"Lihat, dasar sinting. Panas-panas pakai pakaian tebal," komentar seorang polisi, mengamati pemuda berjas panjang kulit warna hitam, berjongkok di pinggir jalan setapak. Pemuda itu mengelus jejak kereta kuda memakai tangan.
"Apa yang dia cari?" tanya polisi lain.
"Kamu pikir aku Bapaknya?" Polisi pertama semakin penasaran mendekati Rion. "Nak, jika ingin bermain jangan di sini."
"Aku bukan anakmu dan aku sedang tidak ingin bermain, jadi diamlah."
"Pergilah! Di sini tempat kejadian perkara, bodoh!"
Pandangan dingin Rion membuat polisi itu terdiam, kembali menemui temannya.
Rion Lampagne, manusia mungil berperawakan kurus seperti anak kecil, tapi umurnya sudah selapan belas tahun. Dia berkulit putih terawat khas bangsawan. Rambut sedikit kusam tanda jika dia sering berada di bawah matahari. Jas detektif tebal di hari panas, juga memakai celana hitam panjang, topi vedora, dan sepatu bot lapangan, sering membuatnya dikira bocah ingusan yang sedang bermain detektif.
Seorang pemuda manutang jenis guguk jangkung kurus keluar dari semak belukar. Kerah dan beberapa bagian sudut kemeja nampak lebih gelap karena keringat. dia mengipas badan berkulit kuning cerah memakai kertas, menenteng jas panjang serupa seperti milik Rion.
"Aku benci daerah Parisi," keluh Alfa. "Panasnya seperti di penggorengan."
"Pernah digoreng?" celetuk Rion dengan nada dingin.
"Itu perumpamaan. Jangan terlalu serius dengan ucapanku."
"Ucapan seorang detektif harus serius. Jika tidak bagaimana detektif bisa dipercaya?"
Alfa bedecak kesal. "Apa yang kamu temukan?"
"Jejak kereta kuda," jawab Rion. "Kereta ini kelebihan muatan mengangkut sesuatu dari arah hutan."
Rion memiliki kemampuan analisa hitam putih. Khusus di matanya jika tengah serius, semua di sekitar menjadi hitam putih. Ia bisa melihat lima kereta kuda dikawal puluhan pasukan berkuda melintas dari hutan. Roda kayu kereta kuda menekan tanah di jalan setapak di depannya, membuat jejak lebih dalam di bagian yang dilalui karena muatan yang berlebih.
Dia bangkit dari jongkok. Seketika pandangan di sekeliling kembali berwarna seperti biasa. Rion hendak masuk ke hutan tetapi dua polisi Parisi menghalangi.
"Wilayah terbatas untuk umum. Menjauhlah, Nak."
Alfa menunjukkan badge bundar kepada mereka. "Alfa Velvet dan ini Rion Lampagne. Detektif ibu kota Marseille, divisi khusus."
Kedua polisi langsung berdiri tegap memberi hormat. "Maaf atas ketidaktahuan kami. Silahkan, Tuan."
Kedua detektif berjalan santai memasuki hutan rimbun menuju pertambangan tua. Sementara itu, kedua polisi mengamati mereka sambil berbincang.
"Ya Tuhan, itu duo Versailles, kan?"
"Jika mereka di sini, berarti insiden Batalion 10th merupakan insiden besar?"
Duo di kirim langsung oleh Raja guna menyelidiki penculikan warga Frankia ras manutang di Parisi. Raja sangat tidak percaya pada kepolisian karena merasa mereka terlalu korup.
Garis polisi membentang di sekitar pertambangan tua. Beberapa polisi menjaga di sana. Para polisi nampak bingung akan kehadiran dua pemuda. Seorang dari mereka mendekati Rion.
"Komandan kompi polisi batalion cadangan 15th, ada yang bisa aku bantu?"
Alfa menunjukkan badge di tangan. Benda berwarna putih dengan lambang bunga kejora hitam di depan dua pedang.
