Di tengah hiruk pikuk pasar Ramza bersenandung riang. Dia memegang serbuk lembut kunyit kuning rempah khas dari daerah kekaisaran Mughal. Tangan jahil itu pindah menyentuh barang lain. Kali ini meremas kacang kapri dari kerajaan Britton. Belum puas rasa ingin tahunya, dia mengendus aroma bunga lilly putih khas dari kerajaan Prussian. Tradisi ini selalu dia lakukan ketika melintas di pasar pelabuhan Reims.
"Ramza." Seorang Nenek sedikit bungkuk pamer apel. Tentu yang dipanggil menghampiri.
Ramza mengambil buah di tangan Nenek. "Apel! Makasih Nek." Gigitan besar gigi taring nyaris menyayat habis buah di tangan. Dia sangat suka rasa manis apel.
"Ini, untuk Haikal." Nenek memberi satu lagi buah apel. "Ke mana saja kalian, kenapa lima tahun belakangan jarang terlihat?"
"Sibuk Nek. Aku pamit dulu, ya." Ramza melangkah cepat tenggelam dalam laut pengunjung pasar.
Ramza dan Haikal lumayan dikenal di kota pelabuhan Rems. Mereka besar di sini. Ketika senggang mereka suka bermain di dermaga, juga sering disuruh-suruh oleh pedagang.
Ramza menghampiri Haikal yang sedang berjongkok di tepi jalan memandang lepas ke pelabuhan. "Kal, mau apel?" tawarnya, menyodorkan buah itu setengah ingin.
"Buatmu saja."
"Hei, ada apa?"
Haikal tidak menjawab, fokus memandang jauh ke depan. Di bawah terik matahari beberapa kapal carrack dari Prussian dan daerah lain berkandang ke pelabuhan Rems. Layar kapal terlipat. Bendera di atas tiang berkibar tertiup angin bermain-main dengan beberapa burung camar yang melayang-layang di udara.
"Ada apa?" Ramza memakan habis apel, lalu mengelap telapak tangan ke pundak Haikal. "Tidak seperti biasa kamu seperti ini. Ada apa?"
"Bagaimana cara bicara pada Paman Hektor?"
"Ya bicara biasa, seperti kita sekarang, bicara."
Haikal menepuk mukanya. "Ram, kita baru berhenti dari kepolisian Parisi dan ingat apa pesan beliau dulu sewaktu kita dikirim ke kesatuan kepolisian Parisi?"
"Apa ya?" Ramza mencoba mengingat. "Ah! Kalau tidak salah hati-hati di jalan, kan?"
Haikal menggeleng.
"Salah? Oh, jangan membunuh orang?"
Haikal berdecak lebih kencang lagi. Percuma bicara dengan Ramza yang selalu menggampangkan semua masalah. Dia bangkit melangkah menuju mansion di atas bukit, berharap sesampainya di sana bisa menemukan kalimat yang cocok guna meminta maaf dan menjelaskan pada Hektor apa yang terjadi di Parisi.
Waktu bergulir dengan cepat. Tidak terasa mereka berdua tiba di depan pintu gerbang jeruji besi tua. Dua manutang berpakaian besi berdiri di sisi kiri dan kanan pintu. Di balik pagar menjulang sebuah gedung batu bertingkat tiga dikelilingi pepohonan pinus. Mereka tiba di Mansion Rems, hunian keluarga Lionese.
Seorang penjaga kurus menyambut dengan senyum ramah dua tamu mereka. "Oh, kalian? Hei Wedge, lihat siapa yang datang!"
Penjaga berkumis tebal menghampiri Ramza dan Haikal. Dia menepuk kepala keduanya. "Aku kira kalian betah di Parisi, heh? Berapa tahun berlalu, empat?"
"Lima!" seru Ramza dengan semangat.
"Paman Biggs," tegur Haikal. "Apa Paman Hektor ada di mansion?"
"Ada, mau bertemu? Beliau di ruang kerja."
