Sudah seminggu sejak Ayub sembuh, membuat semangat Karina untuk hidup, kembali. Jika kemarin-kemarin dia sempat gamang di setiap langkah, hari ini tidak lagi. Dia sudah menemukan tujuan, bertahan untuk Putranya. Apa pun yang akan terjadi nantinya, biarlah itu menjadi rahasia mutlak milik Sang Pengatur skenario hidup ini.
Karina melangkah dengan mantap, meniti hari-hari tanpa sang belahan jiwa di sisinya. Bukankah hidup yang bermakna adalah hidup yang banyak memberi manfaat untuk orang lain? Karina pernah membaca quotes itu di suatu tempat, tapi ia lupa di mana tepatnya.
Sejak saat itu Karina mulai giat belajar masalah Agama. Ilmu Agama ternyata seperti setetes embun yang berhasil menyejukkan hatinya. Dia menjalani hari-harinya yang kadang begitu dipenuhi oleh jejak-jejak rindu.
Jarang Karina memposting masalah pribadi atau foto-foto, cuma sesekali kalau ada sesuatu dari ulah Ayub yang membuatnya gemas. Karina akan mengabadikannya, lalu menyimpannya di akun sosmednya. Sebagai jembatan penghubung, jika suatu saat nanti Ayub sudah dewasa dan dia rindu untuk melihat wajah kecilnya yang sekarang.
"Ibu, Ayub mau HP!" teriak Ayub dari dalam kamar, sepertinya ia sudah bangun dari tidur siangnya.
"Ya, Sayang, ibu datang!" jawabnya, meski masih asyik melihat postingan-postingan berbau dakwah yang menenangkan qalbu.
Karina menyusul ke kamar, mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Tampak Ayub lagi bermain dengan kucing anggora berwarna putih bersih yang sangat cantik, menggelitik rasa penasaran yang terpahat jelas di wajahnya.
"Sayang, itu kucing siapa?" tanyanya membuka pintu lebar, sembari melangkah mendekati si buah hati.
Ayub menengadah sembari menggeleng, lalu kembali mengelus-elus bulu kucing yang sangat cantik dan menggemaskan itu. Bulunya lebat dengan warna putih bersih dan berkilauan, membuatnya tanpa sadar ikut membelai juga.
Karina melupakan niat awalnya masuk ke kamar, ikut terpesona melihat kecantikan kucing anggora yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ini yang pertama kalinya mereka bertemu kucing anggora ini di dunia nyata, cantiknya Masya Allah!
Pantas Ayub tak protes ketika ia lama membawakan HP, ternyata dia melihat kucing ini masuk melalui jendela kamar yang terbuka lebar.
"HP-nya Ibu, mana?"
"Eh, iya, ibu sampai lupa. Tunggu sebentar, ya?" Karina segera berbalik, sambil bergegas menuju meja tampatnya menaruh HP.
"Neh," Karina menyodorkan HP pada putranya, masih dengan tatapan yang tak lepas dari kucing anggora itu.
"Foto, Ma!" pintanya sambil bergaya memeluk kucing itu. Karina menepuk kepala pelan, merasa kalah kreatif sama bocah yang baru mau berusia lima tahun ini.
"Ough, iya, ya, Kok ibu nggak kepikiran, ya," gumamnya, lalu mulai menangkap foto Ayub dalam berbagai fose. Tentunya bersama si Anggora yang manis itu.
Setelah dia puas berfoto, Karina duduk di dekat putranya dan berbisik, "Sayang, kucing ini bukan punya Ayub, kan?" tanyanya yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Ayub, "Jadi kalau pemiliknya datang dan mau mengambil kucingnya. Ayub nggak boleh nahan, ya," lanjut Karina sambil menunggu reaksi putranya.
"Ibu lucu deh, Ayub bukan pencuri, kok, Bu. Ayub tahu kucing ini bukan punya Ayub!" jawabnya dengan mulut polosnya, membuat Karina gemas dan mencubit pipi putranya. Mencium bocah itu penuh kasih sayang.
"Kalau dia yang datang sendiri main ke sini, jangan diusir ya. Nanti Ibu berdosa!" pesannya kemudian yang membuat Karina menjatuhkan badan dan menariknya dalam pelukan.
"Anaknya siapa seh, neh? Pintar banget!" serunya semakin gemas.
"Ibu, lepas! Ayub mau main sama putih sebelum dia pulang!" protesnya.
