Setibanya di bandara, William langsung di kelilingi beberapa pria dengan setelan serba hitam. Mereka adalah pengawal yang didatangkan dari pasukan khusus dengan bekal pelatihan yang ketat. William menebar pesonanya dengan setelan jas berwarna hitam dan kemeja berwarna putih, sebuah fashion dunia yang di desain secara khusus. Disampingnya berdiri seorang sekertaris perempuan dengan gaya rambut hitam sebahu. Bernama irena. Gadis itu mengenakan blazer berwarna merah senada dengan warna dress ketat yang menggantung di atas lutut, memperlihatkan lekuk tubuh yang indah dengan kaki jenjang yang mulus dan putih. Diluar bandara, Angela sudah menunggu kedatangan William dengan membawa puluhan reporter. Angela bertekad untuk menyatakan cinta lagi kepada William. Kali ini Angela yakin kalau William Johan tidak akan menolaknya lagi. Angela paham betul bagaimana keluarga Johan menjunjung tinggi sebuah reputasi. Sesuai rencana, Angela menutup tubuhnya dengan Hoodie berwarna hitam dan sebuah topi
Aldi kembali lagi keruangan Diana. "Sudah jangan nangis, kamu tidak di pecat kok." Bujuk Aldi. "Tapi aku... huaaaaa.. nyinggung tuan muda." Suara Diana sudah serak, bahkan sekarang Diana mulai sesenggukan. Novi segera melepaskan pelukannya untuk memberi Diana ruang bernafas. "Hei ..bocah "Aldi mendekati wajah Diana kemudian memencet hidungnya tanpa aba aba. "Akhhh," Diana berteriak kesal karena hidungnya dipencet. "Kalau gak percaya, tanya sendiri tuh sama Danil." Aldi mengerucutkan bibir. Diana tidak percaya, tapi ada sebuah dorongan yang membangkitkan pergerakannya untuk mengelap air mata dan pergi mencari Danil. Sesampainya di depan ruangan Danil, Diana berusaha menenangkan diri dengan menarik nafas berulang ulang. Baru setelah merasa tenang, Diana berani mengetuk pintu. Tuk Tuk Tuk Tidak ada jawaban. Diana langsung membuka pintu dan mengintip kedalam. Ruangan nya kosong, tapi Diana mendengar suara nafas yang memburu. Diana memantapkan diri untuk masuk dan memastikan. Mat
Diana mengumpulkan semua keberanian untuk memastikan orang itu masih hidup atau tidak. Sekelebat muncul sosok zombie di pikirannya, sehingga Diana menjadi ragu. "Heh. Kau manusia atau zombie.?" Teriak diana hati hati. Rasa takutnya sedang bergelut dengan rasa simpati .Diana memang tumbuh dengan sangat baik dan memiliki empati tinggi. karena itu diana melemparkan kardigan dari jauh dan memasang kuda-kuda untuk mengantisipasi kalau pemuda itu benar sosok zombie. Hasilnya tidak ada respon. Diana kembali memberanikan diri untuk mendekati William kemudian mengambil kembali kardigannya. Masih tidak ada respon, Diana mulai mengecek leher , tangan dan kaki William memastikan bahwa pemuda itu bersih dari gigitan zombie. Diana membuang nafas lega, karena tidak ada bekas gigitan disana. Diana lanjut memeriksa denyut nadi dan jantung. "Loh kok aku gak denger suara dagdigdug, "Diana bergumam sendiri diatas dada William Kemudian lanjut menekan pergelangan tangan William. Deg..deg..deg.. 'nadi
" ada apa?" Diana kaget ketika tangannya tiba tiba di tarik oleh dewi. "Ada apa ada apa kamu yang ada apa. Nenek sedang kritis ini malah kelayapan,di hubungi gak bisa." Dewi menggertakkan giginya . "Apa?" Wajah Diana langsung memucat apa yang di dengarnya seperti Sambaran petir yang membelah langit. Diana segera berjalan ke ruangan Arumi dan mengabaikan dewi. "Bi, nenek kenapa?" Diana terisak ketika melihat kondisi Arumi yang kini tengah terbaring tidak sadarkan diri. ada selang infus terpasang di pergelangan nya. "Sebaiknya kita ngobrol di luar." Ajak Dewi. Diana mengangguk dan berjalan membuntuti Dewi. "Nenek di racun. Padahal, jelas jelas tadi aku memberinya bubur seperti biasa. Aku gak habis pikir bagaimana orang bisa keracunan dengan makanan yang selalu dimakannya tiap hari." Dewi berjalan mondar-mandir seakan frustasi. "Apa nenek mengganggumu?" .pertanyaan itu seperti tuduhan yang di lontarkan untuk Dewi secara tidak langsung "Diana." Dewi nyaris teriak dan lepas kontrol,
William tersadar setelah Diana pergi. Sakit di perutnya kini sudah hilang, hanya saja sekarang William merasa begitu lemas. William memejamkan mata untuk mengingat sosok perempuan yang menggendongnya di tengah kegelapan , kemudian menangis dan berani menciumnya. Selama ini William selalu menolak sentuhan dari siapapun, tapi ketika mengingat kembali gadis yang menciumnya, William merasa baik baik saja. Semakin malam, pikiran william semakin larut dalam bayang bayang gadis itu. William tidak bisa memejamkan mata lagi dan segera menelpon Danil. "Hallo siapa ini.." Danil masih enggan berbicara karena kantuknya "Kesini sekarang juga." Tut.. Tuan muda mengirim lokasi Melihat nama tuan muda, Danil hampir terlonjak dari tempat tidurnya. Jauh di lubuk hatinya Danil sangat senang, tapi bagaimana dengan matanya yang baru saja terpejam. 'B*sht' Danil bersungut-sungut setengah teriak untuk membangkitkan semangat nya , "aj*g.." Rian ikut berteriak dan meloncat kaget mendengar suara Danil.
