Hari terus bergulir, hingga bulan berganti, hubunganku dengan Miko semakin dekat. Kami berencana akan melangsungkan pernikahan dua Minggu lagi.Aku juga sudah di kenalkan dengan orangtuanya, mereka semua baik terhadapku, Miko berasal dari keluarga yang cukup mapan, hatiku senang karena sebentar lagi akan menikah dengan Miko, lelaki yang tepat.Semua keperluan pernikahan juga sudah siap, karena kami punya banyak kenalan tim wedding organizer jadi tak repot untuk mengurus semuanya.Dua Minggu kemudian pernikahan pun di gelar, semua acara di adakan di rumah Miko, karena semua sudah di atur oleh Ibu Dwi–ibu mertuaku, aku hanya menurut saja sebagai calon pengantin. Setelah menikah rencananya aku akan tinggal di rumah Miko.Ijab qabul pun di ucapkan dengan lancar oleh Miko."Sah. Sah." Suara beberapa orang saksi terdengar tegas.Pernikahan berjalan lancar, beberapa teman, sanak saudara berdatangan memberi ucapan selamat, keluargaku juga sudah hadir dari luar kota sejak kemarin.Hatiku berbu
"Kenapa harus di jual, Mas?" tanyaku, "Ya, nggak apa-apa, toh juga sekarang kamu tinggal di sini sama aku, kalaupun rumah itu di jual juga terserah kamu, uangnya mau buat apa, kan itu hak kamu." Miko menatapku meyakinkan, sedetik kemudian kecupan hangat mendarat di bibirku."Oke Sayang, aku setuju untuk menjual rumah itu," sahutku, di tengah pergumulan ini.Pagi hari, aku sudah turun ke dapur membantu menyiapkan sarapan, di rumah ini memang ada Bik Minah seorang asisten rumah tangga, tapi sebagai anggota keluarga baru di rumah ini, lebih baik aku menunjukkan kalau aku bukan wanita manja, aku juga bisa mengerjakan pekerjaan rumah.Mungin Setelah sarapan nanti, semua saudara kembali ke rumah masing-masing. Tapi sejak tadi aku tak melihat Tante Yanti ada di sini, kemana wanita itu, hatiku bertanya-tanya. Sambil mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan."Kamu cari siapa, Sayang?" tanya Miko sepertinya tau kalau aku tengah mencari seseorang."Tante Yanti nggak nginep di sini, Mas? ""Oh T
"Kamu tenang aja, Yan! Dia tak kan berani macam-macam, kerjaannya mengurus rumah, dia tak kan bisa keluar dari rumah ini.""....""Tadinya aku kira dia perempuan baik-baik, melihat kebiasaan Miko yang suka mabuk, aku berharap setelah menikah dia bisa merubah Miko.""....""Saat ini Miko masih sama, dengan kebiasaan buruknya."Seketika keningku berkerut mendengar ucapan Ibu, apa yang beliau maksud itu aku, tapi dengan siapa dia bicara, aku sibuk dengan Pikiranku, hingga tanpa sengaja gagang kain pel yang kupegang terjatuh, menimbulkan bunyi yang cukup keras."Siapa di sana?!" seru Ibu dari dalam kamar.Aku langsung beringsut mundur, aku tak mau beliau tau aku sudah mendengar pembicaraannya.Aku kembali ke dapur, dengan menenteng ember yang berisi air pel. Sejenak aku memikirkan perkataan Ibu.Sejak aku menikah memang aku sudah jarang pergi keluar, bahkan untuk bertemu dengan teman-temanku pun aku urung.Aku bahkan di rumah ini seperti pembantu, bangun paling pagi, dan menyiapkan semuan
"Tunggu. tipu daya? Apa maksud Ibu? Eva beneran nggak ngerti?" Aku menggeleng, masih belum bisa mencerna perkataan yang beliau sampaikan, dan mencoba meminta penjelasan, mengapa beliau berubah seperti ini."Sudahlah Eva, tak perlu kamu pura-pura bersikap polos seperti itu! Ibu sudah tau semuanya, seperti apa sebenarnya kamu itu, sudah cukup kamu merusak rumah tangga orang lain, dengan menjadi pelakor! Namun setelah kamu berhasil merebutnya kamu meninggalkan laki-laki itu begitu saja, karena dia tak punya apa-apa, Hah?! Kali ini kamu salah target, Ibu sudah lebih dulu tau akal busukmu," ucapnya penuh penekanan, dadanya naik turun seakan menahan emosi yang meluap.Aku menggeleng tak percaya, Ibu Dwi yang lemah lembut, seakan kini sangat membenciku. Mengapa dia tau tentangku yang merebut Mas Yudi dari Mbak Sintya. "Kenapa? Kamu kaget Ibu bisa tau semuanya? Dengar baik-baik, kalau kamu masih ingin tinggal di rumah ini, kamu jangan macam-macam!" ancamnya dengan memicing, menarik sudut bib
