Dolores bertanya-tanya ke manakah perginya Rebecca selama dua hari ini. Karena sejak pagi itu, dia berpamitan pada dirinya dan tak kembali pulang sampai sekarang.Namun, pagi itu kecemasan Dolores menghilang saat melihat Rebecca kembali dengan wajah yang masih sedikit memar.“Kamu dari mana saja dua hari ini?” tanya Dolores. “Dan ada apa dengan wajahmu?”“Oh ini.” Rebecca memegangi dahinya, mencari alasan untuk Dolores. “Saya terjatuh, dan maaf. Saya berada di rumah sakit karena teman saya sakit dan tak ada yang menjaganya.”Dolores mengangguk mengerti. Dia tidak terlalu penasaran siapakah teman Rebecca itu.“Oh ya, sebenarnya aku tidak ingin mengatakan ini padamu. Tapi sebaiknya kamu mulai pindah besok hari.”Senyum Rebecca pudar. Dia memandang Dolores tak menyangka. “Baiklah,” kata Rebecca akhirnya. Menolak dalam bentuk apapun tak akan membuatnya berada di rumah itu. Karena nantinya, Delicia lah yang akan berada di sana tinggal bersama Lucio. Dan Dolores tak menginginkannya.Namun,
Lucio tidak berbicara dengan Rebecca di sepanjang perjalanan. Karena baginya, tidak perlu juga untuk bicara dengan wanita itu sekarang.Sementara itu Rebecca tersenyum dengan senang karena dia berhasil meminta Lucio untuk mengantarnya pergi ke rumah barunya.“Lumayan jauh, makanya aku memintamu untuk mengantarku,” kata Rebecca.Lucio diam saja.“Kamu marah?”‘Menurutmu bagaimana? Haruskah aku yang mengantarmu seperti ini? Sementara ke kantor saja aku diantar oleh Khaleed?”Rebecca tertawa kecil. “Agar kamu tau rumahku, Lucio,” kata Rebecca.Lucio mendengus pelan.“Dan kamu sudah puas sekarang?” tanya Lucio. Ia memikirkan perkataan neneknya sebelumnya. Bagaimana jika Delicia benar benar sedang memikirkannya karena bersama dengan Rebecca saat ini?Bagaimana jika Delicia merasa kesepian karena berada di apartemen?Usai bersama dengan Lucio. Wanita itu memang hanya di apartemen saja kerjaannya. Memasak, membereskan apartemen dan terkadang membuat menu baru yang akan dipamerkan pada Lucio
Masih gugup, Delicia kemudian mengajak adik dan ayahnya untuk masuk ke dalam apartemennya. Dia berharap jika ayahnya tidak akan bertanya macam macam padanya saat ini.“Ayah… tahu dari mana alamat ini?” tanya Delicia, ia menyiapkan air minum untuk ayahnya.“Dariku, apa kakak tidak diberitahu oleh kakak ipar, kalau aku meminta alamat apartemennya?”DUG!Terlihat kaki ayahnya menendang kaki Diego.“Mereka belum menikah, jangan panggil laki laki itu dengan sebutan kakak ipar,” kecam ayahnya yang langsung membuat wajah Diego berkeriut.Ayahnya memandangi seluruh apartemen yang luasnya mungkin lebih dari ukuran lima kali rumah reotnya yang ada di kampungnya.“Kalian belum menikah, kenapa kalian tinggal bersama? Kupikir kamu tinggal bersama dengan temanmu,” kata ayah Delicia.Delicia belum menyiapkan jawaban ini. Dia juga tidak tahu kalau ayahnya akan datang hari ini untuk memberinya kejutan.“Mana ada teman yang mau bergaul denganku, jika keadaanku saja sulit,” jawab Delicia. Tapi itu benar
Delicia berlari. Dia tidak mendengar ketika menyuruhnya agar tenang. Dia memanggil taksi dengan buru buru seakan Lucio akan mati sebentar lagi.“Delicia tenanglah! Memangnya luka Lucio parah?” tanya ayahnya yang masih terengah. Diego pun begitu. Dia mengembuskan napas satu dua seperti tak bisa berlari lagi.“Aku tidak tau, Yah. Tapi, kan?”Ayahnya pun melihat Delicia sangat panik. Pikirnya, anak perempuannya itu memang sangat mencintai Lucio.Tak lama kemudian taksi muncul. Diego duduk di sebelah supir kemudian Delicia berada di samping ayahnya di bangku belakang.“Rumah sakit persahabatan, Pak,” kata Delicia masih dengan wajah paniknya.Mobil pun melaju. Ekspresi panik di wajah Delicia belum juga mengendur.“Astaga, anak ini,” gumam ayahnya. “Kalau ayahmu di situasi seperti ini, aku ragu kamu juga akan panik, Delicia,” sindir ayahnya.“Sepertinya bercanda soal nyawa di saat seperti ini bukan waktu yang bagus deh, Yah,” sahut Diego yang menoleh ke belakang.Hanya membutuhkan waktu lim
