Dalam barak kepolisian Parisi keduanya menanti. Ramza terlentang di kasur sambil memakan apel merah sementara Haikal mondar-mandir tidak tenang di belakang pintu yang tertutup.
"Kenapa kamu bisa santai begini?" sahut Haikal.
"Hidup sudah berat, harus dibawa santai."
Haikal mendengus kesal. "Dengar serigala, hidup tidak semudah itu. Instingku mengatakan kita akan ketiban sial."
Ramza duduk mengecup sisa sari apel di jari tangan kanan. "Maksudmu?"
Haikal duduk di tepi kasur di sebelah Ramza. "Primus terlalu percaya diri. Dia menyeringai. Aku tidak suka jika dia banyak bicara, tapi lebih tidak suka jika dia diam seperti tadi."
"Kamu terlalu banyak berpikir. Lagi pula bukan hanya polisi, penjaga, dan penduduk sipil juga dikirim ke sana."
"Instingku selalu benar, Ram."
"Tidur, istirahat. Lebih baik bersiap untuk menghadapi hari esok." Ramza tidur berbalik badan menghadap beberapa kasur kosong berjajar.
Kasur-kasur anggota Batalion 10th. Tadi malam masih terisi. Ramsa mengepal sampai kuku menusuk kulit telapak tangan. Marko, Noir, keduanya senior yang pertama menyambutnya dan Haikal masuk ke Batalion 10th. Ia merasa lemah tidak mampu berbuat banyak untuk teman-teman. Ia memejam, air mata mengalir.
Tidur Ramza tidak nyenyak. Rasa bersalah terlalu besar. Malah Haikal yang mengorok besar sampai sinar hangat matahari menyusup masuk melalui jendela barak.
Kegaduhan di luar membuat keduanya bangun. Seorang polisi membuka pintu barak.
"Hei kalian beruda, Komandan menanti kalian di kantor!"
Setelah bersiap, keduanya pergi menuju gedung kepolisian kota Parisi. Sebuah bangunan bertingkat lima berhalaman luas, terpisah dari gedung-gedung lain. Di halaman samping beberapa polisi berlatih menembak musket, beberapa penjahat digiring masuk ke penjara bawah tanah di bawah kantor, pemandangan normal di sana.
Mereka sampai di depan ruang Komandan Tinggi di lantai tiga.
"Perasaanku tidak enak," bisik Ramza. "Bagaimana ini? Pura-pura sakit?"
"Telat." Haikal menjadi yang pertama masuk.
Komandan duduk di kursi kerja melihat hasil jepretan. Primus dan dua temannya berdiri tegap di depan meja Komandan Tinggi. Sementara Paman gendut berdiri di sebelah Komandan, sedikit membungkuk memandang foto di tangan Komandan.
Haikal dan Ramza memberi hormat. Belum sempat bicara, Komandan Tinggi menyela.
"Istirahat di tempat." Ia menaruh foto ke meja, memandang tajam Haikal dan Ramza. "Mana, katanya ada manusia kadal? Di sana hanya ada mayat teman-teman kalian dan para penjahat."
Ramza hendak menjawab, tapi Primus memotong. "Mereka pasti akan berkata, foto itu palsu."
Telunjuk Razael mengetuk foto di atas meja kayu. "Semua orang yang dikirim ke sana tidak melihat manusia kadal."
"Komandan, di sana pasti ada sisa manusia yang menjadi makanan manusia kadal," sahut Ramza. "Di sana pasti ada satu manusia kadal tewas."
"Jadi kamu berusaha berkata jika aku mengarang semua ini?" ujar Razael
Ramza dan Haikal memandang satu persatu foto. Hanya ada mayat polisi yang terluka akibat peperangan.
"109, 107, 101, 98, 95 dan 50. Mereka tidak ditemukan. Mereka pengecut yang kabur." Primus menyeringai. "Komandan Tinggi, mungkin keluarga mereka bisa dipenjarakan sebagai pengkhianat."
"Belum tentu," jawab Paman. "Aku kenal Noir, dia bukan pengecut!"
"Apa kamu berada di sana?" tanya Primus.