Sontak komandan memberi hormat. "Maaf, saya tidak tahu--"
"Tidak usah terlalu formal," ujar Rion, menyalakan tembakau dalam cerutu kayu melengkung. "Bagaimana laporan sementara?"
Sambil melangkah Komandan membaca dokumen yang dibawa seorang polisi. "Menurut penyidik, Batalion 10th kepolisian Parisi bertempur melawan para penculik. Nyaris semua polisi tewas."
"Berapa jumlah korban?" tanya Alfa.
"Polisi dua puluh orang, bandit dua belas orang. Kurang lebih sepuluh polisi kabur."
"Bagaimana dengan para manutang yang diculik?"
"Kemungkinan diungsikan."
"Kemungkinan," gumam Rion. "Kalimat tidak pasti yang sangat menyebalkan."
Komandan sigap menyalakan sumbu teplok, mengawal kedua detektif masuk ke tambang. Cahaya matahari semakin sirna. Aroma darah menyengat. Udara pengap. Banyak sel kosong di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan. Mereka sampai di ruang luas kosong.
Komandan berkata, "Menurut tim penyidik, sel-sel ini menjadi tempat tahanan manutang. Kemungkinan ruang luas ini digunakan sebagai arena pelatihan atau semacamnya."
"Atau semacamnya, menarik. Penyidik macam apa yang berkata penuh ketidakyakinan seperti itu?" tanya Rion.
"Maaf, saya hanya menyampaikan."
Alfa untuk menyalakan obor di dinding. Ruang goa menjadi terang. Tak sengaja Rion menginjak pecahan kaca. Benda itu terlalu tebal untuk menjadi sekedar kaca biasa.
"Komandan, apa yang penyidik katakan tentang remah kaca ini?" tanya Rion.
"Mereka mengira itu pecahan botol minuman keras karena mengandung senyawa ber-alkohol."
"Mengira?" Rion mengendus pecahan kaca berbau anyir menyengat. Ia membiarkan Alfa mengendus lalu pemuda jangkung itu mengernyit.
"Ini abrosidan," ujar Alfa.
Abrosidan adalah senyawa pengawet, juga biasa digunakan untuk penelitian biotik. Ia memandang sekitar. Terdapat jejak meja di lantai dekat dinding.
Kemampuan hitam putih muncul. Dia melihat tabung-tabung besar berisi cairan abrosidan di tengah ruang, berisi makhluk aneh. Dia pergi ke sel kosong, mendapati cairan garing sperma milik manusia, juga ovum milik manutang perempuan. Sepertinya para gadis manutang mendapat pelecehan. Terdapat pecahan rantai baru di lantai. Seketika penglihatan kembali normal.
"Sepertinya mereka melakukan eksperimen biologi," ujar Rion. "Mereka bukan pedagang budak ilegal. Mereka menculik manutang untuk membuat sesuatu dan menempatkan ke dalam tabung berambrosidan, lalu tabung pecah karena suatu hal dan makhluk itu menghabisi mereka semua."
"Makhluk apa?" tanya Alfa.
Rion tidak menjawab karena Komandan berada di dekat mereka. Ketiganya kembali menuju muka tambang. Rion berjongkok, mendapati sisa cengkeraman pada cagak di muka goa.
"Ini cengkraman manusia. Dia berusaha sekuat tenaga untuk lolos dari sesuatu yang menariknya masuk ke goa."
Polisi bingung mendengar percakapan kedua detektif. Ketiganya lanjut berjalan. Alfa dan polisi mengikuti Rion menyusuri tanah sekitar di muka goa, hingga pemuda itu memungut sesuatu.
Sebuah sisik kecil seperti sisik ular warna hitam tergeletak di tanah. Dia mengoper pada Alfa. Manutang itu berusaha menghancurkan sisik, tapi gagal. Kuku tajam tidak mampu melubangi sisik.
Rion menaruh benda itu ke atas batu. Beberapa polisi penasaran mendekat, menonton apa yang hendak dia lakukan. Alfa menghantam benda kecil di atas batu memakai pedang berulang kali, sisik itu tidak hancur.
