Belum selesai omongan, mata mereka melotot dan tubuh mereka mengejang. Cio San kaget dan paham, bahwa seseorang telah menyerang kedua orang itu. Dengan sigap ia melompat ke arah datangnya suara. Mungkin dari atas atap di belakang kedua orang itu. Namun begitu sampai diatas atap, tidak ada siapa-siapa disitu.Ia melongok ke bawah dan melihat begitu banyak orang di pasar. Bagaimana mungkin ia bisa mencari pelakunya di tengah pasar yang ramai.“Seseorang membunuh mereka. Ia tidak mungkin berada di atas atap ini, karena aku pasti tahu. Kemungkinan besar, ia berada di seberang jalan, di atap rumah lain yang dekat dengan pasar. Ilmu melempar Am Gi (senjata rahasia) nya hebat sekali. Dari jarak sejauh itu, ia bisa melempar dengan tepat,” pikir Cio San.Ia memeriksa tubuh kedua orang itu. Tapi ia bergidik ngeri. Ternyata mayat kedua orang itu sudah hangus menghitam. Cio San menyesal sekali tidak dapat menyelamatkan mereka.“Aku seharusnya lebih waspada. Aku sudah dengar suara lemparan Am Gi i
Cio San tak bisa tidur sampai pagi. Pikirannya berputar untuk memecahkan permasalahan ini. Mengapa banyak sekali kejadian aneh? Mengapa banyak sekali orang yang membayang-bayangi dirinya? Siapa orang yang memberikannya baju dan mengajarkannya cara membuat topeng? Siapa kakek yang memberikannya sepatu? Apakah MEREKA ORANG YANG SAMA???Siapa dua orang yang menguntitnya? Apa mau mereka? Mengapa mereka dibunuh? Siapa pembunuhnya?Berbagai macam pertanyaan dalam benaknya membuat ia tak bisa tidur. Berusaha sedemikian keras pun, ia tidak sanggup memecahkan jawabannya. Akhirnya Cio San memutuskan untuk tidur. Walaupun cahaya merah baru saja timbul di ufuk langit, dan kehidupan pagi sudah akan dimulai, Cio San memutuskan untuk tidur. Ia harus mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya. Perjalanan hidup yang penuh bahaya dan rahasia baru saja akan ia mulai. Ia harus mengumpulkan tenaga, dan menjernihkan pikirannya. Ia telah memutuskan, apapun yang terjadi pada dirinya, ia akan tidur dengan pulas. D
“Siapa dua mayat yang ditemukan di gang sempit dekat toko Fuk Cay itu? Mereka berpakaian seperti perkumpulan kita, tapi bukan anggota kita,” kata salah seorang.“Itulah makanya tadi kita semua dikumpulkan dan dihitung jumlahnya, lengkap 430 orang. Tidak berkurang satupun. Lalu mayat dua orang itu siapa ya??”“Menurutku, mungkin itu orang yang ingin menyamar saja menjadi anggota kita. Supaya bisa mengambil keuntungan menggunakan nama kita.”“Iya. Ketua juga bilang begitu. Makanya kita disuruh membuka mata dan telinga, supaya bisa lihat kalau-kalau ada yang mencurigakan.”Mendengar ini, Cio San merasa gembira, bahwa dugaannya semalam benar. Kedua orang yang mati itu bukan anggota Hai Liong Pang.Cio San masih menguntit mereka beberapa lama, dengan hati-hati. Tapi ketika ia merasa bahwa apa yang diomongkan anggota-anggota Hai Liong Pang itu sudah tidak menarik lagi, ia memutuskan untuk berhenti menguntit mereka.Ia kini berjalan-jalan saja sekenanya mengelilingi pusat kota. Sebagian jala
“Tuan, saya bukanlah seorang juru masak. Tapi sedikit-banyak, saya mengerti cara masak. Bagaimana jika saya bekerja di sini? Tuan tidak perlu membayar saya selama 3 bulan. Jika 3 bulan kedai ini ramai, Tuan baru membayar saya. Bagaimana?” tanya Cio San.“Hah? Bagaimana bisa begitu? Saya sendiri belum pernah mencoba hasil masakan Tuan... Tapi saya yakin, Tuan bisa masak. Tapi, terus terang, saya tidak mungkin mempekerjakan orang tanpa digaji.”“Saya adalah pengelana, Tuan. Saya sudah biasa hidup tak karuan. Begini saja, bagaimana jika saya memasak, dan Tuan nilai rasanya. Kalau tidak suka masakan saya, ya sudah, tidak usah pekerjakan saya. Tapi jika enak, silahkan pertimbangkan tawaran saya lagi,” ujar Cio San.Si kasir tua berpikir agak lama, lalu berkata, “Baiklah, mari kita ke dapur.”Seperti dugaan Cio San, dapurnya berantakan. Hal pertama yang dilakukan Cio San adalah menata ulang dapur itu. Membereskan peralatan masak, dan melihat bahan-bahan apa saja yang ada. Ia memutuskan untu