Setelah pulang kerja, diana kembali bergegas kerumah sakit dan menemukan Dewi sedang memperhatikan Arumi di balik pintu kaca. Tatapannya memancarkan kekhawatiran dan ketulusan. Entah berapa lama dia berdiri disana, bahkan rambutnya sudah terlihat kusut. Diana kembali merasa bersalah karena sudah menuduhnya kemarin. Diana berjalan mendekati Dewi dan memeluknya. " Bi, maafin Diana yah. Diana udah nyakitin bibi. " Dewi menggerakkan bahu dengan kasar agar terlepas dari pelukan Diana walaupun di lubuk hatinya enggan. Diana menunduk sambil menangis." Diana salah. Diana tidak tau diri. Bahkan diana belum pernah berterimakasih kepada orang yang merawat dan membesarkan Diana. Diana minta maaf bi. " Mendengar kata kata itu, Dewi merasa tersentuh dan segera memeluk Diana. "Maafin bibi karena tidak bisa menjaga ibu. Maafin bibi karena suka merampas uang jajan kamu. Diana Kamu sangat tidak beruntung. Kamu di tinggal mati sama ibumu dan di buang sama bapakmu. Aku kasian padamu.. huaaaaa " Dewi
Diana tidak mau menyentuh kotak sarapan yang di bawanya. Jam kantor masih lama, seperti biasa, hanya ob dan satpam yang harus siap siaga lebih awal. "sudahlah di, Kamu berhenti sedihnya ! Ini masih pagi, aku takut kamu malah ketempelan. Gak asik tau gak. Lagian kita semua bakal meninggal kok. Kita cuma lagi nunggu giliran kan?." Novi mengelus ngelus rambut Diana yang kusut dengan lembut. "Tapi kematian nenek itu gak wajar nov. Dia di racun" . Diana kembali berkaca kaca dan menangis. Di lubuk hatinya, Diana tidak bisa berpikir tentang persepsinya yang mengatakan bahwa kematian Arumi sedang mengarah kepada Mariam. Tapi apa alasannya? Mariam tidak punya alasan untuk membunuh neneknya sendiri. Disisi lain diana masih saja memikirkan kejadian di malam saat kepergian Arumi. Diana melihat air mata Mariam yang keluar hanyalah pura pura. Tapi sampai saat ini Diana tidak kunjung percaya tentang sikap psikologis seseorang yang pernah di pelajarinya dalam buku. "Iyya aku ngerti. Bukannya kamu
Setelah mendengar pengakuan Diana yang masuk akal, William segera melepaskan tangannya kemudian mengambil disinfektan dan membersihkan kulit yang telah menyentuh Diana. William mendengus" alasan apa itu, gak masuk akal. Jelas jelas itu urusan pribadi ku, memangnya kau pikir dirimu siapa, para normal? Psikiater? . Dasar samapah ,ceroboh sekali. !" William mencemooh dengan sinis "Maaf " suara Diana bergetar. Diana menundukan kepala dengan mata terkulai. "Siapa namamu?" "Diana." Jawab Diana ragu, tangannya mulai dingin dan meremas celana. 'Apakah aku akan di pecat. Ya Allah tolong aku. Jangan biarkan dia memecat ku.' William mengangguk, kemudian merogoh saku celana dan melemparkan uang seratus ribuan sebanyak sepuluh lembar ke arah diana." Kerja bagus. tapi jangan tunjukkan lagi wajahmu di depanku"Melihat uang itu Diana merasakan otot-ototnya melemah dan aliran panas menikam ulu hati. Isi kepala gadis itu berubah menjadi kosong sehingga Diana refleks memeluk kaki William." Jangan pe