Pernikahan antara Warno dan si gadis kota yang dimaksud tempo hari, terlaksana dengan lancar. Sayangnya, Nyimas Sekar tidak bisa ikut hadir pada acara tersebut, karena kondisi kesehatan yang semakin memburuk. Warti dan Sutrisno lah yang hadir. Namun, doa restu selalu mengiringi langkah Warno.
Warno yang sudah resmi menikahi gadis kota itu lebih memilih tinggal di rumah istrinya. Anak tertua itu terpaksa meninggalkan keluarga di desa. Pekerjaan Warno sebagai seorang akuntan lah yang memaksa dirinya tinggal di kota. Sementara Warti meminta izin suaminya untuk tinggal sementara di rumah sang ibu untuk mengurus Nyimas Sekar yang sedang sekarat.
“Nduk, sepertinya ibumu sudah tidak kuat.”
“Apa maksudnya, Bu?” tanya Warti yang tidak mengerti.
“Maksudku, usia ibu tidak akan lama lagi, Nduk. Kamu tidak perlu repot mengurus ibu seperti ini.”
“Bu, lagian aku nggak keberatan harus merawat ibu sampai akhir hayat, kok.”
“Syukurlah. Kamu memang anak yang shalihah, Warti.”
“Warti, tolong ambil kotak di dalam lemari. Ibu hamper saja lupa memberimu hal penting.”
Warti tanpa bertanya perihal kotak yang dimaksud oleh ibunya, langsung mengambil benda tersebut. Sebuah kotak perhiasan mungil berwarna merah memang tersimpan rapi di dalam lemari. Ketika jemari lentiknya hendak membuka isi kota itu, ia mengurungkan niatnya dan kembali menutup kotak cantik tersebut.
“Bu, ini kotak merah yang ibu maksudkan.”
“Iya betul, Warti.”
“Bu, kalau boleh tahu, memangnya isinya apa?” Warti memberanikan dirinya bertanya kepada sang ibu.
“Sebenarnya, ibu ingin memberikan perhiasan ini sama Sutrisno.”
“Kalau boleh tahu buat apa, Bu?”
“Usianya masmu Sutrisno kan sudah hamper 23 tahun. Usia segitu seharusnya dia sudah menikah. Ibu hanya ingin memberikan perhiasan-perhiasan ini kepada masmu.”
“Oh begitu. Untung saja ya, Bu Mas Sutrisno sedang tidak ada di rumah. Kalau saja Mas Sutrisno mendengar kabar akan dikasih hadiah, apalagi perhiasan pastinya akan melunjak minta yang lebih.”
“Hush! Kamu jangan ngomong begitu. Meskipun masmu yang satu itu lumayan gila harta, gitu-gitu juga masmu, to.”
“He he he. Iya, Bu.”
“Bu, sebenarnya aku sangat bahagia sekali. Coba tebak kenapa?” Warti melempar kalimat kepada ibunya yang cukup mengherankan.
“Coba cerita, memangnya kenapa? Apa jangan-jangan dapat hadiah dari suamimu?”
“Kalau soal hadiah, jangan lupa bagikan juga sama saudara suamimu, yo.”
“Sebenarnya bukan soal hadiah, Bu. Tapi, bayiku pada kehamilan yang keenam bulan ini rasanya sudah nendang-nendang, Bu.”
“Lho bagus to. Artinya, bayimu nanti sangat sehat, aktif, pintar, dan cerdas.”
“Makasih banyak, Bu. Aku benar-benar bersyukur memiliki ibu seperti ibu. Aku sangat mencintai ibuku yang satu ini. Kalau boleh sama Mas Wanto, aku ingin tinggal lebih lama di rumah ini, Bu.”
“Kamu jangan begitu, Warti. Jika kamu tinggal di rumah ini, bagaimana kamu bisa merawat suamimu?”
“Lagi-lagi ibu benar.”
