Tradisi sebelum masuk ke kantor polisi para penjahat berbaris di depan gedung selama beberapa jam. Mereka dijemur seperti ikan asin, lalu dilempari batu kerikil oleh para polisi dan warga yang melintas. Hal ini khusus bagi mereka yang tertangkap tangan melakukan kejahatan.
Setelah tradisi selesai, mereka seperti hewan ternak digiring masuk ke kantor polisi. Sewaktu menjadi polisi Haikal selalu senang menendang pantat para penjahat ketika digiring masuk, sekarang dia tahu rasanya sol sepatu menghantam pantat.
"Masuk sana, dasar sampah masyarakat!" sentak polisi gendut.
"Berengsek, minta dihajar?" sentak Haikal.
"Haikal sabar, ingat kami penjahat," bisik Ramza.
"Tidak perlu kau ingatkan!" Benar-benar tidak nyaman ketika tali tambang melilit perut. "Tahu begini aku memakai kaos tebal. Sial."
Mereka berhenti di depan pintu ruang pemeriksaan. Seorang polisi jangkung berwajah penuh jerawat menyetop mereka. "Kasus apa?"
"Narkotik," jawab polisi berkumis tipis.
"Banyak uang, dong."
Keduanya tertawa lebar seperti melihat pertunjukan komedi. "Baiklah," jawab si jangkung. "Langsung bawa ke lantai atas menemui Komandan Tinggi."
"Kamu tidak ingin memeriksa mereka dulu? Interogasi di ruang interogasi?" tanya polisi berkumis. Sesuai aturan harusnya begitu, akan tetapi yang ditanya memberi kode dengan kedipan mata.
"Buang-buang waktu saja. Biar Komandan tertinggi yang 'memeriksa'. Kamu tahu kan, narkoik?"
Polisi berkumis tipis menghela napas. "Mau jadi apa kerajaan ini."
"Sudah sana, jangan sampai orang-orang Komandan Tinggi mendengar keluhmu."
Dari pembicaraan tadi Ramza bisa mengendus aroma ikan asin busuk, aroma khas para koruptor. Banyak wajah di sana tapi mereka seperti bukan koruptor. Mereka mengobrol santai seperti ketika dia masih menjadi polisi. Ramza berusaha memilah-milah, menghapal nomor seri para polisi yang sekiranya korup.
Mereka sampai di depan pintu bertulis Ruang Komandan Tinggi, Remilus. Setelah mengetuk pintu beberapa kali, polisi berkumis membuka pintu, membawa para tahanan masuk ke ruang kerja Komandan Tinggi.
Komandan Tinggi botak sibuk menghitung uang tak peduli dengan kehadiran polisi yang memberi hormat. "Tahanan kasus?"
"Narkotik, Pak!"
Wajah Remilus sumringah "Ah bagus, sekarang kamu keluar lah. Panggil Komandan Batalion ke lima dan enam kemari, cepat."
"Siap Pak." Polisi berkumis pergi.
Ramza mengamati sekitar. Ruang kerja ini mirip dengan ruang Komandan Tinggi kota Parisi, hanya lebih mewah. Tergantung lukisan seorang perwira berbingkai emas di salah satu sudut dinding. Terdapat perapian berbingkai emas yang jelas ditambahkan, bukan bawaan dari tata ruang. Di atas meja terdapat banyak koin emas dan kantung uang.
Remil berdeham. "Dengar, kalian para penjahat tengil. Kalian orang baru, ya, di Ibu Kota?"
Haikal mengangguk, hendak menjawab, tapi lelaki bertudung mendahului untuk menjawab. "Iya, kami dari Prussia baru ingin menurunkan muatan, tapi sial polisi Frankia terlalu sigap. Kami tertangkap."
"Nah, kalian sudah tahu kesalahan apa yang kalian perbuat, kan?" tanya Remil.
