Pagi-pagi benar, Cio San sudah bangun. Sang ular masih tertidur pulas. Karena khawatir terjadi sesuatu, Cio San meraba tubuh ular itu. Ia bersyukur bahwa keadaan ular itu sehat-sehat saja. Mungkin cuma agak lemah karena kejadian pergantian kulit itu.Cio San lalu membereskan kulit-kulit sang ular yang terkelupas. Ia mengumpulkan kulit-kulit yang berserakan itu dan meletakkannya di tempat yang kering. Kulit-kulit itu sangatlah berat. Jangankan hanyut terbawa air sungai, bahkan Cio San pun harus menggunakan tenaga dalamnya untuk bisa mengangkat kulit-kulit itu.Tak berapa lama saat Cio San bekerja, ular itu pun terlihat bangun. Ia seperti mengerti akan apa yang dilakukan Cio San. Karena tubuhnya yang masih lemah, ular itu hanya memperhatikan saja. Lalu sang ular dengan mengunakan mulutnya menggali daerah berpasir yang ada di dekatnya. Setelah ada lubang, dengan kepalanya, si ular mendorong Cio San mendekati lubang itu.“Eh, kenapa, Kim-ko? Kau ingin agar aku menguburkan kulit-kulit ini?
Tionggoan Ngo Koay yang malang melintang di dunia hitam, kini malah dihajar seorang anak ingusan dengan menggunakan jurus mereka sendiri.Dari lima jurus yang Cio San perhatikan, ia malah bisa mengembangkannya menjadi jurus-jurus lain. Bahkan ada yang digabungkannya dengan jurus-jurus Bu Tong-pay.Keempat orang yang mengeroyok Cio San itu semakin terbelalak matanya. “Bagaimana mungkin..??!”, seru mereka.Akhirnya karena putus asa, mereka sepakat untuk menggunakan jurus pamungkas mereka, ‘Memindahkan Gunung Bersama-sama’. Jurus ini sangat dahsyat jika dilakukan oleh mereka berlima. Walaupun kini berempat, karena salah satu anggotanya dilukai Cio San, ilmu itu tetap dahsyat juga.Cio San dengan ilmu-ilmu ciptaannya di dalam goa, menerima serangan gabungan itu dengan percaya diri. Ia menghadapinya seperti menghadapi serangan air bah ketika di dalam goa. Ketika serangan itu tiba, tubuhnya berputar. Ketika putaran itu kembali ke posisi semula, tangannya telah menyambut kedelapan telapak it
Cio San hanya bisa meneteskan air mata menghadapi kenyataan ini. Ia telah kehilangan sahabat baik untuk kali kedua. Dibunuh karena ketamakan manusia. Mendengar suara daging diiris-iris, serta tawa keenam orang itu, hati Cio San semakin sedih.Bahkan mereka memasak dagingnya pun di situ. Sambil makan mereka mengobrol.“Ah.., memang nikmat daging ini. Walaupun tipis, rasanya mungkin yang paling enak di dunia. Apalagi darahnya sudah dicampur dengan arak....Hmmm, lezaaaaatttt....”“Iya, memang tak percuma jerih payah kita melacak jejak ular ini bertahun-tahun. Sulit sekali menangkapnya.”“Eh, Yap-heng. Coba ceritakan apa saja khasiat ular ini...”Orang yang dipanggil Yap-ko itu lalu berkata, “Khasiatnya banyak sekali. Dagingnya menambah kekuatan tubuh bagian luar (gwakang). Bagi orang seperti kita, gwakang ini berguna untuk meniduri perempuan.”Terdengar suara tawa bergema.Ia melanjutkan lagi, “Darahnya jika dicampur arak khusus yang kubawa ini, bisa untuk menyembuhkan segala penyakit. B
Cio San memutuskan untuk melihat isi bungkusan itu. Siapa tahu ada jati diri pelakunya di dalam. Segera Cio San membuka bungkusan itu dengan tangan kirinya, karena jari tangan kanannya telah tertempel padalapisan kulit itu.Ternyata bungkusan itu berisi sebuah surat dan satu stel pakaian. Cio San membuka surat itu, dan membacanya.Jika kau ingin menggunakan lapisan kulit itu sebagai topeng, gunakan tenaga api untuk membentuknya sesuai keinginan. Jika terkena daging makhluk hidup, maka lapisan itu akan menempel dengan kuat. Namun sifat lengketnya akan hilang jika kau menggunakan panas.Aku kirimkan juga sebuah pakaian yang pantas kau pakai. Selamat datang di dunia Kang Ouw.Salam.Hanya itu saja isi surat tersebut. Cio San yakin, pasti ada seorang sakti yang ingin menolongnya. Ia memutuskan untuk percaya saja kepada surat itu. Siapapun yang ingin menolongnya, pasti mempunyai maksud yang baik terhadapnya.Cio San akhirnya membuat api dengan menggunakan batu-batuan dan ranting kayu yang
Cio San berjalan ke arah barat. Dari posisi bintang tadi malam, ia tahu sedang berada di timur. Entah bagaimana ia bisa sampai ke dalam terowongan itu tiga tahun yang lalu. Mungkin ia terjatuh di dalam pusaran air, yang membawanya jauh sampai ke dalam terowongan itu. Entahlah. Hanya Thian yang tahu.Dunia berputar, dan manusia terjebak dalam gelombangnya. Siapa yang mengikuti arus, pastilah sampai tujuan. Siapa melawan arus, pasti akan tenggelam oleh jaman. Kehidupan ini alurnya siapapun tiada yang tahu. Semua kejadian berhubungan dengan masa lalu dan masa depan.Nasib Cio San ini, jelas dia sendiri tidak menyangka. Dari sebuah keluarga yang bahagia yang tinggal di kaki gunung Go Bi-san, lalu menjadi sebatang kara, diangkat menjadi murid Bu Tong-pay. Lantas malah menjadi buronan Bu Tong-pay karena dianggap membantu pembunuhan gurunya, sehingga terdampar dan hidup di dalam perut bumi. Bertahan menghadapi keadaan hidup yang berat. Lalu berkelahi dengan ular, bahkan kemudian ular itu men
Saat menjelang siang hari, akhirnya ia bisa keluar dari hutan itu. Tak lama berjalan, ia melihat sebuah rumah. Ternyata rumah seorang petani. Si petani itu baru saja selesai menggarap sawahnya dan kini sedang beristirahat. Petani itu sudah tua, namun tubuhnya masih terlihat segar dan kokoh. Hanya wajahnya saja yang sudah terlihat keriput-keriputnya.“Selamat siang, Lopek... Bolehkah saya menumpang istirahat sebentar? Saya tersesat beberapa hari di hutan,” kata Cio San dengan hormat.“Oh.., tersesat? Memangnya anak ini mau kemana dan dari mana?” tanya si petani itu ramah namun sedikit kaget juga.“Mmmm...., saya sedang berkelana, Lopek. Tapi karena tidak tahu jalan, saya tersesat..,” ujar Cio San sambil malu-malu.“Wah, ternyata anak ini dari kaum Bu Lim (persilatan) ya? Mari.. mari.. Silahkan istirahat disini...,” jawab si petani ramah.Jaman itu kaum persilatan memang dihormati dan dikagumi rakyat jelata, karena terbukti mampu membebaskan tanah air dari penjajah Mongol. Sehingga raky
Pagi-pagi sekali Cio San sudah bangun. Ternyata si kakek sudah bangun lebih dulu. Setelah membantu si kakek membuat sarapan, Cio San pergi mandi. Selesai mandi, baru mereka berdua makan. Lalu Cio San berpamitan.Si kakek memberikan sepasang sepatu miliknya. Cio San sudah berkali-kali menolak, tetapi si kakek terus memaksa. Akhirnya agar tidak mengecewakan sang kakek, ia menerima juga sepatu itu. Ada rasa haru juga di hati Cio San ketika mereka berpisah. Padahal baru kenal sehari. Tapi Cio San memang orang yang halus hatinya.Ia kini berjalan menyusuri jalanan yang menuju kepada sebuah desa terdekat. Si kakek yang menunjukkan jalan itu kepadanya. Kata si kakek, jalan itu menuju desa terdekat. Jaraknya lumayan jauh, mungkin tengah hari baru sampai ke desa itu. Tapi di sepanjang jalan, Cio San bertemu dengan beberapa rumah penduduk. Nampaknya itu rumah para petani, karena di sekitar rumah itu pun terlihat banyak sawah. Cio San kadang berpapasan dengan orang. Mereka menyapa dengan ramah.
Cio San beristirahat sejenak untuk menikmati keindahan alam desa yang asri dan indah itu. Berbasa-basi sebentar dengan penduduk disana. Cio San memperkenalkan dirinya sebagai Tan Liang San, seorang pemuda hijau yang sedang berkelana mengenal dunia.Sama seperti kakek petani yang pertama kali ditemui Cio San, penduduk desa itu pun menerima kehadiran Cio San dengan tangan terbuka. Bahkan ada beberapa yang menawarkan Cio San untuk menginap di rumah mereka. Dengan halus, Cio San menolak tawaran itu dan berkata bahwa ia harus buru-buru sampai di kota terdekat.Dari para penduduk, Cio San kemudian mengetahui arah jalan menuju kota Liu Ya. Kota ini termasuk kota besar di daerah Kanglam. Menuju kesana membutuhkan jalan kaki yang cukup lama, serta penyeberangan sungai menggunakan perahu.Setelah berpamitan dan memberi salam hormat, berangkatlah Cio San menuju kota Liu Ya. Perjalanan yang ditempuh dengan berjalan kaki cukup panjang. Dari tengah hari sampai hampir menjelang senja, baru Cio San t