“Ibumu sudah banyak pengalaman, Ti Warti. Ibumu ini sudah mengalami asam manis garam kehidupan. Paling tidak, kamu melayani suamimu dengan baik. Buat suamimu selalu senang.” Nyimas Sekar menyunggingkan senyum sangat pucat.
“Bu ….” Panggil Warti dengan suara sedikit bergetar.
“Ada apa, Nduk Warti?”
“Bu, bukankah kita sebagai istri juga membutuhkan kebahagiaan tersendiri?”
“Sangat tepat sekali! Lalu, masalahnya apa, Nduk?”
“Bu, saya memang akan merawat Mas Wanto secara baik. Tapi, aku juga membutuhkan perhatian dari Mas Wanto.”
“Lho, memangnya Wanto suamimu nggak pernah perhatian sama kamu atau gimana, War?”
“Bu, kami setelah menikah memang sangat bahagia. Tapi, Mas Wanto memang belum pernah membelikan baju atau mengajak liburan.”
“Sudah, tidak perlu dipikirkan. Mungkin uang hasil dari kerja suamimu memang tidak cukup. Belajar dari kehidupan pernikahan orang tuamu, Warti. Ibumu ini tidak pernah meminta atau mengharapkan sesuatu barang yang mewah kepada bapakmu.”
“Memang benar, Bu. Tapi ….”
“Sudah, tidak apa-apa. Kamu masih bisa melakukan hal menyenangkan lainnya.”
Warti memeluk Nyimas Sekar. Warti memahami harus menyadari realitas yang ada.
***
Berjalannya waktu, Nyimas Sekar sudah kembali ke tempat peristirahatan terakhir yang paling nyaman. Ya, usianya sudah tiba untuk kembali ke sisi Tuhan. Warti yang tengah hamil 8 bulan tidak menangis histeris. Wanita itu hanya mengelus-ngelus perutnya yang membuncit. Wanita yang dinilai tabah ketika ibunya meninggal, hanya tersenyum pahit dan menjawab, “semua sudah digariskan oleh Tuhan.”
Begitu pula pernikahan Sutrisno dengan anak seorang dermawan yang membangun masjid desa pun sudah digariskan oleh Tuhan begitu apik. Para manusia hanya menjalankan lakonnnya masing-masing.
“Mas Sutrisno, sebelum ibu meninggal, aku dititipkan sesuatu buat pernikahan Mas Sutrisno.”
“Apa itu, Warti?”
Warti langsung mengeluarkan sebuah kotak yang dibaluti oleh beludru merah.
“Ini, Mas. Buka aja.”
“Wah. Ibu pastinya seneng ya sudah membelikan perhiasan ini buat kita?”
“Sebenarnya perhiasan ini buat Mas Sutrisno saja.”
“Mungkin ibu memang punya alasan sendiri yang tidak pernah kita ketahui.”
“Betul, Mas.”
“Sebenarnya masmu ini punya rencana ingin renovasi rumah.”
“Aku dukung sepenuhnya, Mas.”
“Pastinya istri Mas Sutrisno tambah senang, ya.”
“Aku berdoanya gitu, Warti. Kamu juga ya selalu bahagia. Semoga anakmu nanti sukses.”
“Iya. Anakmu juga yo, Mas semoga sukses, bahagia, dan selalu sehat.”
“Kita memang harus saling mendoakan.”
“Oh iya, Warti. Rencananya kamu nanti akan lahiran di rumah ini atau di rumah suamimu?” Sebenarnya pertanyaan dari Sutrisno hanya berbasi-basi saja. Namun, Warti tetap menjawab dengan baik.
“Karena di rumah ini sudah tidak ada ibu ataupun bapak yang nggak bisa membantuku mengurus bayiku. Aku lebih milih melahirkan di rumah suami saja, Mas.”
“Siapa yang nantinya membantu mengurus bayimu di sana?”
“Sebenarnya masih ada kakaknya Mas Sutrisno yang sudah menikah dan punya anak masih sering main ke sana, Mas.”
