Pada akhirnya, Warti menyerah dengan keadaan. Perempuan itu menerima lamaran dari anak pedagang kaya di desanya. Lelaki itu bernama Wanto yang memiliki tubuh kurus dengan kulit hitam legam, tetapi wajahnya manis. Wanto bekerja sebagai petani sawah di desa. Pekerjaan suaminya tidak pernah membuat Warti merasa minder.
Beberapa hari setelah pernikahan, Warti memutuskan untuk belajar menjahit. Wanita itu hanya bingung harus mendapatkan uang tambahan darimana. Maka, jalan satu-satunya yaitu menerima pesanan jahitan. Wanita yang berasal dari kalangan priyayi itu memang benar-benar beruntung bisa mendapatkan banyak pesanan menjahit aneka baju dan dress cantik-cantik.
Tak lama kemudian, nama Warti sebagai penjahit cukup terkenal. Lalu, ia mendapatkan kabar dari ibunya bahwa wanita yang sudah melahirkannya ke dunia itu sedang mengalami sakit cukup parah. Kabarnya, Nyimas Sekar sedang mengalami sakit dada. Wanita tua itu membutuhkan anak-anaknya untuk sekadar berada di sampingnya.
“Bu, Warti sudah ada di sini,” ucap Warti sambil duduk di tepi ranjang. Sebuah ranjang bekas yang menjadi tempat peristirahatan Raden Mas Cokro untuk terakhir kalinya.
“Nduk, to-to-tolong ambilkan air hangat. Ibumu ini ingin minum.”
Warti justru menuangkan sesendok gula pasir ke dalam air hangat. Gula tersebut larut ke dalam air tersebut. Ibunya meminum air buatan anaknya, lalu mengembangkan senyum tipis. Warti atau kedua kakaknya yang sudah berada di rumah itu pun tidak mengetahui bahwa senyum tipis itu merupakan senyum terakhir dari Nyimas Sekar.
Tiga hari lamanya, Warti menginap di rumah ibunya untuk menemani hari-hari terakhir sang ibu. Pekerjaannya sebagai tukang rias pengantin pun berhenti.
“Warti. Sekarang kamu jadi penjahit cukup terkenal. Ibu senang kamu mendapatkan kebahagiaan yang selama ini kamu cita-citakan. Kambing-kambing yang dulu kita rawat, kemudian tumbuh besar sudah berhasil terjual. Hasil uang itu pun buat biaya pernikahanmu. Ibu masih ingat gimana masmu Sutrisno memberikan hasil penjualan kambing itu buat dirimu.”
Ada rasa pahit, tetapi bukan berasal dari obat-obatan atau jamu. Melainkan, Warti sudah merasakan akan kehilangan sosok ibunya untuk selamanya. Begitu pula dengan kakaknya bernama Sutrisno ikut merasakan kesedihan luar biasa ketika mendengar kalimat itu meluncur dari bibir sang ibu. Lelaki bertubuh jangkung itu hanya mengusap air mata yang keluar sedikit dari sudut mata elangnya.
“Bu, Sutrisno minta maaf yo kalau ada salah. Sutrisno juga minta maaf sering merepotkan ibu. Ibu jangan khawatir kalau rumah ini akan aku jadikan tempat tinggal. Aku nggak akan menjual rumah peninggalan bapak.”
Nyimas Sekar yang ingin bangkit dari tidurnya, dibantu oleh Sutrisno. Tangannya yang keriput, tetapi masih putih bersih mengusap lembut wajah anak lelakinya yang bertubuh jangkung itu.
“Namanya orang pasti ada salahnya. Jadi ibumu ini sudah memaafkanmu sejak lama. Kamu jangan khawatir.”
Sayup-sayup terdengar jelas isak tangis dari Warti. Wanita yang sedang mengandung 6 bulan itu merasa sesak mendengar petuah keramat dari sang ibu.
“Sudah, sudah, Warti Cah Ayu. Jangan menangis lagi. Ibu hanya ingin bersama kalian. Ibu ingin menghabiskan sisa umur ini bersama kalian. Ibu hanya ingin mengingat kenangan-kenangan yang bahagia bersama kalian.”