Ramza kenal nomor-nomor itu. Mereka yang berjuang mati menjadi makanan para manusia kadal dan sekarang mereka difitnah tanpa bisa membela diri.
Ramza mengepal tangan memandang bengis pada Primus. Terdengar suara napas menggebu. Ramza benar-benar ingin mencakar muka Primus.
"Kenapa serigala, mau membunuhku?" ledek Primus.
"Suatu saat nanti."
"Insting binatangmu muncul?" Primus menuding Ramza. "Komandan, kalau keduanya tidak dihukum, mereka bakal berbuat seenaknya sendiri. Jangan karena mereka titipan Perdana Menteri, Anda bersikap lunak!"
"Komandan," sela Paman. "Mereka berani kembali, itu tandanya mereka mengerti atas kesalahan mereka. Mohon beri kesempatan kedua. Lagi pula Perdana Menteri--"
"Mereka mencoreng nama Perdana Menteri, pecat, dan biar Perdana Menteri yang menghukum," sahut Primus.
"Komandan, bagaimana Anda menjelaskan pada Perdana Menteri kelak?" tanya Paman gendut.
Primus tidak mau kalah. "Komandan, mohon bersikap adil. Mereka memfitnah saya sebagai pengecut, nyatanya mereka yang kabur!"
"Cukup!" bentak Razael. "Kalian minta maaf pada Primus karena kalian memfitnah dan semua kesalahan kalian akan kuampuni."
"Minta maaf?" tanya Haikal.
"Nak, turuti saja," pinta Paman.
"Beruntung kalian titipan Perdana Menteri, tidak dihukum," ujar Primus.
Haikal menaruh pedang patah ke meja, juga badge polisi. "Aku berhenti." Ia keluar dari ruang.
"Haikal!" Ramza memandang Razael. "Maafkan dia, Komandan. Kadang dia suka lupa posisinya sebagai apa." Ramza menaruh gagang rapier juga badge miliknya ke meja. Ia mundur, membungkuk dalam ke hadapan Komandan Tinggi.
"Apa-apaan ini?" tanya Razael, berdiri dari duduknya.
"Maaf Komandan. Aku memundurkan diri! Sampai jumpa!" Ramza berhasil mengejar Haikal di depan pintu gerbang kantor. "Hei, kenapa terburu-buru?"
"Jika kamu mau merubah keputusanku, lupakan."
Ramza menggeleng. Kedua tangan melipat di belakang kepala. "Malas."
"Tumben."
"Aku juga berhenti, kok."
"Serius? Tapi kenapa? Bukankah kamu selalu memuji Razael?"
Ramza mengangguk. "Dia sangat baik karena memberiku banyak apel merah. Hanya saja aku tidak ingin bekerja di bawah pimpinan Primus."
Keduanya sampai di barak. Mereka mengemasi pakaian dalam hening, hingga suara derap kaki mendekat.
"Kalian benar-benar pergi?" Paman gendut mendatangi mereka.
Keduanya berhenti sejenak berbenah, menyambutnya di depan pintu kamar barak. Ramza bersemangat membuka lebih lebar pintu.
"Ayo Paman, masuk anggap barak sendiri."
Paman tertawa lepas. "Kamu memang selalu membawa santai semua suasana, ya?" Dia memberi Ramza dan Haikal masing-masing satu kantung berisi uang receh emas. "Komandan Tinggi bilang, itu pesangon kalian. Perjalanan ke Rems cukup jauh."
Ramza membungkuk bersama Haikal. "Terima kasih, Paman. Sampaikan terima kasih pada Komandan Tinggi."
Paman mengangguk. "Tetaplah semangat." Ia mengusap air yang menetes dari mata, "Ini bukan air mata, hanya kelilipan, sampai jumpa." pergi meninggalkan keduanya.
Paman sering minum bersama Haikal dan anggota batalion 10th. Beliau suka meminta Ramza memijat pundaknya. Tentu paman itu spesial bagi Ramza dan Haikal.
"Ayo pergi," sahut Haikal dengan nada bicara ketus, membawa buntalan pergi dari kamar.
