“Widya?”“Iya?”“Kamu pernah ngerasa nggak betah kerja nggak sih?” tanya Anis.“Kamu jangan ngaco deh, Nis. Kita kerja di toko ini sudah 7 tahun, lho.”Sebenarnya Anis sudah tidak betah bekerja di toko tersebut.“Aku ingin pulang kampung aja, Wid.”“Heh, kalau kamu pulang kampung nggak dapat uang lagi. Memangnya kamu mau kerja di mana lagi?”“Entahlah, Wid. Aku nggak betah karena selalu ada aja hal aneh.”“Hal aneh apalagi?” tanya Widya yang menganggap hal aneh tempo hari itu berlalu begitu saja.“Banyak tikus yang berkeliaran, Wid.”Anis tidak mungkin menceritakan beberapa benda di kamarnya melayang.“Halah tikus kok bisa diatasi tuh.”“Katanya kamu bakalan membersihkan kamarmu itu?”“Sudah aku bersihkan.”“Tapi kok masih ada aja tikus,”Yup! Anis menyuruh Widya untuk membersihkan kamarnya itu. Namun, rupanya Widya jarang membersihkannya.“Aku belum beli obat tikus. Nanti aku belikan obat tikus atau bikin jebakan tikus. Tapi ku mohon kamu jangan keluar dari pekerjaan ini. Aku nggak a
“Gimana, Nis. Kamu betah kan kerja di sini?” tanya sang bos.“I-iya, bos,” jawab Anis dengan gugup.“Widya, kamu juga betah kan kerja di sini?” tanya sang bos.“Tentu aja dong, bos.”Anis yang ingin pulang kampung terpaksa berbohong kepada sang bos. Anis tidak ingin bosnya menekan untuk tetap bekerja di toko tersebut. Berbeda dengan Widya yang kegirangan, karena bosnya menambah bonus bulanan. Anis yang masih kepikiran omongan Aro, memilih menjauh dari Widya.“Gimana, Nis? Kenapa lagi? Ada apa menelepon?” tanya Aro yang terdengar malas. “Teleponnya kasihkan ke bapak dong, Ro. Aku mau bicara sama bapak.”“Halo anakku Anis, ada apa?” tanya bapaknya Anis.“Halo, Pak. Pak, sebenarnya Anis nggak betah kerja di sini,” jawab Anis.“Lho, lho, lho kenapa nggak betah? Apa di tempatmu kerja orang-orangnya nggak baik?”“Sebenarnya teman-temannya Anis tuh baik sama aku, Pak.”“Lha terus?”“Pokoknya Anis nggak betah kerja di sini.”“Kalau kamu nggak nyaman kerja di sana ya mendingan keluar saja,” s
Keinginan Anis untuk pulang kampung harus tertunda. Ia memilih menjalani hari-harinya di indekos yang cukup angker tersebut. Ia menjalaninya seperti biasa. Pergi ke salon bersama Widya atau makan di kafe.Flashback. Ingatannya melesat pada masa-masa indah bersama keluarganya saat masih utuh.“Aro, kamu kok bau apek gitu, sih? Nggak mandi ya?” ejek Anis.“Nis, cuci bajumu ya,” ucap sang kakak. Selama Anis bekerja di Jakarta sang kakak masih menimba air di sumur.“Anis. Belikan tembakau di warungnya Mbak Nop, ya,” perintah sang bapak suatu ketika Anis masih di rumah.Ia terpaksa bekerja di Jakarta untuk membantu perekonomian keluarga. Kakaknya Anis yang nomor dua meski sudah bekerja di pabrik, tapi untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Anis tidak punya pilihan selain memang bekerja di Jakarta. Ternyata, gajinya cukup untuk memenuhi kebutuhan bapaknya atau rumahnya yang butuh diperbaiki.Setiap kali bapaknya menelpon, itu tandanya sang bapak membutuhkan kiriman uang dari Anis. Semenjak
