menikahinya itu cobaan datang begitu berat. Bagaimana tidak berat karena cobaan itu datang dari sang mama.Restu orang tua untuk kehidupannya itu nomor satu, tapi apakah boleh dia memberontak? Melawan wanita yang telah mencurahkan kasih sayang untuknya.Bukankah restu orang tua adalah restu Tuhan. Bagaimana bisa ia hidu
Perempuan cantik itu beralih kembali pada Lisa. "Apa aku boleh masuk, Ma? Mama bisa lanjutkan mengobrol dengannya." "Dia datang ke sini untukmu, Jennie. Kenapa Mama yang harus menemaninya?"Belum sempat melangkah, perkataan Lisa jelas membuat Jennie mematung di tempat. Ia berbalik menghadap sang mama. Perlu waktu yang cukup lama demi bisa memahami kalimat yang terdengar sangat ambigu tersebut. 'Khusus untukku? Siapa dia?Aku bahkan nggak kenal sama dia,' batin Jennie."Maksud Mama apa?" tanya Jennie sambil melirik Mario yang sedang tersenyum, menatapnya."Mama mengundang Mario untuk mengenalkan mu padanya. Dia ini pewaris keluarga terkaya di kota ini. Dia sedang mencari seorang istri." Lisa berkata dengan senyuman mematikan. Sengaja mendekatkan wajahnya ke telinga Jennie, berbisik melanjutkan. "Seperti apa yang Mama katakan sebelumnya —akan mengenalkanmu dengan laki-laki lain yang jauh lebih baik.""Ma!" Jennie membentak Lisa. Ia tidak habis pikir dengan tindakan yang dilakukan oleh
'Ya Tuhan … bagaimana ini?' gumam Jennie dalam hati. Ia buru-buru melipat asal kertas perjanjian itu, lalu menyelipkannya pada pakaian yang akan ia bawa.“I-ini aku mau bawa baju kamu,” jawab Jennie sedikit gugup, “boleh kan? Aku bisa memeluk ini kalau aku kangen sama kamu, Bang.”Jennie mengambil pakaian yang biasa di gunakan sang suami sehari-hari sambil menyembunyikan selembar surat perjanjian pernikahannya dengan Gara.Entah apa yang ada di pikiran wanita itu. Bukannya menyelematkan pernikahannya, tapi perbuatan Jennie bisa mengancam rumah tangganya sendiri.Jennie hanya ingin membuat Lisa percaya lagi padanya supaya ia dan Gara bisa berbicara baik-baik pada ibunya, tapi Jennie tidak tahu kalau wanita yang dia anggap ibu kandungnya itu sangatlah licik.Gara menghampiri Jennie, lalu memeluknya dari belakang. Ia melabuhkan ciuman di tengkuk sang istri. “Maafkan aku, Biggie. Aku tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu, aku tidak bisa melindungimu.”Seandainya saja sang mertua adal
"Bang, aku mengatakan pada Mama kalau terjadi sesuatu diantara kita berdua. Sehingga, untuk beberapa saat tolong jangan temui aku dulu.""Kamu datang hanya untuk pergi?" tanya Gara, "jika aku bertanya alasannya, apa kamu akan menjawabnya, Biggie?"Jennie menghela napas panjang. “Bang, semua yang aku lakukan supaya kita bisa bersama lagi. Bersabarlah sebentar saja, aku janji akan membuat Mama merestui hubungan kita.”“Dengan begini kamu membuatku menjadi suami yang tidak berguna. Aku hanya duduk manis di rumah menunggu restu dari ibumu?”“Bang … aku tau siapa mamaku, aku yakin dia akan menuruti kemauanku. Tidak ada orang tua yang ingin merusak kebahagiaan anaknya kan? Mungkin saat ini Mama hanya sakit hati karena kita menikah tanpa memberitahunya.”'Kamu tidak tau kalau dia bukan ibu kandungmu, Biggie.' Gara hanya bisa berucap dalam hati, ia tidak bisa mengatakan semuanya karena tidak mempunyai bukti yang kuat.Setelah beberapa saat menghening, Jennie melanjutkan ucapannya. "Aku tau pa
"Bang Gara yang menyimpannya." Jennie tidak akan menyia-nyiakan kesempatan, seharusnya Lisa menyuruhnya untuk mengambil surat perjanjian itu. "Jika Mama mengijinkanku untuk mengambilnya, aku akan menepati janjiku dan memberikan apa yang Mama mau." Jennie menunduk, menunggu jawaban dari sang mama. Sudah beberapa menit berlalu, sang mama belum juga bersuara. "Baiklah. Mama akan mengizinkanmu pulang ke rumah suamimu, tapi ingat! Hanya untuk mengambil surat perjanjian itu saja.“ Akhirnya Lisa luluh juga, dan itu membuat Jennie mengembangkan senyumnya di balik rambutnya yang terurai menutupi wajah. Jennie menegakkan duduknya, lalu mengangguk. “Aku janji. Setelah berhasil mengambil surat perjanjian itu, aku akan segera kembali.” Jennie tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk berbicara dengan sang suami supaya bersabar sedikit. Ia yakin sang mama akan merestui hubungan mereka jika tahu kalau Gara adalah laki-laki yang baik, tidak seperti yang namanya tuduhkan. Jennie bangun dari dud