“Baguslah biar kamu di sana nggak ditelantarkan begitu saja.”
“Lho, lho, lho. Sebentar, Mas. Maksudnya ini gimana bisa bilang begitu, Mas?”
“Jika nggak ada orang yang perhatian sama kamu, selain suamimu. Gimana nanti kamu bisa merawat anakmu kalau nggak belajar sama orang lain yang sudah punya pengalaman merawat anak?”
“Mas Sutrisno memang benar. Aku memang harus belajar sama orang lain soal merawat anak. Aku senang ada adik iparku yang membantuku soal merawat anak nantinya.”
“Aku memang selalu benar. Ha ha ha ha.”
“Tapi, Mas, aku pernah dengar dari orang lain kalau lelaki itu selalu salah. Sementara wanita saja yang selalu benar.”
“Enak saja! Aku nggak bisa terima, dong. Kata siapa?”
“Tadi aku sudah bilang bahwa kalimat tersebut dari orang lain.”
“Awas ya kamu. Kalau saja kamu nggak lagi hamil tua, kamu bakalan aku gelitikin.”
Sebenarnya, manusia memang membutuhkan manusia lain untuk membantu kelemahan-kelemahannya. Jika semua kebutuhannya sudah tercukupi, pasti akan menjadi manusia yang baik dalam segala hal.
***
Beberapa bulan Warti dan sang suami menikah, wanita yang sangat menjaga penampilannya itu memilih bekerja sebagai penjahit rumahan. Ia berhasil mendapatkan banyak sekali pesanan aneka model baju yang sangat unik. Mulai kebaya modern, kutu baru hingga baju kurung. Ia sangat menekuni pekerjaannya yang semakin ramai oleh pelanggan.“Jahitkan bajuku yo, Mbak.” Ucap istri Sutrisno sambil memberikan dress kesayangannya itu pada Warti.Meskipun istri Sutrisno anak pendiri salah satu masjid di desanya, tak menyurutkan rasa gengsi untuk menggunakan jasa jahit di desa. Istri Sutrisno bisa saja membeli dress baru. Namun, mengutamakan keluarga, itulah prinsip istri Sutrisno.“Iyo.” Jawab Warti.Selama menjahit baju milik istri Sutrisno itu, terdengar jerit tangis bayi yang baru lahir. Warti menghentikan pekerjaannya. Lalu menemui sumber suara tangisan itu. Sementara istri Sutrisno lebih senang melihat-lihat hasil jahitan milik orang lain.“Maaf yo. Bayiku nangis terus. Jahitnya nggak bisa sekarang
Langit biru membentang luas. Burung berkicauan yang berasal dari tetangga Aro. Aro merupakan anak dari Sutrisno yang menikah dengan anak pendiri masjid di desanya. Pagi menjelang siang begini ia belum beranjak dari tempat tidurnya.“Dasar pemalas! Cepat mandi sana!” gertak sang ayah yaitu Sutrisno.“Ibu juga sudah masakin masakan kesukaanmu.”Aro segera beranjak dari tempat tidurnya lalu menuju dapur. Tempe mendoan. Segera ia mencuci muka untuk menyantap hidangan yang dimasak oleh ibunya.“Habis sarapan jangan lupa mandi, yo.”“Iya, Bu.”Ibunya Aro menyiapkan baju untuk dipakai Aro.“Bu, jangan model baju yang ini dong. Baju yang ada rendanya,” rengek Aro.Ibunya segera mengambil model baju yang dimaksud Aro. Penampilan. Lagi-lagi istrinya Sutrisno masih memikirkan omongan Warti yang berlalu. Mungkin Warti sendiri sudah melupakannya dan terus menjahit hingga Aro memasuki usia sekolah. Mungkin istrinya Sutrisno tidak ingin Aro berpenampilan cupu seperti dirinya.“Yang ini, to?” tanya s
