"Sejauh apa pun cinta itu melangkah, jika ia masih digariskan untukmu. Maka ia akan kembali ke dalam pelukanmu"
Faiqa Eiliyah
Karina meremas tas yang tergantung di bahu dengan air mata yang masih bercucuran. Dia belum siap berpisah dari sang belahan jiwa. Dua minggu lalu Papa mertuanya menelepon. Meminta agar Raka Pratama Putra, suami Karina menyusul ke Surabaya. Mereka kewalahan mengurus Restoran keluarga yang tiba-tiba diburu peminat kuliner. Restoran elite yang mengusung berbagai makanan khas dari Sulawesi Selatan itu, ternyata memiliki peminat yang cukup banyak di sana.
Omset dari penjualan sudah mencapai puluhan juta perbulan. Kehadiran Raka yang tak lain adalah putra pertama di keluarga mereka. Akan sangat membantu menangani lonjakan pengunjung yang semakin hari semakin ramai. Sekalian sebagai peluang untuk Raka, agar bisa belajar usaha dan bisa mendirikan restorannya sendiri suatu hari nanti.
Saat pertama kali Papa mertua Karina mengutarakan hal itu, nampak wanita berkulit putih dengan iris mata yang hitam pekat itu tak bersemangat. Dia seperti susah untuk bernapas. Dia dan suaminya tak pernah terpisah jauh selama enam tahun usia pernikahan mereka.
Semalam suntuk Karina menangis sambil memeluk suaminya. Ia begitu takut, kalau nanti Raka akan tergoda pada wanita Surabaya yang terkenal cantik-cantik, "Aku nggak mau jauh dari Kakak, aku nggak biasa jauh darimu." Kalimat itu terus-menerus dia ulang.
Hampir seminggu Raka membujuk agar Karina mau mengalah, tapi Karina masih saja belum siap melepas kekasih halalnya pergi jauh. Hingga Papa Pratama Rahardian sendirilah yang bicara langsung dan meminta izin pada Karina. Agar mengizinkan Raka menyusul ke Surabaya untuk membantu mengelola restoran keluarga.
Dengan berat dan separuh hati, Karina mengalah. Melihat Raka melambaikan tangan di bandara sebelum berangkat, air mata Karina menganak sungai. Dadanya terasa sesak oleh rasa sakit, terlebih saat buah hati mereka teriak-teriak minta ikut sang Ayah.
Karina hanya mampu memeluk Ayub dan menghapus air mata yang tak henti mengalir deras. Dia tak mau putra kecilnya tahu, kalau dia sedang terpuruk saat ini.
"Dek, anaknya dibujuk, kasihan!" saran seorang Ibu yang lewat di sekitar mereka.
Karina menunduk menatap Ayub yang tiba-tiba selonjoran di lantai, menjerit-jerit memanggil Raka. Karina sangat mengerti bagaimana perasaan bocah itu. Dia sangat dekat dengan ayahnya.
Kadang Karina merasa hanya sebuah wayang kulit yang lalu-lalang di sekitar mereka. Ketika mereka telah asyik main bersama. Kadang mereka tidak seperti anak dan ayahnya, tapi sepasang sahabat yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Karina jongkok memeluk Ayub, menyembunyikan putra kecilnya itu dalam dekapan.
'Bagaimana ibu bisa menguatkanmu, Sayang? Kalau saat ini, ibu sendiri juga tengah hancur,' bisik hati kecil Karina.
Karina bangkit, membawa Ayub pergi dari sana. Kembali ke rumah dengan hati dan rasa yang patah. bukan hanya dia, Ayub putranya juga sedemikian patah. Karena perpisahan itu, yang tak pernah ada dalam agenda hidup mereka.
Karina sedang rapuh sekarang, terlebih melihat buah hati yang juga terpuruk tanpa sosok sang Ayah. Usianya baru empat tahun, ia tengah menikmati masa-masa terbaik bersama sang Idola yaitu ayahnya.
Karina berjalan menuju taman belakang, menatap dari jauh ayunan tempat favorit mereka berdua. Meskipun ayunan di sana sudah beberapa kali berganti warna dan jenis, rasa kehangatan yang tercipta di atasnya tak pernah sedikit pun berubah.
Karina menoleh menatap Ayub yang masih terisak di meja makan, "Ayub, lapar?" Karina mendekat, mencium pucuk kepala putranya lalu meraih bocah itu ke dalam pelukan.
"Makan, ya, Sayang! Sekarang Ayah sudah jauh, nggak bisa jagain ibu lagi. Satu-satunya pria di rumah ini yang akan menjaga kita adalah jagoan kecil ibu ini! Terus kalau jagoannya cengeng, siapa dong yang bakal hibur ibu kalau lagi sedih?" bujuk Karina berurai air mata.
Ayub mendongak menatap wajah Karina, saat air mata itu membasahi lengannya. Dengan sangat hati-hati, bocah itu naik berdiri di kursi dan menghapus air mata di wajah Karina, "Ayub akan jaga Ibu, Ibu jangan sedih lagi, ya!" bujuknya, membuat tangis Karina semakin menjadi. Meraih bocah kecil itu dan memeluknya erat.
"Baiklah mari kita makan!" ajak Karina kemudian, Ayub mengangguk dan mereka mulai makan dari satu piring yang sama. Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Seolah tengah sibuk dengan pikiran masing-masing.
***
Karina terbangun saat ponsel yang berada tak jauh darinya berdering. Perlahan dia bangun, melepaskan pelukan Ayub di lengannya. Dia melihat dengan lesu nama yang tertera di sana.
"Hallo, Assalamualaikum, Kak?" sapanya dengan nada suara yang begitu lemah.
"Waalaikumussalaam, kakak cuma mau bilang, kalau kakak sudah sampai dengan selamat!" Lapor sang suami di seberang sana.
"Ough, Allhamdulillah!" balas Karina singkat, ia menelan saliva getir.
"Ayub ...?"
"Tidur!" Karina memotong kalimat yang akan diucapkan Raka.
"Kamu masih marah?" tanya Raka dengan nada lemah.
"Enggak, aku sama sekali nggak berhak marah!"
"Sayang," bujuk Raka dengan suara parau dan bergetar.
"Iya, istirahat saja, kamu pasti lelah. Habis perjalanan jauh, kan? Assalamualaikum!" Karina lalu mematikan panggilan itu serta menonaktifkan ponselnya. Dia lalu menangis, sampai lelah.
Karina kembali ke kamar, menatap wajah Ayub yang masih terpulas dengan damai. Seolah tak pernah terjadi apa-apa.
***
Karina meninggalkan Ayub di depan TV setelah selesai makan malam. Kembali ke dapur bergelut dengan peralatan makan yang sudah mereka pakai tadi, sekalian dengan piring kotor tadi siang yang baru sempat dia bersihkan sekarang.
"Ibu, Ayub mau HP ...!" teriak Ayub mengingatkan Karina tentang HP yang tadi dia nonaktifkan.
"Di kamar, Sayang! Tunggu, ibu ambilkan, ya!" ucap Karina segera menyelesaikan pekerjaan yang dia tekuni. Mengatur piring-piring yang sudah bersih, melap tangan pada kain lap yang tergantung di sudut rak piring.
Berlari keluar melewati Ayub yang tampak bosan memantengi TV dari usai salat Magrib tadi. Jelas dia bosan, kalau nonton sama ayahnya. Dia akan bermanja di pangkuan. Kadang ketika yang dilihatnya film robot atau ada adegan aksi, mereka berdua juga akan melakukan adegan aksi.
Saling menyerang dan kadang jika sudah lelah Raka akan menangkap tubuh kecil putranya. Dari adegan aksi, beralih ke adegan saling menggelitiki atau apa saja yang bisa mereka lakukan. Hal yang kadang membuat Karina merasa, mereka lupa kalau ada dirinya di sana.
Karina mengaktivkan kembali HP-nya, melihat ada begitu banyak pesan dari Raka. Dia hanya melirik tanpa membuka atau membacanya, rasa kesal masih merajai hati yang tak pernah mau Raka pergi jauh.
Karina melangkah keluar dan meletakkan HP di samping TV, "Ini HP-nya!" Ayub mengangkat kepala menatap Karina, ada senyum menghias di sudut bibir kecil itu.
"Ayub mau main game!" pinta sang bocah yang Karina jawab dengan anggukan kepala dan senyum di bibir.