"Ada masalah apa pada batu itu?" tanya Komandan.
"Bukan batu, tapi sisik." Rion menunjuk batu. "Lihatlah, hanya tergores."
Komandan meminjam benda itu, memutar-mutar lalu mencoba menusuk benda memakai ujung rapier. Senjatanya berhasil menembus pecahan sisik. Rion dan Alfa terkejut tidak percaya dengan apa yang mereka lihat sampai gagal berkedip.
"Bagaimana mungkin?" Rion mengamati benda itu sekali lagi.
"Wah, Komandan hebat!" puji seorang polisi. Mereka bertepuk tangan menyambut keberhasilan bahkan ada yang bersiul.
"Oh, ternyata begitu." Rion menyeringai, meminjam kuku tajam Alfa untuk melubangi sisik. "Benda itu sangat kuat di satu sisi, tapi sangat lemah di bagian lain."
"Yah, kami kira Komandan kuat, ternyata--" keluh polisi manutang muda.
"Ada apa dengan wajah lesu itu, manutang jelek!" hardik Komandan, mengundang tawa dari polisi lain.
Rion tersenyum lembut. Ia membungkuk di hadapan Komandan. "Terima kasih atas waktu dan bantuannya."
"Kami senang bisa membantu kalian."
Alfa berdeham. "Tolong rahasiakan kedatangan kami. Kami permisi dulu."
Seketika semua polisi dan Komandan memberi hormat dengan tegang pada Rion dan Alfa yang melangkah pergi.
"Rion, apa pemilik sisik ini sama seperti yang di Prussia?" tanya Alfa, memakai jas panjangnya.
"Aku harap bukan."
"Jadi bagaimana? Kita melapor ke Komandan Tinggi Parisi--"
"Ada kejanggalan. Kalau yang dikatakan Komandan Tinggi tentang pertarungan di depan tambang benar, harusnya kita tidak menemukan sisik ini."
"Jangan-jangan orang Parisi terlibat."
Rion menggeleng. "Tidak bersalah sebelum dibuktikan bersalah. Praduga tidak bersalah, asas yang harus dijaga. Jangan pernah menduga tanpa bukti. Walau memiliki motif sekalipun."
Rion menunggang kuda putih, memandang Alfa yang menaiki kuda warna cokelat. " Aku rasa ini bukan masalah sipil lagi, melainkan ancaman militer. Kita ke Marseille, melaporkan semua ini ke Raja sekarang juga."
"Yes, your grace."
Keduanya memutar kuda, memacu cepat menuju arah berlawanan dari Parisi.
Di tengah hiruk pikuk pasar Ramza bersenandung riang. Dia memegang serbuk lembut kunyit kuning rempah khas dari daerah kekaisaran Mughal. Tangan jahil itu pindah menyentuh barang lain. Kali ini meremas kacang kapri dari kerajaan Britton. Belum puas rasa ingin tahunya, dia mengendus aroma bunga lilly putih khas dari kerajaan Prussian. Tradisi ini selalu dia lakukan ketika melintas di pasar pelabuhan Reims."Ramza." Seorang Nenek sedikit bungkuk pamer apel. Tentu yang dipanggil menghampiri.Ramza mengambil buah di tangan Nenek. "Apel! Makasih Nek." Gigitan besar gigi taring nyaris menyayat habis buah di tangan. Dia sangat suka rasa manis apel."Ini, untuk Haikal." Nenek memberi satu lagi buah apel. "Ke mana saja kalian, kenapa lima tahun belakangan jarang terlihat?""Sibuk Nek. Aku pamit dulu, ya." Ramza melangkah cepat tenggelam dalam laut pengunjung pasar.Ramza dan Haikal lumayan dikenal di kota pelabuhan Rems. Mereka besar di sini. Ketika senggan