“Iya, Bu. Ibu kalau ingin cerita, cerita aja. Kami siap menjadi pendengar yang baik. He he he.”
Ternyata, kebiasaan Warti yang suka bercanda memang tidak pernah hilang hingga sekarang.
“Kamu lho, Ti. Ibu sedang sakit begini kamu malah bercanda,” celetuk Sutrisno yang merasa tidak terima jika sang adik membuat bahan candaan di tengah situasi ibunya yang sedang sekarat.
“Nggak apa-apa Warti sering bercanda. Malahan ibu bisa seneng tersenyum.” Sesekali ibunya membenarkan posisi syal yang melingkar di lehernya sendiri.
“Bu, apakah ibu ingin melepaskan syalnya?” tanya Sutrisno yang mengira ibunya ingin melepaskan syal.
“Bukan, ibu hanya ingin membenarkan syal ini saja.”
“Oh ya, ibu katanya ingin menceritakan kenangan indah bersama kami dan sama bapak.”
“Kamu memang masih pintar, War.” Nyimas Sekar tersenyum tulus, hingga mampu membuat wajah Warti menunduk dalam.
Gelak tawa dari keluarga Priyayi itu terdengar sampai sudut ruangan. Cukup ampuh sedikit melupakan rasa sakit yang diderita oleh ibunya. Kini, Nyimas Sejar mulai serius menceritakan kenangannya yang sangat berkesan menjalani hidup. Sang ibu hanya bercerita mengenai hal indah saja.
“Dulu, pertama kali ibumu ini mengenal bapak kalian sewaktu ada acara pasar malam di sekitar Menara Kudus. Aku masih ingat ingin membeli kembang di sekitaran jembatan. Ada satu pemuda tampan yang melihat-lihat bunga di toko yang sama. Ibu ingin membeli bunga angger sama vasnya, ternyata ingin dibeli juga oleh pemuda tampan tersebut. Apakah kalian tahu? Tiba-tiba saja pemuda tampan itu membayar vas serta bunganya dan diberikan pada ibumu ini. Ibu tidak pernah menyangka sama sekali kalau pemuda tampan itu merupakan seseorang yang menemani ibumu hingga akhir hayat. Ibumu juga tidak pernah mengetahui kalau bapakmu seorang dari kalangan Priyayi.” Nyimas Sekar membuka memori ingatannya dengan lelehan air mata.
Sementara ketiga anaknya mematung mendegarkan cerita lama yang tidak pernah membosankan.
“Selama ibu menjadi istri dari seorang priyayi, aku tidak pernah menuntut suamiku membelikan hal-hal yang menurut sebagain orang adalah kemewahan. Jika ibu ingin membeli baju, ibu hanya membeli dari uang hasil keringat sendiri selama menjadi perias pengantin. Ibu bahkan tidak pernah meminta diajak untuk sekadar makan-makan di restoran mahal. Bapakmu sendiri yang justru sering mengajak ibumu untuk makan-makan di restoran mahal. Ibu tidak pernah membayangkan akan hidup sebagai seorang istri priyayi dari Keraton Solo. Justru bapakmu ikhlas hidup sederhana bersama ibu di desa ini. Kalian tentu masih ingat bagaimana bapakmu menjual semua asset sawah dan tanah hanya untuk bertahan hidup. Bapak kalian tidak tidak pernah meminta uang atau harta dari keluarganya atau saudaranya yang berada di Keraton Solo.” Kedua sudut mata Nyimas Sekar mengalirkan buliran bening.
“Bu, Warti juga ingat ibu masih sering mencuci pakaian kami dan mencuci piring. Aku paham, pekerjaan ibu sebagai perias pengantin memang sangat berat.”
“Tapi ibu menjalaninya dengan bahagia.”
Uhuuk!! Batuk yang keluar dari mulut Nyimas Sekar tidak mengeluarkan riak lendir atau darah. Dengan sigap Warti memberikan air minum agar kondisi tubuh Nyimas Sekar kembali stabil.
