“Tuan, saya bukanlah seorang juru masak. Tapi sedikit-banyak, saya mengerti cara masak. Bagaimana jika saya bekerja di sini? Tuan tidak perlu membayar saya selama 3 bulan. Jika 3 bulan kedai ini ramai, Tuan baru membayar saya. Bagaimana?” tanya Cio San.“Hah? Bagaimana bisa begitu? Saya sendiri belum pernah mencoba hasil masakan Tuan... Tapi saya yakin, Tuan bisa masak. Tapi, terus terang, saya tidak mungkin mempekerjakan orang tanpa digaji.”“Saya adalah pengelana, Tuan. Saya sudah biasa hidup tak karuan. Begini saja, bagaimana jika saya memasak, dan Tuan nilai rasanya. Kalau tidak suka masakan saya, ya sudah, tidak usah pekerjakan saya. Tapi jika enak, silahkan pertimbangkan tawaran saya lagi,” ujar Cio San.Si kasir tua berpikir agak lama, lalu berkata, “Baiklah, mari kita ke dapur.”Seperti dugaan Cio San, dapurnya berantakan. Hal pertama yang dilakukan Cio San adalah menata ulang dapur itu. Membereskan peralatan masak, dan melihat bahan-bahan apa saja yang ada. Ia memutuskan untu
Saat ini, telah genap sebulan Cio San bekerja di kedai itu. Kedai tua yang kini telah disulap bersih dan menyenangkan. Mereka tidak mengubah namanya. Tetap bernama ‘Lai Lai’. Perlahan-lahan dalam satu bulan, pelanggan sudah mulai ramai. Masakan Cio San yang memang nikmat, ditambah dengan keputusan untuk membagi-bagi masakan secara gratis dijalan-jalan, memang berbuah manis. Bahkan kini ‘Lai Lai’ telah memiliki pelanggan tetap, yang datang tiap hari untuk sekedar sarapan atau makan siang.Kwee Lai, si kasir sekaligus pemilik kedai, setiap hari berseri-seri wajahnya. Pemasukan kedai dari hari ke hari kian membaik. Walaupun perjanjiannya ia akan membayar gaji Cio San pada bulan ke empat, ia tidak melakukannya. Ia sudah membayar gaji Cio San sejak bulan pertama. Ia suka sekali dengan Cio San. Masakannya enak, tingkah-lakunya sopan, tutur-katanya halus. Yah, walaupun wajahnya sedikit pucat aneh.Selama sebulan ini, Cio San telah masak berbagai macam masakan. Kesempatan bekerja jadi koki se
“Meymey, tunggu sebentar ya…. Ada yang lupa kulakukan,” kata Cio San kepada Mey Lan. Yang dijawab dengan anggukan dan senyuman.Cio San segera ke dapur.“Wah, sudah selesai makan siang, A San? Ada tamu lagi. Ia meminta makanan apa saja. Kau ada siapkan masakan apa tadi?” tanya pelayan yang tadi menerima tamu di depan. Sekarang Cio San menggunakan nama A San. Sebuah nama yang umum pada saat itu.Tiba-tiba timbul sebuah ide di benak Cio San. Ia akan membuatkan masakan yang pasti disukai tamu di depan itu.“Aku akan memasak sesuatu yang khusus. Kau bawakanlah seguci arak ini, biar dia tidak bosan menunggu.”“Darimana kau tahu dia memesan seguci arak juga?” tanya si pelayan.“Ah, bukankah jam segini, memang biasanya orang pesan arak?” jawab Cio San.“Betul juga, arak apa yang paling cocok untuk sore seperti ini?”“Arak Ciu Pek. Pasti enak,” katanya sambil tersenyum.Si pelayan menyuguhkan arak, Cio San memasak. Ia memasak Ang Sio Bak. Karena ia tahu, itulah makanan kesukaan si ‘tamu’ di d
“Nama saya A San.” Cio San menjawab dengan terbungkuk-bungkuk dan menghaturkan hormat seperti layaknya yang dilakukan Beng Liong tadi. Suaranya pun dibuat sedikit meninggi. Cio San belum mau menunjukkan jati dirinya.“Masakan anda enak sekali, Tuan. Bahkan masakan dan arak yang anda sajikan kepada saya tadi adalah dua hal kesukaan saya,” ujar Beng Liong sambil tersenyum. Senyum yang sangat menawan. Laki-laki saja terkesima melihat senyuman seperti itu, apalagi perempuan?“Ah, Beng-enghiong (Ksatria Beng) terlalu memuji. Masakan ini memang salah satu masakan andalan kami. Jika Beng-enghiong menyukainya, justru kamilah yang merasa sangat tersanjung,” kata Cio San, masih dengan gaya membungkuk-bungkuk dan suara yang ia ubah sedikit.Beng Liong tersenyum dan terkesima juga melihat tutur-kata koki yang sopan ini.“Bahasa anda seperti bahasa orang-orang Kang Ouw (dunia persilatan),” kata Beng Liong.“Sudah tak terhitung berapa banyak orang Kang Ouw yang mampir makan disini, Enghiong. Siauw
“Wah, salahku juga bertanya kepada orang bisu...,” tukas Mey Lan sebal.“Meymey, jangan marah ya…. Tadi itu aku dipaksa menemani tamu. Ayahmu sendiri yang menyuruh. Kalau tidak kuturuti, bisa-bisa si tamu tersinggung dan tidak mau datang kesini lagi,” kata Cio San.“Jika ayah menyuruhmu lompat ke jurang, apa kau akan lompat juga?”“Kalau di dalam jurang ada Meymey, aku pasti meloncat heehehe….”“Dasar tukang gombal...” Mulutnya menggerutu tapi tatapan matanya mesra.Laki-laki manapun yang mendapat hal demikian dari perempuan bisa dikatakan beruntung. Apalagi perempuan cantik seperti Mey Lan.Mereka berdua tersenyum dan meneruskan bekerja seperti biasa.Di luar, hari semakin gelap. Tamu semakin banyak yang datang. Pekerjaan para pekerja di Lai Lai pun semakin banyak saja. Dari pendengaran Cio San, dia tahu kalau kali ini banyak juga kalangan Kang Ouw yang datang makan. Tapi kali ini pendengarannya pun mendengar suatu percakapan yang unik.“Apakah engkau yang bernama Jiong Say Ong?”Cio
Hampir tengah malam Lai Lai baru tutup. Kwee Lai gembira sekali dengan pendapatan hari itu. Beng Liong sudah pergi, tentunya setelah menepati janjinya dengan membayar seluruh pesanan makanan yang ada dan kerugian yang dialami Kwee Lai. Entah berapa pemasukan semalam, Cio San tidak mau tahu. Yang penting ia bahagia karena telah bertemu Beng Liong lagi, suko (kakak seperguruan) nya, yang dulu sangat baik kepadanya.Tidak tahu Beng Liong kemana setelah bertarung tadi. Cio San menebak bahwa ia pasti pergi meneruskan urusannya. Sejauh yang Cio San dengar dari obrolan-obrolan tamu, Jiong Say Ong telah melakukan kejahatan. Ia dulu adalah seorang Piawkok (Pengantar/Pengawal Barang) yang lumayan ternama. Beberapa hari yang lalu, ia mendapat tugas mengawal sebuah keluarga yang akan pindah kota. Di tengah hutan, ia malah membunuh seluruh keluarga itu. Mungkin karena tertarik dengan harta kawalannya itu. Bahkan dua orang anak gadis di keluarga itu pun ia perkosa dulu sebelum dibunuh.Urusan seper
Pengalaman bercinta yang kesekian kali, juga tidak akan membuatmu paham akan cinta. Orang yang pernah terluka mungkin akan berkata, “Cukup! Tidak lagi kubiarkan diriku jatuh cinta.” Tapi apa yang terjadi? Tak lama kemudian mereka menemukan cinta yang baru. Lalu ketika mereka terluka lagi, mereka akan mengatakan hal yang sama, untuk kemudian melupakan kata-kata itu jika telah menemukan cinta yang baru lagi.Tak ada orang yang mengerti cinta.Ketika ia berjanji untuk setia selamanya kepada kekasih. Ketika ia berjanji untuk menemaninya sampai tua, dan menggenggam tangannya ketika mereka telah rapuh. Ketika ia berjanji untuk menemani kekasih sampai maut memisahkan. Betapa lucu janji itu teringat kembali, ketika ternyata ia menemukan orang yang lebih menarik hatinya.Maka semua kata-kata terlupakan, dan janji terbatalkan.Lalu ketika luka menganga bagi mereka yang ditinggalkan dan dikhianati, betapa cepat sekali sembuhnya pabila ada cinta baru yang menghampiri.Cio San menjadi saksi dari s
Di jaman ini, kata-kata yang keras dan membuka aib seperti ini hampir tidak mungkin diucapkan orang di muka umum. Jika sampai si ‘kura-kura’ berani bicara seperti ini, berarti dia terlalu banyak minum arak. Atau bapaknya adalah seekor singa.Maka bisa dibayangkan, bagaimana perasaan si gadis itu ketika mendengar ucapan demikian. Tangisannya tambah hebat, ia meraung-raung di lantai. Ucapannya yang keluar dari mulutnya sudah tidak jelas lagi, karena bercampur teriakan, tangisan, dan makian.Ia malah bergerak menyerang sepasang kekasih itu.Si ‘merah jambu’ juga tidak merintanginya. Nampaknya memang setuju dengan tindakan si gadis. Tapi begitu si gadis menghampiri si ‘kura-kura’ untuk menamparnya, justru tubuhnya sendiri yang terlempar kena tendang wanita pasangan si ‘kura-kura’.Tak sedikitpun Cio San, si ‘merah jambu’, dan orang-orang disitu yang menyangka bahwa wanitanya ‘kura-kura’ itu bisa ilmu silat. Ia terlihat lemah gemulai dan sedikit mabuk. Tidak ada yang menyangka bahwa ilmuny