“Nduk Warti, ayo kita pergi angon kambing. Jangan lupa bawa nasi, tahu, tempe sama sambelnya ada di dalam rantang.” Nyimas Sekar mengingatkan untuk kesekian kalinya. Meskipun Warti seorang gadis yang keras kepala, tetapi ia sangat penurut jika membantu ibunya.
Saat ini, pekerjaan keluarga mereka memang angon kambing dan pergi ke ladang. Mereka tidak pernah sedikit pun mengeluhkan tentang kondisi yang menurut sebagian orang menderita. Warti memberikan makanan pada empat kambingnya dengan senang hati.
“Bu, kalau kambing-kambingnya sudah dewasa, apakah bakal dijual?” tanya Warti ketika duduk di antara rerumputan hijau, sedangkan kambing-kambingnya makan rumput secara mandiri.
“Yo tentu aja, War. Kambing-kambing ini yang nantinya bakalan buat biaya pernikahannya masmu.”
“Lho, kapan Mas Sutrisno akan menikah, Bu?” tanya Warti sambil menatap wajah ibunya keheranan.
“Nduk Warti. Ibu tadi sudah bilang kalau kambing-kambingnya sudah dewasa, baru masmu Sutrisno bisa menikah.”
“Masih lama, Bu.”
“Iya, memang masih lama.”
“Ibu juga heran, akhir-akhir ini kesehatan bapakmu semakin menurun,” ucap Nyimas Sekar sambil menundukan wajahnya. Terlihat jelas gurat kesedihan.
“Padahal bapak kan sudah minum obat dan jamu-jamuan setiap harinya.”
“Benar. Tapi bapakmu butuh perawatan yang sangat baik di rumah sakit.”
“Kita nggak punya biaya lebih buat berobat ke rumah sakit, Bu.”
“Duh, anak ibu yang satu ini memang sangat pintar.”
“Masa ibu baru ngerti kalau Warti memang sudah pintar sejak lahir.”
“Ha ha ha ha.”
“Bu, terima kasih banyak sudah merawat Warti dengan baik.” Tiba-tiba saja keadaan menjadi sangat mellow.
“Yo memang, kamu harusnya sering berterima kasih sama ibumu ini yang sudah melahirkanmu ke dunia. Kalau nggak ada ibumu ini, kamu nggak mungkin lahir ke dunia.”
Jleb! Rasanya seolah-olah belati menggores kulitnya. Perih sekaligus terharu dengan kalimat yang terlontar dari bibir tipis sang ibu. Ibu. Yah, seorang wanita yang tidak pernah habis untuk dibahas dari zaman ke zaman. Nama ibu memang sangat harum yang tidak bisa diibaratkan oleh apapun.
“Aku kok jadinya mau nangis ya, Bu.”
“Lho kenapa mau nangis?” tanya sang ibu.
“Aku terharu punya ibu seprti ibu.”
“Kita memang harus selalu bersyukur yo, Nduk.”
“Iyo Bu. Aku juga bersyukur bisa berhenti sekolah.”
“Lho?” Sejenak ibunya melongo.
“Kalau saat ini aku masih sekolah, pasti ibu sama bapak pusing mikirin biaya beli buku, beli seragam kenaikan sekolah, uang jajanku, dan sebagainya. Aku sadar sama keadaan kita yang memang begini.”
Nyimas Sekar memeluk Warti cukup erat. Ada buliran hangat yang terjatuh mengenai kulit tangan Nyimas Sekar. Warti meneteskan air mata. Bukan, bukan air mata kesedihan, melainkan Warti sangat bersyukur memiliki ibu seperti Nyimas Sekar. Sama seperti seorang ibu yang lainnya, tangan Nyimas Sekar yang putih bersih, tetapi sudah mulai terlihat keriputnya, mengusap sisa air mata sang anak.