Hujan masih mengguyur pelataran rumah. Musim demi musim berganti begitu cepat. Bagai anak panah yang melesat. Begitu lah waktu. Jarum jam terus berputar. Waktu demi waktu pun harus mengganti batrei jam yang using. Terdengar isak tangis yang begitu memekakkan telinga Aro. Namun, tidak dengan Anis. Ia hanya bersedih ketika warga desa menyiarkan emaknya yang telah meninggal. Kini, Wanto lah yang mengurus Anis. Meskipun Wanto seorang petani, tapi mampu memberikan makanan seadanya kepada Anis. Terlebih kedua kakaknya Anis juga turut memberi makan. Mereka tidak terlalu kekurangan harta. Hari berikutnya. Seperti biasa Aro mengendarai sepeda. “Aro, sepedamu bagus,” ujar Anis sambil memandangi sepeda baru milik Aro. “Iya dong. Ini kan sepeda baru. Ada keranjangnya juga,” “Aku iri loh,” “Kenapa iri?” tanya Aro. “Ingin punya sepeda juga yang seperti sepeda punyamu,” jawab Anis sambil terus menonton aksi Aro yang bersepeda. “Kamu boleh kok meminjam sepeda ini,” “Nggak ah. Aku mana bisa n
Kudus, tahun 2007Terkadang, kakaknya Anis bertandang ke rumah Aro untuk sekadar bercerita keadaan rumahnya. Ibunya Aro lah yang menjadi tempat bercerita. Karena memang, kakaknya Anis juga sudah memiliki anak. Waktu memang begitu cepat memakan waktu yang lain.Hari ini merupakan hari pertama Aro memasuki sekolah baru. SMP. Aro mengenakan tas selempang berwarna coklat. Rambut ia potong pendek menyerupai lelaki. Ia tak lupa mengikat tali sepatunya yang mulai robek.“Bu, belikan sepatu baru, ya.”“Iya, nanti. Sementara kamu pakai sepatu ini dulu, ya.”“Beneran ya, Bu,” rengek Aro.“Iya, bener.”“Ya sudah sana berangkat sekolah.”Aro pun berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda. Tentu saja ia berangkat bersama teman-temannya. Ketika memasuki halaman sekolah, Aro sedikit dikejutkan dengan sesosok gadis belia sedang duduk-duduk di teras kelas.“Itu Anis!”Yup! Sepupunya Anis memang lebih dulu bersekolah di sekolahan itu. Aro merupakan adik kelasnya Anis. Ia berlari kecil menghampiri A
Hari berikutnya. Ternyata Aro terlambat masuk kelas. Ia terkena hukuman. Benar kalau tiap kali Unyik atau teman lainnya memberitahu kedatangan guru, Aro merasa bergetar. Itu karena rasa takut.Aro terpaksa membersihkan ruang kelas sendirian. Anis yang kebetulan melewati ruang kelasnya Aro, menahan tawa. Aro yang menyadarinya, menggeletakkan sapu begitu saja. Ia merasa kesal ketika sepupunya mengejek.“Halah dasarrr! Huh!” umpat Aro.“Aro, kamu kenapa sih begitu?” tanya Unyik yang sedari tadi memperhatikan Aro.“Nggak apa-apa, Nyik. Itu loh sepupuku sepertinya mengejek deh aku kena hukuman kayak gini,” jawab Aro sambil mendengkus kesal.“Hari ini dapat salam lagi dari Irsyadi,”“Oh ya?” Aro memutar-mutar kedua bola matanya.“Iya lah. Masa aku bohong sama kamu.”“Ya udah deh, salam balik ya, Nyik.”“Nah gitu dong,”“Yeee kamu,”“By the way, kamu mau nggak aku traktir?”“Hah? Traktir? Tumben sekali, Nyik.” Aro yang tidak mengerti mengedip-ngedipkan matanya.“Bentar lagi aku ultah, jadi k
