Man-wangwe kembali melancarkan jurus-jurusnya yang ganas. Pukulannya datang bagai air bah. Tendangannya datang menghunjam bagai badai. Semua coba ditangkis dan dihindari oleh Suma Sun. Tapi berkali-kali juga, pukulan dan tendangan itu ada yang lolos dan mengenai tubuhnya.Suma Sun terjatuh berlutut. Serangan-serangan ini terlalu dahsyat baginya.Ia jatuh, dan kedua tangannya kini menahan tubuhnya agar tidak jatuh tertelungkup.Satu lagi serangan, dan Suma Sun akan habis riwayatnya!Serangan itu pun tiba. Man-wangwe mengatupkan kedua telapak tangannya membentuk sebuah tinju yang sangat mengerikan. Inilah ilmu andalannya, ‘Tinju Palu Besi Menghunjam Sukma’. Cio San tercekat!Sudah tak ada harapan lagi baginya untuk menolong Suma Sun!Gerakan tinju itu sangat dahsyat, sangat cepat, sangat ganas. Menghunjam ke batok kepala bagian belakang Suma Sun.Jleb!Ia pun roboh!Roboh kehilangan nyawanya!Tapi bukan Suma Sun.Man-wangwe lah yang roboh.Sebuah luka di dahinya.Tak ada darah.Hanya ad
“Sebenarnya, yang bernama asli Bwee Hua Sian adalah ibuku ini. Beliaulah yang dijuluki wanita paling cantik dan paling kaya sedunia. Dahulu, beliau lah yang memungutku dari jalan, saat keluargaku dibunuh orang. Beliau yang mendidikku silat. Mengajarkanku banyak hal, termasuk merawat tubuh hingga tetap terjaga seperti ini.”“Ah, aku tahu umurmu belum 80 tahun. Mungkin baru sekitar 30-35 tahun. Tapi harus kuakui, wajah dan perawakanmu seperti anak perempuan berumur 17,” tukas Cio San sambil tersenyum.“Haha... Memang benar kata orang, kau tak dapat menipu Cio San. Beng Liong salah mengambil kesimpulan. Karena memang selama ini, aku selalu menyamar menjadi ibuku. Menggunakan namanya dalam setiap aksi-aksiku.”“Ibuku lah yang berumur 80 tahun. Dan kecantikannya memang benar-benar terjaga. Kau pasti heran, mengapa ibuku terlihat menderita seperti ini ‘kan? Itu karena bajingan Man-wangwe!” Ada kemarahan terlihat di matanya.“Kau tahu kenapa bajingan itu bisa menjadi orang terkaya di dunia?
Ketika ia kembali lagi, teman-temannya masih menunggunya di tempat yang sama.“Terlambat,” kata Cio San. “Mari kita lanjutkan saja perjalanannya.”Mereka pun berangkat.Di jalan Cio San bertanya, “Bagaimana kalian bisa sampai tertangkap?”“Seseorang menaruh racun ke dalam makanan kami. Untunglah racun itu bukan racun yang berbahaya. Hanya untuk membius. Setelah bangun, tahu-tahu kami sudah tertotok,” jelas Cukat Tong.“Kalian makan di mana?” tanya Cio San lagi.“Saat itu, kami berhenti di sebuah warung pinggir jalan di dekat hutan. Warung biasa yang memang buka di tempat seperti itu, khusus bagi pelancong-pelancong yang melintas antar kota,” kata Cukat Tong.“Oh..,” kata Cio San sambil mengangguk-angguk.“Kau sendiri, apa saja yang kau alami?” Cukat Tong balas bertanya.Cio San menjelaskan kejadian di bukit bunga Bwee, pertemuan dan perkelahiannya dengan Ji Hau Leng, serta kejadian di Kay Pang.“Jadi kau sekarang Kay Pang-pangcu?”“Secara tidak resmi. Haha…,” kata Cio San sambil terta
Dalam 3 hari perjalanan, mereka sampai di kota Tho Hoa. Selama perjalanan, Cio San membantu memulihkan keadaan Suma Sun. Si Dewa Pedang ini pulih dengan cepat. Mungkin karena tenaga sakti dari Cio San, dan tenaga dalamnya sendiri. Ia kini sudah dapat berjalan sendiri dan pendengarannya berangsur-angsur membaik. Menurut perhitungan Cio San, dalam 1 bulan saja, Suma Sun mungkin sudah akan pulih seperti sediakala.Begitu memasuki gerbang kota Tho Hoa, sudah ada orang yang menyambut mereka. Cio San masih mengingat orang ini. Dia adalah Huan Biau. Orang yang dulu datang ke kedai Lai Lai, untuk memperbaiki bangunan Lai Lai yang hancur akibat pertempuran.“Selamat datang, para hoohan. Nama cayhe adalah Huan Biau. Orang suruhan Khu-hujin. Beliau mengundang hoohan sekalian untuk sudi mampir ke kediaman beliau,” kata orang itu sambil menjura.“Salam hormat kepada Kauwcu dan Seng Koh (Perawan Suci)!” tiba-tiba hadir pula beberapa orang memberi hormat kepada Cio San. Ia masih ingat, orang-orang i