Cahaya kemuning yang berasal dari ufuk barat mulai tenggelam. Sejenak, Warti menengadahkan tangannya sambil menutup kedua bola matanya. Mulutnya berkomat-kamit seperti merapalkan mantra. Namun, bukan mantra, tetapi doa-doa menjelang malam dengan kegelapan yang akan menyelimuti seluruh bumi.
Ia sangat berharap jika suatu hari nanti Warti akan menemukan kebahagiannya yang sejati. Setiap manusia yang terlahir ke dunia akan mendapatkan kebahagian. Namun, kebahagiaan yang dimaksud sangat berbeda dari satu orang dengan orang lainnya. Hanya saja, manusia mampu menciptakan kebahagiaannya sendiri tanpa terpengaruh oleh apapun.
***
8 tahun kemudian …
Waktu memang berjalan sangat cepat. Seorang lelaki yang dulunya muda, kini mulai merenta. Tubuhnya mulai kurus kering. Lelaki itu bernama Raden Mas Cokro yang terbaring lemah di atas dipan ruang tamu. Rumahnya yang berdesain joglo dengan ruang tamu yang multifungsi–dimanfaatkan menjadi beberapa ruangan, mulai dari ruang tamu, ruang makan, sekaligus ruang istirahat dengan dipan ukiran khas Jepara.
Sementara Warti mulai tumbuh menjadi seorang remaja 17 tahun yang selalu tersenyum setiap kali melihat wajah ibunya. Ia pun masih senang bermain bersama anak-anak sebayanya. Meskipun teman-temannya ada yang melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi atau sekolah menengah ke atas, Warti tidak pernah merasa berbeda atau minder. Gadis itu selalu punya cara sendiri untuk bahagia.
“Bu, aku sedih melihat kondisi bapak, ya.” Perkataan dari Warti memang sangat benar. Ia sedih melihat kondisi Raden Mas Cokro yang sering batuk dengan riak darah cukup mengerikan. Keluarga itu hanya memberikan ramuan jamu-jamuan untuk mengurangi rasa sakit yang diderita oleh Raden Mas Cokro.
Sementara kedua anak lelaki di rumah itu, lebih memilih bekerja sebagai kuli bangunan di kota lain. Hasilnya memang cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari di dalam keluarga Priyayi tersebut. Toh, semua asset di rumahnya sudah dijual dan tidak tersisa sedikit pun. Keluarga mereka benar-benar menjadi miskin.
“Kita banyak doa saja ya, Warti. Semoga bapakmu segera pulih.”
“Iya, Bu.”
Tanpa Warti ketahui, air mata Nyimas Sekar kembali meleleh. Seorang ibu sekaligus istri akan merasa perih dengan kondisi tersebut. Mereka sedang berada diambang kematian, karena kondisi sang kepala keluarga semakin memburuk. Mungkin, Raden Mas Cokro sudah sangat kelelahan bekerja hampir tiap waktunya sebagai petani sekaligus mengurus kambing-kambing yang mulai tumbuh dewasa.
Kambing-kambing itu pernah dijanjikan oleh ibunya untuk biaya menikah sang kakak yaitu Sutrisno. Namun, suatu hari Sutrisno sudah memberikan pemahaman kepada keluarga kecilnya tersebut, bahwa ketika Sutrisno akan menikah, lelaki muda nan tampan itu akan menggunakan biaya dari hasil bekerjanya sebagai kuli bangunan untuk biaya menikah. Lebih baik, kambing-kambing itu untuk biaya pernikahannya Warti saja.
Sepertinya waktu menjawab permintaan dari Sutrisno begitu cepat. Begitu Raden Mas Cokro dinyatakan meninggal dunia. Nyimas Sekar menjodohkan Warti dengan salah satu anak pedagang kaya di desanya.
“Tapi, Bu aku masih ingin bermain sama teman-teman. Usiaku baru 17 tahun, lho.”
“Mau gimana lagi, War. Ibumu sudah mulai menua. Kamu juga nggak ada yang merawat. Masmu yang nomer satu sudah menikah dan tinggal di kota.”
“Tapi, Bu … aku nggak suka sama anak pedagang kaya tersebut.”
“Nanti kalau sudah terbiasa juga jadi suka. Dulu ibumu ini juga kurang suka sama bapakmu. Tapi lama kelamaan menjadi suka.”
“Apa aku akan hidup bahagia bersamanya?” tanya Warti yang masih memiliki pemikiran yang polos.
“Tentu aja kamu akan bahagia, karena dia anak orang kaya. Kamu akan menjadi seorang ratu di dalam rumahnya,” ucap Nyimas Sekar yang dibarengi dengan aliran airmata yang mengalir dari sudut matanya.
Nyimas Sekar paham. Apa yang dikatakannya sedikit menyayat hati, karena wanita itu sudah merasakan asam garam kehidupan berumah tangga. Nyimas Sekar bahagia, hanya saja pekara harta dan uang sering membuatnya menangis. Wajar. Siapapun memang membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan. Bahkan, hiburan sederhana pun membutuhkan uang. Lalu, siapa yang tidak mencintai uang dan harta? Pastinya, tanaman yang tumbuh liar tidak membutuhkan uang untuk merawat tanaman tersebut.
***
Pada akhirnya, Warti menyerah dengan keadaan. Perempuan itu menerima lamaran dari anak pedagang kaya di desanya. Lelaki itu bernama Wanto yang memiliki tubuh kurus dengan kulit hitam legam, tetapi wajahnya manis. Wanto bekerja sebagai petani sawah di desa. Pekerjaan suaminya tidak pernah membuat Warti merasa minder.Beberapa hari setelah pernikahan, Warti memutuskan untuk belajar menjahit. Wanita itu hanya bingung harus mendapatkan uang tambahan darimana. Maka, jalan satu-satunya yaitu menerima pesanan jahitan. Wanita yang berasal dari kalangan priyayi itu memang benar-benar beruntung bisa mendapatkan banyak pesanan menjahit aneka baju dan dress cantik-cantik.Tak lama kemudian, nama Warti sebagai penjahit cukup terkenal. Lalu, ia mendapatkan kabar dari ibunya bahwa wanita yang sudah melahirkannya ke dunia itu sedang mengalami sakit cukup parah. Kabarnya, Nyimas Sekar sedang mengalami sakit dada. Wanita tua itu membutuhkan anak-anaknya untuk sekadar berada di sampingny
Pernikahan antara Warno dan si gadis kota yang dimaksud tempo hari, terlaksana dengan lancar. Sayangnya, Nyimas Sekar tidak bisa ikut hadir pada acara tersebut, karena kondisi kesehatan yang semakin memburuk. Warti dan Sutrisno lah yang hadir. Namun, doa restu selalu mengiringi langkah Warno.Warno yang sudah resmi menikahi gadis kota itu lebih memilih tinggal di rumah istrinya. Anak tertua itu terpaksa meninggalkan keluarga di desa. Pekerjaan Warno sebagai seorang akuntan lah yang memaksa dirinya tinggal di kota. Sementara Warti meminta izin suaminya untuk tinggal sementara di rumah sang ibu untuk mengurus Nyimas Sekar yang sedang sekarat.“Nduk, sepertinya ibumu sudah tidak kuat.”“Apa maksudnya, Bu?” tanya Warti yang tidak mengerti.“Maksudku, usia ibu tidak akan lama lagi, Nduk. Kamu tidak perlu repot mengurus ibu seperti ini.”“Bu, lagian aku nggak keberatan harus merawat ibu sampai akhir hayat,