Widya tersenyum tidak jelas sambil memandangi barang-barang yang berada di lantai kamar indekosnya. Anis yang melihat Widya langsung mengguncang-guncangkan tubuhnya Widya.“Anis, kamu jangan ngagetin gitu, napa,” ucap Widya.“Kamu sih melamun aja. Mana sambil senyum-senyum gitu. Idih.”“Kamu sih nggak tahu ya,”“Nggak tahu apa, Wid?” tanya Anis.“Kamu nggak tahu kan kalau barang-barang itu dari pacarku,” jawab Widya sambil menunjuk barang yang dimaksud Anis. Ada syal, skincare, dan boneka.“Kamu punya pacar, Wid? Aku kok baru tahu.”“Kan aku baru ngasih tahu kamu, Nis.”“Oh iya ya.”“Kamu tahu nggak? Dia pacarku juga ngasih uang lebih banyak, lho. Jadi, selain bonus bulanan, aku juga dapat uang dari pacarku.”“Widya, kamu seriusan dapat uang dari kekasihmu?” tanya Anis. Tiba-tiba saja perasaannya nyeri juga sesak ketika Widya mengatakan mendapatkan uang dari sang pacar.“Iya lah, Nis seriusan. Ih, kamu nggak percaya.”“Iya deh iya aku percaya. Aku iri loh kamu dapat uang dari pacarmu,
Keinginannya untuk pulang kampung harus tertunda oleh hubungan Anis dengan Reno. Kini, ia bisa menepis anggapan-anggapan negative dari teman-temannya. Ya, anggapan mengenai kedekatannya dengan si bos yang memberikan bonus bulanan. Widya yang memang cuek juga ikut sedikit lega mengenai Anis.Orang-orang berlarian pagi ini. Mereka berolahraga yang melalui indekosnya Anis dan Widya. Widya menjemur pakaian. Sementara Anis membeli sarapan di gang sebelah. Yup! Tempat tinggal mereka berdua berada di gang, sedangkan toko tempat Anis bekerja berada di depan gang.“Wid, kamu masih menjalin hubungan dengan pacarmu?” tanya Anis sambil menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.“Iya, masih, Nis. Kenapa?” tanya Widya balik.“Nggak kenapa-kenapa. Cuman tanya aja, Wid,” jawab Anis sambil mengunyah nasi.“Kirain kenapa-kenapa.”“He he he.”“Terus, kamu sama Reno masih berhubungan?” kali ini Widya yang bertanya.“Iya masih lah, Wid. Justru hubungan kami makin romantis, lho.”“Iya ya. Pamer nih?” goda Widya.“
Makhluk itu mendekati Anis. Bahkan seolah-olah ingin mencengkeram kedua kakinya.“Aaa!” teriak Anis yang mengagetkan Widya.“Kamu ngagetin aja, Nis. Kenapa? Ada apa teriak-teriak gitu?” tanya Widya.“Makhluk itu, Wid.”“Makhluk itu apa maksudmu, Nis? Nggak jelas gitu. Aku tanya kenapa?”“Makhluk itu, Wid. Genderuwo.”“Iya kenapa?”“Makhluk itu ganggu aku lagi, Wid.”“Apa kamu udah berdoa sebelum tidur?”“Udah doa sebelum tidur.”“Kamu mimpi kali, Nis.”“Iya sih mimpi. Tapi, Wid.”“Apalagi sih?”“Kalau aku pulang kampung, gimana menurutmu, Wid?”“Mendingan kamu tidur lagi deh, Nis. Nis, denger ya. Kalau kamu pulang kampung, gimana dengan Reno?”“Ya nggak masalah. Kalau Reno beneran serius sama aku. Dia bakalan cepat-cepat ngelamar aku.”“Jadi nanti kalian LDR-an dong.”“LDR-an apaan, Wid?”“Iiih, Anis. LDR itu long distance relationship. Istilah untuk orang pacaran jarak jauh.”“Ooh gitu rupanya. He he he.”“Ya udah balik tidur lagi. Jangan lupa doa.”Malam itu, Anis tidur di kamarnya
Anis yang bekerja di Jakarta selama tujuh tahun justru Aro sudah lulus SMA. Aro memutuskan bekerja di salah satu mall di kotanya. Selama itu mereka saling bertukar kabar melalui sambungan telpon. Setiap kali Anis berganti nomor, Anis akan mengabari Aro bahwa Anis mengganti nomor ponselnya. Pagi ini terasa cerah.Sungai depan rumah Aro terlihat bening juga tidak mengalir. Seperti mata air yang tidak ada sampah. Terkadang ada sampah di sungai tersebut. Namun, pemerintah desa segera membersihkannya. Hanya ada eceng gondok yang memenuhi sungai tersebut.Kicauan burung yang berasal dari tetangga sebelah rumahnya itu terdengar nyaring. Aro segera mencuci pakaiannya. Karena hari itu hari libur kerja. Aro bebas sejenak dari pekerjaannya sebagai penjaga toko dompet dan sabuk.“Halo, Aro.”“Halo, Anis. Ada apa?”“Lagi ngapain?”“Lagi nyuci baju. Ada apa?”“Tolong telponnya kasih ke bapak. Aku mau bicara hal penting.”“Iya, Nis nanti ya. Aku lagi nyuci baju.”“Oh gitu. Ya sudah ntar aja kalau ka