“Bu, Warno hampir lupa ingin mengatakan hal penting kepada ibu,” ucap anak pertama itu yang bernama Warno. Sikapnya memang lebih formal jika dibandingkan dengan adiknya yang bernama Sutrisno. Warno ini memilik kumis yang cukup tebal–yang sudah menggambarkan sosok seorang anak dari keluarga priyayi.
“Iya, ada apa, Warno?” tanya Nyimas Sekar dengan nada sangat pelan.
“Iyo. Mas Warno ini tiba-tiba saja merusak suasana!” Warti cukup kesal dengan hal yang sebenarnya bukan masalah. Begitulah Warti memang sangat keras kepala.
“Bu, Warno ingin menyampaikan hal penting. Saya akan segera menikah sama gadis kota, Bu. Warno sama dia sudah mengenal lama. Tapi, selama itu Warno tidak pernah menceritakannya kepada ibu. Waktu itu Warno belum mantap ingin menikahinya. Namun, Warno sekarang yakin akan menikah dengannya. Warno mengatakan hal ini ingin mendapatkan doa dan restu dari ibu dan adik-adik tercinta.”
“Lho, Mas. Apakah calonnya Mas Warno sangat cantik?” tanya Warti.
“Tentu saja dia merupakan gadis tercantik yang pernah masmu temui sebelumnya.”
“Alhamdulillah. Ibu akan merestui apapun keputusanmu dan pilihanmu, War.” Salah satu tangan ibunya yang keriput mengusap pelan punggung tangan anaknya yang bernama Warno.
“Makasih banyak, Bu.”
Detik berganti menjadi hari-hari yang tidak terasa oleh anak-anak manusia. Namun, begitulah perjalanan takdir dan kehidupan. Semua memang sesuai dengan waktu.
***
Pernikahan antara Warno dan si gadis kota yang dimaksud tempo hari, terlaksana dengan lancar. Sayangnya, Nyimas Sekar tidak bisa ikut hadir pada acara tersebut, karena kondisi kesehatan yang semakin memburuk. Warti dan Sutrisno lah yang hadir. Namun, doa restu selalu mengiringi langkah Warno.Warno yang sudah resmi menikahi gadis kota itu lebih memilih tinggal di rumah istrinya. Anak tertua itu terpaksa meninggalkan keluarga di desa. Pekerjaan Warno sebagai seorang akuntan lah yang memaksa dirinya tinggal di kota. Sementara Warti meminta izin suaminya untuk tinggal sementara di rumah sang ibu untuk mengurus Nyimas Sekar yang sedang sekarat.“Nduk, sepertinya ibumu sudah tidak kuat.”“Apa maksudnya, Bu?” tanya Warti yang tidak mengerti.“Maksudku, usia ibu tidak akan lama lagi, Nduk. Kamu tidak perlu repot mengurus ibu seperti ini.”“Bu, lagian aku nggak keberatan harus merawat ibu sampai akhir hayat,
Beberapa bulan Warti dan sang suami menikah, wanita yang sangat menjaga penampilannya itu memilih bekerja sebagai penjahit rumahan. Ia berhasil mendapatkan banyak sekali pesanan aneka model baju yang sangat unik. Mulai kebaya modern, kutu baru hingga baju kurung. Ia sangat menekuni pekerjaannya yang semakin ramai oleh pelanggan.“Jahitkan bajuku yo, Mbak.” Ucap istri Sutrisno sambil memberikan dress kesayangannya itu pada Warti.Meskipun istri Sutrisno anak pendiri salah satu masjid di desanya, tak menyurutkan rasa gengsi untuk menggunakan jasa jahit di desa. Istri Sutrisno bisa saja membeli dress baru. Namun, mengutamakan keluarga, itulah prinsip istri Sutrisno.“Iyo.” Jawab Warti.Selama menjahit baju milik istri Sutrisno itu, terdengar jerit tangis bayi yang baru lahir. Warti menghentikan pekerjaannya. Lalu menemui sumber suara tangisan itu. Sementara istri Sutrisno lebih senang melihat-lihat hasil jahitan milik orang lain.“Maaf yo. Bayiku nangis terus. Jahitnya nggak bisa sekarang