Beberapa bulan Warti dan sang suami menikah, wanita yang sangat menjaga penampilannya itu memilih bekerja sebagai penjahit rumahan. Ia berhasil mendapatkan banyak sekali pesanan aneka model baju yang sangat unik. Mulai kebaya modern, kutu baru hingga baju kurung. Ia sangat menekuni pekerjaannya yang semakin ramai oleh pelanggan.“Jahitkan bajuku yo, Mbak.” Ucap istri Sutrisno sambil memberikan dress kesayangannya itu pada Warti.Meskipun istri Sutrisno anak pendiri salah satu masjid di desanya, tak menyurutkan rasa gengsi untuk menggunakan jasa jahit di desa. Istri Sutrisno bisa saja membeli dress baru. Namun, mengutamakan keluarga, itulah prinsip istri Sutrisno.“Iyo.” Jawab Warti.Selama menjahit baju milik istri Sutrisno itu, terdengar jerit tangis bayi yang baru lahir. Warti menghentikan pekerjaannya. Lalu menemui sumber suara tangisan itu. Sementara istri Sutrisno lebih senang melihat-lihat hasil jahitan milik orang lain.“Maaf yo. Bayiku nangis terus. Jahitnya nggak bisa sekarang
Langit biru membentang luas. Burung berkicauan yang berasal dari tetangga Aro. Aro merupakan anak dari Sutrisno yang menikah dengan anak pendiri masjid di desanya. Pagi menjelang siang begini ia belum beranjak dari tempat tidurnya.“Dasar pemalas! Cepat mandi sana!” gertak sang ayah yaitu Sutrisno.“Ibu juga sudah masakin masakan kesukaanmu.”Aro segera beranjak dari tempat tidurnya lalu menuju dapur. Tempe mendoan. Segera ia mencuci muka untuk menyantap hidangan yang dimasak oleh ibunya.“Habis sarapan jangan lupa mandi, yo.”“Iya, Bu.”Ibunya Aro menyiapkan baju untuk dipakai Aro.“Bu, jangan model baju yang ini dong. Baju yang ada rendanya,” rengek Aro.Ibunya segera mengambil model baju yang dimaksud Aro. Penampilan. Lagi-lagi istrinya Sutrisno masih memikirkan omongan Warti yang berlalu. Mungkin Warti sendiri sudah melupakannya dan terus menjahit hingga Aro memasuki usia sekolah. Mungkin istrinya Sutrisno tidak ingin Aro berpenampilan cupu seperti dirinya.“Yang ini, to?” tanya s
Hujan masih mengguyur pelataran rumah. Musim demi musim berganti begitu cepat. Bagai anak panah yang melesat. Begitu lah waktu. Jarum jam terus berputar. Waktu demi waktu pun harus mengganti batrei jam yang using. Terdengar isak tangis yang begitu memekakkan telinga Aro. Namun, tidak dengan Anis. Ia hanya bersedih ketika warga desa menyiarkan emaknya yang telah meninggal. Kini, Wanto lah yang mengurus Anis. Meskipun Wanto seorang petani, tapi mampu memberikan makanan seadanya kepada Anis. Terlebih kedua kakaknya Anis juga turut memberi makan. Mereka tidak terlalu kekurangan harta. Hari berikutnya. Seperti biasa Aro mengendarai sepeda. “Aro, sepedamu bagus,” ujar Anis sambil memandangi sepeda baru milik Aro. “Iya dong. Ini kan sepeda baru. Ada keranjangnya juga,” “Aku iri loh,” “Kenapa iri?” tanya Aro. “Ingin punya sepeda juga yang seperti sepeda punyamu,” jawab Anis sambil terus menonton aksi Aro yang bersepeda. “Kamu boleh kok meminjam sepeda ini,” “Nggak ah. Aku mana bisa n
