"Kehangatan dalam keluarga adalah kebahagiaan sederhana yang mahal harganya, bagi mereka yang terpisah jarak dan ruang. Namun, kebahagiaan sederhana yang murah bagi mereka yang saling berdekatan, baik jarak dan juga hatinya."
Faiqa Eiliyah.
Karina terjaga dengan pandangan berputar ... salat Subuh dengan keadaan tak stabil. Kepalanya sangat berat.
Pagi ini Kayra sudah harus kembali ke Kota untuk kerja, Karina terus mewanti-wantinya agar bisa mawas diri. Jangan sampai terperosok dalam lembah zina.
"Inshaa Allah, siap Kanse!" ucapnya sembari menaikkan tangan menyentuh keningnya untuk hormat.
Kanse (Kanda senior) adalah panggilan Kayra pada Karina sejak mereka beranjak remaja. Sebaliknya Dinjun (Dinda junior) adalah panggilan Karina pada Kayra, tapi setelah Ayub lahir, panggilan untuk Kayra bertambah jadi Bunjunnya Ayub (Bunda Junior).
Ayub berlari dari dalam rumah, masih dengan muka bantal. Langsung menyerbu Bunjunnya, seolah tidak ingin berpisah.
"Bunjun, nanti datang lagi yah, kita jajan es krim lagi yang banyak," celoteh bibir mungilnya membuat Kayra gemas dan menciuminya.
"Emh, bau asem, Nanjun (Nanda junior) masih bau iler!" sindir Kayra, yang membuat Ayub terkikik geli, membuat mereka serempak ikut merasa geli dengan reaksi lucunya.
"Nanti Ayub harum kok, Bunjun. Kalau sudah mandi!" terangnya dengan penuh percaya diri.
"Ok, Bunjun harus berangkat dulu Nanjun, nanti telat. Doakan Bunjun dapat banyak uang dan dapat Yanjun (Ayahanda junior) yang dompetnya tebal, biar kita bisa jajan sepuasnya," bisik Kayra pada Ayub yang membuat Karina melotot dan melemparnya dengan setangkai bunga mawar yang tumbuh subur di belakangnya saat ini.
"Dasar gesrek!" teriak Karina ditujukan padanya, yang di balas dengan kekehan oleh Kayra.
"Aku pamit, Pa, Ma, Kanse dan Nanjun Ayubku yang paling ganteng!" ucapnya mencium Ayub lalu menurunkannya di samping. Menyalakan motor dan membunyikan klakson sebelum berangkat.
"Bunjun cepat-cepat cari Yanjun yang dompetnya tebal, ya, biar bisa jajan sepuasnya!" teriak Ayub yang membuat Papa dan Mama Ina tertawa bersama.
'Ya, Allah bocah ini, ingatannya benar-benar masih fresh. Aku saja sudah lupa kalau Kayra janji begitu pada Ayub tadi.' Karina menggelengkan kepala sembari bermonolog dalam hati.
Karina menggendongnya masuk ke rumah. Mandi, berbenah, lalu duduk santai menemaninya nonton di depan TV.
"Assalamualaikum!"
Waalaikumussalaam!" jawab Karina melihat siapa yang datang.
"Eh, Idham! tumben?" sapa Karina.
"Kebetulan Kakak di sini, aku ke sini diutus Mama buat jemput Kakak," ucapnya.
"Kenapa, apa Tante baik-baik saja?" tanya Karina menanyakan tantenya.
"Iya, Kak, Mama baik-baik saja. Kemarin malam Kak Ikhsan dan istrinya tiba dari Surabaya. Nadira terus merengek minta ketemu sama adik gantengnya!" tutur Idham.
"Ough, jadi Kak Nisya dan Kak Ikhsan ada di rumah sekarang?" tanya Karina antusias.
"Iya, Kak, ini di suruh jemput kalian berdua," jelasnya.
Ayub yang belum mengerti apa-apa, dan memang belum mengenal Nadira. Membuatnya sama sekali tak tertarik dengan keseruan mama dan om-nya itu.
"Hei, jagoan! om-nya datang kok nggak, salim?" tegur Idham padanya.