"Kami belum tahu," jawab Ramza. "Pak, kami ingin tahu hukuman apa yang akan kami terima? Lalu kenapa kami tidak diperiksa seperti tahanan lain? Kenapa kami tidak ditahan di penjara bawah tanah hingga sidah berlangsung, malah dibawa kemari?"
Kesal Haikal menginjak Kaki Ramza. "Diam lah serigala tengik. Berisik."
Remil tertawa riang. Tadi dia tidak memperhatikan para tahanan lain kecuali mereka yang berasal dari Prusia, tapi sekarang Ramza menjadi fokus utamanya. "Ho, manutang muda, kamu ingin tahu apa hukuman yang menantimu?"
Ramza mengangguk.
Pria bertudung mendengus kecil. Ia menyeringai mengejek Ramza. Mungkin dia kaget dengan ucapan bodoh manutang muda itu.
"Apa salah aku bertanya?" tanya Ramza. "Polisi macam apa kalian? Apa kalian tidak tahu aturan kerja polisi?"
"Tidak Nak, tidak ada yang salah," jawab Remil. "Kami polisi yang sangat baik hati."
Remil duduk di tepi meja kerja tepat di depan Ramza. Mukanya maju hingga Ramza bisa melihat banyak cekungan kecil, kulit berminyak, dan kumis itu tumbuh panjang seperti kumis ikan lele. Tangan kanannya memencet kedua pipi Ramza sampai jari jempol dan jari tengah nyaris menyatu, terpisah kulit pipi.
"Hei, sepertinya kamu hanya pengedar kecil ya?" tanya Remil. "Orang sepertimu memang harus dimasukkan ke dalam tahanan. Di siksa, lalu djual ke Andalus. Aku dengar mereka mencari Manutang muda tampan untuk dijadikan pemuas birahi para gadis tua kaya raya."
"Maafkan dia. Manutang itu baru belajar untuk menjadi pengedar, Pak," jawab Haikal. "Katakan, berapa yang harus kami bayar."
Kasar Remil melepas pencetannya pada pipi Ramza sambil tertawa kencang. "Kamu harus belajar dari temanmu, Nak. Dia lebih paham bagaimana dunia ini berputar." Ia menoleh ke kawanan pria bertudung. Wajahnya menjadi ramah. "Kalian pasti orang-orang kaya."
"Kami hanya pendatang yang mencoba peruntungan, Tuan," sahut pria bertudung.
"Pak Polisi, kami ingin bebas," pancing Haikal. "Tolong bantu. Kami siap melakukan apapun untuk bebas."
Senyum Remil berubah menjadi tawa pedagang mendapat untung. "Lihat manutang muda, temanmu tahu apa yang harus dia lakukan dan apa yang dia mau. Beri lima ratus koin silver, dan sepuluh persen penghasilan kalian setiap bulan. Mudah, kan? Selain itu kalian harus memberi dua bungkus kecil narkotik setiap bulan kepadaku pribadi. Kalian bisa bebas, mendapat proteksi dari polisi Marseile, dan ini tanda partnership kita."
Remil mengambil pin bundar hitam dengan lambang bunga merah di tengah. Tangannya meminta pada Haikal. "Kamu mengerti kan, anak Muda. Sesuai pesan Raja Jacob, kita butuh kompromi untuk bisa hidup damai. Mohon pengertiannya."
"Tentu Tuan, apapun demi kedamaian Frankia." Haikal siap dengan kantung uang, dia mengoper benda itu pada Remil. "Aku harap kedepannya tidak ada masalah dalam partnership kita, Tuan."
Tawa kemenangan menggema. Remil melempar-lempar kantung ke atas. "Tentu saja, Nak. Selama kita saling mengerti, semua akan berjalan dengan mulus."
Pintu dibuka. Beberapa orang berseragam dinas polisi masuk. Betapa kagetnya Ramza dan Haikal melihat Primus. Mereka seperti tikus melihat kucing membuang muka ke jendela. Beruntung Primus tidak terlalu fokus kepada mereka.
Remus memperhatikan para pria bertudung. "Remil, sepertinya kamu menangkap banyak ikan besar, ya?"
"Kau selalu datang disaat uangku banyak, ya. Ini bagianmu." Remil melempar sekantung uang kepada Primus, tapi pria bertudung menendang kantung itu lalu berdiri mengayun sabre yang tersembunyi di balik jubah, memotong tangan Remil.
Darah segar mancur dari lengan yang terpotong sempurna menebar teror bagi siapaun yang melihat.
Kedua Komandan yang baru datang bersama Primus mengeluarkan pedang hendak menyerang, tapi para pria bertudung lebih dahulu mengarahkan pedang mereka ke leher mereka.
Pemuda bertudung membuka tudung. Nampak wajah tampan pemuda berkulit putih terawat memandang dingin ke arah Remil, menarik hingga terlentang di karpet merah. Ia menginjak perut gendut itu.
Para polisi tiba membawa senjata lengkap.
"Turunkan senjata kalian. Tuan Jiro Frankish di sini!" teriak seorang pria bertudung, memamerkan badge emas kerajaan.
Semua polisi bahkan Ramza dan Haikal mertekuk lutut.
Wajah Remil menjadi pucat. "T-tuan Jiro? A-aku--"
"Diam celeng gendut. Dengan nama Raja Jacob II, pemenang dari perang tiga sisi, Raja Frankia yang Agung, pelindung Manusia dan Manutang. Dengan ini menghukum mati koruptor sepertimu."
"T-tunggu!"
Pedang Jiro menusuk perut besar Azriel hingga ususnya keluar. Seorang pria bertudung memakai Sabre memenggal kepala koruptor itu.
"Semoga Hokun mengampuni dosa-dosamu. Selanjutnya--" Jiro mundur ketika seorang perwira menyabetkan pedangnya.
"Aku tidak ingin mati! Kalian semua, kalian yang memakan uang haram, ayo bertindak atau kalian akan mati! Revolusi! Revousi! Teriakkan revolusi!""
Sungguh cepat otak Komandan, membuat para polisi korup di sekitar mengangkat senjata. Dia menyamarkan apa yang terjadi dengan revolusi. Suara letus tembakan terdengar. Asap mulai membungmbung. Para polisi korup menyerang polisi yang tidak tahu menahu. Komandan itu meloncat keluar melalui jendela. Keadaan menjadi kacau pertempuran terjadi di kalangan polisi.
"Sepertinya jumlah yang korup lumayan banyak." Haikal memungut pedang, mengoper satu pada Ramza.
"Siapa kalian?" tanya Jiro, bingung melihat Ramza dan Haikal.
"Squiere, salam kenal!" sahut Ramza dengan penuh semangat.