Kudus, tahun 2007Terkadang, kakaknya Anis bertandang ke rumah Aro untuk sekadar bercerita keadaan rumahnya. Ibunya Aro lah yang menjadi tempat bercerita. Karena memang, kakaknya Anis juga sudah memiliki anak. Waktu memang begitu cepat memakan waktu yang lain.Hari ini merupakan hari pertama Aro memasuki sekolah baru. SMP. Aro mengenakan tas selempang berwarna coklat. Rambut ia potong pendek menyerupai lelaki. Ia tak lupa mengikat tali sepatunya yang mulai robek.“Bu, belikan sepatu baru, ya.”“Iya, nanti. Sementara kamu pakai sepatu ini dulu, ya.”“Beneran ya, Bu,” rengek Aro.“Iya, bener.”“Ya sudah sana berangkat sekolah.”Aro pun berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda. Tentu saja ia berangkat bersama teman-temannya. Ketika memasuki halaman sekolah, Aro sedikit dikejutkan dengan sesosok gadis belia sedang duduk-duduk di teras kelas.“Itu Anis!”Yup! Sepupunya Anis memang lebih dulu bersekolah di sekolahan itu. Aro merupakan adik kelasnya Anis. Ia berlari kecil menghampiri A
Hari berikutnya. Ternyata Aro terlambat masuk kelas. Ia terkena hukuman. Benar kalau tiap kali Unyik atau teman lainnya memberitahu kedatangan guru, Aro merasa bergetar. Itu karena rasa takut.Aro terpaksa membersihkan ruang kelas sendirian. Anis yang kebetulan melewati ruang kelasnya Aro, menahan tawa. Aro yang menyadarinya, menggeletakkan sapu begitu saja. Ia merasa kesal ketika sepupunya mengejek.“Halah dasarrr! Huh!” umpat Aro.“Aro, kamu kenapa sih begitu?” tanya Unyik yang sedari tadi memperhatikan Aro.“Nggak apa-apa, Nyik. Itu loh sepupuku sepertinya mengejek deh aku kena hukuman kayak gini,” jawab Aro sambil mendengkus kesal.“Hari ini dapat salam lagi dari Irsyadi,”“Oh ya?” Aro memutar-mutar kedua bola matanya.“Iya lah. Masa aku bohong sama kamu.”“Ya udah deh, salam balik ya, Nyik.”“Nah gitu dong,”“Yeee kamu,”“By the way, kamu mau nggak aku traktir?”“Hah? Traktir? Tumben sekali, Nyik.” Aro yang tidak mengerti mengedip-ngedipkan matanya.“Bentar lagi aku ultah, jadi k
Hampir setiap hari Aro memberikan uang saku kepada Anis. Hari memakan hari lainnya. Jarum jam terus berputar. Kelulusan. Kali ini pengumuman kelulusan bukan untuk Aro, tapi Anis.Yup! Anis lulus SMP.“Nis, kamu udah lulus sekolah. Gimana kalau kamu bekerja saja? Kebutuhanmu makin lama kan makin banyak. Bapak nggak sanggup kalau harus memenuhi kebutuhanmu yang semakin menggunung itu,” ujar bapaknya Anis.Sang bapak meminta Anis bekerja. Berat. Itu yang dirasakan oleh Anis. Namun, mau tidak mau Anis menyetujuinya.“Baik, Pak. Anis akan kerja. Tapi, kerja ke mana, Pak?”“Bapak dapat informasi, ada lowongan di toko di Jakarta.”“Toko?”“Iya. Sebenarnya toko milik cina. Bosnya baik.”“Sebelum berangkat kerja di sana kan harus bawa uang saku.” Lulu yang merupakan tetangga samping rumah memotong pembicaraan mereka. Lalu nyelenong masuk tanpa permisi.“Lulu ada benarnya. Nggak mungkin ke sana nggak bawa uang saku,” batin Anis.Sekelebatan memorinya mencuat di mana Aro sering memberikan uang s