"Nggak jadi main HP, neh?" Pancing Karina yang dijawab dengan gelengan kepala oleh si Bocah.
Karina berjalan keluar kamar, menuju teras depan. Membuka-buka aplikasi biru. Mulai melihat-lihat postingan-postingan dakwah yang tiba-tiba menjadi sebuah embun penyejuk di jiwanya yang kini gersang tanpa sang kekasih halalnya.
"Catty! catty!" teriak seorang wanita muda yang tiba-tiba melintas di depan rumah membuyarkan Karina dari keasyikannya berselancar di dunia maya.
Seorang wanita muda yang bertubuh mini, sepertinya lebih pendek dari Karina yang 155 cm, badannya juga lebih mungil. beda dengan Karina yang sedikit gempal dengan berat badan 56 kg.
"Singgah!" sapa Karina basa-basi, saat wanita itu menoleh menatap ke arahnya.
"Iya, Mbak, ini loh, kucing anggoraku ilang. Bingung aku, mau carinya ke mana lagi?" ucapnya dengan logat Jawa yang kental.
"Kucing anggoranya warna putih?" tebak Karina.
"Iya, Mbak" jawabnya dengan pandangan yang masih kelayapan kemana-mana, "Eh, kok Mbak tau warna bulu kucingku, to?" tanyanya curiga.
Tawa Karinq pecah mendengar pertanyaanya barusan, belum lagi dialog dan kepolosannya, dia sangat menyenangkan dan unik. Namun, sepertinya dia orang baru di sini. Melihat dari logat dan cara bicaranya, jelas dia bukan penduduk asli Kota Daeng.
"Kucingnya ada dalam rumah, Mbak!" jawab Karina kemudian, "silahkan masuk, pagarnya nggak dikunci kok!" tawarnya.
"Wah, kok cattynya bisa main jauh-jauh, ya?" tanyanya meddok khas orang Jawa.
Karina hanya tersenyum dan mengajaknya masuk, dia tampak risih. Mengulurkan tangan mengajak kenalan.
"Namaku Nayra Maulida Ahmad, tapi panggil Nayra saja. Mbak, namanya siapa?" tanyanya dengan senyum yang unik.
"Aku Karina," jawabnya, "Mari masuk, kucingnya nyasar dalam kamar," terang Karina.
"Hah, kok bisa langsung ke kamar?" tanyanya masih dengan logat Jawanya.
"Ya, bisalah Mbak, dia manjat lewat jendela!" Karina terkekeh geli.
Sambil melangkah masuk yang diikuti oleh wanita asing bernama Nayra itu. Karina membuka pintu kamar, melihat Ayub yang masih seru bicara sama kucingnya yang tiba-tiba terhenti karena pandangannya spontan langsung mengarah ke tempat di mana Karina dan wanita asing itu berdiri.
"Oalah, ini bocahnya toh, Mbak. Duh Gusti kasep tenan!" pujinya, membuat Ayub menoleh menatap waspada.
"Catty, sini pulang!" panggil wanita bernama Nayra itu pada kucingnya, yang membuat si kucing langsung menghampiri si empunya. Mengelilinginya dan menggesekkan badan ke kaki pemiliknya.
"Dasar kucing nakal kamu, main jauh-jauh. Bikin aku repot saja!" ucap Nayra pada kucingnya, sementara Karina sibuk memperhatikan reaksi Ayub.
Bocah itu turun dari tempat tidur dan berjalan ke arah Karina, memegang tangannya dengan tatapan tak pernah lekat dari kucing anggora milik Nayra.
"Hai, ganteng! Nama kamu siapa?" tanya Nayra menyapa Ayub dengan ramah.
"Namaku Ayub, apa kucing itu punya Tante?" tanyanya tanpa sedikit pun terdengar nada ragu atau gugup di suaranya.
"Iya, ini kucing Suami Tante, tapi orangnya lagi kerja sekarang, biasanya pulang seminggu sekali, Sayang," ucap Nayra sambil memeluk serta mengelus kucing yang sudah ada dalam gendongannya.
"Kucingnya boleh main sama Ayub lagi, ya?" tanyanya pada Nayra, Karina menarik tipis sudut bibirnya ke atas menahan geli.
"Tentu boleh dong, Sayang. Rumah Tante di lorong samping rumahmu ini, dua rumah dari sini." terang Nayra.
Nayra berjalan keluar diikuti Karina dan putranya.
