Seluruh ruangan tertawa. Cio San pun ikut tertawa. Sekian lama bersama Beng Liong di Bu Tong-san dulu, memang tubuh Beng Liong sangat harum. Saat berkeringat, harumnya pun semakin bertambah. Dulu Cio San mengira Beng Liong memakai pewangi khusus, tahunya ternyata sejak kecil memang ada memakai ramuan khusus.“Jelas Beng Liong ini jadi pujaan hati perempuan. Kalo dibandingkan dengan ketua perkumpulan pengemis yang kotor dan bajunya penuh tambal, jelas menang kelaslah…. Hehe…. Eh, Kakak Bhok, bicara tentang perempuan, siapa dari golongan muda, yang merupakan pendekar perempuan kelas atas?” tanya Tio Tay Li.“Aha..! Kalo bicara perempuan, inilah kehebatanku, haha…. Menurutku, pendekar wanita paling mantap adalah Khu Ling Ling. Huaaaaa…dia cuantiiiiik sekaliiiiiii…….,” kata Bhok Gai Sun sambil membelalakkan mata dan menjilat liur di lidahnya.“Maksud Kakak Bhok, Khu Ling Ling dari keluarga Khu yang terkenal itu?”“Benar. Umurnya baru 19 tahun. Tindak-tanduknya pun gagah. Wajahnya cantik s
Cio San keluar warung sederhana itu. Di luar masih ramai saja. Orang-orang disini berjualan sampai larut malam nampaknya. Sebuah ciri kota besar. Cio San berjalan tak tentu arah. Awalnya dia ingin mengikuti rombongan orang-orang tadi ke Rumah Teng Teng. Namun ia membatalkan niatnya. Sedikit-banyak, Cio San paham seperti apa Rumah Teng Teng itu. Ayahnya pernah bercerita bahwa ada sejenis rumah, yang isinya wanita-wanita cantik. Di situ banyak lelaki menghabiskan uang dan waktunya. Untuk bersenang-senang tentunya. Rumah Teng Teng ini mungkin merupakan salah satu dari jenis rumah tersebut.Ia berjalan dengan santai, sambil memperhatikan sekitarnya. Cio San pun mulai menghafal jalan. Daya ingatnya sejak kecil memang sangat baik. Sekali tahu, tidak akan lupa. Cio San mencoba mengatur pernafasan dan mengerahkan tenaga dalam. Walaupun belum pulih seluruhnya, setidaknya 8 dari sepuluh bagian tenaganya sudah pulih.Sambil menkmati pemandangan megah dan keramaian, ia mengingat-ingat tempat-temp
Belum selesai omongan, mata mereka melotot dan tubuh mereka mengejang. Cio San kaget dan paham, bahwa seseorang telah menyerang kedua orang itu. Dengan sigap ia melompat ke arah datangnya suara. Mungkin dari atas atap di belakang kedua orang itu. Namun begitu sampai diatas atap, tidak ada siapa-siapa disitu.Ia melongok ke bawah dan melihat begitu banyak orang di pasar. Bagaimana mungkin ia bisa mencari pelakunya di tengah pasar yang ramai.“Seseorang membunuh mereka. Ia tidak mungkin berada di atas atap ini, karena aku pasti tahu. Kemungkinan besar, ia berada di seberang jalan, di atap rumah lain yang dekat dengan pasar. Ilmu melempar Am Gi (senjata rahasia) nya hebat sekali. Dari jarak sejauh itu, ia bisa melempar dengan tepat,” pikir Cio San.Ia memeriksa tubuh kedua orang itu. Tapi ia bergidik ngeri. Ternyata mayat kedua orang itu sudah hangus menghitam. Cio San menyesal sekali tidak dapat menyelamatkan mereka.“Aku seharusnya lebih waspada. Aku sudah dengar suara lemparan Am Gi i
Cio San tak bisa tidur sampai pagi. Pikirannya berputar untuk memecahkan permasalahan ini. Mengapa banyak sekali kejadian aneh? Mengapa banyak sekali orang yang membayang-bayangi dirinya? Siapa orang yang memberikannya baju dan mengajarkannya cara membuat topeng? Siapa kakek yang memberikannya sepatu? Apakah MEREKA ORANG YANG SAMA???Siapa dua orang yang menguntitnya? Apa mau mereka? Mengapa mereka dibunuh? Siapa pembunuhnya?Berbagai macam pertanyaan dalam benaknya membuat ia tak bisa tidur. Berusaha sedemikian keras pun, ia tidak sanggup memecahkan jawabannya. Akhirnya Cio San memutuskan untuk tidur. Walaupun cahaya merah baru saja timbul di ufuk langit, dan kehidupan pagi sudah akan dimulai, Cio San memutuskan untuk tidur. Ia harus mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya. Perjalanan hidup yang penuh bahaya dan rahasia baru saja akan ia mulai. Ia harus mengumpulkan tenaga, dan menjernihkan pikirannya. Ia telah memutuskan, apapun yang terjadi pada dirinya, ia akan tidur dengan pulas. D