Langit biru membentang luas. Burung berkicauan yang berasal dari tetangga Aro. Aro merupakan anak dari Sutrisno yang menikah dengan anak pendiri masjid di desanya. Pagi menjelang siang begini ia belum beranjak dari tempat tidurnya.“Dasar pemalas! Cepat mandi sana!” gertak sang ayah yaitu Sutrisno.“Ibu juga sudah masakin masakan kesukaanmu.”Aro segera beranjak dari tempat tidurnya lalu menuju dapur. Tempe mendoan. Segera ia mencuci muka untuk menyantap hidangan yang dimasak oleh ibunya.“Habis sarapan jangan lupa mandi, yo.”“Iya, Bu.”Ibunya Aro menyiapkan baju untuk dipakai Aro.“Bu, jangan model baju yang ini dong. Baju yang ada rendanya,” rengek Aro.Ibunya segera mengambil model baju yang dimaksud Aro. Penampilan. Lagi-lagi istrinya Sutrisno masih memikirkan omongan Warti yang berlalu. Mungkin Warti sendiri sudah melupakannya dan terus menjahit hingga Aro memasuki usia sekolah. Mungkin istrinya Sutrisno tidak ingin Aro berpenampilan cupu seperti dirinya.“Yang ini, to?” tanya s
Hujan masih mengguyur pelataran rumah. Musim demi musim berganti begitu cepat. Bagai anak panah yang melesat. Begitu lah waktu. Jarum jam terus berputar. Waktu demi waktu pun harus mengganti batrei jam yang using. Terdengar isak tangis yang begitu memekakkan telinga Aro. Namun, tidak dengan Anis. Ia hanya bersedih ketika warga desa menyiarkan emaknya yang telah meninggal. Kini, Wanto lah yang mengurus Anis. Meskipun Wanto seorang petani, tapi mampu memberikan makanan seadanya kepada Anis. Terlebih kedua kakaknya Anis juga turut memberi makan. Mereka tidak terlalu kekurangan harta. Hari berikutnya. Seperti biasa Aro mengendarai sepeda. “Aro, sepedamu bagus,” ujar Anis sambil memandangi sepeda baru milik Aro. “Iya dong. Ini kan sepeda baru. Ada keranjangnya juga,” “Aku iri loh,” “Kenapa iri?” tanya Aro. “Ingin punya sepeda juga yang seperti sepeda punyamu,” jawab Anis sambil terus menonton aksi Aro yang bersepeda. “Kamu boleh kok meminjam sepeda ini,” “Nggak ah. Aku mana bisa n
Kudus, tahun 2007Terkadang, kakaknya Anis bertandang ke rumah Aro untuk sekadar bercerita keadaan rumahnya. Ibunya Aro lah yang menjadi tempat bercerita. Karena memang, kakaknya Anis juga sudah memiliki anak. Waktu memang begitu cepat memakan waktu yang lain.Hari ini merupakan hari pertama Aro memasuki sekolah baru. SMP. Aro mengenakan tas selempang berwarna coklat. Rambut ia potong pendek menyerupai lelaki. Ia tak lupa mengikat tali sepatunya yang mulai robek.“Bu, belikan sepatu baru, ya.”“Iya, nanti. Sementara kamu pakai sepatu ini dulu, ya.”“Beneran ya, Bu,” rengek Aro.“Iya, bener.”“Ya sudah sana berangkat sekolah.”Aro pun berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda. Tentu saja ia berangkat bersama teman-temannya. Ketika memasuki halaman sekolah, Aro sedikit dikejutkan dengan sesosok gadis belia sedang duduk-duduk di teras kelas.“Itu Anis!”Yup! Sepupunya Anis memang lebih dulu bersekolah di sekolahan itu. Aro merupakan adik kelasnya Anis. Ia berlari kecil menghampiri A