Ramza memandang sekitar. Banyak kenangan bersama Batalion 10th. Suara tawa mereka masih terngiang. Bayang ketika mereka bermain catur di tengah ruang, ketika ada yang berulang tahun, semua perlahan sirna. Sekarang yang ada hanya kasur-kasur kosong.
"Kami pergi, ya." Ia membungkuk lalu membawa buntalan miliknya menyusul Haikal.
Haikal berhenti melangkah, merebut kantung uang Ramza yang baru datang.
"Hei! Kenapa mengambil uangku?"
Haikal mengembalikan separuh isi kantung uang Ramza, menaruh ke kantung miliknya lalu mengembalikan. "Ayo, ke rumah Noir."
Keduanya menuju distrik kumuh. Aroma busuk, jalan gang becek, beberapa orang mencuci pakaian di gang sempit. Mereka tiba di sebuah rumah berdinding batu gelap berlumut. Beberapa bagian dinding bolong dan ditampal memakai kayu palang, tidak berbeda dengan rumah yang mengapit di sisi kiri dan kanan.
"Permisi, Nyonya Noir," ujar Haikal.
"Iya, siapa ya?" Wanita kurus berperut bunting mendekati mereka. Dia basah kuyup karena mencuci bersama ibu-ibu.
"Ini, ada uang dari Paman Noir."
"Mana Noir?"
"Paman sibuk menjalankan tugas dari Komandan," ujar Haikal. "Benar, kan Ramza?"
Ramza mengangguk, memberi senyum terbaik. Dia tidak bisa berbohong, tapi memang Noir menjalankan tugasnya sebagai polisi.
"Hah, dasar pria tidak berguna." Nona Noir mengambil kantung uang itu. "Hei, kalian mau makan dulu? Aku membuat pie apel."
Ramza menggeleng. Dia tahu mungkin pie itu satu-satunya makanan Nyonya Noir.
Keduanya membungkuk kecil berpamitan kepada beliau. Baru beberapa langkah, mereka bertemu Razael menunggang kuda bersama beberapa polisi. Keduanya membungkuk memberi hormat.
"Tidak usah formal. Apa yang kalian lakukan? Belum kembali ke Reims?" tanya Razael.
"Menemui istri Paman Noir," jawab Haikal. "Permisi." Ia pergi begitu saja tanpa memandang Komandan. Rasa kesal masih hangat.
Ramza mengikuti sahabatnya.
Razael bicara kencang. "Korporal, pastikan semua keluarga polisi mendapat tunjangan dan anak istri mereka terjamin hidupnya!"
Ramza tersenyum mendengar hal itu. Sekarang dia bisa tenang pergi ke Reims.
"Lihat, dasar sinting. Panas-panas pakai pakaian tebal," komentar seorang polisi, mengamati pemuda berjas panjang kulit warna hitam, berjongkok di pinggir jalan setapak. Pemuda itu mengelus jejak kereta kuda memakai tangan."Apa yang dia cari?" tanya polisi lain."Kamu pikir aku Bapaknya?" Polisi pertama semakin penasaran mendekati Rion. "Nak, jika ingin bermain jangan di sini.""Aku bukan anakmu dan aku sedang tidak ingin bermain, jadi diamlah.""Pergilah! Di sini tempat kejadian perkara, bodoh!"Pandangan dingin Rion membuat polisi itu terdiam, kembali menemui temannya.Rion Lampagne, manusia mungil berperawakan kurus seperti anak kecil, tapi umurnya sudah selapan belas tahun. Dia berkulit putih terawat khas bangsawan. Rambut sedikit kusam tanda jika dia sering berada di bawah matahari. Jas detektif tebal di hari panas, juga memakai celana hitam panjang, topi vedora, dan sepatu bot lapangan, sering membuatnya dikira bocah ingusan yan