Anis terus memaksa Reno untuk melamarnya, tetapi lelaki itu selalu beralasan bahwa dirinya belum siap. Delapan bulan berhubungan, menurut Reno belum cukup untuk ke jenjang pernikahan. Jangankan pernikahan, lha wong untuk melamar saja Reno banyak alasan. Anis merasa ada yang aneh dengan Reno.Perasaan aneh itu segera ditepis jauh-jauh oleh Anis. Ia tidak ingin menaruh perasaan yang tidak semestinya pada Reno. Selama itu Anis mengalami banyak gangguan dari berbagai macam makhluk halus. Malam itu Anis tidur di kamar indekosnya Widya.Ia tidak mengira akan mendapatkan banyak gangguan. Tempo hari Widya mengatakan kalau kamar indekosnya sudah dibersihkan. Namun, Anis masih mendapatkan banyak gangguan. Itu artinya kamar indekos itu belum bersih.Anis sering meminta kepada Widya agar kamar indekosnya dibersihkan, hanya untuk menghalau makhluk-makhluk itu. Ia segera menelpon Aro.“Halo, Aro.”“Halo, Nis ada apa?”“Aku ingin cerita sama kamu, Ro.”“Cerita tentang apa, Nis? Kenapa? Ada apa?” Aro
Hari demi hari berlalu begitu saja. Anis sudah bisa melayani pembeli di toko pakaian Aro.“Anis, aku seneng banget bulan ini kita mendapat banyak sekali pesanan baju. Jadi, aku bisa menggajimu dengan bonus.”“Wah, makasih banyak ya, Ro.” Anis tersenyum manis yang membuat Aro membatin, ‘ternyata kalau dilihat-lihat Anis cantik juga.’“Aro?” Anis mengguncang-guncang tubuh Aro.“Eh eh, iya, Nis. Maaf ya aku malah jadi melamun. He he he.”“Iya nggak apa-apa, Ro. Takutnya kalau kamu melamun gini nanti kesambet, lho.”“Yeee malah bercanda.”Anis dan Aro tenggelam dalam gelak tawa. Tiba-tiba saja dari lubang hidung Anis keluar cairan merah. Anis mimisan.“Kamu kenapa, Nis?” tanya Aro dengan nada khawatir.“Nggak tahu nih, Ro tiba-tiba aja mimisan. Sebelumnya nggak pernah gini. Mana aku sedang hamil.”“Kamu harus periksa ke dokter, Nis.”“Gimana sama kerjaanku, Ro?”“Udah. Kamu nggak usah mikirin tentang kerjaan. Oh ya, Tomo bawa ponsel, nggak?”“Tomo nggak bawa ponsel kalau kerja, Ro. Memang
Matahari mulai menyembul dari ufuk timur. Setelah sarapan nasi dengan sambal goreng tempe, Anis segera mengantar Putri ke sekolah. Tomo seperti biasa pergi bekerja membangun rumah di desa sebelah. Pukul 07.05 WIB Anis selesai mengantar Putri ke sekolah, lalu menghentikan mesin motor di depan rumah Aro.“Kamu ke sini kok pagi banget sih, Nis?” tanya Aro yang baru selesai membuka toko pakaian.“Iya nih, Ro. Aku tadi habis mengantar Putri ke sekolah.”“Wah iya. Katanya kamu mau jadi karyawan di tokoku ya, Nis?” tanya Aro yang duduk-duduk di dalam toko. Anis kemudian duduk-duduk sambil menjawab dengan suara parau, “Iya nih, Ro. Aku bingung nyari uang tambahan untuk biaya lahiran nanti.”“Selamat juga ya atas kehamilanmu. Memangnya kamu nggak apa-apa bekerja dalam keadaan hamil begini?”“Nggak apa-apa kok, Ro. Uang dari pekerjaannya Tomo yang sebagai kuli bangunan nggak cukup buat biaya lahiran nanti.”“Jadi begitu. Mulai hari ini kamu sudah bisa bekerja kok, Nis. Ohya, suamimu tahu apa ng