Kedua penjaga membuka satu daun gerbang besi membiarkan dua pemuda masuk tanpa diperiksa.
Selama perjalanan menuju ruang kerja di lantai dua, beberapa wajah lama menyapa Ramza dan Haikal dengan senyum persahabatan. Semua itu tidak bisa menghapus rasa tegang di wajah Haikal.
Keduanya berhenti di depan pintu kayu mahoni. Belum juga mengetuk pintu, pintu dibuka dari dalam. Seorang wanita berwajah serius menyambut.
"Masuk."
Ramza dan Haikal berdiri tegap di atas permadani, memberi hormat pada Hektor dengan cara tangan kanan mengepal di depan dada kiri.
"Istirahat," ujar Hecktor. Pria berusia nyaris empat puluh tahun itu menuang sesuatu ke gelas berkaki satu membelakangi kedua pemuda. Ia berbalik memandang datar keduanya. "Berhenti dari kepolisian? Kalian kira kalian di sana tamasya?"
Ramza dan Haikal tak berani menjawab. Sepertinya Hektor telah mendengar kabar itu. Mungkin Razael mengirim burung merpati ke sini.
Hektor, satu dari empat kesatria Frankia, pria berbadan besar kekar dengan wajah kotak sangar. Berewok panjang berwarna cokelat tua menutup dagu. Rambut sewarna jenggot tumbuh panjang disisr ke belakang. Telinga dan ekor harimau ciri khas keluarga Lionese. Pakaian lengan panjang merah menutup nyaris semua kulit kuning kusam berbulu. Dia kehilangan tangan ketika bertarung dengan Julius Silverwolf, manutang serigala salah satu dari kesatria Frankia yang membelot tujuh belas tahun yang lalu.
Ramza dan Haikal sangat menghormati Hektor, pria yang mengajari mereka cara memakai senjata, membaca, juga menunggang kuda. Dan sekarang keduanya bingung harus apa.
"Razael tidak memberi tahu alasan mendetail kenapa kalian memundurkan diri. Sekarang katakan. Kenapa kalian keluar dari Kepolisan Parisi?"
Ramza membuka cerita, lalu Haikal melanjutkan. Keduanya menceritakan apa yang terjadi tanpa menambah atau mengurangi sesuatu. Sementara itu Hektor meneguk wine kecut. Setelah mendengar semua cerita sampai habis, dia berkomentar.
"Jadi semua ini karena Primus? Sayang sekali. Ayah pasti sangat marah jika mengetahui kalian memundurkan diri. Asal kalian tahu kalian dikirim ke sana bukan untuk hanya menjadi Polisi, tetapi mencari pejabat korup. Hilang sudah orang kita di Parisi."
"Maafkan kami Paman," ujar Ramza, tertunduk lemas.
Hektor membawa gelas berdiri di belakang jendela yang terbuka lebar. Dia menikmati angin laut sambil melihat keindahan pelabuhan di kejauhan. Pria itu berusaha mencerna apa yang terjadi. Dia sangat percaya pada Haikal dan Ramza. Keduanya tidak mungkin berbohong dengan apa yang mereka lihat. Terlebih dia tahu dari Rufus tentang penelitian aneh yang dilakukan oleh ilmuan misterius.
"Olivia, bisa ambilkan foto di rak kabinet?"
Gadis muda yang sembari tadi berdiri di belakang pintu dalam posisi istirahat ditempat pergi membuka rak kabinet dekat perapian. Dia mengambil foto yang dimaksud lalu menaruh ke meja kerja. Dia kembali berdiri ke tempat semula dengan posisi istirahat di tempat.
Hektor tidak bergerak sedikit pun. "Apa itu yang kalian lihat?"
Ramza dan Haikal bertukar pandang bingung. Keduanya memungut beberapa foto di meja. Mata mereka nyaris keluar dari kantung saking kagetnya mendapati apa yang tertera di foto.