Pertempuran terjadi di ruang Komandan. Ramza, Haikal dan empat pria bertudung berhasil menang melawan para polisi korup. Beberapa polisi baik bergabung dengan mereka. Para polisi baik ini melihat lambang kerajaan, sehingga mereka tidak terpengaruh oleh ujaran kebencian dari komandan.Walau ruang sekarang berada di kendali polisi baik, tetapi pertempuran tetap pecah di kantor polisi.Di sepanjang lorong para polisi saling baku hantam dan berusaha saling membunuh. Polisi manusia di Ibu kota sepertinya telah lama mengendus rencana 'revolusi' oleh kaum manutang sehingga satu teriakan revolusi saja membuat mereka langsung menyerang manutang. Sekarang semua menjadi rumit seperti benang kusut."Sial, kemana larinya komandan tadi?" tanya Haikal. Ia merapikan jas panjangnya yang kusut."Dia di luar." Ramza menunjuk ke arah taman samping, membuat Jiro dan beberapa polisi mendekati jendela hendak melihat ke sana."Tembak mereka, para pembunuh Komandan T
Bola mata Ramza bergetar ketika melihat meriam di tembakan. Dia melindungi kepala dari hajaran bola meriam yang mendarat ke lantai atas. Suara ledakan terjadi dan asap tebal kembali menyelimuti. Setelah semua sedikit reda dia berusaha bangun menopang dinding pergi ke tempat yang aman."Haikal, di mana kamu?""Habisi semuanya!" teriak salah satu pasukan royal guard ketika masuk melalui lubang di dinding.Ramza terduduk lemas. Pertempuran terjadi antara para polisi melawan pasukan elit. Senjata para polisi mengalami kesulitan untuk menembus pakaian besi. Sementara para pasukan elit dengan mudah menghabisi mereka semua tanpa belas kasih."Ini, ada satu di sini!" teriak salah satu pasukan royal guard, di tengah kemelut hendak menusuk Ramza memakai pedang. Akan tetapi Ramza sigap mengangkat rapier menembus sela di antara pakaian besi dan helm besi. Senjatanya semakin dalam menusuk karena badan pria itu ambruk menimpa Ramza.
Ramza dan Haikal kembali ke mansion Lionese.Mereka menanti kehadiran Hektor seperti murid nakal kena hukum, berdiri dengan satu kaki, kedua tangan melipat di depan dada menjewer telinga masing-masing.Mereka bisa saja kabur atau duduk, asal Olivia. Nyatanya tidak. Mereka takut dengan gadis galak itu duduk di belakang desk di dekat pintu, sibuk menulis sesuatu.Tawa kecil dari beberapa pegawai yang berdiri di depan desk membuat wajah Ramza memerah. Dia yakin sebentar lagi seluruh Reims akan menjadikan ini sebagai gosip."Nona, sampai kapan kami berdiri seperti ini?" keluh Haikal. Dari cara memandang Victoria dengan mata menyipit, Ramza tahu sahabatnya itu sangat kesal.
Di tepi danau Marseille, asap api unggun raksasa memecah gelap langit bertabur bintang nan indah. Di bawahnya, muda-mudi berdansa saling berpegangan tangan mengelilingi api unggun, mengikuti irama tabuhan gendang dan suara suling yang meriah.Pesta festival musim gugur selalu dirayakan sederhana. Ini saat di mana para bangsawan dan rakyat, juga keluarga kerajaan berbaur. Acara tahunan ini juga diikuti oleh seluruh delegasi negara-negara di benua Europin, sebagai tanda penghormatan bagi kerajaan Frankia.Ditepi keramaian, Ramza sibuk membenahi bros mahal hitam berlambang mawar putih di dada kanan, yang menahan kain hitam bercorak bunga putih menutup bagian kanan badan.Sama seperti Haikal, dia mengenakan tunik katun lengan panjang putih, bercelana kain hitam panjang, me
Gadis manutang catt, ras yang sama seperti Ramza. Rambutnya kuning cerah panjang di atas pundak. Begitu manis wajah tirusnya, lalu netra indah berkancing warna kuning kecoklatan terbungkus kantung mata lembut berbentuk almond juga menjadi daya tarik gadis itu, mata yang indah hingga membuat Ramza gagal mengontrol ucapan. Dia keceplosan berbicara, "Cantik sekali." Mendengar gumam lembut Ramza, Sang gadis tersenyum lembut, menyembunyikan bibir tipis berwarna merah muda alami. Dia menjawab dengan ramah. "Terima kasih." Rasa malu seketika menbuat Ramza mundur beberapa langkah. Dia membuang muka tertunduk sambil menggaruk belakang kepala, lalu membungkuk sambil berucap, "M-maaf tadi aku tidak sengaja menabrak, Nona."