“Lihat, siapa yang datang.”“Katanya dia akan menikah dengan pengusaha kaya.”“Namanya Lucio, kan? Atau siapa itu.”“Kamu yakin? Jangan jangan dia cuma bercanda, mana mungkin dia mau dengan Delicia yang… ““Yang miskin dan kampungan maksud kamu?”Suara bisik bisik dari gerombolan wanita yang tengah duduk itu masih mengamati Adelia yang sedang berjalan ke arah mereka.Mereka adalah kelompok wanita yang dulunya adalah teman kerja Delicia. Hanya sebatas teman, bukan teman dekat atau apapun itu.Karna bisa dilihat dari cara mereka membicarakan Delicia. Mereka benar benar merendahkan wanita itu tanpa tau apa apa.“Dia akan duduk di sini.”“Bukankah dia harusnya datang dengan Lucio? Kenapa sendirian? Pasti dia berbohong masalah akan menikah dengan Lucio, iya kan?”Delicia semakin mendekat. Ia pun tersenyum pada teman temannya untuk menyapa lalu duduk di sana.“Bagaimana kabarmu, Delicia?” tanya teman Delicia, Lisa.“Baik, aku baik,” jawab Delicia gugup. Di antara mereka semua, hanya dirinya
Khaleed membeku di tempatnya untuk beberapa saat ketika melihat bayangan yang dia kenal.“Rebecca,” gumam Khaleed. Dia melihat ke arah dari mana Rebecca keluar.“Dari dokter kandungan,” gumamnya lagi yang membuat perasaannya langsung tidak tenang.Untuk apa wanita itu ke dokter kandungan? Khaleed sangat berharap jika dia menemui dokter itu untuk alasan lain. Atau jika tidak, Rebecca sedang menemani temannya ke dokter.Namun, sampai beberapa menit berlalu. Tak ada yang keluar dari sana lagi. Hanya Rebecca sendiri.“Ayo, aku sudah selesai,” kata Karina yang memutus lamunan Khaleed.Khaleed mengangguk kemudian pergi dari sana dengan perasaan yang tidak enak. Jangan jangan ini ada hubungannya dengan Lucio?“Kamu kenapa?” tanya Karina ketika melihat Khaleed terus melamun. Mereka berdua sudah dalam perjalanan pulang ke apartemen.“Tidak apa apa,” jawab Khaleed sambil tersenyum dengan terpaksa. “Bagaimana lukamu? Sudah membaik?”Karina tersenyum. “Semua berkat kamu, Khaleed.”**“Apa katamu
Lucio diam diam menemui Khaleed di kafe dekat apartemen. Ia ingin mendapatkan informasi dari Khaleed mengenai Rebecca yang mengunjungi dokter kandungan kemarin.“Jadi bagaimana?” tanya Lucio dia tampak gusar.“Aku sudah bertanya pada perawat yang ada di sana, dan menyelidiki sedikit dalam. Rebecca selama seminggu ini sudah datang ke dokter kandungan selama dua kali. Dan …” Khaleed menggantung kalimatnya.“Dan apa?”“Dia memeriksakan kandungannya. Dia hamil dua minggu,” kata Khaleed.Seketika darah yang ada di wajah Lucio surut, membuat wajahnya terlihat sangat pucat saat ini.Ia teringat dengan foto USG yang ditunjukkan oleh Rebecca kemarin. Jangan jangan Rebecca memang hamil?“Dia hamil, Lucio.” Khaleed berkata setelah tidak mendapat respon apa apa dari sahabatnya tersebut. “Bagaimana kalau dia memintamu untuk menikahinya?”Lucio menggeleng keras. “Tidak bisa. Aku tak mau menikah dengan Rebecca.”“Kenapa? Bukankah nenekmu pasti akan senang kalau kamu bisa menikah dengan Rebecca kare
Di tengah kekalutannya malam itu, Lucio mendapatkan telepon dari Dolores yang mengatakan dengan tenang, “besok datanglah ke rumah nenek, aku ingin bicara denganmu, Lucio.”Meski tidak mengatakan apa-apa, tapi Lucio tahu mengapa neneknya memintanya untuk datang ke rumahnya. Pasti Rebecca sudah mengatakan yang sedang terjadi pada neneknya saat ini.Esoknya, Lucio benar-benar ke rumah neneknya. Neneknya masih dengan ketenangannya, tidak menunjukkan ekspresi apa-apa dan meminta Lucio menemuinya di ruang keluarga.“Ada apa?” tanya Lucio. Wajahnya malah yang memperlihatkan jika dirinya saat ini tidak tenang.“Mengapa kamu tidak bilang pada nenekmu ini kalau Rebecca tengah hamil anakmu, Lucio?”Lucio sama sekali tidak terkejut. Hanya saja dia tidak bisa menatap wajah neneknya.“Apakah karena pernikahanmu dengan Delicia?”Lucio mengiyakan.“Kalau begitu, batalkan pernikahanmu dengan Delicia dan menikahlah dengan Rebecca. Mungkin ini terdengar sangat egois, tapi Rebecca jelas lebih membutuhkan