Paginya Cio San sudah rapi.Ia keluar untuk melihat-lihat keadaan di sekitar kota. Kota yang sangat indah, megah, dan maju sekali. Rupanya perdagangan Khu-hujin yang sukses, turut mengangkat maju kotanya ini. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah ini juga adalah kota gurunya, Kam Ki Hiang?Berpikir bahwa dulu gurunya dan Khu-hujin pernah memadu kasih di kota ini, menimbulkan perasaan haru dalam hatinya.Sambil jalan-jalan, ia bertemu dengan banyak anggota Kay Pang dan Ma Kauw. Cio San berbincang-bincang dengan mereka. Bertanya-tanya banyak hal. Bahkan juga mentraktir mereka minum arak.Kaum laki-laki memang jika sudah berkumpul, terlihat sangat menikmati waktu mereka.Cio San serta puluhan anggota Ma Kauw dan Kay Pang itu pesta arak sampai mabuk. Bahkan mereka mampir juga ke rumah judi untuk sedikit bersenang-senang. Ini untuk pertama kalinya Cio San bermain judi. Rasanya menyenangkan!Entah karena beruntung, atau karena otaknya yang cerdas, Cio San menang banyak hari itu. Uang hasil k
Sesuatu yang berbeda.Kenapa senyumnya terasa pahit? Kenapa ia tidak segera lari memelukku? Apakah karena aku kotor dan berbau arak?“Kau.. Kau ada apa ke kota ini?” tanya Mey Lan. Ia tidak melangkah maju ke depan, tapi agak mundur sedikit ke belakang.“Eh.. Aku berkelana saja. Sebenarnya aku dalam perjalanan pulang ke Lai Lai.”“Oh...” Mey Lan hanya mengangguk-angguk.Mengapa semua ini terasa aneh?“Lan-mey, siapa ini?” tiba-tiba ada suara yang keluar dari toko di sebelah Cio San.“Eh, Bun-ko (Kakak Bun).” Mey Lan terlihat kaget. “Perkenalkan, ini A San. Dulu pernah bekerja sebagai pegawai ayah. Dia tukang masak kami,” katanya.“Salam kenal,” kata orang yang dipanggil Bun-ko oleh Mey Lan ini.“Salam kenal,” kata Cio San menjura. Padahal lelaki di depannya ini tidak menjura kepadanya.“A San, ini suamiku, namanya Lim Gak Bun. Dia pendekar dari Kun Lun-pay,” kata Mey Lan kepadanya.“Ah, pendekar dari Kun Lun-pay? Sungguh gagah,” puji Cio San tulus sambil menjura lagi.Lim Gak Bun hanya
Jika perempuan yang kau cintai sudah tidak mencintaimu, maka adalah hal yang paling memalukan untuk memaksanya kembali mencintaimu. Karena cinta, adalah hal yang paling tidak bisa dipaksakan di muka bumi ini.Hal terbaik yang bisa kau lakukan adalah, merelakannya pergi, sambil menyimpan baik-baik kenangan yang tersisa.Hal terbaik yang bisa kau harapkan adalah, mengharapkannya bahagia bersama siapapun yang kini ia cintai.Yang paling terhormat adalah, mundur sejauh-jauhnya dan mengakui kekalahanmu. Bahwa kau tak mampu mempertahankan hal paling penting dalam hidupmu.Jika kau memaksakannya untuk kembali kepadamu, bukankah itu berarti kau tak cinta kepadanya? Jika kau cinta, maka kau akan ikut bahagia melihatnya bahagia.Kau boleh menangis atau meratap. Tapi kau pun tak boleh menipu dirimu sendiri, dengan berharap, bahwa masih ada sedikit sisa-sisa cinta di hatinya untukmu.Karena jika wanita sudah pergi, maka ia akan pergi selamanya. Ia tak akan meninggalkan sisa-sisa cintanya kepadamu
Sekejap saja, Cio San sudah berada di hadapan wanita itu.“Ada apa?”“Anakku tercebur selokan. Air menyeretnya… tolong, Tuan.., tolong….”Dengan pandangannya yang tajam, Cio San sudah berhasil melihat anak itu. Dengan sekali gerakan, ia sudah melompat dan menangkap anak itu sambil bersalto.“Oh, terima kasih… Terima kasih….,” kata ibu itu sambil menangis.Cio San memeriksa anak itu, untunglah belum ‘terlambat’. Dengan sekali menekan sebuah titik di dadanya, anak itu sudah memuntahkan air yang tadi ditelannya.“Terima kasih, Tuan… Terima kasih..”Cio San mengangguk, dan beranjak pergi.Ada kebahagiaan di hatinya, saat menolong orang.Memang kebahagiaan terbaik adalah, saat engkau dapat berguna bagi orang lain.Jika di dunia ini pilihanmu cuma bahagia dan kecewa, mengapa kau pilih kecewa?Ia berjalan lagi. Tubuhnya kini bau comberan, setelah tadi menolong dan menggendong anak kecil yang terjatuh itu.Tiba-tiba ia teringat sesuatu.“Ah, bukankah undangan Khu-hujin itu saat ini ya?” katan
PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per
Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora
Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit
Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin
Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag
Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding
Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad
Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir
Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge