Beberapa bulan Warti dan sang suami menikah, wanita yang sangat menjaga penampilannya itu memilih bekerja sebagai penjahit rumahan. Ia berhasil mendapatkan banyak sekali pesanan aneka model baju yang sangat unik. Mulai kebaya modern, kutu baru hingga baju kurung. Ia sangat menekuni pekerjaannya yang semakin ramai oleh pelanggan.
“Jahitkan bajuku yo, Mbak.” Ucap istri Sutrisno sambil memberikan dress kesayangannya itu pada Warti.
Meskipun istri Sutrisno anak pendiri salah satu masjid di desanya, tak menyurutkan rasa gengsi untuk menggunakan jasa jahit di desa. Istri Sutrisno bisa saja membeli dress baru. Namun, mengutamakan keluarga, itulah prinsip istri Sutrisno.
“Iyo.” Jawab Warti.
Selama menjahit baju milik istri Sutrisno itu, terdengar jerit tangis bayi yang baru lahir. Warti menghentikan pekerjaannya. Lalu menemui sumber suara tangisan itu. Sementara istri Sutrisno lebih senang melihat-lihat hasil jahitan milik orang lain.
“Maaf yo. Bayiku nangis terus. Jahitnya nggak bisa sekarang. Besok ke sini aja, gimana?” tawar Warti sambil menggendong bayinya yang masih merengek.
“Nggak apa-apa, Mbak. Aku kesemsem sama hasil jahitanmu kok buagus-buagus.”
“Oh itu. Sebenarnya itu hasil jahitan untuk pameran.”
“Kirain punya orang yang jahitkan baju di sini, Mbak.” Istri Sutrisno nyengir kuda yang disambut senyuman Warti.
“Nggak. Kalau kamu ingin salah satu baju hasil jahitan ini, ambil saja.”
Istri Sutrisno baru mengetahui kalau Warti telah menjadi penjahit rumahan yang berhasil memiliki karya sendiri.
“Bener yo, Mbak.”
“Bener.” Sahut Warti yang masih menenangkan bayinya.
Istri Sutrisno memandang lekat Warti dari ujung rambut hingga kaki. Penampilannya begitu apik. Tak disangka, Warti menjaga gaya penampilan yang terlihat professional. Gelungan rambut ala pengantin baru dengan balutan jarik batik juga kebaya modern, membuat istri Sutrisno tercenung.
“Ada apa?” tanya Warti yang membuyarkan lamunan istri Sutrisno.
“Anu, nggak apa-apa, Mbak. Aku tadi sempat heran saja.” Jawab Istri Sutrisno terlihat gugup.
“Heran kenapa?” tanya Warti sambil mengerutkan kening.
“Heran kok penampilan Mbak Warti khas sekali.”
“Maksudmu?” Warti semakin bingung.
“Mbak Warti sangat menjaga penampilan.”
“Owalah. Iya. Kirain kenapa,”
“Nggak apa-apa, Mbak.”
“Biar kata penjahit rumahan, kita harus tampil cantik agar pelanggan semakin percaya. Apalagi sekarang ini aku dipercaya memamerkan baju di balai desa.”
“Bener, Mbak.”
“Makanya, kalau bisa kamu juga harus jaga penampilan biar terlihat cantik.”
Entah. Kata-kata yang keluar dari mulut Warti dianggap penyemangat atau justru penghinaan bagi istri Sutrisno. Wanita yang bertubuh sedikit gemuk itu menyunggingkan senyum. Hatinya terasa sedikit remuk. Ia lalu berpamitan pada Warti begitu saja.
***
Aneka model pakaian tergeletak di lantai. Benang kusut sedikit menyulitkan Warti menjahit baju milik istri Sutrisno. Ia tak menyerah. Ia terus memilah benang itu.
“Mas, buatkan susu untuk Anis!” seru Warti sambil menjahit baju-baju itu.
“Iyo!”
“Botol susu ada di tumpukan mangkuk.”
“Iyo, iyo.” Sahut Wanto.
“Jangan kasih gula!”
“Iyo!”
