Aku menggebrak meja dengan keras, membuat teh hangat yang di meja bergoyang-goyang bahkan sedikit ada yang tumpah ke meja, akibat getaran yang aku timbulkan.Eva terdiam membisu, sikapnya santai menikmati teh hangat, dan roti sandwich yang kubuat, membuat kesabaranku semakin habis."Apaan sih, Mas! Pagi-pagi udah berisik! Kamu mau tau dia siapa? Yang jelas dia lebih baik darimu, Mas!" Aku tak percaya dengan apa yang di katakan Eva, ia bahkan berkata dengan mudahnya."Jadi kamu selingkuh sama Dia?! Eva ingat! Kamu itu masih sah istriku!" sungutku"Iya aku memang masih istrimu, Mas! Kalau kamu tidak suka, silahkan kamu talak aku! toh juga kita cuma nikah siri, bercerai pun tak perlu sampai ke pengadilan, kan!" Eva kembali berucap dengan entengnya.Aku menggeleng tak percaya, semudah itu ia berubah setelah aku korbankan semua untuknya. Oh tuhan! Aku benar-benar laki-laki paling bodoh sedunia, rela meninggalkan Sintya yang setia dan lebih memilih wanita seperti Eva, yang tak lebih adalah
Kedua netraku mengerejap, aku harus tinggal dimana, jika aku keluar dari rumah ini. Tapi tak mungkin juga aku hidup bersama wanita arogan yang di kepalanya hanya uang, uang dan uang!"Oke! Aku akan keluar dari rumah ini hari ini juga."Aku melenggang masuk ke dalam kamar, mengemasi semua baju-bajuku, dan memasukkannya ke dalam koper berwarna hitam yang beberapa hari lalu aku bawa dari rumah Sintya, aku benar-benar tak menyangka hidupku demikian tragis, di usir oleh dua wanita dalam rentan waktu yang tak begitu lama.Semua baju aku masukkan ke dalam koper, pakaian yang tergantung di balik pintu kamar pun tak luput dari sapuanku.Hingga kedua netraku menangkap sebuah benda kecil tergeletak di lantai samping lemari, aku mendekat dan memungut benda itu. Betapa terkejutnya diriku, saat meyakini jika benda itu adalah sebuah alat kontrasepsi, yang biasa di gunakan oleh lelaki, padahal aku sendiri tidak pernah memakai benda itu selama berhubungan dengan Eva, lalu benda ini milik siapa? Inga
POV SintyaAku dan Mas Yudi telah resmi bercerai, semua harta jatuh ke tanganku sesuai dengan yang kuinginkan, perempuan murahan itu bahkan datang ke rumah meluapkan emosinya, karena tak terima dengan putusan sidang.Aku tak mau kalah, kedatangan mereka ke rumah ini justru memudahkan aku untuk menarik motor milik Mas Yudi yang kini sudah beralih menjadi milikku, dan menyerahkan sebuah koper berisi baju-baju miliknya.Aku tak habis pikir perempuan itu, macam orang yang kurang waras, datang-datang marah-marah nggak jelas, padahal sudah pernah kukatakan, jika dia menginginkan Mas Yudi, silahkan ambil, tapi jangan harap ia juga bisa memiliki semua yang sudah aku perjuangkan. Enak saja. Memangnya aku ini bodoh, tidak bisa melihat gelagatnya.Sekarang aku sudah tenang, biarlah Mas Yudi, nanti akan merasakan balasan dari Allah karena telah menyakitiku. Sebisa mungkin aku tegar demi Rizki putraku.Beberapa kali Rizki bertanya soal ayahnya yang tak pulang-pulang, tapi dengan hati-hati aku jela
"Suamimu, mana? Kok nggak ikut ngobrol santai sore di sini!" Aku terdiam mendengar pertanyaannya.Rasanya tak pantas aku mengatakan jika aku baru saja bercerai dari Mas Yudi, apapun itu alasannya, menjadi janda adalah status yang kurang enak di dengar."Hm, Dhani masih lama di sini?" Ayah mencoba mengalihkan pembicaraan. Beliau sepertinya tau isi hati ini."Seperti biasa, Pak. Seminggu paling lama, Pak! Kerjaan di sana juga nggak bisa di tinggal lama-lama soalnya, Pak." Aku dan Ayah mengangguk."Saya ke rumah Bude Aminah dulu, Pak Imran, takutnya dia nungguin," pamitnya.Bu Aminah rumahnya di belakang rumah Ayah, selang dua rumah.Dhani pun pergi usai pamit, sepintas ia menatapku, hingga netra kami bertemu, tapi aku buru-buru mengalihkan pandangan."Si Dhani itu seorang duda, istrinya meninggal, yang Ayah dengar, istrinya meninggal karena sakit. Mereka belum di karunia seorang anak." Ayah menjelaskan status Dhani, padahal aku sendiri tak bertanya."Sekitar setahun yang lalu istrinya D