Ini pertama kali Haikal berkumpul dengan para borjuis. Entah apa yang mereka bahas, dia tak tahu, tapi dari segi penampilan dia boleh diadu.Dia meneguk wine kelas atas mengamati Perdana Menteri tengah mengobrol dengan para petinggi."Haikal," tegur Jiro, menghampiri dari samping. Dia takjub dengan penampilan pemuda itu. "Lihat dirimu, seperti seorang Baron."Sanjungan selalu diterima dengan baik. "Terima kasih Tuan Jiro.""Jangan pakai Tuan." Jiro memandang ke sekitar. "Mana manutang serigala itu?""Mengejar wanita." Haikal menaruh gelas wine ke loyang yang pelayan bawa. "Ada perlu apa mengundang kami ke mari?"
Pemuda Manutang menghindari dedaunan kering dalam gelap hutan, melangkah pelan sambil membungkuk. Hanya cahaya bulan dan bintang yang menjadi penuntun kaki. Dia berhenti di belakang semak, perlahan menarik keluar pedang tusuk rapier. Telinga serigalanya bergerak-gerak, mata tajam menyongsong ke tambang tembaga tua di depan. Manutang memiliki paras dan kulit manusia. Yang membedakan dengan manusia adalah kemampuan mereka. Sebagai Manutang jenis Catt, Ramza memiliki telinga serigala, pendengaran lebih tajam dari manusia. Dia juga bisa melihat lebih baik dalam gelap. Karena kemampuan ini dia dijadikan serdadu pengintai kepolisian Parisi. "Psst, bagaimana?" bisik Haikal, pemuda Manusia, melangkah membungkuk pindah ke sebelah Ramza.
Langit gelap bertabur bintang menjadi selimut mereka. Dingin udara tak mampu membuat kering keringat di seragam Haikal dan Ramza. Mereka beruntung menumpang sejenak gerobak tadi, sebelum diturunkan di perempatan. "Harusnya kita bajak gerobak tadi," keluh Haikal. "Kita polisi bukan penjahat," sahut Ramza. "Apa sudah sampai?" Ramza bisa melihat dalam kegelapan seperti serigala. "Aku rasa ini bukit terakhir sebelum sampai ke Parisi." "Sialan Primus. Lihat saja jika Komandan Tinggi mendengar sikap pengecut borjuis itu, bahkan Raja sekali pun tidak bisa menolongnya dari tiang gantung." Keduanya sampai di bukit. Di kejauhan terang nyala obor dalam gelap pertanda kota Parisi sudah di depan mata. Keduanya tertawa riang melihat tembok batu tua berlumut lumut yang mengelilingi kota. Dengan terengah mereka bahu membahu menuju pintu gerbang besar yang tertutup rapat. Keduanya berlari riang seperti bocah menghampiri gerban
Ini pertama kali Haikal berkumpul dengan para borjuis. Entah apa yang mereka bahas, dia tak tahu, tapi dari segi penampilan dia boleh diadu.Dia meneguk wine kelas atas mengamati Perdana Menteri tengah mengobrol dengan para petinggi."Haikal," tegur Jiro, menghampiri dari samping. Dia takjub dengan penampilan pemuda itu. "Lihat dirimu, seperti seorang Baron."Sanjungan selalu diterima dengan baik. "Terima kasih Tuan Jiro.""Jangan pakai Tuan." Jiro memandang ke sekitar. "Mana manutang serigala itu?""Mengejar wanita." Haikal menaruh gelas wine ke loyang yang pelayan bawa. "Ada perlu apa mengundang kami ke mari?"
Gadis manutang catt, ras yang sama seperti Ramza. Rambutnya kuning cerah panjang di atas pundak. Begitu manis wajah tirusnya, lalu netra indah berkancing warna kuning kecoklatan terbungkus kantung mata lembut berbentuk almond juga menjadi daya tarik gadis itu, mata yang indah hingga membuat Ramza gagal mengontrol ucapan. Dia keceplosan berbicara, "Cantik sekali." Mendengar gumam lembut Ramza, Sang gadis tersenyum lembut, menyembunyikan bibir tipis berwarna merah muda alami. Dia menjawab dengan ramah. "Terima kasih." Rasa malu seketika menbuat Ramza mundur beberapa langkah. Dia membuang muka tertunduk sambil menggaruk belakang kepala, lalu membungkuk sambil berucap, "M-maaf tadi aku tidak sengaja menabrak, Nona."