Hampir setiap hari Aro memberikan uang saku kepada Anis. Hari memakan hari lainnya. Jarum jam terus berputar. Kelulusan. Kali ini pengumuman kelulusan bukan untuk Aro, tapi Anis.Yup! Anis lulus SMP.“Nis, kamu udah lulus sekolah. Gimana kalau kamu bekerja saja? Kebutuhanmu makin lama kan makin banyak. Bapak nggak sanggup kalau harus memenuhi kebutuhanmu yang semakin menggunung itu,” ujar bapaknya Anis.Sang bapak meminta Anis bekerja. Berat. Itu yang dirasakan oleh Anis. Namun, mau tidak mau Anis menyetujuinya.“Baik, Pak. Anis akan kerja. Tapi, kerja ke mana, Pak?”“Bapak dapat informasi, ada lowongan di toko di Jakarta.”“Toko?”“Iya. Sebenarnya toko milik cina. Bosnya baik.”“Sebelum berangkat kerja di sana kan harus bawa uang saku.” Lulu yang merupakan tetangga samping rumah memotong pembicaraan mereka. Lalu nyelenong masuk tanpa permisi.“Lulu ada benarnya. Nggak mungkin ke sana nggak bawa uang saku,” batin Anis.Sekelebatan memorinya mencuat di mana Aro sering memberikan uang s
Gedung-gedung tinggi bertingkat-tingkat itu membuat Anis takjub. Siapapun yang melihatnya takkan berkedip. Area taman yang luas dengan pepohonan terlihat begitu meneduhkan. Begitu lah keindahan kota bernama Jakarta.Anis bekerja di Jakarta dan mengenal gemerlap kota Jakarta. Ia tidak bekerja di dalam gedung megah itu. Tetapi, di sudut komplek yang dekat dengan fasilitas perkotaan.“Nis, temenin aku makan, yuk,” ajak salah satu teman indekos yang sekaligus karyawan di toko tempat Anis bekerja. Temannya itu berada di indekos samping indekosnya.“Bentar ya. Aku ganti baju dulu,”“Iya. Jangan lama-lama ganti bajunya.Anis Rahma. Selama bekerja di tempat tersebut, sudah hampir dua pekan, ia mengubah penampilannya menjadi lebih baik. Ia mengenakan blazer orange lalu menyemprotkan parfum. Semua serba baru. Termasuk blazer dan parfum yang baru dibelinya ketika tiba di Jakarta.“Ngomong-ngomong tempat makan di sini kayaknya mahal deh,” ujar Anis.“Nggak kok dijamin ramah di kantong. Nih, kamu
Gedung-gedung bertingkat itu memancarkan cahaya yang begitu indah. Lampu yang berasal dari gedung megah itu menyala terang. Kapan lagi Anis bisa menikmati malamnya kota Jakarta. Kota yang sering disebut kota metropolitan itu seolah-olah menyihir Anis. Gedung tinggi itu bisa terlihat dari indekosnya Anis.Suara ketukan pintu mengagetkan lamunan Anis. Ternyata Widya.“Malam ini temani aku tidur yuk,”“Memangnya kenapa? Nggak biasanya kamu tidur minta ditemani, Wid.”“Takut. Kamu benar yang soal keanehan itu. Aku merasa aneh aja.”“Ya udah,” Anis berseloroh. Ia mengalah untuk menemani Widya tidur di kamar indekosnya.Tiba-tiba saja sosok hitam tinggi besar dengan wajah bertaring merah sudah lama berdiri di depan Anis.“Huah!”“Kamu kenapa, Nis?” tanya Widya.“Ternyata cuman mimpi,” gumam Anis.“Nis?”“Tadi aku mimpi hal yang sangat menakutkan, loh.”“Mimpi apa?”“Tadi aku mimpi bertemu sosok hitam tinggi besar dengan wajah bertaring merah, Wid.”“Itu kan sesosok ….” Widya tidak melanjutk