Membuat Ayub menoleh, lalu beranjak menyaliminya. Idham memeluk lalu menatap ponakannya lekat, mungkin mencari wajah sahabatnya di sana ....
Ia menggendongnya dan Ayub pun tak menolak. Idham membawa Ayub ke dapur, menemui Mama Ina. Buat minta izin membawa jagoan kecil ke rumahnya.
"Eh, Idham, sama siapa?" Suara Mama Ina yang terdengar kaget, Idham tiba-tiba sudah ada di dapur menggendong Ayub.
"Sendiri Tante, Mama ngundang Om dan Tante ke rumah malam ini, soalnya Kak Ikhsan dan Kak Nisya pulang dari Surabaya kemarin malam," ucap Idham yang terdengar jelas oleh Karina.
"Wah, tante seh, terserah om-mu nanti, Dham. Kalau pulang kerja om, nggak terlalu capek. Tante akan usahain ke sana, buat ketemu sama si Nadira. Sekarang dia pasti sudah besar," ucap myama Ina mengambang.
***
"Karin!?" Pekik Nisya, suaranya menggema memenuhi ruangan, takkala melihat Karina pertama kalinya.
"Hai, Kak Nisya!" sapa Karina balik sambil memeluknya.
"MasyaAllah, kakak sampai pangling. Kamu cantik benar, pakai hijab ini!" pujinya, membuat Karina bersemu merah, tersipu malu.
"Ah, Kak Nisya berlebihan," sungutnya.
"Terus, si kecil Ayub, mana?" tanyanya dengan bola mata kesana kemari mencari Ayub.
"Ayub ke taman belakang Kak, sama Nadira dan Tante. Kakak pasti tertawa, andai Kakak lihat tingkah Nadira tadi, pas pertama kali ketemu sama aku. Dia bilang gini, 'Eh, Tante, Adik kecilnya mana?' padahal adik kecilnya kan sudah ada di depannya, neh. Pas kutunjukkan Ayub, eh, dia malah ngedumel 'Kok, Adik kecilnya sudah besar?' Ya, kali Ayub jadi bayi mulu demi menyenangkan dirinya!" ucap Karina dibarengi kekehan.
Nisya ikut terkekeh mendengar cerita Karina, "Mana Kak Ikhsan?" tanya Karina kemudian setelah menyadari tak melihat kakak sepupunya dari tadi.
"Dia keluar, baru saja!" jawab Nisya sambil menuntun Karina ke taman belakang, menyusul bocah-bocah mereka.
Mereka duduk bertiga bersama Tante dan Nisya, melihat Nadira dan Ayub yang akhirnya sudah terbiasa satu sama lain. Mereka seperti sudah lama saling mengenal, tanpa pernah tahu. Kalau beberapa tahun lalu, mereka pernah menjadi sepasang teman kecil di rumah ini juga.
"Assalamualaikum!" Suara Ikhsan menggema dari ruang tamu, Nisya beranjak keluar menyambut suaminya.
"Itu, Ayub, lengkap dengam Mamanya!" ucap Nisya menunjuk ke arah Karina, seolah meyakinkan Ikhsan kalau Karina benar-benar ada di sana.
"Nadira! Ingat pernah janji apa sama adik gantengnya pas di Bandara?" tanya Ikhsan pada Nadira. Mereka serempak menoleh pada Nadira, menanti jawaban yang akan keluar dari mulutnya.
"Mau di bawain robot, Pa!" ucapnya sambil tersenyum.
"Nah, ini papa sudah beliin, kasih, gih, sama Ayub!" titah Ikhsan pada Nadira putrinya, yang disambut dengan anggukan senang oleh Nadira. Ia segera berlari meraih bungkusan dos yang cukup besar dari papanya dan menyerahkan dos itu pada Ayub.
Pandangan Ayub berpencar menatap ke arah mereka satu persatu, lalu terakhir menatap Karina, meminta persetujuan. Ketika Karina menganggukinya, sekulum senyum merekah lebar di bibir bocah itu.
Mereka semua menanti dengan sabar. Ketika Ayub dan Nadira membuka dos itu bersama-sama. Begitu dosnya terbuka, tampak sepasang robot di dalam sana. Robot Iron man dan cat women, sangat cantik.