“Siapa dua mayat yang ditemukan di gang sempit dekat toko Fuk Cay itu? Mereka berpakaian seperti perkumpulan kita, tapi bukan anggota kita,” kata salah seorang.“Itulah makanya tadi kita semua dikumpulkan dan dihitung jumlahnya, lengkap 430 orang. Tidak berkurang satupun. Lalu mayat dua orang itu siapa ya??”“Menurutku, mungkin itu orang yang ingin menyamar saja menjadi anggota kita. Supaya bisa mengambil keuntungan menggunakan nama kita.”“Iya. Ketua juga bilang begitu. Makanya kita disuruh membuka mata dan telinga, supaya bisa lihat kalau-kalau ada yang mencurigakan.”Mendengar ini, Cio San merasa gembira, bahwa dugaannya semalam benar. Kedua orang yang mati itu bukan anggota Hai Liong Pang.Cio San masih menguntit mereka beberapa lama, dengan hati-hati. Tapi ketika ia merasa bahwa apa yang diomongkan anggota-anggota Hai Liong Pang itu sudah tidak menarik lagi, ia memutuskan untuk berhenti menguntit mereka.Ia kini berjalan-jalan saja sekenanya mengelilingi pusat kota. Sebagian jala
“Tuan, saya bukanlah seorang juru masak. Tapi sedikit-banyak, saya mengerti cara masak. Bagaimana jika saya bekerja di sini? Tuan tidak perlu membayar saya selama 3 bulan. Jika 3 bulan kedai ini ramai, Tuan baru membayar saya. Bagaimana?” tanya Cio San.“Hah? Bagaimana bisa begitu? Saya sendiri belum pernah mencoba hasil masakan Tuan... Tapi saya yakin, Tuan bisa masak. Tapi, terus terang, saya tidak mungkin mempekerjakan orang tanpa digaji.”“Saya adalah pengelana, Tuan. Saya sudah biasa hidup tak karuan. Begini saja, bagaimana jika saya memasak, dan Tuan nilai rasanya. Kalau tidak suka masakan saya, ya sudah, tidak usah pekerjakan saya. Tapi jika enak, silahkan pertimbangkan tawaran saya lagi,” ujar Cio San.Si kasir tua berpikir agak lama, lalu berkata, “Baiklah, mari kita ke dapur.”Seperti dugaan Cio San, dapurnya berantakan. Hal pertama yang dilakukan Cio San adalah menata ulang dapur itu. Membereskan peralatan masak, dan melihat bahan-bahan apa saja yang ada. Ia memutuskan untu
Saat ini, telah genap sebulan Cio San bekerja di kedai itu. Kedai tua yang kini telah disulap bersih dan menyenangkan. Mereka tidak mengubah namanya. Tetap bernama ‘Lai Lai’. Perlahan-lahan dalam satu bulan, pelanggan sudah mulai ramai. Masakan Cio San yang memang nikmat, ditambah dengan keputusan untuk membagi-bagi masakan secara gratis dijalan-jalan, memang berbuah manis. Bahkan kini ‘Lai Lai’ telah memiliki pelanggan tetap, yang datang tiap hari untuk sekedar sarapan atau makan siang.Kwee Lai, si kasir sekaligus pemilik kedai, setiap hari berseri-seri wajahnya. Pemasukan kedai dari hari ke hari kian membaik. Walaupun perjanjiannya ia akan membayar gaji Cio San pada bulan ke empat, ia tidak melakukannya. Ia sudah membayar gaji Cio San sejak bulan pertama. Ia suka sekali dengan Cio San. Masakannya enak, tingkah-lakunya sopan, tutur-katanya halus. Yah, walaupun wajahnya sedikit pucat aneh.Selama sebulan ini, Cio San telah masak berbagai macam masakan. Kesempatan bekerja jadi koki se
“Meymey, tunggu sebentar ya…. Ada yang lupa kulakukan,” kata Cio San kepada Mey Lan. Yang dijawab dengan anggukan dan senyuman.Cio San segera ke dapur.“Wah, sudah selesai makan siang, A San? Ada tamu lagi. Ia meminta makanan apa saja. Kau ada siapkan masakan apa tadi?” tanya pelayan yang tadi menerima tamu di depan. Sekarang Cio San menggunakan nama A San. Sebuah nama yang umum pada saat itu.Tiba-tiba timbul sebuah ide di benak Cio San. Ia akan membuatkan masakan yang pasti disukai tamu di depan itu.“Aku akan memasak sesuatu yang khusus. Kau bawakanlah seguci arak ini, biar dia tidak bosan menunggu.”“Darimana kau tahu dia memesan seguci arak juga?” tanya si pelayan.“Ah, bukankah jam segini, memang biasanya orang pesan arak?” jawab Cio San.“Betul juga, arak apa yang paling cocok untuk sore seperti ini?”“Arak Ciu Pek. Pasti enak,” katanya sambil tersenyum.Si pelayan menyuguhkan arak, Cio San memasak. Ia memasak Ang Sio Bak. Karena ia tahu, itulah makanan kesukaan si ‘tamu’ di d
PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per
Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora
Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit
Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin
Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag
Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding
Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad
Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir
Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge