Warti membuang tasnya secara serampangan. Gadis kecil itu langsung mengambil salah satu koleksi kebaya pengantin milik ibunya. Nyimas Sekar memang seorang perias pengantin yang cukup terkenal di desa. Bahkan, ibunya sering menerima pesanan dari luar kota. Salah satu penyebab mereka menjadi salah satu keluarga terkaya di desa tersebut, karena memang Nyimas Warti seorang perias dan suaminya seorang petani cukup sukses.
Kedua kakaknya Warti yaitu Warno dan Sutrisno hanya bekerja membantu ayahnya mengurus sawah dan ladang.
“Lho, Nduk lepasin kebayanya. Cepat sana ganti bajumu yang biasanya dan makan siang. Ibu sudah menyiapkan makanan kesukaanmu.” Ibunya yang mengetahui hal tersebut segera memaksa Warti untuk melepaskan kebaya hijau itu.
“Aku nggak mau, Bu! Aku ingin mencobanya sekali lagi. Sepertinya aku sangat pantas memakai kebaya ini.” Warti memang cukup keras kepala mengenai segala keinginannya. Ia tidak memedulikan teguran dari ibunya, lalu kembali bercermin.
“Kamu ini yo dibilangin nggak ngerti-ngerti juga!”
“Aku bukannya nggak ngerti, Bu. Tapi, aku nggak mau! Aku bener-bener naksir sama kebaya ini. Aku pun berharap bahwa suatu hari nanti aku bisa memakai kebaya ini.”
“Tentu aja, Nak kamu akan memakai kebaya tersebut di hari yang tepat. Sekarang, kamu harus fokus dulu sama sekolah, ya.”
“Janji ya, Bu! Baju yang kupakai ini harus ibu rawat dengan baik.” Pada akhirnya, Warti harus menyerah untuk melepaskan kebaya hijau dengan payet kuning keemasan.
Nyimas Sekar hanya tersenyum tipis memandang wajah sang putri. Warti pun akhirnya menurut untuk mengganti pakaiannya dengan model baju bermain biasa, lalu pergi makan siang bersama sang ibu.
“Bu, besok masak orek tempe lagi, ya! Makanannya benar-benar enak.”
“Tentu aja ibumu ini akan memasak makanan kesukaanmu setiap harinya.”
“Oh iya, Bu. Ngomong-ngomong bapak ke mana, ya?” tanya Warti yang tiba-tiba meletakkan sendok di atas piring.
“Bapak sama kedua masmu masih ada di ladang. Ibu juga ada kabar gembira buat kita semua.”
“Apa, Bu?” Warti bertanya penuh dengan ketidaksabaran. Ia mendongakkan wajahnya. Sang ibu yang melihat kepolosan sang anak, sunggu tidak tega. Nyimas Sekar pun menyungging senyum tipis untuk meredakan sedikit kekepoan sang anak.
“Begini, Nduk. Sebentar lagi kita akan panen ketela. Nah, hasil dari kebun ketela tersebut akan ibu jadikan tabungan buat kita nanti jalan-jalan ke Kota Semarang. Ibumu ini sudah bilang sama bapakmu. Jadi, kamu jangan pernah merasa khawatir, ya!”
Seketika Warti melonjak senang. Bahkan, ia tidak menyadari kalau sendoknya terpelanting jatuh. Namun, Nyimas Sekar yang melihatnya tidak memedulikan hal tersebut.
“Asiiik! Jadi nanti aku bakalan naik delman kan, Bu?” tanya Warti dengan wajah penuh binar.
“Tentu aja, Sayang. Bahkan, nanti kita akan bermain di sekitar danau yang indah.”
“Aku bisa membayangkannya, Bu. Pas main disekitar danau, pastinya akan merasa sangat senang dan damai.”
“Ibumu ini lebih paham apa maumu.”
“Ibu sama bapak memang benar-benar the best deh! Siapa dulu dong, ibunya Warti. He he he,” ucap Warti sambil cekikikan.
Nyimas Sekar memeluk tubuh mungil Warti cukup erat. Mereka tenggelam dalam pelukan cinta. Tiba-tiba saja terdengar amarah cukup luar biasa dari seorang lelaki teguh yang selama ini terkenal bijak dan penyabar.
“Waalaaah!! Aku pusing!!!” teriak Raden Mas Cokro sambil melempar kayu cukup besar ke sembarang arah. Beruntungnya kayu tersbeut tidak mengenai Nyimas Sekar dan Warti.
Kedua anak lelakinya juga pulang sambil meletakkan pacul di sisi pintu masuk dengan wajah yang sangat lesu. Mereka berjalan gontai menuju meja makan.
“Lho, kalian bertiga sebenarnya kenapa? Ada apa to, Pakne?” Nyimas Sekar jelas merasa keheranan dengan sikap ketiga lelakinya itu.
“Bu, kita gagal panen,” jawab Raden Mas Cokro sambil duduk di salah satu kursi makan. Sementara kedua kakaknya Warti juga duduk dengan membisu.
“Maksudmu apa to, Pak?” tanya Nyimas Sekar kembali sambil memberikan segelas air putih.
“Begini loh, Bune.” Raden Mas Cokro menjawab setelah meminum segelas air putih tersebut.
“Gimana, Pak?”
“Tadinya aku sama kedua anak lelaki kita pergi ke sawah, ternyata padinya dimakan sama hama. Bapak sebenarnya sudah ngasih banyak jebakan sama obat hama. Tapi bapak sendiri nggak ngerti kalau akhirnya jadi begini.”
“Lha, terus kita mau makan gimana, Pak? Biaya sekolahnya Si Warti juga lumayan mahal.”
“Bapak punya rencana bakalan ngejual sawah sama tanah buat beli beras, lauk sama biaya sekolahnya Warti, Bune.”
“Menurutku yo, Pak. Kalau masalah lauk kita tinggal ambil saja sayur-sayuran di kebun atau ibu bakalan minta sama tetangga.”
“Bener juga, Bu. Tapi, gimana sama biaya sekolahnya Si Warti?” tanya Nyimas Sekar yang memang betul-betul tidak mengetahuinya.
“Nah, bapak mikirnya mendingan Si Warti berhenti sekolah saja dan bantuin di rumah.”
Kalimat bapaknya sungguh membuat makanan di dalam mulut Si Warti tersedak. Uhuuuk!
“Minum dulu, Nduk!” seru Nyimas Sekar.
“Bu, yo masak aku harus berhenti sekolah. Aku masih kelas empat, Bu!! Aku juga masih ingin melanjutkan cita-citaku jadi guru.”
“Nduk, sekarang ini kita sudah menjadi orang miskin. Kasihan juga bapakmu kalau harus kelelahan banting tulang nyari duit buat keluarga, sekolahmu, baju baru, dan makan. Kamu masih punya dua kakak lelaki yang harus dikasih makan juga.” Nasihat dari Raden Mas Cokro memang berat terdengar oleh gadis kecil bernama Warti.
“Kalau ibumu ini piker-pikir lagi yo, War memang betul. Kamu harus berhenti sekolah nggak apa-apa. Apalagi biaya sekolahmu lumayan mahal ditambah sama harga buku-buku sekolah.”
“Iyo, Bu. Mau gimana lagi, aku harus nurut sama ibu.” Warti mengatakannya dengan raut wajah cukup kesal.
“Warti, meskipun kamu sudah nggak sekolah lagi. Kamu masih bisa menemani ibumu ini pergi merias pengantin. Kamu mau, kan? Ibu nanti akan ajarin kamu sedikit-sedikit gimana caranya menjadi seorang perias handal macam ibu.” Perkataannya Nyimas Sekar sungguh membuat Si Warti mengerti dan kembali tenang.