"Iya Paman," jawab Haikal. "Makhluk ini yang menyerang kami. Mereka sangat kuat. Pedang pun gagal melukai mereka."
"Benar paman, rapierku sampai patah dibuat mereka."
Semakin jelas dugaan Hektor. Apa yang kedua bocah itu lihat adalah Lizardian, makhluk aneh yang menjadi mimpi buruk setiap makhluk hidup, musuh bersama manutang dan manusia.
"Kalau boleh tahu, dari mana foto-foto ini, Paman?" tanya Haikal.
"Homs. Dua puluh tahun yang lalu ketika perang tiga sisi, pihak manusia nyaris kalah. Mereka mengadakan penelitian aneh dan berhasil membuat makhluk itu. Mereka melepasnya begitu saja hingga menyerang semua makhluk. Baik manusia dan manutang semua tewas karena makhluk itu."
"Olive, kirim surat ke ayah. Katakan, Lizardian kembali muncul."
"Apa perlu menambahkan detail kepada Perdana Menteri, Tuan?"
Hektor menggeleng. Gadis berbadan lekuk jam pasir kurus itu memberi hormat ala Lionese lalu keluar kamar.
"Paman," tegur Ramza. "Boleh kami tidur? Capek Paman, dari perjalanan jauh."
"Heh," bisik Haikal. "Kita belum mendapat hukuman, sudah mau tidur saja."
Ramza menguap lebar, menepuk-nepuk mulut. "Ngantuk, Kal. Dari kemarin jalan terus, capek."
"Hukuman bagi kalian ...." Perkataan Hektor memaksa dua pemuda berdiri tegap. " .... menyamarlah menjadi pengedar narkotik di ibukota Marseile. Biarkan diri kalian tertangkap dan coba sogok para polisi di sana. Jika mereka menolak, katakan jika kalian orang-orang Lionese, jika mereka menerima suap, hapalkan wajah mereka. Mengerti?"
"Uang sogokannya?" tanya Ramza.
"Minta Olivia. Dia akan memberimu uang."
"Bagaimana kalau kedok kami terbongkar?" tanya Haikal.
"Kabur. Sekarang kalian tidur yang nyenyak. Besok pagi kalian pergi ke Ibu Kota. Mengerti?"
"Kalau gagal?" tanya Ramza.
"Hukuman kalian akan dilipat gandakan, biar ayah yang mengurus kalian. Sekarang keluar."
Kedua pemuda memberi hormat lalu pergi dari ruang kerja.
Hektor menghela napas panjang, menaruh gelas ke bingkai jendela. "Julius, sekarang bagaimana? Makhluk sial itu sekarang mereka kembali muncul."
Ramza dan Haikal beruntung dipinjami kuda sehingga bisa melesat langsung menuju Marseile. Berjalan kaki mungkin butuh tiga hari, tapi dengan kuda dalam satu hari perjalanan mereka tiba ke tujuan.Keduanya menginap di penginapan luar kota demi menghemat pengeluaran. Hektor memberi uang cukup banyak, tapi Haikal bersikeras untuk menyewa satu kamar, demi menabung uang untuk judi esok sekembalinya ke Reims.Ramza membanting badan ke kasur. Seperti anak kecil kedua kaki dan tangan bergerak naik turun hingga seprei kasur kusut. "Kal, bagaimana cara berjualan narkoba?""Jualan ya di pasar," jawab Haikal, menutup pintu kamar."Jadi kita ke pasar?""Ya iya lah. Kata Paman Hektor barang itu di taruh di gang dekat pasar. Pasti beliau menyuruh kita berjualan di sana.""Yang benar?" Ramza duduk bersila kaki di kasur, memandang Haikal berganti baju. "Emang Paman menyuruh menjual di sana?"Haikal menggeleng . Dia duduk di tepi kasur di sebelah kasur