Hari demi hari berlalu begitu saja. Anis sudah bisa melayani pembeli di toko pakaian Aro.“Anis, aku seneng banget bulan ini kita mendapat banyak sekali pesanan baju. Jadi, aku bisa menggajimu dengan bonus.”“Wah, makasih banyak ya, Ro.” Anis tersenyum manis yang membuat Aro membatin, ‘ternyata kalau dilihat-lihat Anis cantik juga.’“Aro?” Anis mengguncang-guncang tubuh Aro.“Eh eh, iya, Nis. Maaf ya aku malah jadi melamun. He he he.”“Iya nggak apa-apa, Ro. Takutnya kalau kamu melamun gini nanti kesambet, lho.”“Yeee malah bercanda.”Anis dan Aro tenggelam dalam gelak tawa. Tiba-tiba saja dari lubang hidung Anis keluar cairan merah. Anis mimisan.“Kamu kenapa, Nis?” tanya Aro dengan nada khawatir.“Nggak tahu nih, Ro tiba-tiba aja mimisan. Sebelumnya nggak pernah gini. Mana aku sedang hamil.”“Kamu harus periksa ke dokter, Nis.”“Gimana sama kerjaanku, Ro?”“Udah. Kamu nggak usah mikirin tentang kerjaan. Oh ya, Tomo bawa ponsel, nggak?”“Tomo nggak bawa ponsel kalau kerja, Ro. Memang
Matahari mulai menyembul dari ufuk timur. Setelah sarapan nasi dengan sambal goreng tempe, Anis segera mengantar Putri ke sekolah. Tomo seperti biasa pergi bekerja membangun rumah di desa sebelah. Pukul 07.05 WIB Anis selesai mengantar Putri ke sekolah, lalu menghentikan mesin motor di depan rumah Aro.“Kamu ke sini kok pagi banget sih, Nis?” tanya Aro yang baru selesai membuka toko pakaian.“Iya nih, Ro. Aku tadi habis mengantar Putri ke sekolah.”“Wah iya. Katanya kamu mau jadi karyawan di tokoku ya, Nis?” tanya Aro yang duduk-duduk di dalam toko. Anis kemudian duduk-duduk sambil menjawab dengan suara parau, “Iya nih, Ro. Aku bingung nyari uang tambahan untuk biaya lahiran nanti.”“Selamat juga ya atas kehamilanmu. Memangnya kamu nggak apa-apa bekerja dalam keadaan hamil begini?”“Nggak apa-apa kok, Ro. Uang dari pekerjaannya Tomo yang sebagai kuli bangunan nggak cukup buat biaya lahiran nanti.”“Jadi begitu. Mulai hari ini kamu sudah bisa bekerja kok, Nis. Ohya, suamimu tahu apa ng
Anis teringat akan sesuatu. Ia terlambat datang bulan. Lalu ia menghitung tanggal terkahir datang bulan.“Jangan-jangan aku hamil.”Untuk memastikan kebenaran, ia membeli tespek di apotik terdekat. Setelah dilakukan tes sederhana, Anis terkejut melihat hasilnya. Ia positif hamil. Anis tersenyum bahagia.Ia membagikan kebahagiaannya melalui akun FB.“Tomo,” ucap Anis sambil melingkarkan lengannya ke punggung Tomo.“Iya, kenapa, Nis?”“Hari ini aku sangat bahagia.”“Bahagia kenapa?” Tomo melepaskan pelukannya dengan pelan.“Kamu tahu nggak kalau aku sedang hamil.”“Apa? Kamu hamil? Kita bakal punya anak lagi dong.”“Iya. Putri bakal punya adik.”“Jadi, kamu muntah-muntah waktu kemarin ternyata hamil toh.”“Iya. Kamu bahagia kan?”“Iya. Aku bahagia banget.”“Tapi, dari mana nyari uang tambahan buat biaya lahiran nanti? Juga uang tambahan buat anak kedua kita? Aku bingung.”“Kamu tenang ya, Nis. Aku akan nyari pekerjaan tambahan.”“Memangnya mau kerja apa?”“Entahlah. Kita lihat saja nant