Anis teringat akan sesuatu. Ia terlambat datang bulan. Lalu ia menghitung tanggal terkahir datang bulan.“Jangan-jangan aku hamil.”Untuk memastikan kebenaran, ia membeli tespek di apotik terdekat. Setelah dilakukan tes sederhana, Anis terkejut melihat hasilnya. Ia positif hamil. Anis tersenyum bahagia.Ia membagikan kebahagiaannya melalui akun FB.“Tomo,” ucap Anis sambil melingkarkan lengannya ke punggung Tomo.“Iya, kenapa, Nis?”“Hari ini aku sangat bahagia.”“Bahagia kenapa?” Tomo melepaskan pelukannya dengan pelan.“Kamu tahu nggak kalau aku sedang hamil.”“Apa? Kamu hamil? Kita bakal punya anak lagi dong.”“Iya. Putri bakal punya adik.”“Jadi, kamu muntah-muntah waktu kemarin ternyata hamil toh.”“Iya. Kamu bahagia kan?”“Iya. Aku bahagia banget.”“Tapi, dari mana nyari uang tambahan buat biaya lahiran nanti? Juga uang tambahan buat anak kedua kita? Aku bingung.”“Kamu tenang ya, Nis. Aku akan nyari pekerjaan tambahan.”“Memangnya mau kerja apa?”“Entahlah. Kita lihat saja nant
Anis terpaksa menghentikan aktivitasnya yang sedang menyapu. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan berteriak memanggil nama Tomo, “Tomo, kamu udah selesai apa belum mandinya?”“Iya bentar lagi kok,” sahut Tomo dari balik pintu kamar mandi.Selesai mandi, Tomo bertanya kepada Anis, “mengapa kamu teriak kaya gitu? Ada apa? Apa kamu udah kebelet pipis?”“Enggak kok, Tom. Aku cuman mau bilang aja tadi kamu dicariin sama Diki,” jawab Anis.“Ada apa memangnya? Nunggu aku selesai mandi kan bisa. Kenapa harus teriak gitu?”“Ya maaf. Nanti malam Diki ada acara bancaan. Kamu diundang ke acara bancaan.” Anis nyengir bagai kuda yang tidak berdosa. Ia memasang wajah kuyu di depan Tomo. Lelaki ganteng itu manyun.“Ya sudah kalau gitu. Iya aku pasti datang kok.”Anis tersenyum menyeringai. Tomo membalas dengan senyuman pahit. Kemudian Anis ke kamar mengambil ponsel pintarnya. Lalu mengirim pesan WA kepada Aro.[Aro, gimana kandunganmu sehat?][Sehat kok, Nis. Alhamdulillah.][Alhamdulilla
Anis mencuci piring lalu mengelapnya agar cepat kering. Hari semakin siang. Anis melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ia segera mengenakan jilbab biru tua yang tersampir di kursi kamar. Hampir saja lupa, Anis mengambil ponsel pintarnya.Tomo belum pulang kerja. Ia harus menjemput Putri yang pulang sekolah. Namun, ia mematikan mesin motornya di depan rumah Aro.“Anis, ada apa?” tanya Aro sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.“Enggak ada apa-apa kok, Ro. Aku lagi nunggu Putri pulang sekolah kok. Kamu nggak keberatan kan aku nunggu Putri di rumahmu?” jawab Anis.“Tenang aja, Nis. Nggak masalah kok.”“Oh ya, Ro ngomong-ngomong kamu sedang hamil ya?”“Iya nih Nis. Alhamdulillah banget diberikan rezeki oleh Allah berupa janin yang akan menjadi anak.”“Udah berapa bulan kamu hamil, Ro?”“Udah tiga bulan ini, Nis.”“Wah.”“Udah jam 12 siang ya, Ro. Cepat banget.”“Iya Nis.”“Ya udah ya Ro aku mau jemput Putri.”“Iya, Nis. Hati-hati.”Anis pun menjemput Putri di sekolah. L
Demi mengurangi rasa bosan yang menggelayut di hati. Anis mengambil ponsel pintarnya yang berada di kamar. Ternyata ada pesan dari Widya. Sudah lama sekali Widya tidak mengirim pesan.[Hai Anis. Kamu apa kabar?][Kabarku baik, Wid. Kamu sendiri gimana kabarnya?][Kabarku juga baik, Nis. Ohya, sekarang kamu kerja di mana, Nis?][Aku jadi reseller sih, Wid di rumah. Kamu kalau ingin beli koleksi pakaianku boleh aja.][Wah, berarti kamu punya penghasilan sendiri dong.][Ngomong-ngomong sekarang kamu kerja di mana, Wid?][Aku di rumah aja kok, Nis. Bantu-bantu bisnis suami.][Suami? Kamu udah nikah ya, Wid?][Iya, Nis. Udah hampir dua tahun kok.][Selama itu kamu nggak ngabarin aku ya, Wid.][He he. Maaf ya, Nis. Tapi sekarang kamu udah punya anak kan, Nis?][Anakku udah besar lho, Wid.][Wah iyakah?][Iya, Wid. Udah sekolah SD.][Wah nggak kerasa ya waktu begitu cepat berlalu.][Begitulah. Ngomong-ngomong kamu nikah sama orang mana, Wid?][Nikah sama pacarku saat masih kerja di Jakarta k