Hari berikutnya. Ternyata Aro terlambat masuk kelas. Ia terkena hukuman. Benar kalau tiap kali Unyik atau teman lainnya memberitahu kedatangan guru, Aro merasa bergetar. Itu karena rasa takut.Aro terpaksa membersihkan ruang kelas sendirian. Anis yang kebetulan melewati ruang kelasnya Aro, menahan tawa. Aro yang menyadarinya, menggeletakkan sapu begitu saja. Ia merasa kesal ketika sepupunya mengejek.“Halah dasarrr! Huh!” umpat Aro.“Aro, kamu kenapa sih begitu?” tanya Unyik yang sedari tadi memperhatikan Aro.“Nggak apa-apa, Nyik. Itu loh sepupuku sepertinya mengejek deh aku kena hukuman kayak gini,” jawab Aro sambil mendengkus kesal.“Hari ini dapat salam lagi dari Irsyadi,”“Oh ya?” Aro memutar-mutar kedua bola matanya.“Iya lah. Masa aku bohong sama kamu.”“Ya udah deh, salam balik ya, Nyik.”“Nah gitu dong,”“Yeee kamu,”“By the way, kamu mau nggak aku traktir?”“Hah? Traktir? Tumben sekali, Nyik.” Aro yang tidak mengerti mengedip-ngedipkan matanya.“Bentar lagi aku ultah, jadi k
Hampir setiap hari Aro memberikan uang saku kepada Anis. Hari memakan hari lainnya. Jarum jam terus berputar. Kelulusan. Kali ini pengumuman kelulusan bukan untuk Aro, tapi Anis.Yup! Anis lulus SMP.“Nis, kamu udah lulus sekolah. Gimana kalau kamu bekerja saja? Kebutuhanmu makin lama kan makin banyak. Bapak nggak sanggup kalau harus memenuhi kebutuhanmu yang semakin menggunung itu,” ujar bapaknya Anis.Sang bapak meminta Anis bekerja. Berat. Itu yang dirasakan oleh Anis. Namun, mau tidak mau Anis menyetujuinya.“Baik, Pak. Anis akan kerja. Tapi, kerja ke mana, Pak?”“Bapak dapat informasi, ada lowongan di toko di Jakarta.”“Toko?”“Iya. Sebenarnya toko milik cina. Bosnya baik.”“Sebelum berangkat kerja di sana kan harus bawa uang saku.” Lulu yang merupakan tetangga samping rumah memotong pembicaraan mereka. Lalu nyelenong masuk tanpa permisi.“Lulu ada benarnya. Nggak mungkin ke sana nggak bawa uang saku,” batin Anis.Sekelebatan memorinya mencuat di mana Aro sering memberikan uang s
Gedung-gedung tinggi bertingkat-tingkat itu membuat Anis takjub. Siapapun yang melihatnya takkan berkedip. Area taman yang luas dengan pepohonan terlihat begitu meneduhkan. Begitu lah keindahan kota bernama Jakarta.Anis bekerja di Jakarta dan mengenal gemerlap kota Jakarta. Ia tidak bekerja di dalam gedung megah itu. Tetapi, di sudut komplek yang dekat dengan fasilitas perkotaan.“Nis, temenin aku makan, yuk,” ajak salah satu teman indekos yang sekaligus karyawan di toko tempat Anis bekerja. Temannya itu berada di indekos samping indekosnya.“Bentar ya. Aku ganti baju dulu,”“Iya. Jangan lama-lama ganti bajunya.Anis Rahma. Selama bekerja di tempat tersebut, sudah hampir dua pekan, ia mengubah penampilannya menjadi lebih baik. Ia mengenakan blazer orange lalu menyemprotkan parfum. Semua serba baru. Termasuk blazer dan parfum yang baru dibelinya ketika tiba di Jakarta.“Ngomong-ngomong tempat makan di sini kayaknya mahal deh,” ujar Anis.“Nggak kok dijamin ramah di kantong. Nih, kamu
