Setelah muter-muter seharian aku belum juga dapat kerjaan, oh tuhan kenapa hidupku jadi sesulit jadi ini, keluhku dalam hati.Hari sudah semakin sore, aku putuskan untuk kembali ke kos, dan mulai cari kerja lagi besok, tak lupa aku mampir ke warung nasi untuk membeli sebungkus nasi, perutku terasa lapar karena dari pagi baru terisi nasi waktu sarapan, siangnya aku tak makan agar sedikit berhemat.Usai membeli nasi di warteg tak jauh dari kos, ponsel di saku celanaku bergetar, bergegas aku merogohnya.Tertera nama Mbak Siska di layar pipih yang masih bergetar, tak menunggu lama aku gulirkan tombol warna hijau."Halo, Mbak! Mbak ada di mana?" tanyaku langsung, dengan rasa cemas yang mendera."Yud, Aku tadi dari rumahmu sama Eva, tapi kok sepi, kamu di mana?" Bukanya menjawab pertanyaanku justru ia balik bertanya."Aku sekarang udah nggak tinggal di sana, Mbak! Aku dah cerai sama Eva." jawabku lesu, ada karena harus membahas wanita jalang itu."Apa?! Kok bisa? Ada masalah apa?" Dari suar
Mbak Siska hanya menggeleng sambil terus terus terisak. Kuhelakan napas panjang."Lalu di mana Mas Ridwan sekarang, Mbak?""Mas Ridwan pergi entah kemana, setelah berhasil menjual rumah yang kami tinggali di sana, dan pergi membawa uang hasil jual rumah itu, bahkan Mas Ridwan tak peduli denganku dan dengan semua hutang di bank, hingga pada akhirnya rumah Ibu di sita," ucap Mbak Siska dengan suara parau.Rasa kesalku terhadapnya hilang seketika setelah mendengarkan semua penjelasannya, ternyata kehidupan Mbak Siska begitu miris."Bagaimana dengan orangtuanya Mas Ridwan, Mbak?" Mbak Siska kembali membuang napas dengan kasar."Orang tuanya Mas Ridwan sama sekali tak peduli dengan kami, apalagi Mbak di anggap mandul karena bertahun-tahun menikah dengan anaknya, Mbak belum juga hamil. Mbak sudah nggak punya apa-apa lagi dan nggak punya siapa-siapa lagi sekarang, Yud!" Tangisnya kembali pecah usai mengatakan itu. Kurang ajar sekali mereka, batinku"Masih ada aku Mbak! Sudah, sekarang Mbak t
Aku meluapkan semua kekesalanku terhadap Eva pada Kakak perempuanku ini, bagaimana pun juga dia ada andil di sini, meski tak langsung.Mbak Siska terperangah mendengar semua itu, wajahnya memerah, mungkin ia sama denganku, tak menyangka jika Eva ternyata bukan wanita baik-baik."Eva benar-benar keterlaluan!" desisnya lirih, tapi masih terdengar oleh telingaku."Mbak tak menyangka dia berani berbuat seperti itu! Kurang Aj*r!" Mbak Siska kembali terdengar mengumpat Eva."Sekarang kita nggak punya apa-apa lagi, Mbak! Aku benar-benar menyesal telah menyakiti perempuan sebaik Sintya." Aku tertunduk, menyesali semua yang telah kuperbuat, tiba-tiba ingatan tentang masa-masa sulit yang telah berhasil aku lewati bersama Sintya hadir berputar-putar di kepalaku. Betapa susahnya dulu saat aku kena PHK, Sintya dengan penuh kelembutan menemaniku, memberi semangat untuk bangkit dan berjuang bersama, ia terus meyakinkan aku jika suatu hari kami bisa hidup layak dan berkecukupan, tapi saat semua itu
Tak apalah makan nasi sebungkus berdua, ingat waktu kecil dulu juga sering aku makan sepiring berdua dengan kakakku satu-satunya ini."Makanya pelan-pelan donk! Nanti cepet habis Mbak baru makan sedikit," celotehannya, melihatku caraku makan dengan lahap."Iya, iya! Ini satu suap lagi aku udah, ntar Mbak y habisin ya!"Ya Tuhan, kami sudah seperti orang kelaparan begini, sungguh miris sekali nasibku ya Tuhan.Aku berjalan keluar ke kamar mandi, untuk cuci tangan kemudian langsung kembali ke kamar. Terlihat nasi bungkus itu sudah habis tak tersisa."Jadi gimana besok rencananya? Kita ke rumah Sintya? Dan minta maaf gitu?" tanya Mbak Siska saat melihatku duduk kembali di sampingnya. "Iya, besok kita ke rumah Sintya, semoga aja aku berhasil membujuk Sintya untuk kembali rujuk padaku, jadi aku tak perlu lagi tinggal di kamar yang sempit ini," ucapku penuh harap."Oke, Mbak pulang dulu ya, udah sore juga, sekalian Mbak numpang cuci tangan dulu Yud," pamitnya.Aku mengantarnya hingga ke de