Ramza dan Haikal beruntung dipinjami kuda sehingga bisa melesat langsung menuju Marseile. Berjalan kaki mungkin butuh tiga hari, tapi dengan kuda dalam satu hari perjalanan mereka tiba ke tujuan.Keduanya menginap di penginapan luar kota demi menghemat pengeluaran. Hektor memberi uang cukup banyak, tapi Haikal bersikeras untuk menyewa satu kamar, demi menabung uang untuk judi esok sekembalinya ke Reims.Ramza membanting badan ke kasur. Seperti anak kecil kedua kaki dan tangan bergerak naik turun hingga seprei kasur kusut. "Kal, bagaimana cara berjualan narkoba?""Jualan ya di pasar," jawab Haikal, menutup pintu kamar."Jadi kita ke pasar?""Ya iya lah. Kata Paman Hektor barang itu di taruh di gang dekat pasar. Pasti beliau menyuruh kita berjualan di sana.""Yang benar?" Ramza duduk bersila kaki di kasur, memandang Haikal berganti baju. "Emang Paman menyuruh menjual di sana?"Haikal menggeleng . Dia duduk di tepi kasur di sebelah kasur
Suara nyanyian burung begitu merdu di taman bunga yang ditumbuhi banyak bunga berkelopak putih. Cahaya matahari pagi menerpa patung seorang wanita bertelinga singa yang memegang tongkat berkepala bundar ke angkasai ujung taman. Seorang pemuda duduk di kursi batu sambil membaca buku. Jubah putih berornamen di bagian belakang menutup tunik bangsawan putih berkancing emas. Rambut panjangnya terurai ke belakang. Dia Jacob, Raja Frankia. Wajah tirus Jacob mendongak memandang lekat patung di depan. Patung Isabella Lionese, mendiang permaisuri yang sangat dia cintai. "Buku ini telah tamat. Bagaimana menurutmu sayang? Apa cerita novel kali ini bagus? Aku harap bagus. Penulis kesukaanmu, Iskariot, setelah mendengar kamu menyukai bukunya, dia segera membuat buku baru tentang dirimu, sayangku. Besok akan aku coba meminta kopian sebelum terbit dan akan kubacakan untukmu seperti biasa. Semoga kamu suka, ya." Pria tua melangkah mendekat. Jub
Tradisi sebelum masuk ke kantor polisi para penjahat berbaris di depan gedung selama beberapa jam. Mereka dijemur seperti ikan asin, lalu dilempari batu kerikil oleh para polisi dan warga yang melintas. Hal ini khusus bagi mereka yang tertangkap tangan melakukan kejahatan.Setelah tradisi selesai, mereka seperti hewan ternak digiring masuk ke kantor polisi. Sewaktu menjadi polisi Haikal selalu senang menendang pantat para penjahat ketika digiring masuk, sekarang dia tahu rasanya sol sepatu menghantam pantat."Masuk sana, dasar sampah masyarakat!" sentak polisi gendut."Berengsek, minta dihajar?" sentak Haikal."Haikal sabar, ingat kami penjahat," bisik Ramza."Tidak perlu kau ingatkan!" Benar-benar tidak nyaman ketika tali tambang melilit perut. "Tahu begini aku memakai kaos tebal. Sial."Mereka berhenti di depan pintu ruang pemeriksaan. Seorang polisi jangkung berwajah penuh jerawat menyetop mereka. "Kasus apa?""Narkotik," jaw
Pertempuran terjadi di ruang Komandan. Ramza, Haikal dan empat pria bertudung berhasil menang melawan para polisi korup. Beberapa polisi baik bergabung dengan mereka. Para polisi baik ini melihat lambang kerajaan, sehingga mereka tidak terpengaruh oleh ujaran kebencian dari komandan.Walau ruang sekarang berada di kendali polisi baik, tetapi pertempuran tetap pecah di kantor polisi.Di sepanjang lorong para polisi saling baku hantam dan berusaha saling membunuh. Polisi manusia di Ibu kota sepertinya telah lama mengendus rencana 'revolusi' oleh kaum manutang sehingga satu teriakan revolusi saja membuat mereka langsung menyerang manutang. Sekarang semua menjadi rumit seperti benang kusut."Sial, kemana larinya komandan tadi?" tanya Haikal. Ia merapikan jas panjangnya yang kusut."Dia di luar." Ramza menunjuk ke arah taman samping, membuat Jiro dan beberapa polisi mendekati jendela hendak melihat ke sana."Tembak mereka, para pembunuh Komandan T