Hari demi hari berlalu begitu saja. Anis sudah bisa melayani pembeli di toko pakaian Aro.“Anis, aku seneng banget bulan ini kita mendapat banyak sekali pesanan baju. Jadi, aku bisa menggajimu dengan bonus.”“Wah, makasih banyak ya, Ro.” Anis tersenyum manis yang membuat Aro membatin, ‘ternyata kalau dilihat-lihat Anis cantik juga.’“Aro?” Anis mengguncang-guncang tubuh Aro.“Eh eh, iya, Nis. Maaf ya aku malah jadi melamun. He he he.”“Iya nggak apa-apa, Ro. Takutnya kalau kamu melamun gini nanti kesambet, lho.”“Yeee malah bercanda.”Anis dan Aro tenggelam dalam gelak tawa. Tiba-tiba saja dari lubang hidung Anis keluar cairan merah. Anis mimisan.“Kamu kenapa, Nis?” tanya Aro dengan nada khawatir.“Nggak tahu nih, Ro tiba-tiba aja mimisan. Sebelumnya nggak pernah gini. Mana aku sedang hamil.”“Kamu harus periksa ke dokter, Nis.”“Gimana sama kerjaanku, Ro?”“Udah. Kamu nggak usah mikirin tentang kerjaan. Oh ya, Tomo bawa ponsel, nggak?”“Tomo nggak bawa ponsel kalau kerja, Ro. Memang
Matahari mulai menyembul dari ufuk timur. Setelah sarapan nasi dengan sambal goreng tempe, Anis segera mengantar Putri ke sekolah. Tomo seperti biasa pergi bekerja membangun rumah di desa sebelah. Pukul 07.05 WIB Anis selesai mengantar Putri ke sekolah, lalu menghentikan mesin motor di depan rumah Aro.“Kamu ke sini kok pagi banget sih, Nis?” tanya Aro yang baru selesai membuka toko pakaian.“Iya nih, Ro. Aku tadi habis mengantar Putri ke sekolah.”“Wah iya. Katanya kamu mau jadi karyawan di tokoku ya, Nis?” tanya Aro yang duduk-duduk di dalam toko. Anis kemudian duduk-duduk sambil menjawab dengan suara parau, “Iya nih, Ro. Aku bingung nyari uang tambahan untuk biaya lahiran nanti.”“Selamat juga ya atas kehamilanmu. Memangnya kamu nggak apa-apa bekerja dalam keadaan hamil begini?”“Nggak apa-apa kok, Ro. Uang dari pekerjaannya Tomo yang sebagai kuli bangunan nggak cukup buat biaya lahiran nanti.”“Jadi begitu. Mulai hari ini kamu sudah bisa bekerja kok, Nis. Ohya, suamimu tahu apa ng
Anis teringat akan sesuatu. Ia terlambat datang bulan. Lalu ia menghitung tanggal terkahir datang bulan.“Jangan-jangan aku hamil.”Untuk memastikan kebenaran, ia membeli tespek di apotik terdekat. Setelah dilakukan tes sederhana, Anis terkejut melihat hasilnya. Ia positif hamil. Anis tersenyum bahagia.Ia membagikan kebahagiaannya melalui akun FB.“Tomo,” ucap Anis sambil melingkarkan lengannya ke punggung Tomo.“Iya, kenapa, Nis?”“Hari ini aku sangat bahagia.”“Bahagia kenapa?” Tomo melepaskan pelukannya dengan pelan.“Kamu tahu nggak kalau aku sedang hamil.”“Apa? Kamu hamil? Kita bakal punya anak lagi dong.”“Iya. Putri bakal punya adik.”“Jadi, kamu muntah-muntah waktu kemarin ternyata hamil toh.”“Iya. Kamu bahagia kan?”“Iya. Aku bahagia banget.”“Tapi, dari mana nyari uang tambahan buat biaya lahiran nanti? Juga uang tambahan buat anak kedua kita? Aku bingung.”“Kamu tenang ya, Nis. Aku akan nyari pekerjaan tambahan.”“Memangnya mau kerja apa?”“Entahlah. Kita lihat saja nant