“Baiklah, Bu. Aku bakalan berhenti sekolah. Besok pagi aku bilang ke bu guru. Tapi, ibu bakalan menemani Warti, kan?” pinta Warti penuh dengan harapan.
“Yo jelas ibu akan menemanimu buat minta izin berhenti sekolah.”
“Iya, Bu. Kalau ada orang tua yang bilang kan menyakinkan.”
“Ha ha ha. Anak cerdas!!”
“Cerdas dari Hongkong!” celetuk Sutrisno seorang kakaknya yang nomer dua tidak terima dengan label “anak cerdas” yang ditujukan kepada Warti.
“Masak Mas Sutrisno baru ngerti kalau aku memang cerdas. Aku ini sudah cerdas sejak dulu. Mungkin Mas Sutrisno iri sama aku yang benar-benar cerdas.”
“Kamu ini ya selalu saja ngelawan juga ngebantah perkataan masmu ini.”
“Weeekkk!” ejek Warti sambil memeletkan lidahnya.
Seluruh sudut ruangan itu dipenuhi gelak tawa dari keluarga kecil yang sangat bahagia. Keputusan Raden Mas Cokro agar Warti berhenti sekolah di kelas 4 SD memang benar-benar menjadi kenyataan.
***
“Nduk Warti, ayo kita pergi angon kambing. Jangan lupa bawa nasi, tahu, tempe sama sambelnya ada di dalam rantang.” Nyimas Sekar mengingatkan untuk kesekian kalinya. Meskipun Warti seorang gadis yang keras kepala, tetapi ia sangat penurut jika membantu ibunya.Saat ini, pekerjaan keluarga mereka memang angon kambing dan pergi ke ladang. Mereka tidak pernah sedikit pun mengeluhkan tentang kondisi yang menurut sebagian orang menderita. Warti memberikan makanan pada empat kambingnya dengan senang hati.“Bu, kalau kambing-kambingnya sudah dewasa, apakah bakal dijual?” tanya Warti ketika duduk di antara rerumputan hijau, sedangkan kambing-kambingnya makan rumput secara mandiri.“Yo tentu aja, War. Kambing-kambing ini yang nantinya bakalan buat biaya pernikahannya masmu.”“Lho, kapan Mas Sutrisno akan menikah, Bu?” tanya Warti sambil menatap wajah ibunya keheranan.“Nduk Warti. Ibu tadi
Pada akhirnya, Warti menyerah dengan keadaan. Perempuan itu menerima lamaran dari anak pedagang kaya di desanya. Lelaki itu bernama Wanto yang memiliki tubuh kurus dengan kulit hitam legam, tetapi wajahnya manis. Wanto bekerja sebagai petani sawah di desa. Pekerjaan suaminya tidak pernah membuat Warti merasa minder.Beberapa hari setelah pernikahan, Warti memutuskan untuk belajar menjahit. Wanita itu hanya bingung harus mendapatkan uang tambahan darimana. Maka, jalan satu-satunya yaitu menerima pesanan jahitan. Wanita yang berasal dari kalangan priyayi itu memang benar-benar beruntung bisa mendapatkan banyak pesanan menjahit aneka baju dan dress cantik-cantik.Tak lama kemudian, nama Warti sebagai penjahit cukup terkenal. Lalu, ia mendapatkan kabar dari ibunya bahwa wanita yang sudah melahirkannya ke dunia itu sedang mengalami sakit cukup parah. Kabarnya, Nyimas Sekar sedang mengalami sakit dada. Wanita tua itu membutuhkan anak-anaknya untuk sekadar berada di sampingny