Mereka berdua nampak sangat senang, mereka membagi robot itu lalu membawanya berlari mengintari orang-orang dewasa, yang duduk mengengelilingi meja.
"Makasih, Kak!" ucap Karina tulus pada kakak sepupunya itu. Karena sudah membuat Ayub bahagia. Setidaknya selama Raka pergi, ini yang pertama kalinya Karina melihat Ayub bermain, berlari sambil tertawa seperti tadi.
"Kamu ini kayak sama siapa saja, kamu itu sudah kakak anggap adik kandung kakak. Jadi anak-anakmu, adalah anak-anak kakak juga," ucapnya sambil mengacak pucuk hijab Karina.
"Eh, ngomong-ngomong sekarang kamu berubah, kok makin cantik dan teduh gini ya?" godanya sambil menilik Karina dari atas sampai bawah. Karina yang dulu sering dilihatnya adalah Karina yang belum hijrah dan mengenakan hijab.
"Kak Ikhsan, ih ... malu tau!" sungutnya sambil memukul pundak Ikhsan pelan.
"MasyaAllah, adik kakak ini sudah hijrah, rupanya ya? Semoga istiqomah, Sayang!" ucapnya sambil membelai puncak hijab Karina sekali lagi. Membuat Nisya dan Tante Tiara menatap ke arah sepasang sepupu itu.
"Aamiin, iya, Kak. Semoga Kak Nisya juga bisa secepatnya menyusul!" Harap Karina.
"Aamiin!" ucap Nisya sembari berdiri memeluk Karina, "kalau kau bukan sepupunya, mungkin aku sudah lama cemburu sama kamu Karina. Sepupumu ini hobby sekali membangga-banggakan kamu, di depan semua keluargaku," ucap Nisya yang membuat Karina merasa tidak enak hati.
"Aku bicara apa adanya, Nisya!" bela Ikhsan sambil merangkul istrinya, membuat Karina dan Tante Tiara tertawa geli melihat tingkah absurd mereka.
Malam itu berlalu dengan mereka ngumpul melantai di ruang keluarga tanpa menyalakan TV. Agar mereka bisa fokus pada satu sama lain, besok pagi-pagi sekali. Karina dan Ayub sudah harus pulang ke rumah.
Mereka sudah dua hari ini, meninggalkan rumah. Bisa dipastikan rumah mereka sudah pasti penuh debu sekarang, belum lagi dedaunan yang berguguran pasti sudah memenuhi halaman belakang dan depan rumah mereka.
"Kesendirian adalah jalan terbaik untuk duka dan jenuh menghancurkanmu."Faiqa EiliyahAyub seru sendiri bermain di taman belakang. Bersama kedua robot yang dihadiahkan oleh kak Nadiranya, dua hari yang lalu sebelum kembali lagi ke Surabaya.Meskipun Ikshan dan Raka sama-sama di Surabaya, tapi jarak tempat Ikshan bekerja dengan restoran milik papa Pratama cukup jauh. Mereka baru sekali mampir di sana. Itu pun karena kebetulan lewat."Assalamualaikum!" Suara seorang wanita dari arah pintu depan, membuat fokus Karina dari pakaian yang dilipatnya teralihkan. Karina meninggalkan pekerjaannya dan bergegas menuju pintu."Waalaikumussalaam, eh, Mbak Nayra, silahkan masuk!" ajaknya ramah."Ayubnya mana, Mbak Karin?" tanyanya sambil celingak celinguk mencari Ayub, membuat Karina tanpa sadar terkikik geli melihat ulah tetangga barunya yang polos itu."Dia di taman belakang,
"Sahabat baru terkadang bisa membawa suasana baru. Di saat jenuh terasa ingin mencekikmu."Faiqa EiliyahSeperti permintaan Nayra kemarin sore. Saat ini Karina dan Ayub sudah duduk manis di depan rumah Nayra. Berbeda dengan Karina yang lebih suka bunga yang benar-benar menampakkan bunga. Karina begitu gila pada jenis-jenis bunga itu. Karena mencintai aneka warna, bentuk bunga, kelopak, juga keharumannya. Sedang Nayra kelihatannya lebih menyukai tanaman hias daun yang beraneka corak dan bentuk. Berbagai jenis tanaman hias daun memenuhi teras dan halaman rumahnya."Eh, Ayub! Senang banget akhirnya kalian mau ke sini!" serunya, membuat Karina terlonjak kaget dari keasyikannya menyapu tanaman hias milik Nayra dengan tatapan liarnya."Eh, maaf!" ucap Karina tersipu malu, sementara Ayub ternyata sudah asyik sendiri melihati kolam ikan yang penuh dengan ikan-ikan cantik di bawah sana.