Anis terpaksa menghentikan aktivitasnya yang sedang menyapu. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan berteriak memanggil nama Tomo, “Tomo, kamu udah selesai apa belum mandinya?”“Iya bentar lagi kok,” sahut Tomo dari balik pintu kamar mandi.Selesai mandi, Tomo bertanya kepada Anis, “mengapa kamu teriak kaya gitu? Ada apa? Apa kamu udah kebelet pipis?”“Enggak kok, Tom. Aku cuman mau bilang aja tadi kamu dicariin sama Diki,” jawab Anis.“Ada apa memangnya? Nunggu aku selesai mandi kan bisa. Kenapa harus teriak gitu?”“Ya maaf. Nanti malam Diki ada acara bancaan. Kamu diundang ke acara bancaan.” Anis nyengir bagai kuda yang tidak berdosa. Ia memasang wajah kuyu di depan Tomo. Lelaki ganteng itu manyun.“Ya sudah kalau gitu. Iya aku pasti datang kok.”Anis tersenyum menyeringai. Tomo membalas dengan senyuman pahit. Kemudian Anis ke kamar mengambil ponsel pintarnya. Lalu mengirim pesan WA kepada Aro.[Aro, gimana kandunganmu sehat?][Sehat kok, Nis. Alhamdulillah.][Alhamdulilla
Anis mencuci piring lalu mengelapnya agar cepat kering. Hari semakin siang. Anis melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ia segera mengenakan jilbab biru tua yang tersampir di kursi kamar. Hampir saja lupa, Anis mengambil ponsel pintarnya.Tomo belum pulang kerja. Ia harus menjemput Putri yang pulang sekolah. Namun, ia mematikan mesin motornya di depan rumah Aro.“Anis, ada apa?” tanya Aro sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.“Enggak ada apa-apa kok, Ro. Aku lagi nunggu Putri pulang sekolah kok. Kamu nggak keberatan kan aku nunggu Putri di rumahmu?” jawab Anis.“Tenang aja, Nis. Nggak masalah kok.”“Oh ya, Ro ngomong-ngomong kamu sedang hamil ya?”“Iya nih Nis. Alhamdulillah banget diberikan rezeki oleh Allah berupa janin yang akan menjadi anak.”“Udah berapa bulan kamu hamil, Ro?”“Udah tiga bulan ini, Nis.”“Wah.”“Udah jam 12 siang ya, Ro. Cepat banget.”“Iya Nis.”“Ya udah ya Ro aku mau jemput Putri.”“Iya, Nis. Hati-hati.”Anis pun menjemput Putri di sekolah. L
Demi mengurangi rasa bosan yang menggelayut di hati. Anis mengambil ponsel pintarnya yang berada di kamar. Ternyata ada pesan dari Widya. Sudah lama sekali Widya tidak mengirim pesan.[Hai Anis. Kamu apa kabar?][Kabarku baik, Wid. Kamu sendiri gimana kabarnya?][Kabarku juga baik, Nis. Ohya, sekarang kamu kerja di mana, Nis?][Aku jadi reseller sih, Wid di rumah. Kamu kalau ingin beli koleksi pakaianku boleh aja.][Wah, berarti kamu punya penghasilan sendiri dong.][Ngomong-ngomong sekarang kamu kerja di mana, Wid?][Aku di rumah aja kok, Nis. Bantu-bantu bisnis suami.][Suami? Kamu udah nikah ya, Wid?][Iya, Nis. Udah hampir dua tahun kok.][Selama itu kamu nggak ngabarin aku ya, Wid.][He he. Maaf ya, Nis. Tapi sekarang kamu udah punya anak kan, Nis?][Anakku udah besar lho, Wid.][Wah iyakah?][Iya, Wid. Udah sekolah SD.][Wah nggak kerasa ya waktu begitu cepat berlalu.][Begitulah. Ngomong-ngomong kamu nikah sama orang mana, Wid?][Nikah sama pacarku saat masih kerja di Jakarta k
