Pagi-pagi sekali Cio San sudah bangun. Ternyata si kakek sudah bangun lebih dulu. Setelah membantu si kakek membuat sarapan, Cio San pergi mandi. Selesai mandi, baru mereka berdua makan. Lalu Cio San berpamitan.Si kakek memberikan sepasang sepatu miliknya. Cio San sudah berkali-kali menolak, tetapi si kakek terus memaksa. Akhirnya agar tidak mengecewakan sang kakek, ia menerima juga sepatu itu. Ada rasa haru juga di hati Cio San ketika mereka berpisah. Padahal baru kenal sehari. Tapi Cio San memang orang yang halus hatinya.Ia kini berjalan menyusuri jalanan yang menuju kepada sebuah desa terdekat. Si kakek yang menunjukkan jalan itu kepadanya. Kata si kakek, jalan itu menuju desa terdekat. Jaraknya lumayan jauh, mungkin tengah hari baru sampai ke desa itu. Tapi di sepanjang jalan, Cio San bertemu dengan beberapa rumah penduduk. Nampaknya itu rumah para petani, karena di sekitar rumah itu pun terlihat banyak sawah. Cio San kadang berpapasan dengan orang. Mereka menyapa dengan ramah.
Cio San beristirahat sejenak untuk menikmati keindahan alam desa yang asri dan indah itu. Berbasa-basi sebentar dengan penduduk disana. Cio San memperkenalkan dirinya sebagai Tan Liang San, seorang pemuda hijau yang sedang berkelana mengenal dunia.Sama seperti kakek petani yang pertama kali ditemui Cio San, penduduk desa itu pun menerima kehadiran Cio San dengan tangan terbuka. Bahkan ada beberapa yang menawarkan Cio San untuk menginap di rumah mereka. Dengan halus, Cio San menolak tawaran itu dan berkata bahwa ia harus buru-buru sampai di kota terdekat.Dari para penduduk, Cio San kemudian mengetahui arah jalan menuju kota Liu Ya. Kota ini termasuk kota besar di daerah Kanglam. Menuju kesana membutuhkan jalan kaki yang cukup lama, serta penyeberangan sungai menggunakan perahu.Setelah berpamitan dan memberi salam hormat, berangkatlah Cio San menuju kota Liu Ya. Perjalanan yang ditempuh dengan berjalan kaki cukup panjang. Dari tengah hari sampai hampir menjelang senja, baru Cio San t
Warung bertambah ramai. Cio San tak lupa memperhatikan siapa saja yang ada di warung itu. Memperhatikan senjata mereka, gaya berpakaian mereka, dan lain-lain. Sejak kecil ia memang suka memperhatikan sesuatu. Banyak tamu yang pulang, tapi juga banyak tamu yang datang.Mengikuti obrolan itu, tahulah Cio San, siapa-siapa saja yang ada di situ. Orang yang disebut ‘Kakak Bhok’ itu bernama Bhok Gai Sun. Dia dijuluki Macan Barat. Makanya bajunya pun dari kulit macan. Bhok Gai Sun ini walaupun bukan termasuk pendekar kelas atas, namanya lumayan terkenal. Ia datang dari keluarga pemburu yang dikenal memiliki ilmu silat keluarga yang cukup baik. Tindak-tanduk keluarga ini pun juga tidak terlalu tercela, walaupun juga tidak terlalu terkenal.Teman-teman Bhok Gai Sun yang ada di warung itu pun juga adalah orang-orang kasta menengah di kalangan Bu Lim. Bukan pendekar-pendekar nomer satu, tapi juga bukan orang-orang lemah yang bisa dianggap enteng. Ada beberapa nama yang dikenal Cio San, seperti O
Seluruh ruangan tertawa. Cio San pun ikut tertawa. Sekian lama bersama Beng Liong di Bu Tong-san dulu, memang tubuh Beng Liong sangat harum. Saat berkeringat, harumnya pun semakin bertambah. Dulu Cio San mengira Beng Liong memakai pewangi khusus, tahunya ternyata sejak kecil memang ada memakai ramuan khusus.“Jelas Beng Liong ini jadi pujaan hati perempuan. Kalo dibandingkan dengan ketua perkumpulan pengemis yang kotor dan bajunya penuh tambal, jelas menang kelaslah…. Hehe…. Eh, Kakak Bhok, bicara tentang perempuan, siapa dari golongan muda, yang merupakan pendekar perempuan kelas atas?” tanya Tio Tay Li.“Aha..! Kalo bicara perempuan, inilah kehebatanku, haha…. Menurutku, pendekar wanita paling mantap adalah Khu Ling Ling. Huaaaaa…dia cuantiiiiik sekaliiiiiii…….,” kata Bhok Gai Sun sambil membelalakkan mata dan menjilat liur di lidahnya.“Maksud Kakak Bhok, Khu Ling Ling dari keluarga Khu yang terkenal itu?”“Benar. Umurnya baru 19 tahun. Tindak-tanduknya pun gagah. Wajahnya cantik s