Suara nyanyian burung begitu merdu di taman bunga yang ditumbuhi banyak bunga berkelopak putih. Cahaya matahari pagi menerpa patung seorang wanita bertelinga singa yang memegang tongkat berkepala bundar ke angkasai ujung taman. Seorang pemuda duduk di kursi batu sambil membaca buku. Jubah putih berornamen di bagian belakang menutup tunik bangsawan putih berkancing emas. Rambut panjangnya terurai ke belakang. Dia Jacob, Raja Frankia. Wajah tirus Jacob mendongak memandang lekat patung di depan. Patung Isabella Lionese, mendiang permaisuri yang sangat dia cintai. "Buku ini telah tamat. Bagaimana menurutmu sayang? Apa cerita novel kali ini bagus? Aku harap bagus. Penulis kesukaanmu, Iskariot, setelah mendengar kamu menyukai bukunya, dia segera membuat buku baru tentang dirimu, sayangku. Besok akan aku coba meminta kopian sebelum terbit dan akan kubacakan untukmu seperti biasa. Semoga kamu suka, ya." Pria tua melangkah mendekat. Jub
Tradisi sebelum masuk ke kantor polisi para penjahat berbaris di depan gedung selama beberapa jam. Mereka dijemur seperti ikan asin, lalu dilempari batu kerikil oleh para polisi dan warga yang melintas. Hal ini khusus bagi mereka yang tertangkap tangan melakukan kejahatan.Setelah tradisi selesai, mereka seperti hewan ternak digiring masuk ke kantor polisi. Sewaktu menjadi polisi Haikal selalu senang menendang pantat para penjahat ketika digiring masuk, sekarang dia tahu rasanya sol sepatu menghantam pantat."Masuk sana, dasar sampah masyarakat!" sentak polisi gendut."Berengsek, minta dihajar?" sentak Haikal."Haikal sabar, ingat kami penjahat," bisik Ramza."Tidak perlu kau ingatkan!" Benar-benar tidak nyaman ketika tali tambang melilit perut. "Tahu begini aku memakai kaos tebal. Sial."Mereka berhenti di depan pintu ruang pemeriksaan. Seorang polisi jangkung berwajah penuh jerawat menyetop mereka. "Kasus apa?""Narkotik," jaw
Pertempuran terjadi di ruang Komandan. Ramza, Haikal dan empat pria bertudung berhasil menang melawan para polisi korup. Beberapa polisi baik bergabung dengan mereka. Para polisi baik ini melihat lambang kerajaan, sehingga mereka tidak terpengaruh oleh ujaran kebencian dari komandan.Walau ruang sekarang berada di kendali polisi baik, tetapi pertempuran tetap pecah di kantor polisi.Di sepanjang lorong para polisi saling baku hantam dan berusaha saling membunuh. Polisi manusia di Ibu kota sepertinya telah lama mengendus rencana 'revolusi' oleh kaum manutang sehingga satu teriakan revolusi saja membuat mereka langsung menyerang manutang. Sekarang semua menjadi rumit seperti benang kusut."Sial, kemana larinya komandan tadi?" tanya Haikal. Ia merapikan jas panjangnya yang kusut."Dia di luar." Ramza menunjuk ke arah taman samping, membuat Jiro dan beberapa polisi mendekati jendela hendak melihat ke sana."Tembak mereka, para pembunuh Komandan T
Bola mata Ramza bergetar ketika melihat meriam di tembakan. Dia melindungi kepala dari hajaran bola meriam yang mendarat ke lantai atas. Suara ledakan terjadi dan asap tebal kembali menyelimuti. Setelah semua sedikit reda dia berusaha bangun menopang dinding pergi ke tempat yang aman."Haikal, di mana kamu?""Habisi semuanya!" teriak salah satu pasukan royal guard ketika masuk melalui lubang di dinding.Ramza terduduk lemas. Pertempuran terjadi antara para polisi melawan pasukan elit. Senjata para polisi mengalami kesulitan untuk menembus pakaian besi. Sementara para pasukan elit dengan mudah menghabisi mereka semua tanpa belas kasih."Ini, ada satu di sini!" teriak salah satu pasukan royal guard, di tengah kemelut hendak menusuk Ramza memakai pedang. Akan tetapi Ramza sigap mengangkat rapier menembus sela di antara pakaian besi dan helm besi. Senjatanya semakin dalam menusuk karena badan pria itu ambruk menimpa Ramza.