"Luka yang tertinggal di tubuh bisa disembuhkan oleh obat, tapi luka yang tertinggal di hati hanya mampu disembuhkan oleh waktu."Faiqa EiliyahHari ini Karina dan Nayra selesai barter tanaman bunga. Beberapa hari yang lalu Karina menyarankan agar Nayra mau menanam tanaman hias yang ada kembangnya, tapi dia menolak. Alasannya tanaman hias yang berbunga ada masa matinya dan harus diperbaharui lagi, cenderung manja karena harus disiram tiap hari.Tapi Karina mematahkan argumennya dengan mengatakan, kalau untuk melihat keindahan yang luar biasa memang perlu sedikit usaha. Lelah itu akan terbayar ketika warna warni dari kelopak bunga itu memenuhi tamannya.Sebagai gantinya Nayra juga meminta agar Karina merasakan simplenya menanam tanaman hias daun, selain nggak manja. Dia juga tahan segala cuaca dan tak perlu rajin disiram.Karina bahkan sempat ngakak menggoda Nayra kalau tanaman hias daun itu, Tuhan ciptakan unt
"Menepikan biduk ke bibir pantai ketika di tengah lautan ada amukan badai adalah cara terbaik untuk menyelamatkan biduk dari karam."Faiqa EiliyahKarina sudah selesai menata sarapan di atas meja, Ayub sudah rapi menggunakan pakaian TK-nya yang sangat manis dengan perpaduan warna hijau dan putih. Sementara Raka tertidur kembali setelah usai salat Subuh, entah apa yang dilakukannya semalam hingga ia tidur terlalu larut.Selesai sarapan, Karina menyisihkan piring kotor. Menutup kembali sarapan yang ada di atas meja dengan tudung saji. Lalu bergegas mengantar Ayub ke TK-nya dengan jalan kaki."Pagi, Ayub!" Suara Nayra membuat keduanya menoleh berjamaah pada si sumber suara."Pagi, mbak Nayra!" balas Karina dengan tersenyum lebar."Mau kemana, tumben sepagi ini?" tanya Karina bingung."Mau ikut kalian," jawabnya sambil cengar-cengir nggak jelas."Ikut?"
"Sebesar apa pun luka yang tengah meradang di hati seorang Istri, luka itu akan ia lupakan demi melihat buah hatinya bahagia."Faiqa EiliyahAyub mengangkat wajah dengan tatapan dingin ketika Karina sampai di sana. Teman-temannya sudah menghilang, menyisakan dirinya menunggu sendiri. Belum lagi Mak Idah yang biasa menemaninya, hari ini belum juga masuk karena sakit."Ibu lambat, ya?" tanya Karina dengan raut penuh penyesalan, sambil mencoba membaca raut wajah putranya yang dingin. Karina ikut duduk di samping Ayub karena ia tak memberikan tanggapan atau respon pada pertanyaannya."Kenapa memarahi Ayah, apa Ibu mau Ayah pergi lagi jika Ibu terus memarahinya!" ucapan putranya membuat rahang Karina nyaris lepas dan terjatuh."Hah, sejak kapan Ayub berani menguping pembicaraan orang tua? Dosa loh, anak kecil menguping pembicaraan orang dewasa." Karina yang shock menoleh pada putranya."Ayub, nggak
"Bahkan pasangan pun bisa menjadi asing ketika kau meninggalkannya terlalu lama, dan membiarkannya mati terkubur oleh rindu."Faiqa EiliyahKarina keasyikan main game, mencari pelarian saat kedua prianya seperti biasa mengabaikannya. Entah mereka sedang apa di kamar, hanya terdengar suara adu mulut yang sesekali diselingi suara kikikan.Karina mau tidak mau menjadikan HP sebagai pelarian. Meski dia tidak begitu suka main game, tapi demi melindungi dirinya dari kejenuhan yang bertumpuk. Main game adalah jalan ninja untuk lepas dari segala keruwetan dan kejenuhan.Prok prok prok prok!Karina menoleh kaget dengan suara tepuk tangan di belakangnya. Di sana Raka tengah bersandar di ambang pintu kamar. Tengah menatapnya lekat, Karina menoleh menatap wajah Raka, mencari arti dari tepuk tangannya barusan.Raka berjalan mendekat, lalu duduk di sampingnya dan tertawa ringan, "Jadi sekarang kau alih prof