Anis terpaksa menghentikan aktivitasnya yang sedang menyapu. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan berteriak memanggil nama Tomo, “Tomo, kamu udah selesai apa belum mandinya?”“Iya bentar lagi kok,” sahut Tomo dari balik pintu kamar mandi.Selesai mandi, Tomo bertanya kepada Anis, “mengapa kamu teriak kaya gitu? Ada apa? Apa kamu udah kebelet pipis?”“Enggak kok, Tom. Aku cuman mau bilang aja tadi kamu dicariin sama Diki,” jawab Anis.“Ada apa memangnya? Nunggu aku selesai mandi kan bisa. Kenapa harus teriak gitu?”“Ya maaf. Nanti malam Diki ada acara bancaan. Kamu diundang ke acara bancaan.” Anis nyengir bagai kuda yang tidak berdosa. Ia memasang wajah kuyu di depan Tomo. Lelaki ganteng itu manyun.“Ya sudah kalau gitu. Iya aku pasti datang kok.”Anis tersenyum menyeringai. Tomo membalas dengan senyuman pahit. Kemudian Anis ke kamar mengambil ponsel pintarnya. Lalu mengirim pesan WA kepada Aro.[Aro, gimana kandunganmu sehat?][Sehat kok, Nis. Alhamdulillah.][Alhamdulilla
Anis mencuci piring lalu mengelapnya agar cepat kering. Hari semakin siang. Anis melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ia segera mengenakan jilbab biru tua yang tersampir di kursi kamar. Hampir saja lupa, Anis mengambil ponsel pintarnya.Tomo belum pulang kerja. Ia harus menjemput Putri yang pulang sekolah. Namun, ia mematikan mesin motornya di depan rumah Aro.“Anis, ada apa?” tanya Aro sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.“Enggak ada apa-apa kok, Ro. Aku lagi nunggu Putri pulang sekolah kok. Kamu nggak keberatan kan aku nunggu Putri di rumahmu?” jawab Anis.“Tenang aja, Nis. Nggak masalah kok.”“Oh ya, Ro ngomong-ngomong kamu sedang hamil ya?”“Iya nih Nis. Alhamdulillah banget diberikan rezeki oleh Allah berupa janin yang akan menjadi anak.”“Udah berapa bulan kamu hamil, Ro?”“Udah tiga bulan ini, Nis.”“Wah.”“Udah jam 12 siang ya, Ro. Cepat banget.”“Iya Nis.”“Ya udah ya Ro aku mau jemput Putri.”“Iya, Nis. Hati-hati.”Anis pun menjemput Putri di sekolah. L
Demi mengurangi rasa bosan yang menggelayut di hati. Anis mengambil ponsel pintarnya yang berada di kamar. Ternyata ada pesan dari Widya. Sudah lama sekali Widya tidak mengirim pesan.[Hai Anis. Kamu apa kabar?][Kabarku baik, Wid. Kamu sendiri gimana kabarnya?][Kabarku juga baik, Nis. Ohya, sekarang kamu kerja di mana, Nis?][Aku jadi reseller sih, Wid di rumah. Kamu kalau ingin beli koleksi pakaianku boleh aja.][Wah, berarti kamu punya penghasilan sendiri dong.][Ngomong-ngomong sekarang kamu kerja di mana, Wid?][Aku di rumah aja kok, Nis. Bantu-bantu bisnis suami.][Suami? Kamu udah nikah ya, Wid?][Iya, Nis. Udah hampir dua tahun kok.][Selama itu kamu nggak ngabarin aku ya, Wid.][He he. Maaf ya, Nis. Tapi sekarang kamu udah punya anak kan, Nis?][Anakku udah besar lho, Wid.][Wah iyakah?][Iya, Wid. Udah sekolah SD.][Wah nggak kerasa ya waktu begitu cepat berlalu.][Begitulah. Ngomong-ngomong kamu nikah sama orang mana, Wid?][Nikah sama pacarku saat masih kerja di Jakarta k