Di tepi danau Marseille, asap api unggun raksasa memecah gelap langit bertabur bintang nan indah. Di bawahnya, muda-mudi berdansa saling berpegangan tangan mengelilingi api unggun, mengikuti irama tabuhan gendang dan suara suling yang meriah.Pesta festival musim gugur selalu dirayakan sederhana. Ini saat di mana para bangsawan dan rakyat, juga keluarga kerajaan berbaur. Acara tahunan ini juga diikuti oleh seluruh delegasi negara-negara di benua Europin, sebagai tanda penghormatan bagi kerajaan Frankia.Ditepi keramaian, Ramza sibuk membenahi bros mahal hitam berlambang mawar putih di dada kanan, yang menahan kain hitam bercorak bunga putih menutup bagian kanan badan.Sama seperti Haikal, dia mengenakan tunik katun lengan panjang putih, bercelana kain hitam panjang, me
Ramza dan Haikal kembali ke mansion Lionese.Mereka menanti kehadiran Hektor seperti murid nakal kena hukum, berdiri dengan satu kaki, kedua tangan melipat di depan dada menjewer telinga masing-masing.Mereka bisa saja kabur atau duduk, asal Olivia. Nyatanya tidak. Mereka takut dengan gadis galak itu duduk di belakang desk di dekat pintu, sibuk menulis sesuatu.Tawa kecil dari beberapa pegawai yang berdiri di depan desk membuat wajah Ramza memerah. Dia yakin sebentar lagi seluruh Reims akan menjadikan ini sebagai gosip."Nona, sampai kapan kami berdiri seperti ini?" keluh Haikal. Dari cara memandang Victoria dengan mata menyipit, Ramza tahu sahabatnya itu sangat kesal.
Bola mata Ramza bergetar ketika melihat meriam di tembakan. Dia melindungi kepala dari hajaran bola meriam yang mendarat ke lantai atas. Suara ledakan terjadi dan asap tebal kembali menyelimuti. Setelah semua sedikit reda dia berusaha bangun menopang dinding pergi ke tempat yang aman."Haikal, di mana kamu?""Habisi semuanya!" teriak salah satu pasukan royal guard ketika masuk melalui lubang di dinding.Ramza terduduk lemas. Pertempuran terjadi antara para polisi melawan pasukan elit. Senjata para polisi mengalami kesulitan untuk menembus pakaian besi. Sementara para pasukan elit dengan mudah menghabisi mereka semua tanpa belas kasih."Ini, ada satu di sini!" teriak salah satu pasukan royal guard, di tengah kemelut hendak menusuk Ramza memakai pedang. Akan tetapi Ramza sigap mengangkat rapier menembus sela di antara pakaian besi dan helm besi. Senjatanya semakin dalam menusuk karena badan pria itu ambruk menimpa Ramza.