"Makasih, ya, aku pikir tadi catty sudah hilang beneran." ucapnya lagi, setelah sampai di teras rumah.
"Aku belum nyuguhin minum loh, Nay," ucap Karina, membuat Nayra menoleh, tersenyum lebar.
"Mbak Karina ini ada-ada aja, lain kali aku pasti ke sini lagi kok, Mbak. Di rumah aku kesepian nggak ada temannya, lagian ada seseorang yang akan selalu menantikan catty datang berkunjung," ucapnya dengan bola mata melirik pada Ayub, disertai senyum yang menggantung manja di bibir tipisnya.
Tawa Karina meledak bersamaan dengannya. Ayub masih sibuk mengajak main catty meski kucing itu sudah ada dalam gendongan Nayra.
"Ya, sudah. Ayub, cattynya Tante bawa pulang dulu, ya? Besok-besok baru ke sini lagi. Kalau Ayub mau main sama catty, Ayub boleh ke rumah tante. Rumah yang catnya warna ungu sama putih!" terang Nayra panjang lebar yang dijawab anggukan kepala oleh Ayub.
"Mari, Mbak Karin, Ganteng!" pamitnya berjalan menuju gerbang.
Menolehke arah Karina sambil mengangkat satu kaki kucingnya seolah dada-dada ke mereka. Ayub membalasnya dengan dada-dada juga, sementara Karina hanya tersenyum simpul.
"Ayub anak hebat, ibu bangga!" puji Karina pada putra kecilnya. Begitu mereka sudah dalam ruang keluarga, duduk manis di depan TV yang sudah menampilkan film kartun tom and jerry.
"Ayub nggak ngapa-ngapain, kok, Bu," ucapnya seperti bingung.
"Kadang kalau anak lain, dia bakal nangis-nangis tadi, minta kucingnya nggak di bawa pulang sama Tantenya," bisik Karina dengan kedua tangan melingkar di tubuh mungilnya.
"Kan kucingnya, bukan punya Ayub, Bu," jawabnya dengan ekspresi bingung di wajahnya.
Karina mempererat peluknya, sembari ikut menonton adegan tom and jerry yang selalu sukses bikin anak-anak terpingkal ini. Beberapa menit kemudian, Ayub sudah larut dalam keseruannya menonton.
"Ayub, ibu Salat Azar dulu, ya!" izin Karina yang dijawab dengan anggukan kecil putranya.
Usai Salat dan berdoa, Karina duduk membatu di tempat. Menatap ke arah depan, di mana biasanya Raka duduk. Biasanya setelah berdoa seperti ini, Karina akan mencium tangan Raka dan sebaliknya Raka mencium keningnya. Sekarang Karina hanya bisa mencium kesunyian di dalam jiwanya.
Dengan berat, Karina berdiri, merapikan mukena dan sajadah ke sudut tempat tidur.
"Ya, Allah, di mana pun suamiku sekarang, tetapkanlah ia di jalan-Mu, jauhkan dari segala kesusahan dan kesukaran. Jaga hati dan cintanya hanya untuk kami berdua, Aamiin!" rafal Karina dengan bibir bergetar dan mata mulai berair.
"Kak Raka, ini sudah dua bulan, sejauh apa pun aku mencoba berlari darimu, tetap saja bayangmu menghalau langkahku. Aku rindu ...!" pekiknya menjatuhkan diri ke tempat tidur, meremas bantal di sana seolah menyalurkan semua kegundahan di hatinya.