Pernikahan antara Warno dan si gadis kota yang dimaksud tempo hari, terlaksana dengan lancar. Sayangnya, Nyimas Sekar tidak bisa ikut hadir pada acara tersebut, karena kondisi kesehatan yang semakin memburuk. Warti dan Sutrisno lah yang hadir. Namun, doa restu selalu mengiringi langkah Warno.Warno yang sudah resmi menikahi gadis kota itu lebih memilih tinggal di rumah istrinya. Anak tertua itu terpaksa meninggalkan keluarga di desa. Pekerjaan Warno sebagai seorang akuntan lah yang memaksa dirinya tinggal di kota. Sementara Warti meminta izin suaminya untuk tinggal sementara di rumah sang ibu untuk mengurus Nyimas Sekar yang sedang sekarat.“Nduk, sepertinya ibumu sudah tidak kuat.”“Apa maksudnya, Bu?” tanya Warti yang tidak mengerti.“Maksudku, usia ibu tidak akan lama lagi, Nduk. Kamu tidak perlu repot mengurus ibu seperti ini.”“Bu, lagian aku nggak keberatan harus merawat ibu sampai akhir hayat,
Beberapa bulan Warti dan sang suami menikah, wanita yang sangat menjaga penampilannya itu memilih bekerja sebagai penjahit rumahan. Ia berhasil mendapatkan banyak sekali pesanan aneka model baju yang sangat unik. Mulai kebaya modern, kutu baru hingga baju kurung. Ia sangat menekuni pekerjaannya yang semakin ramai oleh pelanggan.“Jahitkan bajuku yo, Mbak.” Ucap istri Sutrisno sambil memberikan dress kesayangannya itu pada Warti.Meskipun istri Sutrisno anak pendiri salah satu masjid di desanya, tak menyurutkan rasa gengsi untuk menggunakan jasa jahit di desa. Istri Sutrisno bisa saja membeli dress baru. Namun, mengutamakan keluarga, itulah prinsip istri Sutrisno.“Iyo.” Jawab Warti.Selama menjahit baju milik istri Sutrisno itu, terdengar jerit tangis bayi yang baru lahir. Warti menghentikan pekerjaannya. Lalu menemui sumber suara tangisan itu. Sementara istri Sutrisno lebih senang melihat-lihat hasil jahitan milik orang lain.“Maaf yo. Bayiku nangis terus. Jahitnya nggak bisa sekarang
Langit biru membentang luas. Burung berkicauan yang berasal dari tetangga Aro. Aro merupakan anak dari Sutrisno yang menikah dengan anak pendiri masjid di desanya. Pagi menjelang siang begini ia belum beranjak dari tempat tidurnya.“Dasar pemalas! Cepat mandi sana!” gertak sang ayah yaitu Sutrisno.“Ibu juga sudah masakin masakan kesukaanmu.”Aro segera beranjak dari tempat tidurnya lalu menuju dapur. Tempe mendoan. Segera ia mencuci muka untuk menyantap hidangan yang dimasak oleh ibunya.“Habis sarapan jangan lupa mandi, yo.”“Iya, Bu.”Ibunya Aro menyiapkan baju untuk dipakai Aro.“Bu, jangan model baju yang ini dong. Baju yang ada rendanya,” rengek Aro.Ibunya segera mengambil model baju yang dimaksud Aro. Penampilan. Lagi-lagi istrinya Sutrisno masih memikirkan omongan Warti yang berlalu. Mungkin Warti sendiri sudah melupakannya dan terus menjahit hingga Aro memasuki usia sekolah. Mungkin istrinya Sutrisno tidak ingin Aro berpenampilan cupu seperti dirinya.“Yang ini, to?” tanya s