Cio San keluar warung sederhana itu. Di luar masih ramai saja. Orang-orang disini berjualan sampai larut malam nampaknya. Sebuah ciri kota besar. Cio San berjalan tak tentu arah. Awalnya dia ingin mengikuti rombongan orang-orang tadi ke Rumah Teng Teng. Namun ia membatalkan niatnya. Sedikit-banyak, Cio San paham seperti apa Rumah Teng Teng itu. Ayahnya pernah bercerita bahwa ada sejenis rumah, yang isinya wanita-wanita cantik. Di situ banyak lelaki menghabiskan uang dan waktunya. Untuk bersenang-senang tentunya. Rumah Teng Teng ini mungkin merupakan salah satu dari jenis rumah tersebut.Ia berjalan dengan santai, sambil memperhatikan sekitarnya. Cio San pun mulai menghafal jalan. Daya ingatnya sejak kecil memang sangat baik. Sekali tahu, tidak akan lupa. Cio San mencoba mengatur pernafasan dan mengerahkan tenaga dalam. Walaupun belum pulih seluruhnya, setidaknya 8 dari sepuluh bagian tenaganya sudah pulih.Sambil menkmati pemandangan megah dan keramaian, ia mengingat-ingat tempat-temp
Belum selesai omongan, mata mereka melotot dan tubuh mereka mengejang. Cio San kaget dan paham, bahwa seseorang telah menyerang kedua orang itu. Dengan sigap ia melompat ke arah datangnya suara. Mungkin dari atas atap di belakang kedua orang itu. Namun begitu sampai diatas atap, tidak ada siapa-siapa disitu.Ia melongok ke bawah dan melihat begitu banyak orang di pasar. Bagaimana mungkin ia bisa mencari pelakunya di tengah pasar yang ramai.“Seseorang membunuh mereka. Ia tidak mungkin berada di atas atap ini, karena aku pasti tahu. Kemungkinan besar, ia berada di seberang jalan, di atap rumah lain yang dekat dengan pasar. Ilmu melempar Am Gi (senjata rahasia) nya hebat sekali. Dari jarak sejauh itu, ia bisa melempar dengan tepat,” pikir Cio San.Ia memeriksa tubuh kedua orang itu. Tapi ia bergidik ngeri. Ternyata mayat kedua orang itu sudah hangus menghitam. Cio San menyesal sekali tidak dapat menyelamatkan mereka.“Aku seharusnya lebih waspada. Aku sudah dengar suara lemparan Am Gi i
Cio San tak bisa tidur sampai pagi. Pikirannya berputar untuk memecahkan permasalahan ini. Mengapa banyak sekali kejadian aneh? Mengapa banyak sekali orang yang membayang-bayangi dirinya? Siapa orang yang memberikannya baju dan mengajarkannya cara membuat topeng? Siapa kakek yang memberikannya sepatu? Apakah MEREKA ORANG YANG SAMA???Siapa dua orang yang menguntitnya? Apa mau mereka? Mengapa mereka dibunuh? Siapa pembunuhnya?Berbagai macam pertanyaan dalam benaknya membuat ia tak bisa tidur. Berusaha sedemikian keras pun, ia tidak sanggup memecahkan jawabannya. Akhirnya Cio San memutuskan untuk tidur. Walaupun cahaya merah baru saja timbul di ufuk langit, dan kehidupan pagi sudah akan dimulai, Cio San memutuskan untuk tidur. Ia harus mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya. Perjalanan hidup yang penuh bahaya dan rahasia baru saja akan ia mulai. Ia harus mengumpulkan tenaga, dan menjernihkan pikirannya. Ia telah memutuskan, apapun yang terjadi pada dirinya, ia akan tidur dengan pulas. D
“Siapa dua mayat yang ditemukan di gang sempit dekat toko Fuk Cay itu? Mereka berpakaian seperti perkumpulan kita, tapi bukan anggota kita,” kata salah seorang.“Itulah makanya tadi kita semua dikumpulkan dan dihitung jumlahnya, lengkap 430 orang. Tidak berkurang satupun. Lalu mayat dua orang itu siapa ya??”“Menurutku, mungkin itu orang yang ingin menyamar saja menjadi anggota kita. Supaya bisa mengambil keuntungan menggunakan nama kita.”“Iya. Ketua juga bilang begitu. Makanya kita disuruh membuka mata dan telinga, supaya bisa lihat kalau-kalau ada yang mencurigakan.”Mendengar ini, Cio San merasa gembira, bahwa dugaannya semalam benar. Kedua orang yang mati itu bukan anggota Hai Liong Pang.Cio San masih menguntit mereka beberapa lama, dengan hati-hati. Tapi ketika ia merasa bahwa apa yang diomongkan anggota-anggota Hai Liong Pang itu sudah tidak menarik lagi, ia memutuskan untuk berhenti menguntit mereka.Ia kini berjalan-jalan saja sekenanya mengelilingi pusat kota. Sebagian jala