Anis yang merayakan ulang tahun anaknya mengundang Aro di acara tersebut. Sama seperti teman-temannya Putri, Aro pun memberikan kado ulang tahun kepada Putri. Anis tersenyum sangat manis. Tomo yang berdiri di samping Anis, melirik Aro.Aro menyadari tingkah Tomo segera berdehem. Tomo menjadi salah tingkah. Perayaan ulang tahun diiringi tepuk tangan dari teman-temannya Putri. Putri segera merapalkan doa lalu meniup lilin.Suara riuh dari anak-anak yang bertepuk tangan, membuat Aro melihat Tomo. Tomo nyengir kuda sambil mengusap bagian belakang kepala. Entah mengapa Aro dan Tomo saling berpandangan. Anis yang menyadari sikap aneh Aro dan Tomo, hanya bisa diam.“Makasih ya teman-teman sudah datang di acara ulang tahunnya Putri,” ucap Anis.“Sama-sama, Tante,” sahut Acil.Acara ulang tahun Putri pun selesai. Anak-anak itu bergegas pulang.“Aku pulang dulu ya, Nis,” kata Aro sambil nyengir.“Kamu jangan pulang dulu, Ro.”“Memangnya kenapa, Nis?”“Kamu makan dulu gih. Aku udah masakin nasi
Anis masih mengingat bagaimana bapaknya pergi untuk selamanya. Waktu itu Anis memutar gagang pintu kamar. Setelah Tomo memeriksa kondisi bapaknya dengan wajah pucat. Ternyata denyut nadi bapaknya Anis sudah tidak ada.Hari ini Anis bersama sang kakak akan mengadakan pengajian 100 hari untuk mengenang bapaknya. Putri yang sudah bisa bicara selalu bertanya tentang acara tersebut.“Ibu, pengajian ini sebenarnya untuk apa?” tanya Putri dengan wajah polos.“Pengajian ini sudah menjadi tradisi di desa sini, Put. Setiap kali ada yang meninggal, kami harus memperingatinya.” Anis berusaha menjawab Putri sebisa mungkin.“Aku jadi kangen digendong sama Si Mbah, Bu.”“Kamu kangen ya?”“Iya, Bu.”“Anak ayah kenapa cemberut?” tanya Tomo yang kebetulan melalui Anis yang sedang membungkus makanan.“Putri kangen sama Si Mbah, Yah,” jawab Putri.“Kalau Putri kangen sama Si Mbah, Putri bisa mendoakan Si Mbah,” ujar Anis sambil menyeka dahi yang berkeringat.“Benar tuh. Putri harus doakan Si Mbah,” sahut
Bagas terbangun dari tidurnya. Lelaki itu hanya tersenyum pahit memandang wajah Aro. Lalu mereka berdua salat berjamaah di ruang salat. Pagi ini Aro membereskan rumah yang sebenarnya sudah rapi.Lalu Aro menyiapkan sarapan. Pagi ini pun Bagas harus pergi ke dokter. Semalam perut lelaki itu kesakitan. Aro mengambil gawainya yang berada di kamar. Ia mengirim pesan WA kepada Anis.[Anis, aku boleh curhat?]Tak berselang lama balasan dari Anis.[Iya curhat aja, Ro. Apa perlu aku ke rumahmu biar kamu bisa cerita leluasa?][Nggak perlu, Nis.][Memangnya ada apa sama kamu, Ro?][Aku bingung, Nis. Penjualan pakaianku menurun. Kamu ada saran nggak?][Wah iya. Kamu jualan pakaian. Aku nanti ke rumahmu sekalian mau beli baju.][Kebetulan, Ro aku ini kan pernah kerja di Jakarta sebagai penjaga toko pakaian. Jadi aku punya saran untuk tokomu.][Apa tuh, Nis?][Kamu coba nyebar selebaran. Terus kamu buat diskon yang sesuai dengan jenis bahan pakaian yang kamu jual, Ro.][Boleh juga tuh, Nis. Makasi