"Tertawa adalah senjata paling ampuh, untuk memutuskan simpul-simpul sepi yang melilitmu."Faiqa EiliyahHari ini Raka mengajak putranya mengunjungi kakeknya. Tadi pagi saat mereka lelah bermain bola di halaman belakang. Mereka tiba-tiba kepikiran untuk pergi bersenang-senang ke sana, tentu saja karena sibuk mengatasi amarah Karina. Raka jadi lupa mengunjungi mereka semua. Terutama Idham, sepupu Karina yang tak lain adalah sahabat karibnya.Sementara Karina lebih memilih tinggal sendiri di rumah. Seperti siang itu, dia duduk sendiri di depan TV ketika semua pekerjaan rumah sudah kelar dia kerjakan. Rasa bosan yang tiba-tiba hadir menyelinap, membuatnya berjalan ke teras rumah dan duduk di sana seperti orang kesepian.Menggerakkan jempolnya naik turun di beranda sosmed, tapi tak ada yang mampu menarik perhatiannya. Meskipun sekedar untuk mengalihkan rasa bosan yang tiba-tiba hadir tanpa diundang. Dia hanya membiarkan semu
"Jika sakralnya pernikahan kau jadikan sebuah kompromi, tunggulah saatnya ketika hatimu bahkan tak bisa berkompromi dengan dirimu sendiri."Faiqa EiliyahKarina memejamkan mata saat menyeruput es lemon tea buatannya yang begitu segar. Sementara Nayra asyik mencocol perkedelnya pada sambal pedis manis yang khusus diracik oleh Karina untuknya. Menggunakan resep rahasia andalan Karina. Nayra begitu senang karena dia sangat menyukai perpaduan rasa pedis, manis, asam itu dalam satu gigitan."Nay, apa kamu nggak kesepian kalau malam tiba dan hanya sendiri?" tanya Karina mulai kefo dengan kehidupan pribadi Nayra."Enggak! suamiku ada atau tidak sama saja bagiku," jawabnya cuek. Membuat Karina tiba-tiba menoleh, mengerutkan kening, "Ada atau tidak sama saja gimana maksudnya?""Ya, sama saja. Nggak akan mengubah apa-apa." Dia mencocol lagi perkedelnya kali ini dengan porsi sambal yang jauh lebih banyak
Karina duduk di sisi taman menerawang jauh ke masa lalu, masa di mana ketika dia masih berjuang. Bergelut dengan kehidupan, mencari makna dan kemana arah langkah yang akan ditempuh.Tak jauh dari tempatnya duduk, Raka dan Ayub terus berlari memperebutkan bola ke sana ke mari seolah tak pernah lelah. Mereka tertawa lepas, seolah duka tak pernah singgah pada raut wajah itu.Wajah-wajah yang pernah disinggahi rindu yang sangat menyiksa. Mata yang pernah dibanjiri oleh air mata kekecewaan dan penyesalan. Itulah hidup, sejatinya tak ada yang mudah. Semua butuh pengorbanan, perjuangan, dan kesabaran.Tak ada seorang pun manusia yang dilahirkan, bisa memilih jalan dan akhir dari hidupnya sendiri. Karena takdir selalu melenggang mengikuti kehendak SANG Pencipta. Sedang manusia hanya bisa berusaha semampu, sebisa mereka. Karena pinish-nya tetap urusan Allah.Karina pernah begitu mencintai Adnan. Pernah
Raka dan Ayub tengah tertidur dengan saling memeluk satu sama lain. Mereka begitu damai dalam lelap mereka. Seulas senyum merekah di sudut bibir Karina menatap kedua prianya.'Makasih Tuhan, telah membuka mataku untuk dapat melihat semua kebenarannya sebelum terlambat. Jika tidak, mungkin aku akan jadi manusia yang paling menyesal karena telah salah menilai Kak Raka.' bisik hati Karina. Dia menutup mata merafal syukur pada Sang Pemilik segala dalam hati.Ponsel-nyq berdering, tepat saat akan merebahkan tubuh di samping sang suami. Dia membatalkan niat untuk tidur dan segera beranjak menjauh dari kedua orang yang tengah terlelap itu. Takut suaranya akan mengganggu atau bahkan bisa membangunkan mereka.Dengan perlahan membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali begitu sudah berada di luar. Melangkah menuju halaman belakang dan menjawab panggilan yang sudah berdering dari tadi.Karina menjawab panggila
Adnan yang saat itu kebetulan keluar rumah mematung takkala mendapati sosok Karina dari kejauhan. Wanita itu tengah berjalan santai bersama suami dan putranya yang tampan. Mereka perlahan menjauh meninggalkan pekarangan rumah.Sudut bibir Adnan tersungging saat mengingat reaksi kedua Suami-Istri itu, saat tadi dia menggoda mereka tentang Furqon. Adnan begitu menikmati sekelebat kecemburuan yang berkilat di mata Raka setiap kali dia dengan sengaja menggoda Karina."Karin, aku mengikhlaskan kau bahagia dengannya. Bukan karena di hatiku tak ada lagi cintamu, tapi karena aku ingin kau bahagia. Cukup sudah derita kau pikul, cukup beban duka menghimpitmu. Kini saatnya kau tersenyum dan bahagia," bisiknya.Adnan menutup pintu, kembali ke dalam. Semua barang-barang yang akan dia bawa besok, sudah terkemas rapi dalam ransel besar berwarna hitam yang tergeletak di sudut ruangan. Raka terlentang dengan tatapan kosong menerawang jau
Setelah salat Isya, Karina dan Raka kembali ke ayunan di taman belakang, tempat favorit mereka sejak pertama kali mereka berdua menempati rumah itu. Mengulang kembali setiap detik indah yang sempat terenggut paksa oleh jarak dan situasi.Berkali-kali Raka mendekap erat Karina dengan penuh cinta, melepaskan semua kerinduan yang selama ini mengendap di dasar jiwanya. Sama seperti Karina yang tak bisa lepas lagi. Mereka kembali menikmati kebersamaan yang indah di atas ayunan yang menjadi sejarah indah awal mula cinta antara mereka tumbuh.Karina tak lagi segan membiarkan Raka tenggelam dalam kisah Karina tentang Surabaya dan semua yang dia alami di sana. Beberapa kali kilatan amarah terlihat di mata Raka ketika Karina sampai pada kisah tentang Nathan.Karina sangat lega. Lewat sudah duka yang selama ini memayungi rumah tangga mereka. Kini saatnya membuka lembaran baru, menata kembali semua yang sempat terserak di anta
Air mata menetes satu persatu luruh menindih ketegaran seorang Karina yang memang berhati selembut kapas, dia menatap Adnan yang juga mulai berkaca. Pria itu pasti sangat menyesal ... telah menyakiti Nayra selama ini meski mungkin tanpa menyadarinya."Aku akan ke Surabaya menyusul Nayra, dia pasti terpuruk sendiri di rumah sebesar itu. Ibu baru saja meninggal dan aku satu-satunya orang yang seharusnya menguatkan, justru menjadi manusia yang paling menyakiti," ucap Adnan penuh penyesalan."Kau tidak salah, Ad. Bukankah selama ini kau tidak tahu dengan perasaan Nayra yang sebenarnya?" ucap Karina berusaha menguatkan Adnan, tak ingin melihat pria itu rapuh di saat-saat seperti ini."Aku telah jadi teman berbagi kepahitan dengannya, tapi aku bahkan tak bisa peka untuk menyadari. Kepahitan yang justru aku sendirilah penyebab dari itu semua." Adnan mulai meracau menyalahkan diri sendiri."Ad, kapan kau aka