Bola mata Ramza bergetar ketika melihat meriam di tembakan. Dia melindungi kepala dari hajaran bola meriam yang mendarat ke lantai atas. Suara ledakan terjadi dan asap tebal kembali menyelimuti. Setelah semua sedikit reda dia berusaha bangun menopang dinding pergi ke tempat yang aman."Haikal, di mana kamu?""Habisi semuanya!" teriak salah satu pasukan royal guard ketika masuk melalui lubang di dinding.Ramza terduduk lemas. Pertempuran terjadi antara para polisi melawan pasukan elit. Senjata para polisi mengalami kesulitan untuk menembus pakaian besi. Sementara para pasukan elit dengan mudah menghabisi mereka semua tanpa belas kasih."Ini, ada satu di sini!" teriak salah satu pasukan royal guard, di tengah kemelut hendak menusuk Ramza memakai pedang. Akan tetapi Ramza sigap mengangkat rapier menembus sela di antara pakaian besi dan helm besi. Senjatanya semakin dalam menusuk karena badan pria itu ambruk menimpa Ramza.
Ramza dan Haikal kembali ke mansion Lionese.Mereka menanti kehadiran Hektor seperti murid nakal kena hukum, berdiri dengan satu kaki, kedua tangan melipat di depan dada menjewer telinga masing-masing.Mereka bisa saja kabur atau duduk, asal Olivia. Nyatanya tidak. Mereka takut dengan gadis galak itu duduk di belakang desk di dekat pintu, sibuk menulis sesuatu.Tawa kecil dari beberapa pegawai yang berdiri di depan desk membuat wajah Ramza memerah. Dia yakin sebentar lagi seluruh Reims akan menjadikan ini sebagai gosip."Nona, sampai kapan kami berdiri seperti ini?" keluh Haikal. Dari cara memandang Victoria dengan mata menyipit, Ramza tahu sahabatnya itu sangat kesal.
Di tepi danau Marseille, asap api unggun raksasa memecah gelap langit bertabur bintang nan indah. Di bawahnya, muda-mudi berdansa saling berpegangan tangan mengelilingi api unggun, mengikuti irama tabuhan gendang dan suara suling yang meriah.Pesta festival musim gugur selalu dirayakan sederhana. Ini saat di mana para bangsawan dan rakyat, juga keluarga kerajaan berbaur. Acara tahunan ini juga diikuti oleh seluruh delegasi negara-negara di benua Europin, sebagai tanda penghormatan bagi kerajaan Frankia.Ditepi keramaian, Ramza sibuk membenahi bros mahal hitam berlambang mawar putih di dada kanan, yang menahan kain hitam bercorak bunga putih menutup bagian kanan badan.Sama seperti Haikal, dia mengenakan tunik katun lengan panjang putih, bercelana kain hitam panjang, me
Ini pertama kali Haikal berkumpul dengan para borjuis. Entah apa yang mereka bahas, dia tak tahu, tapi dari segi penampilan dia boleh diadu.Dia meneguk wine kelas atas mengamati Perdana Menteri tengah mengobrol dengan para petinggi."Haikal," tegur Jiro, menghampiri dari samping. Dia takjub dengan penampilan pemuda itu. "Lihat dirimu, seperti seorang Baron."Sanjungan selalu diterima dengan baik. "Terima kasih Tuan Jiro.""Jangan pakai Tuan." Jiro memandang ke sekitar. "Mana manutang serigala itu?""Mengejar wanita." Haikal menaruh gelas wine ke loyang yang pelayan bawa. "Ada perlu apa mengundang kami ke mari?"
Gadis manutang catt, ras yang sama seperti Ramza. Rambutnya kuning cerah panjang di atas pundak. Begitu manis wajah tirusnya, lalu netra indah berkancing warna kuning kecoklatan terbungkus kantung mata lembut berbentuk almond juga menjadi daya tarik gadis itu, mata yang indah hingga membuat Ramza gagal mengontrol ucapan. Dia keceplosan berbicara, "Cantik sekali." Mendengar gumam lembut Ramza, Sang gadis tersenyum lembut, menyembunyikan bibir tipis berwarna merah muda alami. Dia menjawab dengan ramah. "Terima kasih." Rasa malu seketika menbuat Ramza mundur beberapa langkah. Dia membuang muka tertunduk sambil menggaruk belakang kepala, lalu membungkuk sambil berucap, "M-maaf tadi aku tidak sengaja menabrak, Nona."
Di tepi danau Marseille, asap api unggun raksasa memecah gelap langit bertabur bintang nan indah. Di bawahnya, muda-mudi berdansa saling berpegangan tangan mengelilingi api unggun, mengikuti irama tabuhan gendang dan suara suling yang meriah.Pesta festival musim gugur selalu dirayakan sederhana. Ini saat di mana para bangsawan dan rakyat, juga keluarga kerajaan berbaur. Acara tahunan ini juga diikuti oleh seluruh delegasi negara-negara di benua Europin, sebagai tanda penghormatan bagi kerajaan Frankia.Ditepi keramaian, Ramza sibuk membenahi bros mahal hitam berlambang mawar putih di dada kanan, yang menahan kain hitam bercorak bunga putih menutup bagian kanan badan.Sama seperti Haikal, dia mengenakan tunik katun lengan panjang putih, bercelana kain hitam panjang, me
Ramza dan Haikal kembali ke mansion Lionese.Mereka menanti kehadiran Hektor seperti murid nakal kena hukum, berdiri dengan satu kaki, kedua tangan melipat di depan dada menjewer telinga masing-masing.Mereka bisa saja kabur atau duduk, asal Olivia. Nyatanya tidak. Mereka takut dengan gadis galak itu duduk di belakang desk di dekat pintu, sibuk menulis sesuatu.Tawa kecil dari beberapa pegawai yang berdiri di depan desk membuat wajah Ramza memerah. Dia yakin sebentar lagi seluruh Reims akan menjadikan ini sebagai gosip."Nona, sampai kapan kami berdiri seperti ini?" keluh Haikal. Dari cara memandang Victoria dengan mata menyipit, Ramza tahu sahabatnya itu sangat kesal.
Bola mata Ramza bergetar ketika melihat meriam di tembakan. Dia melindungi kepala dari hajaran bola meriam yang mendarat ke lantai atas. Suara ledakan terjadi dan asap tebal kembali menyelimuti. Setelah semua sedikit reda dia berusaha bangun menopang dinding pergi ke tempat yang aman."Haikal, di mana kamu?""Habisi semuanya!" teriak salah satu pasukan royal guard ketika masuk melalui lubang di dinding.Ramza terduduk lemas. Pertempuran terjadi antara para polisi melawan pasukan elit. Senjata para polisi mengalami kesulitan untuk menembus pakaian besi. Sementara para pasukan elit dengan mudah menghabisi mereka semua tanpa belas kasih."Ini, ada satu di sini!" teriak salah satu pasukan royal guard, di tengah kemelut hendak menusuk Ramza memakai pedang. Akan tetapi Ramza sigap mengangkat rapier menembus sela di antara pakaian besi dan helm besi. Senjatanya semakin dalam menusuk karena badan pria itu ambruk menimpa Ramza.