Susu botol selesai dibuat oleh Wanto. Diberikannya susu botol untuk Anis. Bayi yang baru dilahirkan itu bernama Anis Rahma. Senyuman merekah terukir di bibir Warti menambah semangat menjahit. Hampir selesai.
Jahitan baju yang selesai, digantung bersama baju-baju jahitan lainnya.
“Mbak, bajuku sudah selesai dijahit?” tanya istri Sutrisno yang menyembul dari balik daun pintu.
“Ngagetin saja. Ia sudah jadi bajunya.” Jawab Warti sambil mengambil hasil jahitan tempo lalu.
“Mbak, boleh bicara sebentar?” tanya istri Sutrisno yang tak enak hati.
“Boleh,” jawab Warti singkat.
“Soal omongan kemarin, sebenarnya ….”
“Iya?”
“Sebenarnya nggak enak hati,”
“Ngomong saja,”
“Em, soal penampilan,”
“Kenapa?” tanya Warti tak mengerti.
“Agak tersinggung dengan omongan Mbak Warti soal penampilan.”
“Wah, maafin yo. Aku nggak ngerti kalau omongan itu bisa menyinggung kamu.”
“Awalnya memang tersinggung, tak pikir ngapain mikirin omongan orang,”
“Yo wis, kamu tak kasih baju yang kemarin lusa dipamerin,” Warti menyodorkan pakaian hasil pameran untuk istri Sutrisno.
“Oh yo, Mbak. Nama anakmu yang bungsu itu siapa?” tanya istri Sutrisno penasaran ketika melihat bayi meminum susu yang dalam gendongan Wanto.
Yup! Anak perempuan cantik bernama Anis Rahma membuat Warti dan suami semakin semangat. Walau aral rintangan tak menyurutkan semangat mereka dalam mengurus bayi-bayi itu. Namun, anak perempuan yang pertama sudah menikah. Anis Rahma merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara.
Anak perempuan pertama memilih bersama suaminya ketimbang orang tua. Alasannya, ingin mandiri. Meskipun klise, tetapi alasan tersebut berhasil memperkuat kepercayaan Warti. Anak perempuan pertama pun sangat jarang menjenguk rumah orang tuanya.
***
yuhuuuu update lagi nih guys. yuk, gercepin aja.
Langit biru membentang luas. Burung berkicauan yang berasal dari tetangga Aro. Aro merupakan anak dari Sutrisno yang menikah dengan anak pendiri masjid di desanya. Pagi menjelang siang begini ia belum beranjak dari tempat tidurnya.“Dasar pemalas! Cepat mandi sana!” gertak sang ayah yaitu Sutrisno.“Ibu juga sudah masakin masakan kesukaanmu.”Aro segera beranjak dari tempat tidurnya lalu menuju dapur. Tempe mendoan. Segera ia mencuci muka untuk menyantap hidangan yang dimasak oleh ibunya.“Habis sarapan jangan lupa mandi, yo.”“Iya, Bu.”Ibunya Aro menyiapkan baju untuk dipakai Aro.“Bu, jangan model baju yang ini dong. Baju yang ada rendanya,” rengek Aro.Ibunya segera mengambil model baju yang dimaksud Aro. Penampilan. Lagi-lagi istrinya Sutrisno masih memikirkan omongan Warti yang berlalu. Mungkin Warti sendiri sudah melupakannya dan terus menjahit hingga Aro memasuki usia sekolah. Mungkin istrinya Sutrisno tidak ingin Aro berpenampilan cupu seperti dirinya.“Yang ini, to?” tanya s
Hujan masih mengguyur pelataran rumah. Musim demi musim berganti begitu cepat. Bagai anak panah yang melesat. Begitu lah waktu. Jarum jam terus berputar. Waktu demi waktu pun harus mengganti batrei jam yang using. Terdengar isak tangis yang begitu memekakkan telinga Aro. Namun, tidak dengan Anis. Ia hanya bersedih ketika warga desa menyiarkan emaknya yang telah meninggal. Kini, Wanto lah yang mengurus Anis. Meskipun Wanto seorang petani, tapi mampu memberikan makanan seadanya kepada Anis. Terlebih kedua kakaknya Anis juga turut memberi makan. Mereka tidak terlalu kekurangan harta. Hari berikutnya. Seperti biasa Aro mengendarai sepeda. “Aro, sepedamu bagus,” ujar Anis sambil memandangi sepeda baru milik Aro. “Iya dong. Ini kan sepeda baru. Ada keranjangnya juga,” “Aku iri loh,” “Kenapa iri?” tanya Aro. “Ingin punya sepeda juga yang seperti sepeda punyamu,” jawab Anis sambil terus menonton aksi Aro yang bersepeda. “Kamu boleh kok meminjam sepeda ini,” “Nggak ah. Aku mana bisa n
Kudus, tahun 2007Terkadang, kakaknya Anis bertandang ke rumah Aro untuk sekadar bercerita keadaan rumahnya. Ibunya Aro lah yang menjadi tempat bercerita. Karena memang, kakaknya Anis juga sudah memiliki anak. Waktu memang begitu cepat memakan waktu yang lain.Hari ini merupakan hari pertama Aro memasuki sekolah baru. SMP. Aro mengenakan tas selempang berwarna coklat. Rambut ia potong pendek menyerupai lelaki. Ia tak lupa mengikat tali sepatunya yang mulai robek.“Bu, belikan sepatu baru, ya.”“Iya, nanti. Sementara kamu pakai sepatu ini dulu, ya.”“Beneran ya, Bu,” rengek Aro.“Iya, bener.”“Ya sudah sana berangkat sekolah.”Aro pun berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda. Tentu saja ia berangkat bersama teman-temannya. Ketika memasuki halaman sekolah, Aro sedikit dikejutkan dengan sesosok gadis belia sedang duduk-duduk di teras kelas.“Itu Anis!”Yup! Sepupunya Anis memang lebih dulu bersekolah di sekolahan itu. Aro merupakan adik kelasnya Anis. Ia berlari kecil menghampiri A
Hari berikutnya. Ternyata Aro terlambat masuk kelas. Ia terkena hukuman. Benar kalau tiap kali Unyik atau teman lainnya memberitahu kedatangan guru, Aro merasa bergetar. Itu karena rasa takut.Aro terpaksa membersihkan ruang kelas sendirian. Anis yang kebetulan melewati ruang kelasnya Aro, menahan tawa. Aro yang menyadarinya, menggeletakkan sapu begitu saja. Ia merasa kesal ketika sepupunya mengejek.“Halah dasarrr! Huh!” umpat Aro.“Aro, kamu kenapa sih begitu?” tanya Unyik yang sedari tadi memperhatikan Aro.“Nggak apa-apa, Nyik. Itu loh sepupuku sepertinya mengejek deh aku kena hukuman kayak gini,” jawab Aro sambil mendengkus kesal.“Hari ini dapat salam lagi dari Irsyadi,”“Oh ya?” Aro memutar-mutar kedua bola matanya.“Iya lah. Masa aku bohong sama kamu.”“Ya udah deh, salam balik ya, Nyik.”“Nah gitu dong,”“Yeee kamu,”“By the way, kamu mau nggak aku traktir?”“Hah? Traktir? Tumben sekali, Nyik.” Aro yang tidak mengerti mengedip-ngedipkan matanya.“Bentar lagi aku ultah, jadi k
Hampir setiap hari Aro memberikan uang saku kepada Anis. Hari memakan hari lainnya. Jarum jam terus berputar. Kelulusan. Kali ini pengumuman kelulusan bukan untuk Aro, tapi Anis.Yup! Anis lulus SMP.“Nis, kamu udah lulus sekolah. Gimana kalau kamu bekerja saja? Kebutuhanmu makin lama kan makin banyak. Bapak nggak sanggup kalau harus memenuhi kebutuhanmu yang semakin menggunung itu,” ujar bapaknya Anis.Sang bapak meminta Anis bekerja. Berat. Itu yang dirasakan oleh Anis. Namun, mau tidak mau Anis menyetujuinya.“Baik, Pak. Anis akan kerja. Tapi, kerja ke mana, Pak?”“Bapak dapat informasi, ada lowongan di toko di Jakarta.”“Toko?”“Iya. Sebenarnya toko milik cina. Bosnya baik.”“Sebelum berangkat kerja di sana kan harus bawa uang saku.” Lulu yang merupakan tetangga samping rumah memotong pembicaraan mereka. Lalu nyelenong masuk tanpa permisi.“Lulu ada benarnya. Nggak mungkin ke sana nggak bawa uang saku,” batin Anis.Sekelebatan memorinya mencuat di mana Aro sering memberikan uang s
Gedung-gedung tinggi bertingkat-tingkat itu membuat Anis takjub. Siapapun yang melihatnya takkan berkedip. Area taman yang luas dengan pepohonan terlihat begitu meneduhkan. Begitu lah keindahan kota bernama Jakarta.Anis bekerja di Jakarta dan mengenal gemerlap kota Jakarta. Ia tidak bekerja di dalam gedung megah itu. Tetapi, di sudut komplek yang dekat dengan fasilitas perkotaan.“Nis, temenin aku makan, yuk,” ajak salah satu teman indekos yang sekaligus karyawan di toko tempat Anis bekerja. Temannya itu berada di indekos samping indekosnya.“Bentar ya. Aku ganti baju dulu,”“Iya. Jangan lama-lama ganti bajunya.Anis Rahma. Selama bekerja di tempat tersebut, sudah hampir dua pekan, ia mengubah penampilannya menjadi lebih baik. Ia mengenakan blazer orange lalu menyemprotkan parfum. Semua serba baru. Termasuk blazer dan parfum yang baru dibelinya ketika tiba di Jakarta.“Ngomong-ngomong tempat makan di sini kayaknya mahal deh,” ujar Anis.“Nggak kok dijamin ramah di kantong. Nih, kamu
Gedung-gedung bertingkat itu memancarkan cahaya yang begitu indah. Lampu yang berasal dari gedung megah itu menyala terang. Kapan lagi Anis bisa menikmati malamnya kota Jakarta. Kota yang sering disebut kota metropolitan itu seolah-olah menyihir Anis. Gedung tinggi itu bisa terlihat dari indekosnya Anis.Suara ketukan pintu mengagetkan lamunan Anis. Ternyata Widya.“Malam ini temani aku tidur yuk,”“Memangnya kenapa? Nggak biasanya kamu tidur minta ditemani, Wid.”“Takut. Kamu benar yang soal keanehan itu. Aku merasa aneh aja.”“Ya udah,” Anis berseloroh. Ia mengalah untuk menemani Widya tidur di kamar indekosnya.Tiba-tiba saja sosok hitam tinggi besar dengan wajah bertaring merah sudah lama berdiri di depan Anis.“Huah!”“Kamu kenapa, Nis?” tanya Widya.“Ternyata cuman mimpi,” gumam Anis.“Nis?”“Tadi aku mimpi hal yang sangat menakutkan, loh.”“Mimpi apa?”“Tadi aku mimpi bertemu sosok hitam tinggi besar dengan wajah bertaring merah, Wid.”“Itu kan sesosok ….” Widya tidak melanjutk
“Widya?”“Iya?”“Kamu pernah ngerasa nggak betah kerja nggak sih?” tanya Anis.“Kamu jangan ngaco deh, Nis. Kita kerja di toko ini sudah 7 tahun, lho.”Sebenarnya Anis sudah tidak betah bekerja di toko tersebut.“Aku ingin pulang kampung aja, Wid.”“Heh, kalau kamu pulang kampung nggak dapat uang lagi. Memangnya kamu mau kerja di mana lagi?”“Entahlah, Wid. Aku nggak betah karena selalu ada aja hal aneh.”“Hal aneh apalagi?” tanya Widya yang menganggap hal aneh tempo hari itu berlalu begitu saja.“Banyak tikus yang berkeliaran, Wid.”Anis tidak mungkin menceritakan beberapa benda di kamarnya melayang.“Halah tikus kok bisa diatasi tuh.”“Katanya kamu bakalan membersihkan kamarmu itu?”“Sudah aku bersihkan.”“Tapi kok masih ada aja tikus,”Yup! Anis menyuruh Widya untuk membersihkan kamarnya itu. Namun, rupanya Widya jarang membersihkannya.“Aku belum beli obat tikus. Nanti aku belikan obat tikus atau bikin jebakan tikus. Tapi ku mohon kamu jangan keluar dari pekerjaan ini. Aku nggak a