Di tengah hiruk pikuk pasar Ramza bersenandung riang. Dia memegang serbuk lembut kunyit kuning rempah khas dari daerah kekaisaran Mughal. Tangan jahil itu pindah menyentuh barang lain. Kali ini meremas kacang kapri dari kerajaan Britton. Belum puas rasa ingin tahunya, dia mengendus aroma bunga lilly putih khas dari kerajaan Prussian. Tradisi ini selalu dia lakukan ketika melintas di pasar pelabuhan Reims."Ramza." Seorang Nenek sedikit bungkuk pamer apel. Tentu yang dipanggil menghampiri.Ramza mengambil buah di tangan Nenek. "Apel! Makasih Nek." Gigitan besar gigi taring nyaris menyayat habis buah di tangan. Dia sangat suka rasa manis apel."Ini, untuk Haikal." Nenek memberi satu lagi buah apel. "Ke mana saja kalian, kenapa lima tahun belakangan jarang terlihat?""Sibuk Nek. Aku pamit dulu, ya." Ramza melangkah cepat tenggelam dalam laut pengunjung pasar.Ramza dan Haikal lumayan dikenal di kota pelabuhan Rems. Mereka besar di sini. Ketika senggan
Ramza dan Haikal beruntung dipinjami kuda sehingga bisa melesat langsung menuju Marseile. Berjalan kaki mungkin butuh tiga hari, tapi dengan kuda dalam satu hari perjalanan mereka tiba ke tujuan.Keduanya menginap di penginapan luar kota demi menghemat pengeluaran. Hektor memberi uang cukup banyak, tapi Haikal bersikeras untuk menyewa satu kamar, demi menabung uang untuk judi esok sekembalinya ke Reims.Ramza membanting badan ke kasur. Seperti anak kecil kedua kaki dan tangan bergerak naik turun hingga seprei kasur kusut. "Kal, bagaimana cara berjualan narkoba?""Jualan ya di pasar," jawab Haikal, menutup pintu kamar."Jadi kita ke pasar?""Ya iya lah. Kata Paman Hektor barang itu di taruh di gang dekat pasar. Pasti beliau menyuruh kita berjualan di sana.""Yang benar?" Ramza duduk bersila kaki di kasur, memandang Haikal berganti baju. "Emang Paman menyuruh menjual di sana?"Haikal menggeleng . Dia duduk di tepi kasur di sebelah kasur
Suara nyanyian burung begitu merdu di taman bunga yang ditumbuhi banyak bunga berkelopak putih. Cahaya matahari pagi menerpa patung seorang wanita bertelinga singa yang memegang tongkat berkepala bundar ke angkasai ujung taman. Seorang pemuda duduk di kursi batu sambil membaca buku. Jubah putih berornamen di bagian belakang menutup tunik bangsawan putih berkancing emas. Rambut panjangnya terurai ke belakang. Dia Jacob, Raja Frankia. Wajah tirus Jacob mendongak memandang lekat patung di depan. Patung Isabella Lionese, mendiang permaisuri yang sangat dia cintai. "Buku ini telah tamat. Bagaimana menurutmu sayang? Apa cerita novel kali ini bagus? Aku harap bagus. Penulis kesukaanmu, Iskariot, setelah mendengar kamu menyukai bukunya, dia segera membuat buku baru tentang dirimu, sayangku. Besok akan aku coba meminta kopian sebelum terbit dan akan kubacakan untukmu seperti biasa. Semoga kamu suka, ya." Pria tua melangkah mendekat. Jub
Tradisi sebelum masuk ke kantor polisi para penjahat berbaris di depan gedung selama beberapa jam. Mereka dijemur seperti ikan asin, lalu dilempari batu kerikil oleh para polisi dan warga yang melintas. Hal ini khusus bagi mereka yang tertangkap tangan melakukan kejahatan.Setelah tradisi selesai, mereka seperti hewan ternak digiring masuk ke kantor polisi. Sewaktu menjadi polisi Haikal selalu senang menendang pantat para penjahat ketika digiring masuk, sekarang dia tahu rasanya sol sepatu menghantam pantat."Masuk sana, dasar sampah masyarakat!" sentak polisi gendut."Berengsek, minta dihajar?" sentak Haikal."Haikal sabar, ingat kami penjahat," bisik Ramza."Tidak perlu kau ingatkan!" Benar-benar tidak nyaman ketika tali tambang melilit perut. "Tahu begini aku memakai kaos tebal. Sial."Mereka berhenti di depan pintu ruang pemeriksaan. Seorang polisi jangkung berwajah penuh jerawat menyetop mereka. "Kasus apa?""Narkotik," jaw