Anis yang merayakan ulang tahun anaknya mengundang Aro di acara tersebut. Sama seperti teman-temannya Putri, Aro pun memberikan kado ulang tahun kepada Putri. Anis tersenyum sangat manis. Tomo yang berdiri di samping Anis, melirik Aro.Aro menyadari tingkah Tomo segera berdehem. Tomo menjadi salah tingkah. Perayaan ulang tahun diiringi tepuk tangan dari teman-temannya Putri. Putri segera merapalkan doa lalu meniup lilin.Suara riuh dari anak-anak yang bertepuk tangan, membuat Aro melihat Tomo. Tomo nyengir kuda sambil mengusap bagian belakang kepala. Entah mengapa Aro dan Tomo saling berpandangan. Anis yang menyadari sikap aneh Aro dan Tomo, hanya bisa diam.“Makasih ya teman-teman sudah datang di acara ulang tahunnya Putri,” ucap Anis.“Sama-sama, Tante,” sahut Acil.Acara ulang tahun Putri pun selesai. Anak-anak itu bergegas pulang.“Aku pulang dulu ya, Nis,” kata Aro sambil nyengir.“Kamu jangan pulang dulu, Ro.”“Memangnya kenapa, Nis?”“Kamu makan dulu gih. Aku udah masakin nasi
Anis masih mengingat bagaimana bapaknya pergi untuk selamanya. Waktu itu Anis memutar gagang pintu kamar. Setelah Tomo memeriksa kondisi bapaknya dengan wajah pucat. Ternyata denyut nadi bapaknya Anis sudah tidak ada.Hari ini Anis bersama sang kakak akan mengadakan pengajian 100 hari untuk mengenang bapaknya. Putri yang sudah bisa bicara selalu bertanya tentang acara tersebut.“Ibu, pengajian ini sebenarnya untuk apa?” tanya Putri dengan wajah polos.“Pengajian ini sudah menjadi tradisi di desa sini, Put. Setiap kali ada yang meninggal, kami harus memperingatinya.” Anis berusaha menjawab Putri sebisa mungkin.“Aku jadi kangen digendong sama Si Mbah, Bu.”“Kamu kangen ya?”“Iya, Bu.”“Anak ayah kenapa cemberut?” tanya Tomo yang kebetulan melalui Anis yang sedang membungkus makanan.“Putri kangen sama Si Mbah, Yah,” jawab Putri.“Kalau Putri kangen sama Si Mbah, Putri bisa mendoakan Si Mbah,” ujar Anis sambil menyeka dahi yang berkeringat.“Benar tuh. Putri harus doakan Si Mbah,” sahut
Bagas terbangun dari tidurnya. Lelaki itu hanya tersenyum pahit memandang wajah Aro. Lalu mereka berdua salat berjamaah di ruang salat. Pagi ini Aro membereskan rumah yang sebenarnya sudah rapi.Lalu Aro menyiapkan sarapan. Pagi ini pun Bagas harus pergi ke dokter. Semalam perut lelaki itu kesakitan. Aro mengambil gawainya yang berada di kamar. Ia mengirim pesan WA kepada Anis.[Anis, aku boleh curhat?]Tak berselang lama balasan dari Anis.[Iya curhat aja, Ro. Apa perlu aku ke rumahmu biar kamu bisa cerita leluasa?][Nggak perlu, Nis.][Memangnya ada apa sama kamu, Ro?][Aku bingung, Nis. Penjualan pakaianku menurun. Kamu ada saran nggak?][Wah iya. Kamu jualan pakaian. Aku nanti ke rumahmu sekalian mau beli baju.][Kebetulan, Ro aku ini kan pernah kerja di Jakarta sebagai penjaga toko pakaian. Jadi aku punya saran untuk tokomu.][Apa tuh, Nis?][Kamu coba nyebar selebaran. Terus kamu buat diskon yang sesuai dengan jenis bahan pakaian yang kamu jual, Ro.][Boleh juga tuh, Nis. Makasi