Terlihat Ibu turun dari mobilnya kemudian berjalan menuju sebuah rumah, yang terletak tepat di depan rumah Mbak Sintya, tak berapa lama seorang wanita paruh baya keluar membukakan gerbang, setelah aku perhatikan, ternyata wanita paruh baya itu adalah Tante Yanti.Terlihat Tante Yanti menyambut kedatangan Ibu dengan ramah, sampai di sini aku bisa menyimpulkan sendiri jika Ibu mengetahui masa laluku dengan Mas Yudi dari Tante Yanti, karena Tante Yanti ternyata tetangganya Mbak Sintya, apa mungkin Mbak Sintya pernah bercerita tentang masalah rumah tangganya dengan Tante Yanti itu.Aargghh! Sial! Aku berdecak kesal."Mbak! Sekarang kita kemana lagi? Tuh Ibu Dwi masuk ke rumah itu, apa Mbak mau samperin ke sana?" tanya tukang ojek itu sambil menunjuk ke rumah Tante Yanti."Ah, Nggak! Nggak! Kita pulang aja sekarang," jawabku ketus."Aneh. Mbak ini, katanya tadi mengkhawatirkan Ibu Dwi, kok sekarang minta pulang." Tukang ojek itu terdengar menggerutu."Heh! Aku nggak minta kamu komentar, ya
Aku kembali menatap layar pipihku, terlihat pesanan makanan sedang di antar, aku berjalan keluar agar begitu pesanan sampai, aku langsung bisa menerimanya.Benar saja, tak lama setelah aku duduk di teras, sebuah motor berhenti di depan rumah, membawa makanan yang kupesan.Aku menerimanya dan tak lupa memberikan uang sesuai nominal yang tertera di aplikasi pemesanan.Dengan langkah cepat aku menunju ke dapur, dan menempatkan semua makanan ke dalam piring, setelah semuanya selesai aku menutupnya dengan tudung saji.Dah beres deh, sekarang aku tinggal panggil Ibu mertuaku, untuk makan bersama."Bu! Makan siangnya udah siap, ayo makan dulu, Bu!" seruku setelah sebelumnya aku terlebih dahulu mengetuk pintu kamarnya.Beberapa saat tak terdengar suara dari dalam, kembali aku mengetuk pintu kamar beliau."Bu!—""Iya! Sebentar lagi ibu menyusul, kamu makan dulu, Va!" sahut Ibu dengan suara berat.Sepertinya Ibu sedang tidak baik-baik saja, terdengar suaranya sedikit serak, seperti habis menang
Malam semakin larut, di dalam kamar yang luas ini, aku meringkuk sendiri dalam keheningan malam, batuk dan flu juga menyertaiku. Biasanya aku jarang sekali sakit, hanya pusing sedikit kemudian sembuh dengan sendirinya.Tapi kali ini, tenggorokan ini juga terasa kering dan sangat sakit untuk menelan, sekujur tubuhku terasa lelah dan pegal-pegal. Ingin rasanya aku ke dokter, dan di temani Miko suamiku, tapi nampaknya bersenang-senang dengan teman-temannya lebih di pilihnya.Eva, ayo semangat, kamu harus sehat, kamu wanita kuat, gumamku menyemangati diri.Hingga menjelang pagi badan ini semakin tak enak, bahkan malam ini terasa begitu panas, hingga membuatku berkeringat.Pagi hari aku mencoba bangkit, tapi kepalaku terasa pusing, mencoba berdiri tapi sekeliling terasa berputar, hingga aku kembali terduduk di tepi ranjang.Bahkan Miko tidak pulang hingga pagi, aku mendengkus kesal, bagaimana aku ingin bermanja atau meminta di temani ke dokter, jika di rumah dia acuh, dan cuek, kemudian pe
Aku meremas ujung badcover yang menutupi setengah tubuh ini. Aku seperti istri yang tak di anggap, tanpa terasa bulir bening menetes membasahi pipi, kenapa rasanya begitu sesek dada ini, saat aku tekulai lemah dalam keadaan sakit tapi tak ada suami yang kubanggakan berada di sini menemaniku. Menyedihkan.Kepalaku semakin terasa pusing, bahkan siang ini aku juga belum makan, entah ibu kemana sejak tadi tidak terdengar suaranya.Aku putuskan untuk kembali meringkuk, hingga terdengar suara derap langkah kaki mendekati kamar ini, sepertinya Miko pulang, aku menyeka air mata yang membasahi pipi.Ceklek!Pintu pun terbuka dan Miko langsung duduk di tepi ranjang."Mas! Kamu dari mana saja? Kenapa baru pulang," ucapku dengan suara parau. "Ibu saja tidak pernah tanya aku pulang atau nggak, kenapa kamu yang cerewet sih!" sungutnya kemudian membuang napas kasar."Mas, kamu kenapa sih! Jadi berubah gini! Aku sakit lho, kamu sama sekali nggak peduli, dan memilih bersenang-senang dengan teman-tema