Hari demi hari berlalu begitu saja. Anis sudah bisa melayani pembeli di toko pakaian Aro.“Anis, aku seneng banget bulan ini kita mendapat banyak sekali pesanan baju. Jadi, aku bisa menggajimu dengan bonus.”“Wah, makasih banyak ya, Ro.” Anis tersenyum manis yang membuat Aro membatin, ‘ternyata kalau dilihat-lihat Anis cantik juga.’“Aro?” Anis mengguncang-guncang tubuh Aro.“Eh eh, iya, Nis. Maaf ya aku malah jadi melamun. He he he.”“Iya nggak apa-apa, Ro. Takutnya kalau kamu melamun gini nanti kesambet, lho.”“Yeee malah bercanda.”Anis dan Aro tenggelam dalam gelak tawa. Tiba-tiba saja dari lubang hidung Anis keluar cairan merah. Anis mimisan.“Kamu kenapa, Nis?” tanya Aro dengan nada khawatir.“Nggak tahu nih, Ro tiba-tiba aja mimisan. Sebelumnya nggak pernah gini. Mana aku sedang hamil.”“Kamu harus periksa ke dokter, Nis.”“Gimana sama kerjaanku, Ro?”“Udah. Kamu nggak usah mikirin tentang kerjaan. Oh ya, Tomo bawa ponsel, nggak?”“Tomo nggak bawa ponsel kalau kerja, Ro. Memang
Matahari mulai menyembul dari ufuk timur. Setelah sarapan nasi dengan sambal goreng tempe, Anis segera mengantar Putri ke sekolah. Tomo seperti biasa pergi bekerja membangun rumah di desa sebelah. Pukul 07.05 WIB Anis selesai mengantar Putri ke sekolah, lalu menghentikan mesin motor di depan rumah Aro.“Kamu ke sini kok pagi banget sih, Nis?” tanya Aro yang baru selesai membuka toko pakaian.“Iya nih, Ro. Aku tadi habis mengantar Putri ke sekolah.”“Wah iya. Katanya kamu mau jadi karyawan di tokoku ya, Nis?” tanya Aro yang duduk-duduk di dalam toko. Anis kemudian duduk-duduk sambil menjawab dengan suara parau, “Iya nih, Ro. Aku bingung nyari uang tambahan untuk biaya lahiran nanti.”“Selamat juga ya atas kehamilanmu. Memangnya kamu nggak apa-apa bekerja dalam keadaan hamil begini?”“Nggak apa-apa kok, Ro. Uang dari pekerjaannya Tomo yang sebagai kuli bangunan nggak cukup buat biaya lahiran nanti.”“Jadi begitu. Mulai hari ini kamu sudah bisa bekerja kok, Nis. Ohya, suamimu tahu apa ng
Anis teringat akan sesuatu. Ia terlambat datang bulan. Lalu ia menghitung tanggal terkahir datang bulan.“Jangan-jangan aku hamil.”Untuk memastikan kebenaran, ia membeli tespek di apotik terdekat. Setelah dilakukan tes sederhana, Anis terkejut melihat hasilnya. Ia positif hamil. Anis tersenyum bahagia.Ia membagikan kebahagiaannya melalui akun FB.“Tomo,” ucap Anis sambil melingkarkan lengannya ke punggung Tomo.“Iya, kenapa, Nis?”“Hari ini aku sangat bahagia.”“Bahagia kenapa?” Tomo melepaskan pelukannya dengan pelan.“Kamu tahu nggak kalau aku sedang hamil.”“Apa? Kamu hamil? Kita bakal punya anak lagi dong.”“Iya. Putri bakal punya adik.”“Jadi, kamu muntah-muntah waktu kemarin ternyata hamil toh.”“Iya. Kamu bahagia kan?”“Iya. Aku bahagia banget.”“Tapi, dari mana nyari uang tambahan buat biaya lahiran nanti? Juga uang tambahan buat anak kedua kita? Aku bingung.”“Kamu tenang ya, Nis. Aku akan nyari pekerjaan tambahan.”“Memangnya mau kerja apa?”“Entahlah. Kita lihat saja nant