Hari demi hari berlalu begitu saja. Anis sudah bisa melayani pembeli di toko pakaian Aro.“Anis, aku seneng banget bulan ini kita mendapat banyak sekali pesanan baju. Jadi, aku bisa menggajimu dengan bonus.”“Wah, makasih banyak ya, Ro.” Anis tersenyum manis yang membuat Aro membatin, ‘ternyata kalau dilihat-lihat Anis cantik juga.’“Aro?” Anis mengguncang-guncang tubuh Aro.“Eh eh, iya, Nis. Maaf ya aku malah jadi melamun. He he he.”“Iya nggak apa-apa, Ro. Takutnya kalau kamu melamun gini nanti kesambet, lho.”“Yeee malah bercanda.”Anis dan Aro tenggelam dalam gelak tawa. Tiba-tiba saja dari lubang hidung Anis keluar cairan merah. Anis mimisan.“Kamu kenapa, Nis?” tanya Aro dengan nada khawatir.“Nggak tahu nih, Ro tiba-tiba aja mimisan. Sebelumnya nggak pernah gini. Mana aku sedang hamil.”“Kamu harus periksa ke dokter, Nis.”“Gimana sama kerjaanku, Ro?”“Udah. Kamu nggak usah mikirin tentang kerjaan. Oh ya, Tomo bawa ponsel, nggak?”“Tomo nggak bawa ponsel kalau kerja, Ro. Memang
Matahari mulai menyembul dari ufuk timur. Setelah sarapan nasi dengan sambal goreng tempe, Anis segera mengantar Putri ke sekolah. Tomo seperti biasa pergi bekerja membangun rumah di desa sebelah. Pukul 07.05 WIB Anis selesai mengantar Putri ke sekolah, lalu menghentikan mesin motor di depan rumah Aro.“Kamu ke sini kok pagi banget sih, Nis?” tanya Aro yang baru selesai membuka toko pakaian.“Iya nih, Ro. Aku tadi habis mengantar Putri ke sekolah.”“Wah iya. Katanya kamu mau jadi karyawan di tokoku ya, Nis?” tanya Aro yang duduk-duduk di dalam toko. Anis kemudian duduk-duduk sambil menjawab dengan suara parau, “Iya nih, Ro. Aku bingung nyari uang tambahan untuk biaya lahiran nanti.”“Selamat juga ya atas kehamilanmu. Memangnya kamu nggak apa-apa bekerja dalam keadaan hamil begini?”“Nggak apa-apa kok, Ro. Uang dari pekerjaannya Tomo yang sebagai kuli bangunan nggak cukup buat biaya lahiran nanti.”“Jadi begitu. Mulai hari ini kamu sudah bisa bekerja kok, Nis. Ohya, suamimu tahu apa ng
Anis teringat akan sesuatu. Ia terlambat datang bulan. Lalu ia menghitung tanggal terkahir datang bulan.“Jangan-jangan aku hamil.”Untuk memastikan kebenaran, ia membeli tespek di apotik terdekat. Setelah dilakukan tes sederhana, Anis terkejut melihat hasilnya. Ia positif hamil. Anis tersenyum bahagia.Ia membagikan kebahagiaannya melalui akun FB.“Tomo,” ucap Anis sambil melingkarkan lengannya ke punggung Tomo.“Iya, kenapa, Nis?”“Hari ini aku sangat bahagia.”“Bahagia kenapa?” Tomo melepaskan pelukannya dengan pelan.“Kamu tahu nggak kalau aku sedang hamil.”“Apa? Kamu hamil? Kita bakal punya anak lagi dong.”“Iya. Putri bakal punya adik.”“Jadi, kamu muntah-muntah waktu kemarin ternyata hamil toh.”“Iya. Kamu bahagia kan?”“Iya. Aku bahagia banget.”“Tapi, dari mana nyari uang tambahan buat biaya lahiran nanti? Juga uang tambahan buat anak kedua kita? Aku bingung.”“Kamu tenang ya, Nis. Aku akan nyari pekerjaan tambahan.”“Memangnya mau kerja apa?”“Entahlah. Kita lihat saja nant