"Ibu mau salat Isya, Ayub nggak, takut, kan, di sini sendiri?" tanya Karina sambil tetap mengawasi dan menanti reaksi putra kecilnya.
Sementara Ayub tersenyum dan menggangguk, "Ayub jagoan sekarang, harus jaga Ibu, jadi harus berani!" ucapnya dengan semangat.
"Makasih, jagoan!" ucap Karina jongkok dan mencium kedua belah pipi bocah manis itu.
Karina masuk wudhu lalu salat isya, selesai salat dan berdoa. Dia membereskan peralatan salat sekalian merapikan dan mengatur tempat tidur. Dia ingin cepat tidur saja malam ini, mungkin karena ini pertama kalinya Raka pergi jauh. Rumah mereka yang selama ini selalu semarak, kini seperti kuburan. Sepi.
Mungkin suatu hari nanti kalau sudah terbiasa, semua akan normal kembali. Karina mempercepat langkah keluar ketika mendengar suara Ayub terisak di sela-sela bibirnya mengoceh.
"Ayah jahat, Ayah pergi naik pesawat nggak ajak Ayub!" itu kalimat yang terdengar sama-samar oleh Karina.
Sampai di sana Karina tertegun, melihat putranya sedang bertelepon dengan sang Ayah. Karina duduk di sofa, melihat betapa pintar bocah itu berbicara dengan ayahnya di telepon. Selayaknya dua orang dewasa yang tengah menumpahkan isi hati masing-masing.
"Iya, sudah selesai, Ibu ada di belakang. Itu ...." ucap bocah itu menunjuk ke arah Karina, seolah ayahnya bisa melihat ke arah yang dia tunjuk, "iya, tunggu, ya!" ucapnya sambil membawa ponselnya ke pangkuan Karina.
"Ayah mau bicara sama Ibu!"
"Kalau ibunya nolak, boleh?" tanya Karina menanti reaksi putra kecilnya.
Ayub menggeleng dan mengambil kembali ponsel itu, naik ke sofa dan meletakkan di telinga Karina. Karina memeluk dan mencium putranya dengan gemas, "Iya, iya, ibu terima!"
"Halo, Assalamualaikum!" sapa Raka di ujung sana yang membuat rindu itu semakin membuncah.
"Waalaikumussalam!" jawab Karina lirih, "Hem ... ada apa?"
"Sayang, kakak ke sini buat kerja. Akan tetapi, jika waktu yang kakak punya hanya habis buat memikirkan kemarahanmu, mending kakak pulang bukan?" ucap Raka, membuat Karina merasa bersalah.
Mungkin Raka juga sebenarnya tidak mau jauh dari mereka. Mungkin Raka juga tersiksa dengan perpisahan ini. Karina menarik napas berat sebelum mengeluarkan kalimat selanjutnya, memikirkan kalimat yang seharusnya dia ucapkan sebagian seorang istri demi menyemangati suaminya, bukan malah membuatnya down seperti tadi.
"Maafkan aku, Kak! Aku tak bisa jauh darimu. Rindu dan cemburu kadang bagai ribuan perih yang datang menyengat hatiku! Aku tak bisa tanpamu!" lirih Karina disertai tangis, akhirnya."Sayang ... percayalah! Kakak akan segera kembali, begitu suaminya Rani tak lagi melaut!" janjinya yang hanya membuat Karina semakin terisak."Ya, sudahlah! Mungkin ini takdir yang harus kita jalani bersama! Apa pun yang akan terjadi di depannya. Mungkin itulah takdir-Nya!" ucap Karina pasrah."Makasih, Sayang, sudah mau mengerti. Doakan kakak baik-baik di sini!" pinta Raka."Akan kulakukan tanpa kakak memintanya!""Ya, sudah. Tidurlah! Mana Ayub?""Dia sudah tidur," jawab Karina, sambil mengelus wajah Ayub yang terlelap dengan menjadikan pangkuannya bantal yang nyaman untuk meringkuk."Kakak juga mau istirahat, tidurlah!" pintanya sebelum memutuskan sambungan telepon dan menutupnya deng