Ramza dan Haikal kembali ke mansion Lionese.Mereka menanti kehadiran Hektor seperti murid nakal kena hukum, berdiri dengan satu kaki, kedua tangan melipat di depan dada menjewer telinga masing-masing.Mereka bisa saja kabur atau duduk, asal Olivia. Nyatanya tidak. Mereka takut dengan gadis galak itu duduk di belakang desk di dekat pintu, sibuk menulis sesuatu.Tawa kecil dari beberapa pegawai yang berdiri di depan desk membuat wajah Ramza memerah. Dia yakin sebentar lagi seluruh Reims akan menjadikan ini sebagai gosip."Nona, sampai kapan kami berdiri seperti ini?" keluh Haikal. Dari cara memandang Victoria dengan mata menyipit, Ramza tahu sahabatnya itu sangat kesal.
Di tepi danau Marseille, asap api unggun raksasa memecah gelap langit bertabur bintang nan indah. Di bawahnya, muda-mudi berdansa saling berpegangan tangan mengelilingi api unggun, mengikuti irama tabuhan gendang dan suara suling yang meriah.Pesta festival musim gugur selalu dirayakan sederhana. Ini saat di mana para bangsawan dan rakyat, juga keluarga kerajaan berbaur. Acara tahunan ini juga diikuti oleh seluruh delegasi negara-negara di benua Europin, sebagai tanda penghormatan bagi kerajaan Frankia.Ditepi keramaian, Ramza sibuk membenahi bros mahal hitam berlambang mawar putih di dada kanan, yang menahan kain hitam bercorak bunga putih menutup bagian kanan badan.Sama seperti Haikal, dia mengenakan tunik katun lengan panjang putih, bercelana kain hitam panjang, me
Gadis manutang catt, ras yang sama seperti Ramza. Rambutnya kuning cerah panjang di atas pundak. Begitu manis wajah tirusnya, lalu netra indah berkancing warna kuning kecoklatan terbungkus kantung mata lembut berbentuk almond juga menjadi daya tarik gadis itu, mata yang indah hingga membuat Ramza gagal mengontrol ucapan. Dia keceplosan berbicara, "Cantik sekali." Mendengar gumam lembut Ramza, Sang gadis tersenyum lembut, menyembunyikan bibir tipis berwarna merah muda alami. Dia menjawab dengan ramah. "Terima kasih." Rasa malu seketika menbuat Ramza mundur beberapa langkah. Dia membuang muka tertunduk sambil menggaruk belakang kepala, lalu membungkuk sambil berucap, "M-maaf tadi aku tidak sengaja menabrak, Nona."
Ini pertama kali Haikal berkumpul dengan para borjuis. Entah apa yang mereka bahas, dia tak tahu, tapi dari segi penampilan dia boleh diadu.Dia meneguk wine kelas atas mengamati Perdana Menteri tengah mengobrol dengan para petinggi."Haikal," tegur Jiro, menghampiri dari samping. Dia takjub dengan penampilan pemuda itu. "Lihat dirimu, seperti seorang Baron."Sanjungan selalu diterima dengan baik. "Terima kasih Tuan Jiro.""Jangan pakai Tuan." Jiro memandang ke sekitar. "Mana manutang serigala itu?""Mengejar wanita." Haikal menaruh gelas wine ke loyang yang pelayan bawa. "Ada perlu apa mengundang kami ke mari?"