Pertempuran terjadi di ruang Komandan. Ramza, Haikal dan empat pria bertudung berhasil menang melawan para polisi korup. Beberapa polisi baik bergabung dengan mereka. Para polisi baik ini melihat lambang kerajaan, sehingga mereka tidak terpengaruh oleh ujaran kebencian dari komandan.Walau ruang sekarang berada di kendali polisi baik, tetapi pertempuran tetap pecah di kantor polisi.Di sepanjang lorong para polisi saling baku hantam dan berusaha saling membunuh. Polisi manusia di Ibu kota sepertinya telah lama mengendus rencana 'revolusi' oleh kaum manutang sehingga satu teriakan revolusi saja membuat mereka langsung menyerang manutang. Sekarang semua menjadi rumit seperti benang kusut."Sial, kemana larinya komandan tadi?" tanya Haikal. Ia merapikan jas panjangnya yang kusut."Dia di luar." Ramza menunjuk ke arah taman samping, membuat Jiro dan beberapa polisi mendekati jendela hendak melihat ke sana."Tembak mereka, para pembunuh Komandan T
Tradisi sebelum masuk ke kantor polisi para penjahat berbaris di depan gedung selama beberapa jam. Mereka dijemur seperti ikan asin, lalu dilempari batu kerikil oleh para polisi dan warga yang melintas. Hal ini khusus bagi mereka yang tertangkap tangan melakukan kejahatan.Setelah tradisi selesai, mereka seperti hewan ternak digiring masuk ke kantor polisi. Sewaktu menjadi polisi Haikal selalu senang menendang pantat para penjahat ketika digiring masuk, sekarang dia tahu rasanya sol sepatu menghantam pantat."Masuk sana, dasar sampah masyarakat!" sentak polisi gendut."Berengsek, minta dihajar?" sentak Haikal."Haikal sabar, ingat kami penjahat," bisik Ramza."Tidak perlu kau ingatkan!" Benar-benar tidak nyaman ketika tali tambang melilit perut. "Tahu begini aku memakai kaos tebal. Sial."Mereka berhenti di depan pintu ruang pemeriksaan. Seorang polisi jangkung berwajah penuh jerawat menyetop mereka. "Kasus apa?""Narkotik," jaw
Suara nyanyian burung begitu merdu di taman bunga yang ditumbuhi banyak bunga berkelopak putih. Cahaya matahari pagi menerpa patung seorang wanita bertelinga singa yang memegang tongkat berkepala bundar ke angkasai ujung taman. Seorang pemuda duduk di kursi batu sambil membaca buku. Jubah putih berornamen di bagian belakang menutup tunik bangsawan putih berkancing emas. Rambut panjangnya terurai ke belakang. Dia Jacob, Raja Frankia. Wajah tirus Jacob mendongak memandang lekat patung di depan. Patung Isabella Lionese, mendiang permaisuri yang sangat dia cintai. "Buku ini telah tamat. Bagaimana menurutmu sayang? Apa cerita novel kali ini bagus? Aku harap bagus. Penulis kesukaanmu, Iskariot, setelah mendengar kamu menyukai bukunya, dia segera membuat buku baru tentang dirimu, sayangku. Besok akan aku coba meminta kopian sebelum terbit dan akan kubacakan untukmu seperti biasa. Semoga kamu suka, ya." Pria tua melangkah mendekat. Jub
Ramza dan Haikal beruntung dipinjami kuda sehingga bisa melesat langsung menuju Marseile. Berjalan kaki mungkin butuh tiga hari, tapi dengan kuda dalam satu hari perjalanan mereka tiba ke tujuan.Keduanya menginap di penginapan luar kota demi menghemat pengeluaran. Hektor memberi uang cukup banyak, tapi Haikal bersikeras untuk menyewa satu kamar, demi menabung uang untuk judi esok sekembalinya ke Reims.Ramza membanting badan ke kasur. Seperti anak kecil kedua kaki dan tangan bergerak naik turun hingga seprei kasur kusut. "Kal, bagaimana cara berjualan narkoba?""Jualan ya di pasar," jawab Haikal, menutup pintu kamar."Jadi kita ke pasar?""Ya iya lah. Kata Paman Hektor barang itu di taruh di gang dekat pasar. Pasti beliau menyuruh kita berjualan di sana.""Yang benar?" Ramza duduk bersila kaki di kasur, memandang Haikal berganti baju. "Emang Paman menyuruh menjual di sana?"Haikal menggeleng . Dia duduk di tepi kasur di sebelah kasur