Anis yang merayakan ulang tahun anaknya mengundang Aro di acara tersebut. Sama seperti teman-temannya Putri, Aro pun memberikan kado ulang tahun kepada Putri. Anis tersenyum sangat manis. Tomo yang berdiri di samping Anis, melirik Aro.Aro menyadari tingkah Tomo segera berdehem. Tomo menjadi salah tingkah. Perayaan ulang tahun diiringi tepuk tangan dari teman-temannya Putri. Putri segera merapalkan doa lalu meniup lilin.Suara riuh dari anak-anak yang bertepuk tangan, membuat Aro melihat Tomo. Tomo nyengir kuda sambil mengusap bagian belakang kepala. Entah mengapa Aro dan Tomo saling berpandangan. Anis yang menyadari sikap aneh Aro dan Tomo, hanya bisa diam.“Makasih ya teman-teman sudah datang di acara ulang tahunnya Putri,” ucap Anis.“Sama-sama, Tante,” sahut Acil.Acara ulang tahun Putri pun selesai. Anak-anak itu bergegas pulang.“Aku pulang dulu ya, Nis,” kata Aro sambil nyengir.“Kamu jangan pulang dulu, Ro.”“Memangnya kenapa, Nis?”“Kamu makan dulu gih. Aku udah masakin nasi
Anis masih mengingat bagaimana bapaknya pergi untuk selamanya. Waktu itu Anis memutar gagang pintu kamar. Setelah Tomo memeriksa kondisi bapaknya dengan wajah pucat. Ternyata denyut nadi bapaknya Anis sudah tidak ada.Hari ini Anis bersama sang kakak akan mengadakan pengajian 100 hari untuk mengenang bapaknya. Putri yang sudah bisa bicara selalu bertanya tentang acara tersebut.“Ibu, pengajian ini sebenarnya untuk apa?” tanya Putri dengan wajah polos.“Pengajian ini sudah menjadi tradisi di desa sini, Put. Setiap kali ada yang meninggal, kami harus memperingatinya.” Anis berusaha menjawab Putri sebisa mungkin.“Aku jadi kangen digendong sama Si Mbah, Bu.”“Kamu kangen ya?”“Iya, Bu.”“Anak ayah kenapa cemberut?” tanya Tomo yang kebetulan melalui Anis yang sedang membungkus makanan.“Putri kangen sama Si Mbah, Yah,” jawab Putri.“Kalau Putri kangen sama Si Mbah, Putri bisa mendoakan Si Mbah,” ujar Anis sambil menyeka dahi yang berkeringat.“Benar tuh. Putri harus doakan Si Mbah,” sahut
Bagas terbangun dari tidurnya. Lelaki itu hanya tersenyum pahit memandang wajah Aro. Lalu mereka berdua salat berjamaah di ruang salat. Pagi ini Aro membereskan rumah yang sebenarnya sudah rapi.Lalu Aro menyiapkan sarapan. Pagi ini pun Bagas harus pergi ke dokter. Semalam perut lelaki itu kesakitan. Aro mengambil gawainya yang berada di kamar. Ia mengirim pesan WA kepada Anis.[Anis, aku boleh curhat?]Tak berselang lama balasan dari Anis.[Iya curhat aja, Ro. Apa perlu aku ke rumahmu biar kamu bisa cerita leluasa?][Nggak perlu, Nis.][Memangnya ada apa sama kamu, Ro?][Aku bingung, Nis. Penjualan pakaianku menurun. Kamu ada saran nggak?][Wah iya. Kamu jualan pakaian. Aku nanti ke rumahmu sekalian mau beli baju.][Kebetulan, Ro aku ini kan pernah kerja di Jakarta sebagai penjaga toko pakaian. Jadi aku punya saran untuk tokomu.][Apa tuh, Nis?][Kamu coba nyebar selebaran. Terus kamu buat diskon yang sesuai dengan jenis bahan pakaian yang kamu jual, Ro.][Boleh juga tuh, Nis. Makasi