Tak lama berselang kereta mulai melaju, awalnya pelan, kemudian mulai melaju dengan cepat. Rizki terlihat sudah lelap dalam tidurnya, walaupun hanya bersandar di kursi dengan sedikit memiringkan kepalanya menyender di bahuku, ia tetap terlihat nyenyak menikmati perjalanannya.Mata ini perlahan terpejam, saat rasa kantukku mulai melanda, menempuh perjalanan malam, memang lebih banyak untuk tidur di dalam kereta karena tak dapat menikmati pemandangan ke luar jendela yang gelap, di selimuti pekatnya malam.Hingga beberapa jam mata ini terjaga, aku lirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku, ternyata hampir enam jam sudah perjalanan yang ku tempuh, cukup lama aku tertidur rupanya. Aku sedikit terkejut melihat Dhani sudah duduk di sebelah kiriku, terpisah jalan pembatas antara kursi. Ia tampak sedang memainkan ponselnya, entah sejak kapan ia pindah tempat duduk, yang jelas sebelum aku tidur yang duduk di sana adalah seorang gadis muda memakai jilbab.Melihat aku sudah bangun, Dhani
Ajakan Rizki membuat kedua alisku bertaut, pun dengan Dhani. Dhani melirik ke arahku, aku hanya tersenyum tipis."Oke, nanti kapan-kapan Om main ke rumah Rizki." Dhani mengusap rambut tebal Rizki dengan gemas."Dari sini ke rumah, kalian naik apa?" tanya Dhani memandang ke arah kami bergantian."Nanti kami bisa pakai taksi, Dhan!" jawabku Tak berapa lama, dari pengeras suara terdengar suara bahwa kereta Jayabaya akan kembali melanjutkan perjalanan. Suara klakson kereta berbunyi, sebagai tanda bahwa kereta akan kembali melaju."Oke, hati-hati ya Sin!" Dhani naik kembali ke atas kereta setelah mengucapkan itu, aku dan Rizki mengangguk tersenyum.Aku berjalan menjauh menuju pintu keluar stasiun, karena kereta sebentar lagi akan kembali melaju hingga pemberhentian akhir di stasiun Malang.*****Selepas salat subuh, aku kembali merebahkan tubuhku di pembaringan, rasanya masih lelah setelah menempuh perjalanan semalam, Rizka juga sepertinya masih lelap dalam tidurnya, mengingat semalam ia
POV YudiAku benar-benar terkejut melihat rumah orang tuaku di segel, ada apa sebenarnya, kenapa Mbak Siska tidak cerita apa-apa soal ini, bahkan kemarin-kemarin saat Mbak Siska datang ke rumah, ia tampak baik-baik saja.Tapi sejujurnya aku sedikit heran kenapa dia kemana-mana sendiri, kemana Mas Ridwan? Apa dia di luar kota, dan Mbak Siska ke sini sendiri, lalu di mana selama ini Mbak tinggal? Pikiranku begitu kacau, banyak pertanyaan bermunculan di kepalaku.Aku coba menghubungi Mbak Siska. Ponselnya tidak aktif. Sejak kejadian di rumah Sintya, Mbak Siska tak menampakkan batang hidungnya. Ia terlihat sama kecewanya dengan Eva. Di mana kamu Mbak? Aku memutuskan untuk mencari kos, masih ada sisa uang di ATM, aku rasa cukup untuk menyewa kamar kos untuk sebulan ini.Aku berjalan ke ujung jalan, di mana ada pangkalan ojek."Ojek Bang?" tanya salah satu dari empat pemuda tukang ojek."Iya, Mas! Sebelumnya maaf, Mas tau rumah yang ada di ujung gang, sebelah kanan? Itu kenapa di segel ya?
Setelah muter-muter seharian aku belum juga dapat kerjaan, oh tuhan kenapa hidupku jadi sesulit jadi ini, keluhku dalam hati.Hari sudah semakin sore, aku putuskan untuk kembali ke kos, dan mulai cari kerja lagi besok, tak lupa aku mampir ke warung nasi untuk membeli sebungkus nasi, perutku terasa lapar karena dari pagi baru terisi nasi waktu sarapan, siangnya aku tak makan agar sedikit berhemat.Usai membeli nasi di warteg tak jauh dari kos, ponsel di saku celanaku bergetar, bergegas aku merogohnya.Tertera nama Mbak Siska di layar pipih yang masih bergetar, tak menunggu lama aku gulirkan tombol warna hijau."Halo, Mbak! Mbak ada di mana?" tanyaku langsung, dengan rasa cemas yang mendera."Yud, Aku tadi dari rumahmu sama Eva, tapi kok sepi, kamu di mana?" Bukanya menjawab pertanyaanku justru ia balik bertanya."Aku sekarang udah nggak tinggal di sana, Mbak! Aku dah cerai sama Eva." jawabku lesu, ada karena harus membahas wanita jalang itu."Apa?! Kok bisa? Ada masalah apa?" Dari suar