Anis terpaksa menghentikan aktivitasnya yang sedang menyapu. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan berteriak memanggil nama Tomo, “Tomo, kamu udah selesai apa belum mandinya?”“Iya bentar lagi kok,” sahut Tomo dari balik pintu kamar mandi.Selesai mandi, Tomo bertanya kepada Anis, “mengapa kamu teriak kaya gitu? Ada apa? Apa kamu udah kebelet pipis?”“Enggak kok, Tom. Aku cuman mau bilang aja tadi kamu dicariin sama Diki,” jawab Anis.“Ada apa memangnya? Nunggu aku selesai mandi kan bisa. Kenapa harus teriak gitu?”“Ya maaf. Nanti malam Diki ada acara bancaan. Kamu diundang ke acara bancaan.” Anis nyengir bagai kuda yang tidak berdosa. Ia memasang wajah kuyu di depan Tomo. Lelaki ganteng itu manyun.“Ya sudah kalau gitu. Iya aku pasti datang kok.”Anis tersenyum menyeringai. Tomo membalas dengan senyuman pahit. Kemudian Anis ke kamar mengambil ponsel pintarnya. Lalu mengirim pesan WA kepada Aro.[Aro, gimana kandunganmu sehat?][Sehat kok, Nis. Alhamdulillah.][Alhamdulilla
Anis mencuci piring lalu mengelapnya agar cepat kering. Hari semakin siang. Anis melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ia segera mengenakan jilbab biru tua yang tersampir di kursi kamar. Hampir saja lupa, Anis mengambil ponsel pintarnya.Tomo belum pulang kerja. Ia harus menjemput Putri yang pulang sekolah. Namun, ia mematikan mesin motornya di depan rumah Aro.“Anis, ada apa?” tanya Aro sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.“Enggak ada apa-apa kok, Ro. Aku lagi nunggu Putri pulang sekolah kok. Kamu nggak keberatan kan aku nunggu Putri di rumahmu?” jawab Anis.“Tenang aja, Nis. Nggak masalah kok.”“Oh ya, Ro ngomong-ngomong kamu sedang hamil ya?”“Iya nih Nis. Alhamdulillah banget diberikan rezeki oleh Allah berupa janin yang akan menjadi anak.”“Udah berapa bulan kamu hamil, Ro?”“Udah tiga bulan ini, Nis.”“Wah.”“Udah jam 12 siang ya, Ro. Cepat banget.”“Iya Nis.”“Ya udah ya Ro aku mau jemput Putri.”“Iya, Nis. Hati-hati.”Anis pun menjemput Putri di sekolah. L
Demi mengurangi rasa bosan yang menggelayut di hati. Anis mengambil ponsel pintarnya yang berada di kamar. Ternyata ada pesan dari Widya. Sudah lama sekali Widya tidak mengirim pesan.[Hai Anis. Kamu apa kabar?][Kabarku baik, Wid. Kamu sendiri gimana kabarnya?][Kabarku juga baik, Nis. Ohya, sekarang kamu kerja di mana, Nis?][Aku jadi reseller sih, Wid di rumah. Kamu kalau ingin beli koleksi pakaianku boleh aja.][Wah, berarti kamu punya penghasilan sendiri dong.][Ngomong-ngomong sekarang kamu kerja di mana, Wid?][Aku di rumah aja kok, Nis. Bantu-bantu bisnis suami.][Suami? Kamu udah nikah ya, Wid?][Iya, Nis. Udah hampir dua tahun kok.][Selama itu kamu nggak ngabarin aku ya, Wid.][He he. Maaf ya, Nis. Tapi sekarang kamu udah punya anak kan, Nis?][Anakku udah besar lho, Wid.][Wah iyakah?][Iya, Wid. Udah sekolah SD.][Wah nggak kerasa ya waktu begitu cepat berlalu.][Begitulah. Ngomong-ngomong kamu nikah sama orang mana, Wid?][Nikah sama pacarku saat masih kerja di Jakarta k