Pertempuran terjadi di ruang Komandan. Ramza, Haikal dan empat pria bertudung berhasil menang melawan para polisi korup. Beberapa polisi baik bergabung dengan mereka. Para polisi baik ini melihat lambang kerajaan, sehingga mereka tidak terpengaruh oleh ujaran kebencian dari komandan.Walau ruang sekarang berada di kendali polisi baik, tetapi pertempuran tetap pecah di kantor polisi.Di sepanjang lorong para polisi saling baku hantam dan berusaha saling membunuh. Polisi manusia di Ibu kota sepertinya telah lama mengendus rencana 'revolusi' oleh kaum manutang sehingga satu teriakan revolusi saja membuat mereka langsung menyerang manutang. Sekarang semua menjadi rumit seperti benang kusut."Sial, kemana larinya komandan tadi?" tanya Haikal. Ia merapikan jas panjangnya yang kusut."Dia di luar." Ramza menunjuk ke arah taman samping, membuat Jiro dan beberapa polisi mendekati jendela hendak melihat ke sana."Tembak mereka, para pembunuh Komandan T
Tradisi sebelum masuk ke kantor polisi para penjahat berbaris di depan gedung selama beberapa jam. Mereka dijemur seperti ikan asin, lalu dilempari batu kerikil oleh para polisi dan warga yang melintas. Hal ini khusus bagi mereka yang tertangkap tangan melakukan kejahatan.Setelah tradisi selesai, mereka seperti hewan ternak digiring masuk ke kantor polisi. Sewaktu menjadi polisi Haikal selalu senang menendang pantat para penjahat ketika digiring masuk, sekarang dia tahu rasanya sol sepatu menghantam pantat."Masuk sana, dasar sampah masyarakat!" sentak polisi gendut."Berengsek, minta dihajar?" sentak Haikal."Haikal sabar, ingat kami penjahat," bisik Ramza."Tidak perlu kau ingatkan!" Benar-benar tidak nyaman ketika tali tambang melilit perut. "Tahu begini aku memakai kaos tebal. Sial."Mereka berhenti di depan pintu ruang pemeriksaan. Seorang polisi jangkung berwajah penuh jerawat menyetop mereka. "Kasus apa?""Narkotik," jaw
Suara nyanyian burung begitu merdu di taman bunga yang ditumbuhi banyak bunga berkelopak putih. Cahaya matahari pagi menerpa patung seorang wanita bertelinga singa yang memegang tongkat berkepala bundar ke angkasai ujung taman. Seorang pemuda duduk di kursi batu sambil membaca buku. Jubah putih berornamen di bagian belakang menutup tunik bangsawan putih berkancing emas. Rambut panjangnya terurai ke belakang. Dia Jacob, Raja Frankia. Wajah tirus Jacob mendongak memandang lekat patung di depan. Patung Isabella Lionese, mendiang permaisuri yang sangat dia cintai. "Buku ini telah tamat. Bagaimana menurutmu sayang? Apa cerita novel kali ini bagus? Aku harap bagus. Penulis kesukaanmu, Iskariot, setelah mendengar kamu menyukai bukunya, dia segera membuat buku baru tentang dirimu, sayangku. Besok akan aku coba meminta kopian sebelum terbit dan akan kubacakan untukmu seperti biasa. Semoga kamu suka, ya." Pria tua melangkah mendekat. Jub
Ramza dan Haikal beruntung dipinjami kuda sehingga bisa melesat langsung menuju Marseile. Berjalan kaki mungkin butuh tiga hari, tapi dengan kuda dalam satu hari perjalanan mereka tiba ke tujuan.Keduanya menginap di penginapan luar kota demi menghemat pengeluaran. Hektor memberi uang cukup banyak, tapi Haikal bersikeras untuk menyewa satu kamar, demi menabung uang untuk judi esok sekembalinya ke Reims.Ramza membanting badan ke kasur. Seperti anak kecil kedua kaki dan tangan bergerak naik turun hingga seprei kasur kusut. "Kal, bagaimana cara berjualan narkoba?""Jualan ya di pasar," jawab Haikal, menutup pintu kamar."Jadi kita ke pasar?""Ya iya lah. Kata Paman Hektor barang itu di taruh di gang dekat pasar. Pasti beliau menyuruh kita berjualan di sana.""Yang benar?" Ramza duduk bersila kaki di kasur, memandang Haikal berganti baju. "Emang Paman menyuruh menjual di sana?"Haikal menggeleng . Dia duduk di tepi kasur di sebelah kasur