Pertempuran terjadi di ruang Komandan. Ramza, Haikal dan empat pria bertudung berhasil menang melawan para polisi korup. Beberapa polisi baik bergabung dengan mereka. Para polisi baik ini melihat lambang kerajaan, sehingga mereka tidak terpengaruh oleh ujaran kebencian dari komandan.Walau ruang sekarang berada di kendali polisi baik, tetapi pertempuran tetap pecah di kantor polisi.Di sepanjang lorong para polisi saling baku hantam dan berusaha saling membunuh. Polisi manusia di Ibu kota sepertinya telah lama mengendus rencana 'revolusi' oleh kaum manutang sehingga satu teriakan revolusi saja membuat mereka langsung menyerang manutang. Sekarang semua menjadi rumit seperti benang kusut."Sial, kemana larinya komandan tadi?" tanya Haikal. Ia merapikan jas panjangnya yang kusut."Dia di luar." Ramza menunjuk ke arah taman samping, membuat Jiro dan beberapa polisi mendekati jendela hendak melihat ke sana."Tembak mereka, para pembunuh Komandan T
Bola mata Ramza bergetar ketika melihat meriam di tembakan. Dia melindungi kepala dari hajaran bola meriam yang mendarat ke lantai atas. Suara ledakan terjadi dan asap tebal kembali menyelimuti. Setelah semua sedikit reda dia berusaha bangun menopang dinding pergi ke tempat yang aman."Haikal, di mana kamu?""Habisi semuanya!" teriak salah satu pasukan royal guard ketika masuk melalui lubang di dinding.Ramza terduduk lemas. Pertempuran terjadi antara para polisi melawan pasukan elit. Senjata para polisi mengalami kesulitan untuk menembus pakaian besi. Sementara para pasukan elit dengan mudah menghabisi mereka semua tanpa belas kasih."Ini, ada satu di sini!" teriak salah satu pasukan royal guard, di tengah kemelut hendak menusuk Ramza memakai pedang. Akan tetapi Ramza sigap mengangkat rapier menembus sela di antara pakaian besi dan helm besi. Senjatanya semakin dalam menusuk karena badan pria itu ambruk menimpa Ramza.
Ramza dan Haikal kembali ke mansion Lionese.Mereka menanti kehadiran Hektor seperti murid nakal kena hukum, berdiri dengan satu kaki, kedua tangan melipat di depan dada menjewer telinga masing-masing.Mereka bisa saja kabur atau duduk, asal Olivia. Nyatanya tidak. Mereka takut dengan gadis galak itu duduk di belakang desk di dekat pintu, sibuk menulis sesuatu.Tawa kecil dari beberapa pegawai yang berdiri di depan desk membuat wajah Ramza memerah. Dia yakin sebentar lagi seluruh Reims akan menjadikan ini sebagai gosip."Nona, sampai kapan kami berdiri seperti ini?" keluh Haikal. Dari cara memandang Victoria dengan mata menyipit, Ramza tahu sahabatnya itu sangat kesal.
Ini pertama kali Haikal berkumpul dengan para borjuis. Entah apa yang mereka bahas, dia tak tahu, tapi dari segi penampilan dia boleh diadu.Dia meneguk wine kelas atas mengamati Perdana Menteri tengah mengobrol dengan para petinggi."Haikal," tegur Jiro, menghampiri dari samping. Dia takjub dengan penampilan pemuda itu. "Lihat dirimu, seperti seorang Baron."Sanjungan selalu diterima dengan baik. "Terima kasih Tuan Jiro.""Jangan pakai Tuan." Jiro memandang ke sekitar. "Mana manutang serigala itu?""Mengejar wanita." Haikal menaruh gelas wine ke loyang yang pelayan bawa. "Ada perlu apa mengundang kami ke mari?"