"Orang tua adalah ladang pahala bagi anak-anaknya, betapa rugi orang-orang yang orang tuanya masih lengkap. Namun, tak mendapatkan apa-apa untuk bekalnya di esok dari mereka.Faiqa EiliyahSeperti biasa, setiap habis nganterin Ayub ke TK. Karina pulang buat beres-beres rumah, masak buat makan siang dan nyuci pakaian. Nanti pukul sepuluh dia sudah harus jemput Ayub lagi. Jika terlambat dia bisa manyun sampai seminggu. (Mamanya banget kalau sudah ngambek.)Jadi sebisa mungkin Karina harus tiba di sana sebelum putranya pulang atau tiba di sana tak lama setelah dia keluar kelas.Karina kembali duduk di depan kantin Mak Idah. Menatap wanita tua yang seharusnya sudah rehat di rumah bermain dan bersantai bersama cucu-cucunya itu, tapi masih sibuk bergelut dengan rutinitas demi mencari beberapa lembar rupiah.Ya, beberapa lembar rupiah,
"Jika merindu hanya menyakitimu, maka belajarlah mengikhlaskan."Faiqa EiliyahKarina duduk di halaman depan rumah Mama Ina, memanjakan mata dengan pesona bunga-bunga beraneka warna, yang selalu mampu menarik perhatiannya setiap kali ia berkunjung ke sana.Dulu sebelum punya rumah sendiri, beliau sering tanya-tanya tentang tanaman bunga, saat melihat Karina begitu bahagia merawat bunga-bunga itu."Apa untungnya sih Kar, tanam bunga? Daun dan bunganya nggak bisa di komsumsi dan nggak bisa jadi uang juga?" tanya Mama Ina waktu itu."Iya, Ma, tapi ini obat mujarab untuk mengobati hati yang sedang galau atau menghilangkan stress dan jenuh juga," jawab Karina."Masa seh?" tanyanya ragu saat itu."Ya, bagaimana Mama mau tau, kalau Mama nggak nyoba?" tantang Karina yang membuatnya tersenyum.Pernah sekali waktu saat libur. Karina dan Ayub berlibur ke sana di Sabtu so
"Ketika tangan dan indra tak lagi mampu menjaga orang yang kau cintai, maka gunakanlah doa untuk menjaganya dari jauh. Jika itu masih belum berhasil, yakinlah rencana Allah jauh lebih baik dari apa yang kau rencanakan"Faiqa EiliyahKarina dan Kayra membersihkan piring kotor bekas makan tadi, setelah sekian lama akhirnya mereka bisa mengulang kegiatan ini bersama. Kegiatan yang dulu sering mereka lakukan saat mama mereka masih hidup di tengah-tengah mereka."Lama ya, baru bisa cuci piring bersama lagi?" ucap Karina memecah hening antara mereka."Iya, Kak, jadi ingat waktu Mama masih hidup," bisiknya, takut kedengaran Mama Ina. Padahal Mama Ina baik dan tak pernah melarang merekka membahas soal mama mereka.Bahkan, kadang dia sendiri yang bertanya- tanya tentang bagaimana mama mereka dan kesehariannya saat masih hidup. Hanya saja mereka berdua yang menjaga perasaan mama sambung mereka.
"Selingkuh itu nikmat dan menyenangkan. Ia menjanjikan seribu kenikmatan dan kesenangan, tapi menyiapkan penyesalan dan penderitaan yang tak berkesudahan."Faiqa EiliyahRaka tak bisa tidur, kalimat demi kalimat pahit yang keluar dari bibir istrinya. Seperti peluru yang dibidikkan dan meledak tepat di kepalanya. Dia sudah lupa daratan, hanya karena desah manja dan pesona seorang wanita baru yang ditemuinya beberapa bulan lalu secara tidak sengaja di restoran mereka.Namanya Gadis, mata yang bulat dengan iris berwarna coklat terang. Bibir tipisnya yang menggoda mata setiap pria yang memandang. Ditambah hidung bangir dan kulit putihnya yang selicin porselen. Tentang tubuhnya, dia laksana model dengan tinggi semampai dan body yang aduhai.Lelaki mana yang tak akan meneguk saliva ketika Gadis sekedar lewat di hadapannya. Dia terlalu sempurna, seolah diciptakan bukan dari tanah, tapi dari sekumpulan batu mulia yang amat indah.