Sudah seminggu sejak Ayub sembuh, membuat semangat Karina untuk hidup, kembali. Jika kemarin-kemarin dia sempat gamang di setiap langkah, hari ini tidak lagi. Dia sudah menemukan tujuan, bertahan untuk Putranya. Apa pun yang akan terjadi nantinya, biarlah itu menjadi rahasia mutlak milik Sang Pengatur skenario hidup ini.Karina melangkah dengan mantap, meniti hari-hari tanpa sang belahan jiwa di sisinya. Bukankah hidup yang bermakna adalah hidup yang banyak memberi manfaat untuk orang lain? Karina pernah membaca quotes itu di suatu tempat, tapi ia lupa di mana tepatnya.Sejak saat itu Karina mulai giat belajar masalah Agama. Ilmu Agama ternyata seperti setetes embun yang berhasil menyejukkan hatinya. Dia menjalani hari-harinya yang kadang begitu dipenuhi oleh jejak-jejak rindu.Jarang Karina memposting masalah pribadi atau foto-foto, cuma sesekali kalau ada sesuatu dari ulah A
"Orang tua adalah ladang pahala bagi anak-anaknya, betapa rugi orang-orang yang orang tuanya masih lengkap. Namun, tak mendapatkan apa-apa untuk bekalnya di esok dari mereka.Faiqa EiliyahSeperti biasa, setiap habis nganterin Ayub ke TK. Karina pulang buat beres-beres rumah, masak buat makan siang dan nyuci pakaian. Nanti pukul sepuluh dia sudah harus jemput Ayub lagi. Jika terlambat dia bisa manyun sampai seminggu. (Mamanya banget kalau sudah ngambek.)Jadi sebisa mungkin Karina harus tiba di sana sebelum putranya pulang atau tiba di sana tak lama setelah dia keluar kelas.Karina kembali duduk di depan kantin Mak Idah. Menatap wanita tua yang seharusnya sudah rehat di rumah bermain dan bersantai bersama cucu-cucunya itu, tapi masih sibuk bergelut dengan rutinitas demi mencari beberapa lembar rupiah.Ya, beberapa lembar rupiah,
"Jika merindu hanya menyakitimu, maka belajarlah mengikhlaskan."Faiqa EiliyahKarina duduk di halaman depan rumah Mama Ina, memanjakan mata dengan pesona bunga-bunga beraneka warna, yang selalu mampu menarik perhatiannya setiap kali ia berkunjung ke sana.Dulu sebelum punya rumah sendiri, beliau sering tanya-tanya tentang tanaman bunga, saat melihat Karina begitu bahagia merawat bunga-bunga itu."Apa untungnya sih Kar, tanam bunga? Daun dan bunganya nggak bisa di komsumsi dan nggak bisa jadi uang juga?" tanya Mama Ina waktu itu."Iya, Ma, tapi ini obat mujarab untuk mengobati hati yang sedang galau atau menghilangkan stress dan jenuh juga," jawab Karina."Masa seh?" tanyanya ragu saat itu."Ya, bagaimana Mama mau tau, kalau Mama nggak nyoba?" tantang Karina yang membuatnya tersenyum.Pernah sekali waktu saat libur. Karina dan Ayub berlibur ke sana di Sabtu so
"Ketika tangan dan indra tak lagi mampu menjaga orang yang kau cintai, maka gunakanlah doa untuk menjaganya dari jauh. Jika itu masih belum berhasil, yakinlah rencana Allah jauh lebih baik dari apa yang kau rencanakan"Faiqa EiliyahKarina dan Kayra membersihkan piring kotor bekas makan tadi, setelah sekian lama akhirnya mereka bisa mengulang kegiatan ini bersama. Kegiatan yang dulu sering mereka lakukan saat mama mereka masih hidup di tengah-tengah mereka."Lama ya, baru bisa cuci piring bersama lagi?" ucap Karina memecah hening antara mereka."Iya, Kak, jadi ingat waktu Mama masih hidup," bisiknya, takut kedengaran Mama Ina. Padahal Mama Ina baik dan tak pernah melarang merekka membahas soal mama mereka.Bahkan, kadang dia sendiri yang bertanya- tanya tentang bagaimana mama mereka dan kesehariannya saat masih hidup. Hanya saja mereka berdua yang menjaga perasaan mama sambung mereka.