Anis terpaksa menghentikan aktivitasnya yang sedang menyapu. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan berteriak memanggil nama Tomo, “Tomo, kamu udah selesai apa belum mandinya?”“Iya bentar lagi kok,” sahut Tomo dari balik pintu kamar mandi.Selesai mandi, Tomo bertanya kepada Anis, “mengapa kamu teriak kaya gitu? Ada apa? Apa kamu udah kebelet pipis?”“Enggak kok, Tom. Aku cuman mau bilang aja tadi kamu dicariin sama Diki,” jawab Anis.“Ada apa memangnya? Nunggu aku selesai mandi kan bisa. Kenapa harus teriak gitu?”“Ya maaf. Nanti malam Diki ada acara bancaan. Kamu diundang ke acara bancaan.” Anis nyengir bagai kuda yang tidak berdosa. Ia memasang wajah kuyu di depan Tomo. Lelaki ganteng itu manyun.“Ya sudah kalau gitu. Iya aku pasti datang kok.”Anis tersenyum menyeringai. Tomo membalas dengan senyuman pahit. Kemudian Anis ke kamar mengambil ponsel pintarnya. Lalu mengirim pesan WA kepada Aro.[Aro, gimana kandunganmu sehat?][Sehat kok, Nis. Alhamdulillah.][Alhamdulilla
Anis mencuci piring lalu mengelapnya agar cepat kering. Hari semakin siang. Anis melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ia segera mengenakan jilbab biru tua yang tersampir di kursi kamar. Hampir saja lupa, Anis mengambil ponsel pintarnya.Tomo belum pulang kerja. Ia harus menjemput Putri yang pulang sekolah. Namun, ia mematikan mesin motornya di depan rumah Aro.“Anis, ada apa?” tanya Aro sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.“Enggak ada apa-apa kok, Ro. Aku lagi nunggu Putri pulang sekolah kok. Kamu nggak keberatan kan aku nunggu Putri di rumahmu?” jawab Anis.“Tenang aja, Nis. Nggak masalah kok.”“Oh ya, Ro ngomong-ngomong kamu sedang hamil ya?”“Iya nih Nis. Alhamdulillah banget diberikan rezeki oleh Allah berupa janin yang akan menjadi anak.”“Udah berapa bulan kamu hamil, Ro?”“Udah tiga bulan ini, Nis.”“Wah.”“Udah jam 12 siang ya, Ro. Cepat banget.”“Iya Nis.”“Ya udah ya Ro aku mau jemput Putri.”“Iya, Nis. Hati-hati.”Anis pun menjemput Putri di sekolah. L
Demi mengurangi rasa bosan yang menggelayut di hati. Anis mengambil ponsel pintarnya yang berada di kamar. Ternyata ada pesan dari Widya. Sudah lama sekali Widya tidak mengirim pesan.[Hai Anis. Kamu apa kabar?][Kabarku baik, Wid. Kamu sendiri gimana kabarnya?][Kabarku juga baik, Nis. Ohya, sekarang kamu kerja di mana, Nis?][Aku jadi reseller sih, Wid di rumah. Kamu kalau ingin beli koleksi pakaianku boleh aja.][Wah, berarti kamu punya penghasilan sendiri dong.][Ngomong-ngomong sekarang kamu kerja di mana, Wid?][Aku di rumah aja kok, Nis. Bantu-bantu bisnis suami.][Suami? Kamu udah nikah ya, Wid?][Iya, Nis. Udah hampir dua tahun kok.][Selama itu kamu nggak ngabarin aku ya, Wid.][He he. Maaf ya, Nis. Tapi sekarang kamu udah punya anak kan, Nis?][Anakku udah besar lho, Wid.][Wah iyakah?][Iya, Wid. Udah sekolah SD.][Wah nggak kerasa ya waktu begitu cepat berlalu.][Begitulah. Ngomong-ngomong kamu nikah sama orang mana, Wid?][Nikah sama pacarku saat masih kerja di Jakarta k