Anis yang merayakan ulang tahun anaknya mengundang Aro di acara tersebut. Sama seperti teman-temannya Putri, Aro pun memberikan kado ulang tahun kepada Putri. Anis tersenyum sangat manis. Tomo yang berdiri di samping Anis, melirik Aro.Aro menyadari tingkah Tomo segera berdehem. Tomo menjadi salah tingkah. Perayaan ulang tahun diiringi tepuk tangan dari teman-temannya Putri. Putri segera merapalkan doa lalu meniup lilin.Suara riuh dari anak-anak yang bertepuk tangan, membuat Aro melihat Tomo. Tomo nyengir kuda sambil mengusap bagian belakang kepala. Entah mengapa Aro dan Tomo saling berpandangan. Anis yang menyadari sikap aneh Aro dan Tomo, hanya bisa diam.“Makasih ya teman-teman sudah datang di acara ulang tahunnya Putri,” ucap Anis.“Sama-sama, Tante,” sahut Acil.Acara ulang tahun Putri pun selesai. Anak-anak itu bergegas pulang.“Aku pulang dulu ya, Nis,” kata Aro sambil nyengir.“Kamu jangan pulang dulu, Ro.”“Memangnya kenapa, Nis?”“Kamu makan dulu gih. Aku udah masakin nasi
Anis masih mengingat bagaimana bapaknya pergi untuk selamanya. Waktu itu Anis memutar gagang pintu kamar. Setelah Tomo memeriksa kondisi bapaknya dengan wajah pucat. Ternyata denyut nadi bapaknya Anis sudah tidak ada.Hari ini Anis bersama sang kakak akan mengadakan pengajian 100 hari untuk mengenang bapaknya. Putri yang sudah bisa bicara selalu bertanya tentang acara tersebut.“Ibu, pengajian ini sebenarnya untuk apa?” tanya Putri dengan wajah polos.“Pengajian ini sudah menjadi tradisi di desa sini, Put. Setiap kali ada yang meninggal, kami harus memperingatinya.” Anis berusaha menjawab Putri sebisa mungkin.“Aku jadi kangen digendong sama Si Mbah, Bu.”“Kamu kangen ya?”“Iya, Bu.”“Anak ayah kenapa cemberut?” tanya Tomo yang kebetulan melalui Anis yang sedang membungkus makanan.“Putri kangen sama Si Mbah, Yah,” jawab Putri.“Kalau Putri kangen sama Si Mbah, Putri bisa mendoakan Si Mbah,” ujar Anis sambil menyeka dahi yang berkeringat.“Benar tuh. Putri harus doakan Si Mbah,” sahut
Bagas terbangun dari tidurnya. Lelaki itu hanya tersenyum pahit memandang wajah Aro. Lalu mereka berdua salat berjamaah di ruang salat. Pagi ini Aro membereskan rumah yang sebenarnya sudah rapi.Lalu Aro menyiapkan sarapan. Pagi ini pun Bagas harus pergi ke dokter. Semalam perut lelaki itu kesakitan. Aro mengambil gawainya yang berada di kamar. Ia mengirim pesan WA kepada Anis.[Anis, aku boleh curhat?]Tak berselang lama balasan dari Anis.[Iya curhat aja, Ro. Apa perlu aku ke rumahmu biar kamu bisa cerita leluasa?][Nggak perlu, Nis.][Memangnya ada apa sama kamu, Ro?][Aku bingung, Nis. Penjualan pakaianku menurun. Kamu ada saran nggak?][Wah iya. Kamu jualan pakaian. Aku nanti ke rumahmu sekalian mau beli baju.][Kebetulan, Ro aku ini kan pernah kerja di Jakarta sebagai penjaga toko pakaian. Jadi aku punya saran untuk tokomu.][Apa tuh, Nis?][Kamu coba nyebar selebaran. Terus kamu buat diskon yang sesuai dengan jenis bahan pakaian yang kamu jual, Ro.][Boleh juga tuh, Nis. Makasi