Gadis manutang catt, ras yang sama seperti Ramza. Rambutnya kuning cerah panjang di atas pundak. Begitu manis wajah tirusnya, lalu netra indah berkancing warna kuning kecoklatan terbungkus kantung mata lembut berbentuk almond juga menjadi daya tarik gadis itu, mata yang indah hingga membuat Ramza gagal mengontrol ucapan. Dia keceplosan berbicara, "Cantik sekali." Mendengar gumam lembut Ramza, Sang gadis tersenyum lembut, menyembunyikan bibir tipis berwarna merah muda alami. Dia menjawab dengan ramah. "Terima kasih." Rasa malu seketika menbuat Ramza mundur beberapa langkah. Dia membuang muka tertunduk sambil menggaruk belakang kepala, lalu membungkuk sambil berucap, "M-maaf tadi aku tidak sengaja menabrak, Nona."
Di tepi danau Marseille, asap api unggun raksasa memecah gelap langit bertabur bintang nan indah. Di bawahnya, muda-mudi berdansa saling berpegangan tangan mengelilingi api unggun, mengikuti irama tabuhan gendang dan suara suling yang meriah.Pesta festival musim gugur selalu dirayakan sederhana. Ini saat di mana para bangsawan dan rakyat, juga keluarga kerajaan berbaur. Acara tahunan ini juga diikuti oleh seluruh delegasi negara-negara di benua Europin, sebagai tanda penghormatan bagi kerajaan Frankia.Ditepi keramaian, Ramza sibuk membenahi bros mahal hitam berlambang mawar putih di dada kanan, yang menahan kain hitam bercorak bunga putih menutup bagian kanan badan.Sama seperti Haikal, dia mengenakan tunik katun lengan panjang putih, bercelana kain hitam panjang, me
Ramza dan Haikal kembali ke mansion Lionese.Mereka menanti kehadiran Hektor seperti murid nakal kena hukum, berdiri dengan satu kaki, kedua tangan melipat di depan dada menjewer telinga masing-masing.Mereka bisa saja kabur atau duduk, asal Olivia. Nyatanya tidak. Mereka takut dengan gadis galak itu duduk di belakang desk di dekat pintu, sibuk menulis sesuatu.Tawa kecil dari beberapa pegawai yang berdiri di depan desk membuat wajah Ramza memerah. Dia yakin sebentar lagi seluruh Reims akan menjadikan ini sebagai gosip."Nona, sampai kapan kami berdiri seperti ini?" keluh Haikal. Dari cara memandang Victoria dengan mata menyipit, Ramza tahu sahabatnya itu sangat kesal.
Bola mata Ramza bergetar ketika melihat meriam di tembakan. Dia melindungi kepala dari hajaran bola meriam yang mendarat ke lantai atas. Suara ledakan terjadi dan asap tebal kembali menyelimuti. Setelah semua sedikit reda dia berusaha bangun menopang dinding pergi ke tempat yang aman."Haikal, di mana kamu?""Habisi semuanya!" teriak salah satu pasukan royal guard ketika masuk melalui lubang di dinding.Ramza terduduk lemas. Pertempuran terjadi antara para polisi melawan pasukan elit. Senjata para polisi mengalami kesulitan untuk menembus pakaian besi. Sementara para pasukan elit dengan mudah menghabisi mereka semua tanpa belas kasih."Ini, ada satu di sini!" teriak salah satu pasukan royal guard, di tengah kemelut hendak menusuk Ramza memakai pedang. Akan tetapi Ramza sigap mengangkat rapier menembus sela di antara pakaian besi dan helm besi. Senjatanya semakin dalam menusuk karena badan pria itu ambruk menimpa Ramza.