POV EvaEvalina Yulianti itu nama lengkapku, berprofesi sebagai perias tentu membuatku cukup di kenal banyak orang, penampilanku juga harus oke, cantik dengan rambut hitam tergerai sebahu, kulit putih serta perawatan rutin yang kulakukan di salon, tentu menambah nilai kecantikan dalam diriku.Semua itu tak sulit bagiku untuk merebut hati lelaki, termasuk Mas Yudi, aku sering mendengar namanya di saat aku sedang berkumpul bersama komunitas perias atau saat ada event rias, membuatku tertantang untuk bisa mengenalnya lebih dekat, apalagi saat mendengar usahanya di bidang dekor wedding kian sukses, tentu akan menjadi kebanggaan tersendiri jika aku mampu menaklukkan hatinya, dan menjadi istri seorang pengusaha dekor itu.Karirku akan kian meroket jika aku berhasil menjadi istrinya, kita bisa jalan beriringan sebagai pasangan yang sangat serasi. Terlebih aku cukup kenal dengan Kakaknya yaitu Mbak Siska, dan mengutarakan niatnya untuk menjodohkan aku dengan Mas Yudi, pucuk di cinta ulam pun
Sejak itu aku sudah tak lagi peduli dengan Mas Yudi, aku akan kembali menjadi diriku sendiri mencari kesenangan untuk diriku sendiri. Meskipun statusnya dia masih suamiku tapi aku tak peduli, karena dia sudah menjadi kere, apa yang mau di harapkan, pantas saja beberapa hari lalu aku meminta mobil tak kunjung ia belikan. Huh, menyebalkan.Aku kenal Miko beberapa bulan lalu, dia seorang fotografer yang baru beberapa Minggu ini ikut gabung di grup riasku. Miko usianya masih muda, sangat supel, dan pandai bergaul, membuatku terpikat padanya, apalagi dia anak orang kaya.Ternyata dia juga mengatakan menyukaiku sejak pertama bertemu. Ini kesempatanku untuk mendapatkan Miko, lelaki kaya, mapan, dan tampan, nyaris sempurna.Hari itu, dia datang menjemputku di rumah, awalnya kita akan ketemuan di kafe, tapi motorku di pakai sama Mas Yudi, jadi akhirnya dia datang menjemputku. Saat di rumah, ia kembali mengungkapkan cintanya padaku.Aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu, membalas cintanya.
Hari terus bergulir, hingga bulan berganti, hubunganku dengan Miko semakin dekat. Kami berencana akan melangsungkan pernikahan dua Minggu lagi.Aku juga sudah di kenalkan dengan orangtuanya, mereka semua baik terhadapku, Miko berasal dari keluarga yang cukup mapan, hatiku senang karena sebentar lagi akan menikah dengan Miko, lelaki yang tepat.Semua keperluan pernikahan juga sudah siap, karena kami punya banyak kenalan tim wedding organizer jadi tak repot untuk mengurus semuanya.Dua Minggu kemudian pernikahan pun di gelar, semua acara di adakan di rumah Miko, karena semua sudah di atur oleh Ibu Dwi–ibu mertuaku, aku hanya menurut saja sebagai calon pengantin. Setelah menikah rencananya aku akan tinggal di rumah Miko.Ijab qabul pun di ucapkan dengan lancar oleh Miko."Sah. Sah." Suara beberapa orang saksi terdengar tegas.Pernikahan berjalan lancar, beberapa teman, sanak saudara berdatangan memberi ucapan selamat, keluargaku juga sudah hadir dari luar kota sejak kemarin.Hatiku berbu
"Kenapa harus di jual, Mas?" tanyaku, "Ya, nggak apa-apa, toh juga sekarang kamu tinggal di sini sama aku, kalaupun rumah itu di jual juga terserah kamu, uangnya mau buat apa, kan itu hak kamu." Miko menatapku meyakinkan, sedetik kemudian kecupan hangat mendarat di bibirku."Oke Sayang, aku setuju untuk menjual rumah itu," sahutku, di tengah pergumulan ini.Pagi hari, aku sudah turun ke dapur membantu menyiapkan sarapan, di rumah ini memang ada Bik Minah seorang asisten rumah tangga, tapi sebagai anggota keluarga baru di rumah ini, lebih baik aku menunjukkan kalau aku bukan wanita manja, aku juga bisa mengerjakan pekerjaan rumah.Mungin Setelah sarapan nanti, semua saudara kembali ke rumah masing-masing. Tapi sejak tadi aku tak melihat Tante Yanti ada di sini, kemana wanita itu, hatiku bertanya-tanya. Sambil mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan."Kamu cari siapa, Sayang?" tanya Miko sepertinya tau kalau aku tengah mencari seseorang."Tante Yanti nggak nginep di sini, Mas? ""Oh T
Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,
Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu
Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men
Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d
"Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m
Pagi ini seperti biasa aku akan bekerja, sebelum berangkat aku siapkan makanan untuk aku dan Mbak Siska sarapan, juga untuk Mbak Siska makan siang, semenjak Dia sakit aku memang harus ekstra melakukan ini dan itu agar Mbak Siska tidak perlu repot memasak untuk makan siangnya.Setelah semuanya siap, aku mengajaknya sarapan, aku tatap wajah yang kian hari kian pucat itu."Mbak hari ini kita ke rumah sakit aja yuk," ajakku."Ah, tak perlu lah Yud, kamu juga kan harus kerja, lagian obat Mbak yang dari klinik juga masih ada," tolaknya."Mbak, soal kerjaan gampang, aku bisa ijin datang siang hari setelah mengantar Mbak dari rumah sakit." Lagi aku berusaha meyakinkan Mbak Siska, apapun alasannya kesehatannya adalah jauh lebih penting."Gampang nanti saja Yud, nunggu obat yang sekarang ini habis aja, ya!" "Hm, baiklah kalau begitu Mbak. Yudi cuma pengin Mbak bisa segera sembuh," pungkasku.Usai sarapan aku langsung berangkat ke tempat kerjaku. Entah mengapa aku merasa Mbak Siska seolah pasra
Aku tersenyum dan kembali mendaratkan bobotku di sampingnya."Iya, Mbak. Aku baru pulang. Maaf ya Mbak, Yudi pulang malam karena memang baru selesai." Mbak Siska mengangguk."Mbak sudah makan? Obatnya sudah di minum?" tanyaku."Sudah, kamu sendiri sudah makan?" "Sudah Mbak, tadi makan di sana.""Gimana keadaan Mbak? Apa kita ke rumah sakit aja besok?" tawarku sesungguhnya aku tak tega melihat kondisinya yang semakin menurun. Tubuhnya kurus, kelopak matanya cekung, dengan bibir memucat, di tambah lagi batuk yang tak kunjung sembuh."Tak perlu lah Yud, lagi pula ke rumah sakit kan biayanya mahal, kita ndak punya banyak uang, Mbak nggak mau di sisa umur Mbak hanya merepotkan dan menjadi beban kamu," ucapnya lirih."Tapi Mbak, kondisi Mbak Siska makin menurun, Yudi nggak tega Mbak."Walaupun uang yang kupunya masih belum banyak tapi setidaknya cukup untuk berobat Mbak Siska.Namun, lagi-lagi Mbak Siska menolak untuk berobat ke rumah sakit. "Ya sudah sekarang sudah malam, Mbak istirahat
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Manusia di ciptakan dengan karakter dan watak yang berbeda, pun dengan nasib yang berbeda-beda, jika saat ini nasib kami seperti ini, mungkin ini adalah akibat dari perbuatan buruk di masa lalu.Setiap orang pasti akan menuai apa yang ditanamnya, hanya dengan Doa yang tulus aku persembahkan, agar Allah berkenan mengampuni semua dosa khilafku di masa lalu itu, karena kini aku hanya ingin hidup tenang dan tentram, dengan lembaran baru. Aku hanya ingin hidupku ke depan, lebih baik, dan lebih bermakna.Hari terus berganti hingga kini satu bulan sudah aku melewati waktu, kondisi kesehatan Mbak Siska makin menurun, badannya pun kurus, saat aku ajak untuk berobat ke rumah sakit, Ia selalu menolak, dengan berbagai alasan. Aku paham Mbak Siska mungkin berpikir seribu kali untuk berobat ke rumah sakit karena memikirkan biaya, kami berdua, untuk hidup dan makan saja pas-pasan. Penghasilanku bekerja di tempat fotokopi,
Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K