Gadis manutang catt, ras yang sama seperti Ramza. Rambutnya kuning cerah panjang di atas pundak. Begitu manis wajah tirusnya, lalu netra indah berkancing warna kuning kecoklatan terbungkus kantung mata lembut berbentuk almond juga menjadi daya tarik gadis itu, mata yang indah hingga membuat Ramza gagal mengontrol ucapan. Dia keceplosan berbicara, "Cantik sekali." Mendengar gumam lembut Ramza, Sang gadis tersenyum lembut, menyembunyikan bibir tipis berwarna merah muda alami. Dia menjawab dengan ramah. "Terima kasih." Rasa malu seketika menbuat Ramza mundur beberapa langkah. Dia membuang muka tertunduk sambil menggaruk belakang kepala, lalu membungkuk sambil berucap, "M-maaf tadi aku tidak sengaja menabrak, Nona."
Di tepi danau Marseille, asap api unggun raksasa memecah gelap langit bertabur bintang nan indah. Di bawahnya, muda-mudi berdansa saling berpegangan tangan mengelilingi api unggun, mengikuti irama tabuhan gendang dan suara suling yang meriah.Pesta festival musim gugur selalu dirayakan sederhana. Ini saat di mana para bangsawan dan rakyat, juga keluarga kerajaan berbaur. Acara tahunan ini juga diikuti oleh seluruh delegasi negara-negara di benua Europin, sebagai tanda penghormatan bagi kerajaan Frankia.Ditepi keramaian, Ramza sibuk membenahi bros mahal hitam berlambang mawar putih di dada kanan, yang menahan kain hitam bercorak bunga putih menutup bagian kanan badan.Sama seperti Haikal, dia mengenakan tunik katun lengan panjang putih, bercelana kain hitam panjang, me
Ramza dan Haikal kembali ke mansion Lionese.Mereka menanti kehadiran Hektor seperti murid nakal kena hukum, berdiri dengan satu kaki, kedua tangan melipat di depan dada menjewer telinga masing-masing.Mereka bisa saja kabur atau duduk, asal Olivia. Nyatanya tidak. Mereka takut dengan gadis galak itu duduk di belakang desk di dekat pintu, sibuk menulis sesuatu.Tawa kecil dari beberapa pegawai yang berdiri di depan desk membuat wajah Ramza memerah. Dia yakin sebentar lagi seluruh Reims akan menjadikan ini sebagai gosip."Nona, sampai kapan kami berdiri seperti ini?" keluh Haikal. Dari cara memandang Victoria dengan mata menyipit, Ramza tahu sahabatnya itu sangat kesal.
Bola mata Ramza bergetar ketika melihat meriam di tembakan. Dia melindungi kepala dari hajaran bola meriam yang mendarat ke lantai atas. Suara ledakan terjadi dan asap tebal kembali menyelimuti. Setelah semua sedikit reda dia berusaha bangun menopang dinding pergi ke tempat yang aman."Haikal, di mana kamu?""Habisi semuanya!" teriak salah satu pasukan royal guard ketika masuk melalui lubang di dinding.Ramza terduduk lemas. Pertempuran terjadi antara para polisi melawan pasukan elit. Senjata para polisi mengalami kesulitan untuk menembus pakaian besi. Sementara para pasukan elit dengan mudah menghabisi mereka semua tanpa belas kasih."Ini, ada satu di sini!" teriak salah satu pasukan royal guard, di tengah kemelut hendak menusuk Ramza memakai pedang. Akan tetapi Ramza sigap mengangkat rapier menembus sela di antara pakaian besi dan helm besi. Senjatanya semakin dalam menusuk karena badan pria itu ambruk menimpa Ramza.