Hujan masih mengguyur pelataran rumah. Musim demi musim berganti begitu cepat. Bagai anak panah yang melesat. Begitu lah waktu. Jarum jam terus berputar. Waktu demi waktu pun harus mengganti batrei jam yang using. Terdengar isak tangis yang begitu memekakkan telinga Aro. Namun, tidak dengan Anis. Ia hanya bersedih ketika warga desa menyiarkan emaknya yang telah meninggal. Kini, Wanto lah yang mengurus Anis. Meskipun Wanto seorang petani, tapi mampu memberikan makanan seadanya kepada Anis. Terlebih kedua kakaknya Anis juga turut memberi makan. Mereka tidak terlalu kekurangan harta. Hari berikutnya. Seperti biasa Aro mengendarai sepeda. “Aro, sepedamu bagus,” ujar Anis sambil memandangi sepeda baru milik Aro. “Iya dong. Ini kan sepeda baru. Ada keranjangnya juga,” “Aku iri loh,” “Kenapa iri?” tanya Aro. “Ingin punya sepeda juga yang seperti sepeda punyamu,” jawab Anis sambil terus menonton aksi Aro yang bersepeda. “Kamu boleh kok meminjam sepeda ini,” “Nggak ah. Aku mana bisa n
Kudus, tahun 2007Terkadang, kakaknya Anis bertandang ke rumah Aro untuk sekadar bercerita keadaan rumahnya. Ibunya Aro lah yang menjadi tempat bercerita. Karena memang, kakaknya Anis juga sudah memiliki anak. Waktu memang begitu cepat memakan waktu yang lain.Hari ini merupakan hari pertama Aro memasuki sekolah baru. SMP. Aro mengenakan tas selempang berwarna coklat. Rambut ia potong pendek menyerupai lelaki. Ia tak lupa mengikat tali sepatunya yang mulai robek.“Bu, belikan sepatu baru, ya.”“Iya, nanti. Sementara kamu pakai sepatu ini dulu, ya.”“Beneran ya, Bu,” rengek Aro.“Iya, bener.”“Ya sudah sana berangkat sekolah.”Aro pun berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda. Tentu saja ia berangkat bersama teman-temannya. Ketika memasuki halaman sekolah, Aro sedikit dikejutkan dengan sesosok gadis belia sedang duduk-duduk di teras kelas.“Itu Anis!”Yup! Sepupunya Anis memang lebih dulu bersekolah di sekolahan itu. Aro merupakan adik kelasnya Anis. Ia berlari kecil menghampiri A
Hari berikutnya. Ternyata Aro terlambat masuk kelas. Ia terkena hukuman. Benar kalau tiap kali Unyik atau teman lainnya memberitahu kedatangan guru, Aro merasa bergetar. Itu karena rasa takut.Aro terpaksa membersihkan ruang kelas sendirian. Anis yang kebetulan melewati ruang kelasnya Aro, menahan tawa. Aro yang menyadarinya, menggeletakkan sapu begitu saja. Ia merasa kesal ketika sepupunya mengejek.“Halah dasarrr! Huh!” umpat Aro.“Aro, kamu kenapa sih begitu?” tanya Unyik yang sedari tadi memperhatikan Aro.“Nggak apa-apa, Nyik. Itu loh sepupuku sepertinya mengejek deh aku kena hukuman kayak gini,” jawab Aro sambil mendengkus kesal.“Hari ini dapat salam lagi dari Irsyadi,”“Oh ya?” Aro memutar-mutar kedua bola matanya.“Iya lah. Masa aku bohong sama kamu.”“Ya udah deh, salam balik ya, Nyik.”“Nah gitu dong,”“Yeee kamu,”“By the way, kamu mau nggak aku traktir?”“Hah? Traktir? Tumben sekali, Nyik.” Aro yang tidak mengerti mengedip-ngedipkan matanya.“Bentar lagi aku ultah, jadi k