"Selingkuh itu nikmat dan menyenangkan. Ia menjanjikan seribu kenikmatan dan kesenangan, tapi menyiapkan penyesalan dan penderitaan yang tak berkesudahan."Faiqa EiliyahRaka tak bisa tidur, kalimat demi kalimat pahit yang keluar dari bibir istrinya. Seperti peluru yang dibidikkan dan meledak tepat di kepalanya. Dia sudah lupa daratan, hanya karena desah manja dan pesona seorang wanita baru yang ditemuinya beberapa bulan lalu secara tidak sengaja di restoran mereka.Namanya Gadis, mata yang bulat dengan iris berwarna coklat terang. Bibir tipisnya yang menggoda mata setiap pria yang memandang. Ditambah hidung bangir dan kulit putihnya yang selicin porselen. Tentang tubuhnya, dia laksana model dengan tinggi semampai dan body yang aduhai.Lelaki mana yang tak akan meneguk saliva ketika Gadis sekedar lewat di hadapannya. Dia terlalu sempurna, seolah diciptakan bukan dari tanah, tapi dari sekumpulan batu mulia yang amat indah.
"Kehangatan dalam keluarga adalah kebahagiaan sederhana yang mahal harganya, bagi mereka yang terpisah jarak dan ruang. Namun, kebahagiaan sederhana yang murah bagi mereka yang saling berdekatan, baik jarak dan juga hatinya."Faiqa Eiliyah.Karina terjaga dengan pandangan berputar ... salat Subuh dengan keadaan tak stabil. Kepalanya sangat berat.Pagi ini Kayra sudah harus kembali ke Kota untuk kerja, Karina terus mewanti-wantinya agar bisa mawas diri. Jangan sampai terperosok dalam lembah zina."Inshaa Allah, siap Kanse!" ucapnya sembari menaikkan tangan menyentuh keningnya untuk hormat.Kanse (Kanda senior) adalah panggilan Kayra pada Karina sejak mereka beranjak remaja. Sebaliknya Dinjun (Dinda junior) adalah panggilan Karina pada Kayra, tapi setelah Ayub lahir, panggilan untuk Kayra bertambah jadi Bunjunnya Ayub (Bunda Junior).Ayub berlari dari dalam rumah, masih dengan muka b
"Kesendirian adalah jalan terbaik untuk duka dan jenuh menghancurkanmu."Faiqa EiliyahAyub seru sendiri bermain di taman belakang. Bersama kedua robot yang dihadiahkan oleh kak Nadiranya, dua hari yang lalu sebelum kembali lagi ke Surabaya.Meskipun Ikshan dan Raka sama-sama di Surabaya, tapi jarak tempat Ikshan bekerja dengan restoran milik papa Pratama cukup jauh. Mereka baru sekali mampir di sana. Itu pun karena kebetulan lewat."Assalamualaikum!" Suara seorang wanita dari arah pintu depan, membuat fokus Karina dari pakaian yang dilipatnya teralihkan. Karina meninggalkan pekerjaannya dan bergegas menuju pintu."Waalaikumussalaam, eh, Mbak Nayra, silahkan masuk!" ajaknya ramah."Ayubnya mana, Mbak Karin?" tanyanya sambil celingak celinguk mencari Ayub, membuat Karina tanpa sadar terkikik geli melihat ulah tetangga barunya yang polos itu."Dia di taman belakang,
Karina duduk di sisi taman menerawang jauh ke masa lalu, masa di mana ketika dia masih berjuang. Bergelut dengan kehidupan, mencari makna dan kemana arah langkah yang akan ditempuh.Tak jauh dari tempatnya duduk, Raka dan Ayub terus berlari memperebutkan bola ke sana ke mari seolah tak pernah lelah. Mereka tertawa lepas, seolah duka tak pernah singgah pada raut wajah itu.Wajah-wajah yang pernah disinggahi rindu yang sangat menyiksa. Mata yang pernah dibanjiri oleh air mata kekecewaan dan penyesalan. Itulah hidup, sejatinya tak ada yang mudah. Semua butuh pengorbanan, perjuangan, dan kesabaran.Tak ada seorang pun manusia yang dilahirkan, bisa memilih jalan dan akhir dari hidupnya sendiri. Karena takdir selalu melenggang mengikuti kehendak SANG Pencipta. Sedang manusia hanya bisa berusaha semampu, sebisa mereka. Karena pinish-nya tetap urusan Allah.Karina pernah begitu mencintai Adnan. Pernah
Raka dan Ayub tengah tertidur dengan saling memeluk satu sama lain. Mereka begitu damai dalam lelap mereka. Seulas senyum merekah di sudut bibir Karina menatap kedua prianya.'Makasih Tuhan, telah membuka mataku untuk dapat melihat semua kebenarannya sebelum terlambat. Jika tidak, mungkin aku akan jadi manusia yang paling menyesal karena telah salah menilai Kak Raka.' bisik hati Karina. Dia menutup mata merafal syukur pada Sang Pemilik segala dalam hati.Ponsel-nyq berdering, tepat saat akan merebahkan tubuh di samping sang suami. Dia membatalkan niat untuk tidur dan segera beranjak menjauh dari kedua orang yang tengah terlelap itu. Takut suaranya akan mengganggu atau bahkan bisa membangunkan mereka.Dengan perlahan membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali begitu sudah berada di luar. Melangkah menuju halaman belakang dan menjawab panggilan yang sudah berdering dari tadi.Karina menjawab panggila
Adnan yang saat itu kebetulan keluar rumah mematung takkala mendapati sosok Karina dari kejauhan. Wanita itu tengah berjalan santai bersama suami dan putranya yang tampan. Mereka perlahan menjauh meninggalkan pekarangan rumah.Sudut bibir Adnan tersungging saat mengingat reaksi kedua Suami-Istri itu, saat tadi dia menggoda mereka tentang Furqon. Adnan begitu menikmati sekelebat kecemburuan yang berkilat di mata Raka setiap kali dia dengan sengaja menggoda Karina."Karin, aku mengikhlaskan kau bahagia dengannya. Bukan karena di hatiku tak ada lagi cintamu, tapi karena aku ingin kau bahagia. Cukup sudah derita kau pikul, cukup beban duka menghimpitmu. Kini saatnya kau tersenyum dan bahagia," bisiknya.Adnan menutup pintu, kembali ke dalam. Semua barang-barang yang akan dia bawa besok, sudah terkemas rapi dalam ransel besar berwarna hitam yang tergeletak di sudut ruangan. Raka terlentang dengan tatapan kosong menerawang jau
Setelah salat Isya, Karina dan Raka kembali ke ayunan di taman belakang, tempat favorit mereka sejak pertama kali mereka berdua menempati rumah itu. Mengulang kembali setiap detik indah yang sempat terenggut paksa oleh jarak dan situasi.Berkali-kali Raka mendekap erat Karina dengan penuh cinta, melepaskan semua kerinduan yang selama ini mengendap di dasar jiwanya. Sama seperti Karina yang tak bisa lepas lagi. Mereka kembali menikmati kebersamaan yang indah di atas ayunan yang menjadi sejarah indah awal mula cinta antara mereka tumbuh.Karina tak lagi segan membiarkan Raka tenggelam dalam kisah Karina tentang Surabaya dan semua yang dia alami di sana. Beberapa kali kilatan amarah terlihat di mata Raka ketika Karina sampai pada kisah tentang Nathan.Karina sangat lega. Lewat sudah duka yang selama ini memayungi rumah tangga mereka. Kini saatnya membuka lembaran baru, menata kembali semua yang sempat terserak di anta
Air mata menetes satu persatu luruh menindih ketegaran seorang Karina yang memang berhati selembut kapas, dia menatap Adnan yang juga mulai berkaca. Pria itu pasti sangat menyesal ... telah menyakiti Nayra selama ini meski mungkin tanpa menyadarinya."Aku akan ke Surabaya menyusul Nayra, dia pasti terpuruk sendiri di rumah sebesar itu. Ibu baru saja meninggal dan aku satu-satunya orang yang seharusnya menguatkan, justru menjadi manusia yang paling menyakiti," ucap Adnan penuh penyesalan."Kau tidak salah, Ad. Bukankah selama ini kau tidak tahu dengan perasaan Nayra yang sebenarnya?" ucap Karina berusaha menguatkan Adnan, tak ingin melihat pria itu rapuh di saat-saat seperti ini."Aku telah jadi teman berbagi kepahitan dengannya, tapi aku bahkan tak bisa peka untuk menyadari. Kepahitan yang justru aku sendirilah penyebab dari itu semua." Adnan mulai meracau menyalahkan diri sendiri."Ad, kapan kau aka
Sudah sebulan lebih sepasang suami istri itu dilanda perang dingin. Mereka hanya bicara satu sama lain ketika ada Ayub di tengah-tengah mereka atau saat ada orang luar yang datang bertamu.Seperti saat ini, mereka hanya diam dalam sekat ruang yang sama. Karina dengan novel tebal di tangan dan Raka dengan game di Hp-nya. Mereka laksana sepasang merpati terbang rendah yang tak saling menyapa.Suara ketukan dari arah pintu membuat Karina dan Raka yang tengah duduk berjauhan di ruang tamu seketika kompak menatap ke arah yang sama. Karina bangkit membuka pintu, untuk sejenak dia mencoba berdiskusi dengan akal sehatnya. Melihat Adnan berdiri mematung di ambang pintu membuat otak Karina bleng."Adnan, ka, kau ...?" tanya Karina dengan separuh nyawa yang tak lagi menetap.Wanita yang kini tengah mengenakan hijab hijau lemon itu panik bukan main, dia bisa mati berdiri kalau kedua pria ini bertemu. Raka
Usai makan malam bersama semua anggota keluarga mertuanya, Raka memboyong istri dan anaknya pulang. Ayub sudah keburu tidur di atas motor ketika mereka sampai. Raka mengambil alih putranya dari pangkuan Karina dan menggendong bocah itu hati-hati takut dia terbangun.Karina bergegas membuka pintu pagar dan pintu rumah, membiarkan Raka masuk lebih dulu. Tak ada percakapan ataupun gelak canda tawa romantis, seperti yang selalu tercipta di keluarga kecil mereka dulu. Hanya ada kebungkaman satu sama lain. Ada jarak tak kasat mata di antara mereka.Tepat saat tangan Karina sudah menyentuh stang motor, Raka muncul di ambang pintu, memintanya turun. Karina yang memang malas berdebat langsung patuh, dia memutar tubuh untuk menutup pintu gerbang.Tatapan mata mereka bertabrakan ketika Karina kembali masuk ke dalam ruang tamu. Raka sudah duduk di sana menatap tajam dengan tangan ditepuk-tepukkan pada paha. Karina membuang muka hend
Karina bergegas turun dari motor ketika Kayra sudah berdiri menatap di ambang pintu dengan tatapan seolah melihat setan. Karina melangkah ragu menghampirinya pun saat tiba-tiba adiknya itu menghambur memeluknya dengan terisak."Kak, aku pikir aku akan kehilangan Kakak untuk selama-lamanya. Aku pikir aku akan kehilangan Kanseku!" ucapnya dengan bahu terguncang dalam pelukan Karina, membuat air mata Karina ikut luruh."Karin, Kau!?" pekik papanya dari dalam membuat Karina mengangkat wajah menatap pria tua itu dengan tubuh gemetar ketakutan.Pria tua itu melangkah maju menyingkirkan Kayra dari pelukan Karina dan memeluk putri sulungnya dengan erat, seolah Karina akan pergi jauh dari kehidupan mereka selamanya. Karina kaget dengan perlakuan papa yang tadinya dia pikir dirinya akan diamuk dan dimarahi habis-habisan, tapi justru diperlakukan sehangat ini."Jangan pernah pergi lagi, Nak! Kau bisa memb
Karina melangkah ragu melintasi pagar, berdiri mematung di ambang pintu rumah sendiri. Menghela napas panjang dan menghembuskannya kasar. Sebelum dia memutuskan untuk masuk rumah menyeret koper dengan malas.Tepat saat akan masuk rumah, Raka dengan hanya menggunakan celana bokser pendek warna merah dengan baju kaos longgar berwarna putih, mendongak padanya. Pria itu tengah sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Melihat wanita yang begitu dia rindui itu membuat Raka berdiri mematung menatap Karina. Lama mereka terpaku satu sama lain.Raka menatap wanitanya penuh rindu, tapi tidak dengan Karina. Dia menatap Raka dengan amarah yang berkecamuk dalam dada. Wanita itu tidak bergerak karena pikirannya tengah sibuk mencerna untuk apa suaminya ada di sini, bukankah seharusnya saat ini dia di Surabaya mengangkangi wanitanya yang sangat cantik itu.Setelah Karina bisa menguasai situasi, dia berjalan masuk ke