Pertempuran terjadi di ruang Komandan. Ramza, Haikal dan empat pria bertudung berhasil menang melawan para polisi korup. Beberapa polisi baik bergabung dengan mereka. Para polisi baik ini melihat lambang kerajaan, sehingga mereka tidak terpengaruh oleh ujaran kebencian dari komandan.Walau ruang sekarang berada di kendali polisi baik, tetapi pertempuran tetap pecah di kantor polisi.Di sepanjang lorong para polisi saling baku hantam dan berusaha saling membunuh. Polisi manusia di Ibu kota sepertinya telah lama mengendus rencana 'revolusi' oleh kaum manutang sehingga satu teriakan revolusi saja membuat mereka langsung menyerang manutang. Sekarang semua menjadi rumit seperti benang kusut."Sial, kemana larinya komandan tadi?" tanya Haikal. Ia merapikan jas panjangnya yang kusut."Dia di luar." Ramza menunjuk ke arah taman samping, membuat Jiro dan beberapa polisi mendekati jendela hendak melihat ke sana."Tembak mereka, para pembunuh Komandan T
Tradisi sebelum masuk ke kantor polisi para penjahat berbaris di depan gedung selama beberapa jam. Mereka dijemur seperti ikan asin, lalu dilempari batu kerikil oleh para polisi dan warga yang melintas. Hal ini khusus bagi mereka yang tertangkap tangan melakukan kejahatan.Setelah tradisi selesai, mereka seperti hewan ternak digiring masuk ke kantor polisi. Sewaktu menjadi polisi Haikal selalu senang menendang pantat para penjahat ketika digiring masuk, sekarang dia tahu rasanya sol sepatu menghantam pantat."Masuk sana, dasar sampah masyarakat!" sentak polisi gendut."Berengsek, minta dihajar?" sentak Haikal."Haikal sabar, ingat kami penjahat," bisik Ramza."Tidak perlu kau ingatkan!" Benar-benar tidak nyaman ketika tali tambang melilit perut. "Tahu begini aku memakai kaos tebal. Sial."Mereka berhenti di depan pintu ruang pemeriksaan. Seorang polisi jangkung berwajah penuh jerawat menyetop mereka. "Kasus apa?""Narkotik," jaw
Suara nyanyian burung begitu merdu di taman bunga yang ditumbuhi banyak bunga berkelopak putih. Cahaya matahari pagi menerpa patung seorang wanita bertelinga singa yang memegang tongkat berkepala bundar ke angkasai ujung taman. Seorang pemuda duduk di kursi batu sambil membaca buku. Jubah putih berornamen di bagian belakang menutup tunik bangsawan putih berkancing emas. Rambut panjangnya terurai ke belakang. Dia Jacob, Raja Frankia. Wajah tirus Jacob mendongak memandang lekat patung di depan. Patung Isabella Lionese, mendiang permaisuri yang sangat dia cintai. "Buku ini telah tamat. Bagaimana menurutmu sayang? Apa cerita novel kali ini bagus? Aku harap bagus. Penulis kesukaanmu, Iskariot, setelah mendengar kamu menyukai bukunya, dia segera membuat buku baru tentang dirimu, sayangku. Besok akan aku coba meminta kopian sebelum terbit dan akan kubacakan untukmu seperti biasa. Semoga kamu suka, ya." Pria tua melangkah mendekat. Jub
Ramza dan Haikal beruntung dipinjami kuda sehingga bisa melesat langsung menuju Marseile. Berjalan kaki mungkin butuh tiga hari, tapi dengan kuda dalam satu hari perjalanan mereka tiba ke tujuan.Keduanya menginap di penginapan luar kota demi menghemat pengeluaran. Hektor memberi uang cukup banyak, tapi Haikal bersikeras untuk menyewa satu kamar, demi menabung uang untuk judi esok sekembalinya ke Reims.Ramza membanting badan ke kasur. Seperti anak kecil kedua kaki dan tangan bergerak naik turun hingga seprei kasur kusut. "Kal, bagaimana cara berjualan narkoba?""Jualan ya di pasar," jawab Haikal, menutup pintu kamar."Jadi kita ke pasar?""Ya iya lah. Kata Paman Hektor barang itu di taruh di gang dekat pasar. Pasti beliau menyuruh kita berjualan di sana.""Yang benar?" Ramza duduk bersila kaki di kasur, memandang Haikal berganti baju. "Emang Paman menyuruh menjual di sana?"Haikal menggeleng . Dia duduk di tepi kasur di sebelah kasur