Hari demi hari berlalu begitu saja. Anis sudah bisa melayani pembeli di toko pakaian Aro.“Anis, aku seneng banget bulan ini kita mendapat banyak sekali pesanan baju. Jadi, aku bisa menggajimu dengan bonus.”“Wah, makasih banyak ya, Ro.” Anis tersenyum manis yang membuat Aro membatin, ‘ternyata kalau dilihat-lihat Anis cantik juga.’“Aro?” Anis mengguncang-guncang tubuh Aro.“Eh eh, iya, Nis. Maaf ya aku malah jadi melamun. He he he.”“Iya nggak apa-apa, Ro. Takutnya kalau kamu melamun gini nanti kesambet, lho.”“Yeee malah bercanda.”Anis dan Aro tenggelam dalam gelak tawa. Tiba-tiba saja dari lubang hidung Anis keluar cairan merah. Anis mimisan.“Kamu kenapa, Nis?” tanya Aro dengan nada khawatir.“Nggak tahu nih, Ro tiba-tiba aja mimisan. Sebelumnya nggak pernah gini. Mana aku sedang hamil.”“Kamu harus periksa ke dokter, Nis.”“Gimana sama kerjaanku, Ro?”“Udah. Kamu nggak usah mikirin tentang kerjaan. Oh ya, Tomo bawa ponsel, nggak?”“Tomo nggak bawa ponsel kalau kerja, Ro. Memang
Matahari mulai menyembul dari ufuk timur. Setelah sarapan nasi dengan sambal goreng tempe, Anis segera mengantar Putri ke sekolah. Tomo seperti biasa pergi bekerja membangun rumah di desa sebelah. Pukul 07.05 WIB Anis selesai mengantar Putri ke sekolah, lalu menghentikan mesin motor di depan rumah Aro.“Kamu ke sini kok pagi banget sih, Nis?” tanya Aro yang baru selesai membuka toko pakaian.“Iya nih, Ro. Aku tadi habis mengantar Putri ke sekolah.”“Wah iya. Katanya kamu mau jadi karyawan di tokoku ya, Nis?” tanya Aro yang duduk-duduk di dalam toko. Anis kemudian duduk-duduk sambil menjawab dengan suara parau, “Iya nih, Ro. Aku bingung nyari uang tambahan untuk biaya lahiran nanti.”“Selamat juga ya atas kehamilanmu. Memangnya kamu nggak apa-apa bekerja dalam keadaan hamil begini?”“Nggak apa-apa kok, Ro. Uang dari pekerjaannya Tomo yang sebagai kuli bangunan nggak cukup buat biaya lahiran nanti.”“Jadi begitu. Mulai hari ini kamu sudah bisa bekerja kok, Nis. Ohya, suamimu tahu apa ng
Anis teringat akan sesuatu. Ia terlambat datang bulan. Lalu ia menghitung tanggal terkahir datang bulan.“Jangan-jangan aku hamil.”Untuk memastikan kebenaran, ia membeli tespek di apotik terdekat. Setelah dilakukan tes sederhana, Anis terkejut melihat hasilnya. Ia positif hamil. Anis tersenyum bahagia.Ia membagikan kebahagiaannya melalui akun FB.“Tomo,” ucap Anis sambil melingkarkan lengannya ke punggung Tomo.“Iya, kenapa, Nis?”“Hari ini aku sangat bahagia.”“Bahagia kenapa?” Tomo melepaskan pelukannya dengan pelan.“Kamu tahu nggak kalau aku sedang hamil.”“Apa? Kamu hamil? Kita bakal punya anak lagi dong.”“Iya. Putri bakal punya adik.”“Jadi, kamu muntah-muntah waktu kemarin ternyata hamil toh.”“Iya. Kamu bahagia kan?”“Iya. Aku bahagia banget.”“Tapi, dari mana nyari uang tambahan buat biaya lahiran nanti? Juga uang tambahan buat anak kedua kita? Aku bingung.”“Kamu tenang ya, Nis. Aku akan nyari pekerjaan tambahan.”“Memangnya mau kerja apa?”“Entahlah. Kita lihat saja nant
Anis terpaksa menghentikan aktivitasnya yang sedang menyapu. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan berteriak memanggil nama Tomo, “Tomo, kamu udah selesai apa belum mandinya?”“Iya bentar lagi kok,” sahut Tomo dari balik pintu kamar mandi.Selesai mandi, Tomo bertanya kepada Anis, “mengapa kamu teriak kaya gitu? Ada apa? Apa kamu udah kebelet pipis?”“Enggak kok, Tom. Aku cuman mau bilang aja tadi kamu dicariin sama Diki,” jawab Anis.“Ada apa memangnya? Nunggu aku selesai mandi kan bisa. Kenapa harus teriak gitu?”“Ya maaf. Nanti malam Diki ada acara bancaan. Kamu diundang ke acara bancaan.” Anis nyengir bagai kuda yang tidak berdosa. Ia memasang wajah kuyu di depan Tomo. Lelaki ganteng itu manyun.“Ya sudah kalau gitu. Iya aku pasti datang kok.”Anis tersenyum menyeringai. Tomo membalas dengan senyuman pahit. Kemudian Anis ke kamar mengambil ponsel pintarnya. Lalu mengirim pesan WA kepada Aro.[Aro, gimana kandunganmu sehat?][Sehat kok, Nis. Alhamdulillah.][Alhamdulilla
Anis mencuci piring lalu mengelapnya agar cepat kering. Hari semakin siang. Anis melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ia segera mengenakan jilbab biru tua yang tersampir di kursi kamar. Hampir saja lupa, Anis mengambil ponsel pintarnya.Tomo belum pulang kerja. Ia harus menjemput Putri yang pulang sekolah. Namun, ia mematikan mesin motornya di depan rumah Aro.“Anis, ada apa?” tanya Aro sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.“Enggak ada apa-apa kok, Ro. Aku lagi nunggu Putri pulang sekolah kok. Kamu nggak keberatan kan aku nunggu Putri di rumahmu?” jawab Anis.“Tenang aja, Nis. Nggak masalah kok.”“Oh ya, Ro ngomong-ngomong kamu sedang hamil ya?”“Iya nih Nis. Alhamdulillah banget diberikan rezeki oleh Allah berupa janin yang akan menjadi anak.”“Udah berapa bulan kamu hamil, Ro?”“Udah tiga bulan ini, Nis.”“Wah.”“Udah jam 12 siang ya, Ro. Cepat banget.”“Iya Nis.”“Ya udah ya Ro aku mau jemput Putri.”“Iya, Nis. Hati-hati.”Anis pun menjemput Putri di sekolah. L
Demi mengurangi rasa bosan yang menggelayut di hati. Anis mengambil ponsel pintarnya yang berada di kamar. Ternyata ada pesan dari Widya. Sudah lama sekali Widya tidak mengirim pesan.[Hai Anis. Kamu apa kabar?][Kabarku baik, Wid. Kamu sendiri gimana kabarnya?][Kabarku juga baik, Nis. Ohya, sekarang kamu kerja di mana, Nis?][Aku jadi reseller sih, Wid di rumah. Kamu kalau ingin beli koleksi pakaianku boleh aja.][Wah, berarti kamu punya penghasilan sendiri dong.][Ngomong-ngomong sekarang kamu kerja di mana, Wid?][Aku di rumah aja kok, Nis. Bantu-bantu bisnis suami.][Suami? Kamu udah nikah ya, Wid?][Iya, Nis. Udah hampir dua tahun kok.][Selama itu kamu nggak ngabarin aku ya, Wid.][He he. Maaf ya, Nis. Tapi sekarang kamu udah punya anak kan, Nis?][Anakku udah besar lho, Wid.][Wah iyakah?][Iya, Wid. Udah sekolah SD.][Wah nggak kerasa ya waktu begitu cepat berlalu.][Begitulah. Ngomong-ngomong kamu nikah sama orang mana, Wid?][Nikah sama pacarku saat masih kerja di Jakarta k
Anis yang merayakan ulang tahun anaknya mengundang Aro di acara tersebut. Sama seperti teman-temannya Putri, Aro pun memberikan kado ulang tahun kepada Putri. Anis tersenyum sangat manis. Tomo yang berdiri di samping Anis, melirik Aro.Aro menyadari tingkah Tomo segera berdehem. Tomo menjadi salah tingkah. Perayaan ulang tahun diiringi tepuk tangan dari teman-temannya Putri. Putri segera merapalkan doa lalu meniup lilin.Suara riuh dari anak-anak yang bertepuk tangan, membuat Aro melihat Tomo. Tomo nyengir kuda sambil mengusap bagian belakang kepala. Entah mengapa Aro dan Tomo saling berpandangan. Anis yang menyadari sikap aneh Aro dan Tomo, hanya bisa diam.“Makasih ya teman-teman sudah datang di acara ulang tahunnya Putri,” ucap Anis.“Sama-sama, Tante,” sahut Acil.Acara ulang tahun Putri pun selesai. Anak-anak itu bergegas pulang.“Aku pulang dulu ya, Nis,” kata Aro sambil nyengir.“Kamu jangan pulang dulu, Ro.”“Memangnya kenapa, Nis?”“Kamu makan dulu gih. Aku udah masakin nasi
Anis masih mengingat bagaimana bapaknya pergi untuk selamanya. Waktu itu Anis memutar gagang pintu kamar. Setelah Tomo memeriksa kondisi bapaknya dengan wajah pucat. Ternyata denyut nadi bapaknya Anis sudah tidak ada.Hari ini Anis bersama sang kakak akan mengadakan pengajian 100 hari untuk mengenang bapaknya. Putri yang sudah bisa bicara selalu bertanya tentang acara tersebut.“Ibu, pengajian ini sebenarnya untuk apa?” tanya Putri dengan wajah polos.“Pengajian ini sudah menjadi tradisi di desa sini, Put. Setiap kali ada yang meninggal, kami harus memperingatinya.” Anis berusaha menjawab Putri sebisa mungkin.“Aku jadi kangen digendong sama Si Mbah, Bu.”“Kamu kangen ya?”“Iya, Bu.”“Anak ayah kenapa cemberut?” tanya Tomo yang kebetulan melalui Anis yang sedang membungkus makanan.“Putri kangen sama Si Mbah, Yah,” jawab Putri.“Kalau Putri kangen sama Si Mbah, Putri bisa mendoakan Si Mbah,” ujar Anis sambil menyeka dahi yang berkeringat.“Benar tuh. Putri harus doakan Si Mbah,” sahut
Bagas terbangun dari tidurnya. Lelaki itu hanya tersenyum pahit memandang wajah Aro. Lalu mereka berdua salat berjamaah di ruang salat. Pagi ini Aro membereskan rumah yang sebenarnya sudah rapi.Lalu Aro menyiapkan sarapan. Pagi ini pun Bagas harus pergi ke dokter. Semalam perut lelaki itu kesakitan. Aro mengambil gawainya yang berada di kamar. Ia mengirim pesan WA kepada Anis.[Anis, aku boleh curhat?]Tak berselang lama balasan dari Anis.[Iya curhat aja, Ro. Apa perlu aku ke rumahmu biar kamu bisa cerita leluasa?][Nggak perlu, Nis.][Memangnya ada apa sama kamu, Ro?][Aku bingung, Nis. Penjualan pakaianku menurun. Kamu ada saran nggak?][Wah iya. Kamu jualan pakaian. Aku nanti ke rumahmu sekalian mau beli baju.][Kebetulan, Ro aku ini kan pernah kerja di Jakarta sebagai penjaga toko pakaian. Jadi aku punya saran untuk tokomu.][Apa tuh, Nis?][Kamu coba nyebar selebaran. Terus kamu buat diskon yang sesuai dengan jenis bahan pakaian yang kamu jual, Ro.][Boleh juga tuh, Nis. Makasi