"Kehangatan dalam keluarga adalah kebahagiaan sederhana yang mahal harganya, bagi mereka yang terpisah jarak dan ruang. Namun, kebahagiaan sederhana yang murah bagi mereka yang saling berdekatan, baik jarak dan juga hatinya."Faiqa Eiliyah.Karina terjaga dengan pandangan berputar ... salat Subuh dengan keadaan tak stabil. Kepalanya sangat berat.Pagi ini Kayra sudah harus kembali ke Kota untuk kerja, Karina terus mewanti-wantinya agar bisa mawas diri. Jangan sampai terperosok dalam lembah zina."Inshaa Allah, siap Kanse!" ucapnya sembari menaikkan tangan menyentuh keningnya untuk hormat.Kanse (Kanda senior) adalah panggilan Kayra pada Karina sejak mereka beranjak remaja. Sebaliknya Dinjun (Dinda junior) adalah panggilan Karina pada Kayra, tapi setelah Ayub lahir, panggilan untuk Kayra bertambah jadi Bunjunnya Ayub (Bunda Junior).Ayub berlari dari dalam rumah, masih dengan muka b
"Kesendirian adalah jalan terbaik untuk duka dan jenuh menghancurkanmu."Faiqa EiliyahAyub seru sendiri bermain di taman belakang. Bersama kedua robot yang dihadiahkan oleh kak Nadiranya, dua hari yang lalu sebelum kembali lagi ke Surabaya.Meskipun Ikshan dan Raka sama-sama di Surabaya, tapi jarak tempat Ikshan bekerja dengan restoran milik papa Pratama cukup jauh. Mereka baru sekali mampir di sana. Itu pun karena kebetulan lewat."Assalamualaikum!" Suara seorang wanita dari arah pintu depan, membuat fokus Karina dari pakaian yang dilipatnya teralihkan. Karina meninggalkan pekerjaannya dan bergegas menuju pintu."Waalaikumussalaam, eh, Mbak Nayra, silahkan masuk!" ajaknya ramah."Ayubnya mana, Mbak Karin?" tanyanya sambil celingak celinguk mencari Ayub, membuat Karina tanpa sadar terkikik geli melihat ulah tetangga barunya yang polos itu."Dia di taman belakang,
"Sahabat baru terkadang bisa membawa suasana baru. Di saat jenuh terasa ingin mencekikmu."Faiqa EiliyahSeperti permintaan Nayra kemarin sore. Saat ini Karina dan Ayub sudah duduk manis di depan rumah Nayra. Berbeda dengan Karina yang lebih suka bunga yang benar-benar menampakkan bunga. Karina begitu gila pada jenis-jenis bunga itu. Karena mencintai aneka warna, bentuk bunga, kelopak, juga keharumannya. Sedang Nayra kelihatannya lebih menyukai tanaman hias daun yang beraneka corak dan bentuk. Berbagai jenis tanaman hias daun memenuhi teras dan halaman rumahnya."Eh, Ayub! Senang banget akhirnya kalian mau ke sini!" serunya, membuat Karina terlonjak kaget dari keasyikannya menyapu tanaman hias milik Nayra dengan tatapan liarnya."Eh, maaf!" ucap Karina tersipu malu, sementara Ayub ternyata sudah asyik sendiri melihati kolam ikan yang penuh dengan ikan-ikan cantik di bawah sana.
"Luka yang tertinggal di tubuh bisa disembuhkan oleh obat, tapi luka yang tertinggal di hati hanya mampu disembuhkan oleh waktu."Faiqa EiliyahHari ini Karina dan Nayra selesai barter tanaman bunga. Beberapa hari yang lalu Karina menyarankan agar Nayra mau menanam tanaman hias yang ada kembangnya, tapi dia menolak. Alasannya tanaman hias yang berbunga ada masa matinya dan harus diperbaharui lagi, cenderung manja karena harus disiram tiap hari.Tapi Karina mematahkan argumennya dengan mengatakan, kalau untuk melihat keindahan yang luar biasa memang perlu sedikit usaha. Lelah itu akan terbayar ketika warna warni dari kelopak bunga itu memenuhi tamannya.Sebagai gantinya Nayra juga meminta agar Karina merasakan simplenya menanam tanaman hias daun, selain nggak manja. Dia juga tahan segala cuaca dan tak perlu rajin disiram.Karina bahkan sempat ngakak menggoda Nayra kalau tanaman hias daun itu, Tuhan ciptakan unt
Karina duduk di sisi taman menerawang jauh ke masa lalu, masa di mana ketika dia masih berjuang. Bergelut dengan kehidupan, mencari makna dan kemana arah langkah yang akan ditempuh.Tak jauh dari tempatnya duduk, Raka dan Ayub terus berlari memperebutkan bola ke sana ke mari seolah tak pernah lelah. Mereka tertawa lepas, seolah duka tak pernah singgah pada raut wajah itu.Wajah-wajah yang pernah disinggahi rindu yang sangat menyiksa. Mata yang pernah dibanjiri oleh air mata kekecewaan dan penyesalan. Itulah hidup, sejatinya tak ada yang mudah. Semua butuh pengorbanan, perjuangan, dan kesabaran.Tak ada seorang pun manusia yang dilahirkan, bisa memilih jalan dan akhir dari hidupnya sendiri. Karena takdir selalu melenggang mengikuti kehendak SANG Pencipta. Sedang manusia hanya bisa berusaha semampu, sebisa mereka. Karena pinish-nya tetap urusan Allah.Karina pernah begitu mencintai Adnan. Pernah
Raka dan Ayub tengah tertidur dengan saling memeluk satu sama lain. Mereka begitu damai dalam lelap mereka. Seulas senyum merekah di sudut bibir Karina menatap kedua prianya.'Makasih Tuhan, telah membuka mataku untuk dapat melihat semua kebenarannya sebelum terlambat. Jika tidak, mungkin aku akan jadi manusia yang paling menyesal karena telah salah menilai Kak Raka.' bisik hati Karina. Dia menutup mata merafal syukur pada Sang Pemilik segala dalam hati.Ponsel-nyq berdering, tepat saat akan merebahkan tubuh di samping sang suami. Dia membatalkan niat untuk tidur dan segera beranjak menjauh dari kedua orang yang tengah terlelap itu. Takut suaranya akan mengganggu atau bahkan bisa membangunkan mereka.Dengan perlahan membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali begitu sudah berada di luar. Melangkah menuju halaman belakang dan menjawab panggilan yang sudah berdering dari tadi.Karina menjawab panggila
Adnan yang saat itu kebetulan keluar rumah mematung takkala mendapati sosok Karina dari kejauhan. Wanita itu tengah berjalan santai bersama suami dan putranya yang tampan. Mereka perlahan menjauh meninggalkan pekarangan rumah.Sudut bibir Adnan tersungging saat mengingat reaksi kedua Suami-Istri itu, saat tadi dia menggoda mereka tentang Furqon. Adnan begitu menikmati sekelebat kecemburuan yang berkilat di mata Raka setiap kali dia dengan sengaja menggoda Karina."Karin, aku mengikhlaskan kau bahagia dengannya. Bukan karena di hatiku tak ada lagi cintamu, tapi karena aku ingin kau bahagia. Cukup sudah derita kau pikul, cukup beban duka menghimpitmu. Kini saatnya kau tersenyum dan bahagia," bisiknya.Adnan menutup pintu, kembali ke dalam. Semua barang-barang yang akan dia bawa besok, sudah terkemas rapi dalam ransel besar berwarna hitam yang tergeletak di sudut ruangan. Raka terlentang dengan tatapan kosong menerawang jau
Setelah salat Isya, Karina dan Raka kembali ke ayunan di taman belakang, tempat favorit mereka sejak pertama kali mereka berdua menempati rumah itu. Mengulang kembali setiap detik indah yang sempat terenggut paksa oleh jarak dan situasi.Berkali-kali Raka mendekap erat Karina dengan penuh cinta, melepaskan semua kerinduan yang selama ini mengendap di dasar jiwanya. Sama seperti Karina yang tak bisa lepas lagi. Mereka kembali menikmati kebersamaan yang indah di atas ayunan yang menjadi sejarah indah awal mula cinta antara mereka tumbuh.Karina tak lagi segan membiarkan Raka tenggelam dalam kisah Karina tentang Surabaya dan semua yang dia alami di sana. Beberapa kali kilatan amarah terlihat di mata Raka ketika Karina sampai pada kisah tentang Nathan.Karina sangat lega. Lewat sudah duka yang selama ini memayungi rumah tangga mereka. Kini saatnya membuka lembaran baru, menata kembali semua yang sempat terserak di anta
Air mata menetes satu persatu luruh menindih ketegaran seorang Karina yang memang berhati selembut kapas, dia menatap Adnan yang juga mulai berkaca. Pria itu pasti sangat menyesal ... telah menyakiti Nayra selama ini meski mungkin tanpa menyadarinya."Aku akan ke Surabaya menyusul Nayra, dia pasti terpuruk sendiri di rumah sebesar itu. Ibu baru saja meninggal dan aku satu-satunya orang yang seharusnya menguatkan, justru menjadi manusia yang paling menyakiti," ucap Adnan penuh penyesalan."Kau tidak salah, Ad. Bukankah selama ini kau tidak tahu dengan perasaan Nayra yang sebenarnya?" ucap Karina berusaha menguatkan Adnan, tak ingin melihat pria itu rapuh di saat-saat seperti ini."Aku telah jadi teman berbagi kepahitan dengannya, tapi aku bahkan tak bisa peka untuk menyadari. Kepahitan yang justru aku sendirilah penyebab dari itu semua." Adnan mulai meracau menyalahkan diri sendiri."Ad, kapan kau aka
Sudah sebulan lebih sepasang suami istri itu dilanda perang dingin. Mereka hanya bicara satu sama lain ketika ada Ayub di tengah-tengah mereka atau saat ada orang luar yang datang bertamu.Seperti saat ini, mereka hanya diam dalam sekat ruang yang sama. Karina dengan novel tebal di tangan dan Raka dengan game di Hp-nya. Mereka laksana sepasang merpati terbang rendah yang tak saling menyapa.Suara ketukan dari arah pintu membuat Karina dan Raka yang tengah duduk berjauhan di ruang tamu seketika kompak menatap ke arah yang sama. Karina bangkit membuka pintu, untuk sejenak dia mencoba berdiskusi dengan akal sehatnya. Melihat Adnan berdiri mematung di ambang pintu membuat otak Karina bleng."Adnan, ka, kau ...?" tanya Karina dengan separuh nyawa yang tak lagi menetap.Wanita yang kini tengah mengenakan hijab hijau lemon itu panik bukan main, dia bisa mati berdiri kalau kedua pria ini bertemu. Raka
Usai makan malam bersama semua anggota keluarga mertuanya, Raka memboyong istri dan anaknya pulang. Ayub sudah keburu tidur di atas motor ketika mereka sampai. Raka mengambil alih putranya dari pangkuan Karina dan menggendong bocah itu hati-hati takut dia terbangun.Karina bergegas membuka pintu pagar dan pintu rumah, membiarkan Raka masuk lebih dulu. Tak ada percakapan ataupun gelak canda tawa romantis, seperti yang selalu tercipta di keluarga kecil mereka dulu. Hanya ada kebungkaman satu sama lain. Ada jarak tak kasat mata di antara mereka.Tepat saat tangan Karina sudah menyentuh stang motor, Raka muncul di ambang pintu, memintanya turun. Karina yang memang malas berdebat langsung patuh, dia memutar tubuh untuk menutup pintu gerbang.Tatapan mata mereka bertabrakan ketika Karina kembali masuk ke dalam ruang tamu. Raka sudah duduk di sana menatap tajam dengan tangan ditepuk-tepukkan pada paha. Karina membuang muka hend
Karina bergegas turun dari motor ketika Kayra sudah berdiri menatap di ambang pintu dengan tatapan seolah melihat setan. Karina melangkah ragu menghampirinya pun saat tiba-tiba adiknya itu menghambur memeluknya dengan terisak."Kak, aku pikir aku akan kehilangan Kakak untuk selama-lamanya. Aku pikir aku akan kehilangan Kanseku!" ucapnya dengan bahu terguncang dalam pelukan Karina, membuat air mata Karina ikut luruh."Karin, Kau!?" pekik papanya dari dalam membuat Karina mengangkat wajah menatap pria tua itu dengan tubuh gemetar ketakutan.Pria tua itu melangkah maju menyingkirkan Kayra dari pelukan Karina dan memeluk putri sulungnya dengan erat, seolah Karina akan pergi jauh dari kehidupan mereka selamanya. Karina kaget dengan perlakuan papa yang tadinya dia pikir dirinya akan diamuk dan dimarahi habis-habisan, tapi justru diperlakukan sehangat ini."Jangan pernah pergi lagi, Nak! Kau bisa memb
Karina melangkah ragu melintasi pagar, berdiri mematung di ambang pintu rumah sendiri. Menghela napas panjang dan menghembuskannya kasar. Sebelum dia memutuskan untuk masuk rumah menyeret koper dengan malas.Tepat saat akan masuk rumah, Raka dengan hanya menggunakan celana bokser pendek warna merah dengan baju kaos longgar berwarna putih, mendongak padanya. Pria itu tengah sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Melihat wanita yang begitu dia rindui itu membuat Raka berdiri mematung menatap Karina. Lama mereka terpaku satu sama lain.Raka menatap wanitanya penuh rindu, tapi tidak dengan Karina. Dia menatap Raka dengan amarah yang berkecamuk dalam dada. Wanita itu tidak bergerak karena pikirannya tengah sibuk mencerna untuk apa suaminya ada di sini, bukankah seharusnya saat ini dia di Surabaya mengangkangi wanitanya yang sangat cantik itu.Setelah Karina bisa menguasai situasi, dia berjalan masuk ke