Sudah sebulan lebih sepasang suami istri itu dilanda perang dingin. Mereka hanya bicara satu sama lain ketika ada Ayub di tengah-tengah mereka atau saat ada orang luar yang datang bertamu.Seperti saat ini, mereka hanya diam dalam sekat ruang yang sama. Karina dengan novel tebal di tangan dan Raka dengan game di Hp-nya. Mereka laksana sepasang merpati terbang rendah yang tak saling menyapa.Suara ketukan dari arah pintu membuat Karina dan Raka yang tengah duduk berjauhan di ruang tamu seketika kompak menatap ke arah yang sama. Karina bangkit membuka pintu, untuk sejenak dia mencoba berdiskusi dengan akal sehatnya. Melihat Adnan berdiri mematung di ambang pintu membuat otak Karina bleng."Adnan, ka, kau ...?" tanya Karina dengan separuh nyawa yang tak lagi menetap.Wanita yang kini tengah mengenakan hijab hijau lemon itu panik bukan main, dia bisa mati berdiri kalau kedua pria ini bertemu. Raka
Usai makan malam bersama semua anggota keluarga mertuanya, Raka memboyong istri dan anaknya pulang. Ayub sudah keburu tidur di atas motor ketika mereka sampai. Raka mengambil alih putranya dari pangkuan Karina dan menggendong bocah itu hati-hati takut dia terbangun.Karina bergegas membuka pintu pagar dan pintu rumah, membiarkan Raka masuk lebih dulu. Tak ada percakapan ataupun gelak canda tawa romantis, seperti yang selalu tercipta di keluarga kecil mereka dulu. Hanya ada kebungkaman satu sama lain. Ada jarak tak kasat mata di antara mereka.Tepat saat tangan Karina sudah menyentuh stang motor, Raka muncul di ambang pintu, memintanya turun. Karina yang memang malas berdebat langsung patuh, dia memutar tubuh untuk menutup pintu gerbang.Tatapan mata mereka bertabrakan ketika Karina kembali masuk ke dalam ruang tamu. Raka sudah duduk di sana menatap tajam dengan tangan ditepuk-tepukkan pada paha. Karina membuang muka hend
Karina bergegas turun dari motor ketika Kayra sudah berdiri menatap di ambang pintu dengan tatapan seolah melihat setan. Karina melangkah ragu menghampirinya pun saat tiba-tiba adiknya itu menghambur memeluknya dengan terisak."Kak, aku pikir aku akan kehilangan Kakak untuk selama-lamanya. Aku pikir aku akan kehilangan Kanseku!" ucapnya dengan bahu terguncang dalam pelukan Karina, membuat air mata Karina ikut luruh."Karin, Kau!?" pekik papanya dari dalam membuat Karina mengangkat wajah menatap pria tua itu dengan tubuh gemetar ketakutan.Pria tua itu melangkah maju menyingkirkan Kayra dari pelukan Karina dan memeluk putri sulungnya dengan erat, seolah Karina akan pergi jauh dari kehidupan mereka selamanya. Karina kaget dengan perlakuan papa yang tadinya dia pikir dirinya akan diamuk dan dimarahi habis-habisan, tapi justru diperlakukan sehangat ini."Jangan pernah pergi lagi, Nak! Kau bisa memb
Karina melangkah ragu melintasi pagar, berdiri mematung di ambang pintu rumah sendiri. Menghela napas panjang dan menghembuskannya kasar. Sebelum dia memutuskan untuk masuk rumah menyeret koper dengan malas.Tepat saat akan masuk rumah, Raka dengan hanya menggunakan celana bokser pendek warna merah dengan baju kaos longgar berwarna putih, mendongak padanya. Pria itu tengah sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Melihat wanita yang begitu dia rindui itu membuat Raka berdiri mematung menatap Karina. Lama mereka terpaku satu sama lain.Raka menatap wanitanya penuh rindu, tapi tidak dengan Karina. Dia menatap Raka dengan amarah yang berkecamuk dalam dada. Wanita itu tidak bergerak karena pikirannya tengah sibuk mencerna untuk apa suaminya ada di sini, bukankah seharusnya saat ini dia di Surabaya mengangkangi wanitanya yang sangat cantik itu.Setelah Karina bisa menguasai situasi, dia berjalan masuk ke