Pertempuran terjadi di ruang Komandan. Ramza, Haikal dan empat pria bertudung berhasil menang melawan para polisi korup. Beberapa polisi baik bergabung dengan mereka. Para polisi baik ini melihat lambang kerajaan, sehingga mereka tidak terpengaruh oleh ujaran kebencian dari komandan.Walau ruang sekarang berada di kendali polisi baik, tetapi pertempuran tetap pecah di kantor polisi.Di sepanjang lorong para polisi saling baku hantam dan berusaha saling membunuh. Polisi manusia di Ibu kota sepertinya telah lama mengendus rencana 'revolusi' oleh kaum manutang sehingga satu teriakan revolusi saja membuat mereka langsung menyerang manutang. Sekarang semua menjadi rumit seperti benang kusut."Sial, kemana larinya komandan tadi?" tanya Haikal. Ia merapikan jas panjangnya yang kusut."Dia di luar." Ramza menunjuk ke arah taman samping, membuat Jiro dan beberapa polisi mendekati jendela hendak melihat ke sana."Tembak mereka, para pembunuh Komandan T
Tradisi sebelum masuk ke kantor polisi para penjahat berbaris di depan gedung selama beberapa jam. Mereka dijemur seperti ikan asin, lalu dilempari batu kerikil oleh para polisi dan warga yang melintas. Hal ini khusus bagi mereka yang tertangkap tangan melakukan kejahatan.Setelah tradisi selesai, mereka seperti hewan ternak digiring masuk ke kantor polisi. Sewaktu menjadi polisi Haikal selalu senang menendang pantat para penjahat ketika digiring masuk, sekarang dia tahu rasanya sol sepatu menghantam pantat."Masuk sana, dasar sampah masyarakat!" sentak polisi gendut."Berengsek, minta dihajar?" sentak Haikal."Haikal sabar, ingat kami penjahat," bisik Ramza."Tidak perlu kau ingatkan!" Benar-benar tidak nyaman ketika tali tambang melilit perut. "Tahu begini aku memakai kaos tebal. Sial."Mereka berhenti di depan pintu ruang pemeriksaan. Seorang polisi jangkung berwajah penuh jerawat menyetop mereka. "Kasus apa?""Narkotik," jaw
Suara nyanyian burung begitu merdu di taman bunga yang ditumbuhi banyak bunga berkelopak putih. Cahaya matahari pagi menerpa patung seorang wanita bertelinga singa yang memegang tongkat berkepala bundar ke angkasai ujung taman. Seorang pemuda duduk di kursi batu sambil membaca buku. Jubah putih berornamen di bagian belakang menutup tunik bangsawan putih berkancing emas. Rambut panjangnya terurai ke belakang. Dia Jacob, Raja Frankia. Wajah tirus Jacob mendongak memandang lekat patung di depan. Patung Isabella Lionese, mendiang permaisuri yang sangat dia cintai. "Buku ini telah tamat. Bagaimana menurutmu sayang? Apa cerita novel kali ini bagus? Aku harap bagus. Penulis kesukaanmu, Iskariot, setelah mendengar kamu menyukai bukunya, dia segera membuat buku baru tentang dirimu, sayangku. Besok akan aku coba meminta kopian sebelum terbit dan akan kubacakan untukmu seperti biasa. Semoga kamu suka, ya." Pria tua melangkah mendekat. Jub
Ramza dan Haikal beruntung dipinjami kuda sehingga bisa melesat langsung menuju Marseile. Berjalan kaki mungkin butuh tiga hari, tapi dengan kuda dalam satu hari perjalanan mereka tiba ke tujuan.Keduanya menginap di penginapan luar kota demi menghemat pengeluaran. Hektor memberi uang cukup banyak, tapi Haikal bersikeras untuk menyewa satu kamar, demi menabung uang untuk judi esok sekembalinya ke Reims.Ramza membanting badan ke kasur. Seperti anak kecil kedua kaki dan tangan bergerak naik turun hingga seprei kasur kusut. "Kal, bagaimana cara berjualan narkoba?""Jualan ya di pasar," jawab Haikal, menutup pintu kamar."Jadi kita ke pasar?""Ya iya lah. Kata Paman Hektor barang itu di taruh di gang dekat pasar. Pasti beliau menyuruh kita berjualan di sana.""Yang benar?" Ramza duduk bersila kaki di kasur, memandang Haikal berganti baju. "Emang Paman menyuruh menjual di sana?"Haikal menggeleng . Dia duduk di tepi kasur di sebelah kasur