Jennie menarik napas panjang. "Karena pada akhirnya, setelah masa kontrak kami berakhir, aku dan Bang Gara akan berpisah. Sesuai kesepakatan, kami akan menjalani hidup masing-masing." Lisa mendekat sambil menatap tajam Jennie. "Kamu sadar sudah berapa banyak kebohongan yang kamu ucapkan pada Mama, Jennie?" “Maafkan aku, Ma. Aku mengaku salah.” Jennie menunduk untuk meyakinkan sang mama kalau ia benar-benar menyesal. "Kamu mengatakan ini, karena ingin membuatku percaya dan membebaskanmu, 'kan? Jangan pernah sekali-kali berniat untuk menipuku lagi!" Jennie sudah menebak kalau mamanya tidak akan mudah percaya dengan apa yang dia ucapkan, tapi ia tidak akan putus asa mencari cara supaya sang mama tidak mengurungnya lagi. "Mama boleh percaya atau nggak sama aku, tapi aku berkata sejujurnya kalau kontrak pernikahanku hanya enam bulan." Jennie menggunakan rahasianya untuk bisa bebas dari kurungan sang mama, tapi ia tidak sadar kalau itu hanya akan membuat Lisa semakin mudah memisahkann
"Menikah dengannya membuatmu berubah, Jennie! Itulah sebabnya aku melarangmu!" Lisa memotong pembicaraan anaknya. "Kamu sudah menjadi anak yang pembangkang!" lanjutnya sambil menunjuk Jennie dengan acungan tangan."Bang Gara nggak seburuk dan nggak sejahat yang Mama pikirkan!" Jennie tak mau kalah. "Aku yang memilih untuk merahasiakan hal ini, kenapa Mama menyalahkannya!""Karena dia sudah membawa pengaruh buruk padamu!" Lisa kembali membentak, ia sangat kesal Jennie semakin menantangnya."Ya, kami bertemu! Kami memang sempat bicara beberapa saat yang lalu." menjeda penjelasannya sebentar. "Asal Mama tahu, kami berdua nggak akan bisa dipisahkan semudah itu, Ma!" terang wanita yang mulai berani untuk melawan ketika dirinya tidak merasa bersalah.“Sebelum menikah dengannya kamu tidak pernah melawan Mama seperti ini.“"Karena aku udah capek mengikuti semua perintah Mama. Dan aku tegaskan, kami nggak akan pernah meninggalkan satu sama lain!" Mengakhiri perlawanannya dengan percaya diri, Je
"Kita pasti akan bersama lagi." Jennie mencium punggung tangan suaminya. "Sebaiknya Bang Gara pergi sebelum Mama kembali!" pinta Jennie pada suaminya.Sejujurnya Jennie sangat senang ditemani Gara, tapi ia merasa kasihan pada sang suami yang terus berdiri sejak lama di luar jendela demi menemaninya.Gara menunduk sebentar. "Aku tidak mau pergi dari tempat ini."Sejak tadi, lebih tepatnya sejak pertama kali Jennie masuk ke dalam dan berdebat dengan orang tuanya, Gara terus menunggu di seberang rumah itu. Ia begitu mengkhawatirkan istrinya.“Bang, pergilah! Aku akan baik-baik aja.” Jennie memohon agar suaminya pergi. Ia tidak ingin semuanya menjadi kacau jika ibunya tahu kalau Gara menemuinya."Aku akan menunggu mamamu datang baru pergi dari sini. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian, Biggie," ucap Gara. “Bang, kumohon, pergilah!” sekali lagi Jennie memohon pada sang suami. “Bagaimana bisa aku meninggalkan istriku sendiri dalam keadaan seperti ini?”Ingin sekali Gara membawa kabur i
"Kamu percaya dengan suamimu ini, 'kan?" Gara berusaha meyakinkan istrinya kalau semua akan baik-baik saja, tapi Jennie justru menangis sejadi-jadinya."Hei, kenapa malah menangis? Kamu harus kuat demi cinta kita.” Gara panik, ia tidak tahu kalau kalimatnya justru membuat Jennie menangis histeris. Gara menyentuh wajah istrinya yang dibanjiri air mata. "Biggie, Sayang. Jangan menangis seperti ini. Kamu membuatku semakin merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apa pun untukmu. Maafkan suamimu ini."Wanita itu sudah tidak peduli lagi dengan apa yang mungkin terjadi dan hanya ingin meluapkan segala rasa yang ada di hati.Kenapa di saat ia mulai mencintai laki-laki yang menikahinya itu cobaan datang begitu berat. Bagaimana tidak berat karena cobaan itu datang dari sang mama.Restu orang tua untuk kehidupannya itu nomor satu, tapi apakah boleh dia memberontak? Melawan wanita yang telah mencurahkan kasih sayang untuknya.Bukankah restu orang tua adalah restu Tuhan. Bagaimana bisa ia hidu
"Kamu harus menceraikan Gara!" ucap Lisa, telak.Jennie mematung, mendengar kalimat itu membuatnya seperti kehilangan jiwa. "Ce-cerai?"Pernikahan yang baru saja berlangsung selama beberapa minggu itu dipaksa untuk diakhiri begitu saja?Bagaimana bisa perempuan yang melahirkan dirinya ini justru mengatakan hal semacam itu untuk rumah tangganya?"Ya! Kamu harus menceraikan pria itu!""Ma!" Tanpa sengaja, Jennie berteriak. Amarah yang semula ia tahan tidak bisa dibendung lagi ketika mendengar kata terlarang itu, perceraian."Mama apa-apaan sih?" Berlanjut, menghardik sosok di hadapannya. "Kenapa Mama bisa berpikir seperti itu untuk putri Mama sendiri!" geramnya, tidak terima.Lisa menatap lurus pada sang putri, sorot matanya seperti sedang menutupi sesuatu, sebuah rahasia besar. "Karena hanya itu yang terbaik untukmu!""Yang terbaik?" ulang Jennie, lalu tersenyum miring. "Sejak kapan sebuah perceraian dikatakan baik, Ma?""Kamu tidak akan mengerti!" Lisa membentak lagi. Frustasi karena p