Saat ini, telah genap sebulan Cio San bekerja di kedai itu. Kedai tua yang kini telah disulap bersih dan menyenangkan. Mereka tidak mengubah namanya. Tetap bernama ‘Lai Lai’. Perlahan-lahan dalam satu bulan, pelanggan sudah mulai ramai. Masakan Cio San yang memang nikmat, ditambah dengan keputusan untuk membagi-bagi masakan secara gratis dijalan-jalan, memang berbuah manis. Bahkan kini ‘Lai Lai’ telah memiliki pelanggan tetap, yang datang tiap hari untuk sekedar sarapan atau makan siang.Kwee Lai, si kasir sekaligus pemilik kedai, setiap hari berseri-seri wajahnya. Pemasukan kedai dari hari ke hari kian membaik. Walaupun perjanjiannya ia akan membayar gaji Cio San pada bulan ke empat, ia tidak melakukannya. Ia sudah membayar gaji Cio San sejak bulan pertama. Ia suka sekali dengan Cio San. Masakannya enak, tingkah-lakunya sopan, tutur-katanya halus. Yah, walaupun wajahnya sedikit pucat aneh.Selama sebulan ini, Cio San telah masak berbagai macam masakan. Kesempatan bekerja jadi koki se
“Meymey, tunggu sebentar ya…. Ada yang lupa kulakukan,” kata Cio San kepada Mey Lan. Yang dijawab dengan anggukan dan senyuman.Cio San segera ke dapur.“Wah, sudah selesai makan siang, A San? Ada tamu lagi. Ia meminta makanan apa saja. Kau ada siapkan masakan apa tadi?” tanya pelayan yang tadi menerima tamu di depan. Sekarang Cio San menggunakan nama A San. Sebuah nama yang umum pada saat itu.Tiba-tiba timbul sebuah ide di benak Cio San. Ia akan membuatkan masakan yang pasti disukai tamu di depan itu.“Aku akan memasak sesuatu yang khusus. Kau bawakanlah seguci arak ini, biar dia tidak bosan menunggu.”“Darimana kau tahu dia memesan seguci arak juga?” tanya si pelayan.“Ah, bukankah jam segini, memang biasanya orang pesan arak?” jawab Cio San.“Betul juga, arak apa yang paling cocok untuk sore seperti ini?”“Arak Ciu Pek. Pasti enak,” katanya sambil tersenyum.Si pelayan menyuguhkan arak, Cio San memasak. Ia memasak Ang Sio Bak. Karena ia tahu, itulah makanan kesukaan si ‘tamu’ di d
“Nama saya A San.” Cio San menjawab dengan terbungkuk-bungkuk dan menghaturkan hormat seperti layaknya yang dilakukan Beng Liong tadi. Suaranya pun dibuat sedikit meninggi. Cio San belum mau menunjukkan jati dirinya.“Masakan anda enak sekali, Tuan. Bahkan masakan dan arak yang anda sajikan kepada saya tadi adalah dua hal kesukaan saya,” ujar Beng Liong sambil tersenyum. Senyum yang sangat menawan. Laki-laki saja terkesima melihat senyuman seperti itu, apalagi perempuan?“Ah, Beng-enghiong (Ksatria Beng) terlalu memuji. Masakan ini memang salah satu masakan andalan kami. Jika Beng-enghiong menyukainya, justru kamilah yang merasa sangat tersanjung,” kata Cio San, masih dengan gaya membungkuk-bungkuk dan suara yang ia ubah sedikit.Beng Liong tersenyum dan terkesima juga melihat tutur-kata koki yang sopan ini.“Bahasa anda seperti bahasa orang-orang Kang Ouw (dunia persilatan),” kata Beng Liong.“Sudah tak terhitung berapa banyak orang Kang Ouw yang mampir makan disini, Enghiong. Siauw
“Wah, salahku juga bertanya kepada orang bisu...,” tukas Mey Lan sebal.“Meymey, jangan marah ya…. Tadi itu aku dipaksa menemani tamu. Ayahmu sendiri yang menyuruh. Kalau tidak kuturuti, bisa-bisa si tamu tersinggung dan tidak mau datang kesini lagi,” kata Cio San.“Jika ayah menyuruhmu lompat ke jurang, apa kau akan lompat juga?”“Kalau di dalam jurang ada Meymey, aku pasti meloncat heehehe….”“Dasar tukang gombal...” Mulutnya menggerutu tapi tatapan matanya mesra.Laki-laki manapun yang mendapat hal demikian dari perempuan bisa dikatakan beruntung. Apalagi perempuan cantik seperti Mey Lan.Mereka berdua tersenyum dan meneruskan bekerja seperti biasa.Di luar, hari semakin gelap. Tamu semakin banyak yang datang. Pekerjaan para pekerja di Lai Lai pun semakin banyak saja. Dari pendengaran Cio San, dia tahu kalau kali ini banyak juga kalangan Kang Ouw yang datang makan. Tapi kali ini pendengarannya pun mendengar suatu percakapan yang unik.“Apakah engkau yang bernama Jiong Say Ong?”Cio