Anis yang merayakan ulang tahun anaknya mengundang Aro di acara tersebut. Sama seperti teman-temannya Putri, Aro pun memberikan kado ulang tahun kepada Putri. Anis tersenyum sangat manis. Tomo yang berdiri di samping Anis, melirik Aro.Aro menyadari tingkah Tomo segera berdehem. Tomo menjadi salah tingkah. Perayaan ulang tahun diiringi tepuk tangan dari teman-temannya Putri. Putri segera merapalkan doa lalu meniup lilin.Suara riuh dari anak-anak yang bertepuk tangan, membuat Aro melihat Tomo. Tomo nyengir kuda sambil mengusap bagian belakang kepala. Entah mengapa Aro dan Tomo saling berpandangan. Anis yang menyadari sikap aneh Aro dan Tomo, hanya bisa diam.“Makasih ya teman-teman sudah datang di acara ulang tahunnya Putri,” ucap Anis.“Sama-sama, Tante,” sahut Acil.Acara ulang tahun Putri pun selesai. Anak-anak itu bergegas pulang.“Aku pulang dulu ya, Nis,” kata Aro sambil nyengir.“Kamu jangan pulang dulu, Ro.”“Memangnya kenapa, Nis?”“Kamu makan dulu gih. Aku udah masakin nasi
Anis masih mengingat bagaimana bapaknya pergi untuk selamanya. Waktu itu Anis memutar gagang pintu kamar. Setelah Tomo memeriksa kondisi bapaknya dengan wajah pucat. Ternyata denyut nadi bapaknya Anis sudah tidak ada.Hari ini Anis bersama sang kakak akan mengadakan pengajian 100 hari untuk mengenang bapaknya. Putri yang sudah bisa bicara selalu bertanya tentang acara tersebut.“Ibu, pengajian ini sebenarnya untuk apa?” tanya Putri dengan wajah polos.“Pengajian ini sudah menjadi tradisi di desa sini, Put. Setiap kali ada yang meninggal, kami harus memperingatinya.” Anis berusaha menjawab Putri sebisa mungkin.“Aku jadi kangen digendong sama Si Mbah, Bu.”“Kamu kangen ya?”“Iya, Bu.”“Anak ayah kenapa cemberut?” tanya Tomo yang kebetulan melalui Anis yang sedang membungkus makanan.“Putri kangen sama Si Mbah, Yah,” jawab Putri.“Kalau Putri kangen sama Si Mbah, Putri bisa mendoakan Si Mbah,” ujar Anis sambil menyeka dahi yang berkeringat.“Benar tuh. Putri harus doakan Si Mbah,” sahut
Bagas terbangun dari tidurnya. Lelaki itu hanya tersenyum pahit memandang wajah Aro. Lalu mereka berdua salat berjamaah di ruang salat. Pagi ini Aro membereskan rumah yang sebenarnya sudah rapi.Lalu Aro menyiapkan sarapan. Pagi ini pun Bagas harus pergi ke dokter. Semalam perut lelaki itu kesakitan. Aro mengambil gawainya yang berada di kamar. Ia mengirim pesan WA kepada Anis.[Anis, aku boleh curhat?]Tak berselang lama balasan dari Anis.[Iya curhat aja, Ro. Apa perlu aku ke rumahmu biar kamu bisa cerita leluasa?][Nggak perlu, Nis.][Memangnya ada apa sama kamu, Ro?][Aku bingung, Nis. Penjualan pakaianku menurun. Kamu ada saran nggak?][Wah iya. Kamu jualan pakaian. Aku nanti ke rumahmu sekalian mau beli baju.][Kebetulan, Ro aku ini kan pernah kerja di Jakarta sebagai penjaga toko pakaian. Jadi aku punya saran untuk tokomu.][Apa tuh, Nis?][Kamu coba nyebar selebaran. Terus kamu buat diskon yang sesuai dengan jenis bahan pakaian yang kamu jual, Ro.][Boleh juga tuh, Nis. Makasi